KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGARI SIPIL DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DENGAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM BIDANG KEIMIGRASIAN
Oleh:
Nogindah Ika Y
Email :
[email protected]
Program Studi Manajemen Teknologi Keimigrasian Politeknik Imigrasi
Kampus Politeknik Imigrasi Jln. Jenderal Sudirman, Tanah Tinggi, Tangerang
Abstrak
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam melaksanaan proses penyidikan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pihak penyidik dalam pencarian alat bukti tindak pidana keimigrasian dan bagaimana alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana keimigrasian. Cara memperoleh keterangan dan alat bukti mengenai terjadinya tindak pidana keimigrasian dilakukan melalui proses penyidikansebagaimana diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diberi wewenang sebagai penyidik tindak pidana Keimigrasianberkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setelah selesai melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum dan tahapan pelaksanaan dalam rangka memperoleh keterangan dan alat bukti dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.PPNS Keimigrasian dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Keimigrasian dengan lembaga penegak hukum dalam negeri dan negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Kata Kunci : Penyidikan, Pegawai Negeri Sipil, Alat Bukti
Abstrack
The Immigration Civil Servant Investigator coordinates with the police in carrying out the investigation process. The purpose of this research is to find out how the responsibility of investigators in the search for evidence of immigration crime and how evidence in the investigation of immigration crime cases. How to obtain information and evidence regarding the occurrence of immigration crime is carried out through the investigation process as stipulated in the Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Civil Servant Investigators are authorized as investigators of Immigration crimes in coordination with investigators of the Indonesian National Police. After completing the investigation, the Immigration PPNS submits the case file to the public prosecutor and the implementation stage in order to obtain information and evidence is carried out in accordance with the provisions stipulated in the Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.. in investigating and investigating criminal offenses with immigration with domestic and other state law enforcement agencies in accordance with statutory provisions or based on international treaties that have been recognized by the Government of the Republic of Indonesia.
Keywords: Investigations, Civil Servants, Evidence
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki letak geografis strategis dimana Indonesia diapit oleh dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kondisi georafis inilah yang mendukung Indonesia untuk menjadi jalur persilangan perdagangan internasional. Selain itu, kondisi geografis Indonesia yang berada di garis Khatulistiwa menjadikan Indonesia memiliki kondisi alam yang melimpah sehingga menjadi tumpuan perhatian banyak negara lain di berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, ekonomi serta keamanan negara dengan memanfaatkan kemajuan teknologi terutama pada bidang transportasi.
Seiring dengan perkembangan zaman, arus globalisasi semakin besar terjadi di msyarakat dunia yang memberikan dampak terhadap teknologi di bidang informasi, yang seolah menghilangkan batas wilayah kenegaraan, aspek hubungan kemanusiaan yang sebelumnya hany aterbatas pada skala nasional menjadi aspek internasional. Pada aspek lain, pertumbuhan dan perkembangan kesetaraan dalam kehidupan kemanusiaan mendorong kewajiban untuk menghargai hak asasi manusia dalam kehidupan universal.
Arus globalisasi dunia telah memberikan dampak terhadap lalu lintas orang dan barang antar negara, yang menyebabkan batas antarnegara semakin mudah untuk ditembus untuk memenuhi berbagai kepentingan manusia seperti melkukan perdagangan, industri, pariwisata, serta kegiatan lainnya. Hal ini telah menjadi fenomena yang menarik perhatian negara-negara di seluruh dunia sejak dahulu sebab setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengatur lalu lintas orang yang akan masuk atau keluar wilayah negaranya dan bahkan untuk sekedar melakukan kunjungan maupun untuk berdiam sementara waktu.
Globalisasi merupakan suatu proses masyarakat di seluruh dunia untuk saling berhubungan dalam seluruh fase kehidupannya. Dengan demikian terjadi saling kebergantungan dalam banyak hal seperti dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, sosial, budaya, teknologi, informasi, bahkan pertahanan dan keamanan. Hal inilah yang menjadi aspek pendorong bagi negara di seluruh dunia untuk melakukan kerja sama dan perjanjian yang menimbulkan suatu kesepakatan dalam melakukan penyesuaian dalam setiap bidang kehidupan yang bertujuan untum mempermudah tata pergaulan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi serta globalisasi teruama dalam aspek keuangan mengakibatakan semakin mendunianya perdagangan barang dan jasa. Kemajuan tersebut tidak selalu memnerikan dampak positif bagi negara dan kehidupan masyarakat. Kemajuan yang terjadi pada berbagai bidang juga meningkatkan resiko berkembangnya tindak pidana atau kejahatan.
Seiring dengan peningkatan proses modernisasi akibat ditemukannya alat omunikasi mdern, aat transportasi dan informasi yang caggih, beredarnya isu modernisasi di seluruh duunia memunculkan fenomena bau berupa globalisasi yang menuntut perubahan sistem hukum (legal system) yang sering sekai bersifat baru. Tanpa adanya perubahan ini, tuduhan baru akan muncul secara nasional sebagai contoh adanya tuduhan bahwa penguasa tidak meberikan jaminan kepatian hukum, kurang adanya perlindungan terhadap bahaya bagi ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, penegakan hukum yang aktual akan jauh berbeda dari penegakan hukum ideaal, hukum dianggap hanya melindungi yang kuat, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan sebagainya. Globalisasi menimbulkan perubahan secara drastis dalam berbagai potensi ancaman yang akan berakibat pada semakin menguatnya kejahatan lintas negara secara terorganisir seperti pembajakan, penyelundupan, pencurian kekayaan alam, penjualan pasir, pencurian hak paten, pencemaran laut, pencucin uang (money laundering), pencurian ikan, kejahatan dunia maya (cyber crime), pemalsuan dokumen, serta perdagangan narkoba. Penanganan yang dilakukan terhadapp berbagai ancaman yang terjadi membutuhkan kemampuan teknologi serta ilmu pengetahuan untuk mengatasi kejahatan seperti kejahatan kooorporasi, kejahatan terorganisir, kejahatan dalam bidang perbankan, kejahatan dalam asar modal, kejahatan internet, kejhatan transportasi, kejahatan konsumen serta persaingan yang dilkukan secara tidak sehat ataupun kecurangan, kejahatan kartu kredit dan pemalsuan cek, kejahatan bidang asuransi, kejahatan di bidang kepailitan, kejahatan pencucian uang, kejahatan penggelapan pajak, ekspor fiktif, kasus penimbunan barang kebutuhan rakyat dan kejahatan malpraktik profesi.
Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh arus globalisasi yaitu dalam sektor ketenagakerjaan maupun pada sektor teknlogi informasi dan komunikasi. Perkembangan kejahatan lintas batas antarnegara ini melibatkan warga negara asing yang setiap kegiatannya diawasi oleh pihak Keimigrasian. seperti yang telah tertuang pada Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian bahwa yang dimaksud dengan keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang asing yang masuk ataupun keluar wilayah negara Indonesia beserta pengawasaanya dalam rangka menjaga kedaulatan negara. berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa di samping sebagai instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat dalam administrasi keimigrasian, Keimigrasian juga bergerak sebagai instansi pengawasan terhadap segala kegiatan orang asing.
Pengawasan yang dilakukan teradap orang asing tidak hanya dilakukan pada saat mereka memasuki wiayah Indonesia, tetapi mereka juga diawasi segala kegiatannya selama berada di wilayah Indonesia. pengawasan Keimigrasian mencakup kegiatan penegakan hukum Keimigrasian, baik yang sifatnya administratif maupun yang melibatkan tindak pidana Keimigrasian. jika terdapat suatu penimpangan pada bidang keimigrasian maka diperlukan penegakan hukum keimigrasian yang melibatkan proses penindak lanjutan melalui penindakan. Dalam bidang Keimigrasian, yang dimaksud dengan penindakan adalah penindakan yang bersifat justisia melalui proses peradilan sedangkan penindakan non projustisia berupa Tindakan Administratif Keimigrasian di mana dalam pelaksanaanya tidak melali proses peradilan.
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mencari dan mengumupulkan bukti yang dapat memberikan eterangan tentang tindak pidana keimigrasian yang terjadi serta guna menemukan tersangka, yang dilakukan berdasarkan Undang-undang yang telah ditetapkan. Proses pemeriksaan yang dilakukan membutuhkan alat bukti yang sah agar dapat memberikan kepastian bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. sebelum nejatuhkan dugaan terhadap seseorang, penyidik harus terlebuh dahuli mengumpulkan bukti permulaan. Hal ini berarti bahwa fakta yang cukup dan keadaan berdasar informasi yang sangat dpercaa bahwa tersangka pelaku tindak pidana berdasar bukti dan tidak semata-mata berdasarkan konklusi. Alat bukti menjadi kunci utama keberhasilan suatu proses peradilan pidana, terutama pada penyelasaian kasus tindak pidana keimigrasian. perkembangan teknologi pada era ini memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk saling berkomunikasi tanpa adanya penghalang jarak dan waktu, serta memudahkan masyarakat untuk saling bertukar informasi. Namun, kemajuan teknologi mau tidak mau juga memperbesar potensi terhadap kemunculan berbagai tindak pidana berbasis teknologi informasi (cyber crime). Informasi elektronik yang diperoleh dalam suatu tindak pidana tersebutlah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana.
Alat bukti yang dapat digunakan berdasarkan ksaan tindak pidana Keimigrasian dalam Pasal 108 huruf (b) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian mengenai alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa. Hal ini dapat dikaitkan dengan jenis alat bukti yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi transksi elektronik. Berdasarkan isi Pasal 108 huruf (b) di atas maka adanya alat bukti yang disebut dengan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bisa dengan mudah digunakan untuk membuktikan tindak pidana Keimigrasian yang diatur dalam UU Keimigrasian karena alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 108 huruf (a). Hingga saat ini, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) belum ada yang mengguanakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti khusus untuk menjerat pelaku tindak pidana keimigrasian. belum adanya sarana prasarana pendukung seperti alat digital forensik yang memadai untuk mendukug proses pengolahan data alat bukti yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik. Selain itu, PPNS juga belum dibekali oleh kemampuan dalam memeriksa dan mengolah alat bukti informasi elektronik, sehingga alat bukti informasi elektronik belum pernah diterapkan dalam melakukan suatu proses penyidikan suatu tindak pidana keimigrasian.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas pada jurnal ini adalah mengenai bagaimana fungsi keamanan negara diterapkan dalam bidang keimigrasian.
Tujuan
Tujuan dari dibuatnya jurnal ini adlah untuk mengetahui bagaimana proses penyidikan dilaksanakan sebagai penerapan fungsi keimigrasian khususnya fungsi keamanan negara.
Metode Penelitian
Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan leh penulis adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana penelitian dilakukan dengan mempelajari masalah-masalah yang timbul pada kehidupan masyarakat dan lingkungannya dalam kondisi yang alamiah, dimana posisi peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Dalam pendekatan kualitatif, penggalian data dilakukan dengan cara pendeskripsian objek serta situasi-situasi yang terjadi dengan jumlah sampel yang digunakan tidak berjumlah banyak. Dalam metode pendekatan kualitatif, cara yang digunakan untuk menyimpulkan menggunakan penyimpulan konsep, serta analisa data kualitatif yang dapat membentuk nilai yang dianggap berlau di suatu tempat. Penelitian yang dilakukan cenderung mendekati penelitian yuridis-nrmatif, dimana peneliti akan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan serta beberapa literatur yang memiliki keterkaitan dengan proses pelaksanaan tugas dan fungsi pokok keimigrasian khususnya pada fungsi keamanan negara.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumuan data yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi beserta sumber pembuatan jurnal ini adalah dengan menggunakan metode literatur (library research) sebagai data sekunder dan metode observasi dengan cara mengamati proses pembuatan paspor dan mengamati objek penelitian pada Kantor Imigrasi yang melakukan pelayanan terhadap pemohon paspor. Pengumpulan data dilanjutkan dengan melakukan wawancara terhadap staff Kantor Imigarsi Kelas I Khusus Jakarta Barat yang didukung dengan dokumen tertulis selama melakukan observasi pada tanggal 1 Juli 2019 sampai 31 Juli 2019.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interaktif yang terdiri dari 4 komponen analisis diantaranya: pengumpulan data, reduksi data danpenyajian data, serta penarikan kesimpulan. Menurut Taylor, definisi dari analisis data adalah proses memberikan rincian segala usaha secara formal yang bertujuan untuk merumuskan hipotesis dan menemukan tema untuk memebrikan bantuan dan tema pada hipotesis
Pengertian Analisis Data dalam “https://www.maxmanroe.com/vid/manajemen/analisis-data.html”. diakses pada 22 September 2019 pukul 19.00 WIB .
Lokasi Observasi
Observasi dilakukan di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Barat, Jalan Pos Kota No. 4 Jakarta Barat.
PEMBAHASAN
A. Administrasi Penyidikan Keimigrasian
1. Pengertian Dan Proses Penyidikan
Proses penyidikan dapat didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan berdasarkan cara yang telah diatur dalam Undang-undang dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila telah terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP
M. Alvi Syahrin, ‘Penerapan Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian’, Seminar Hukum Nasional, Vol 4 No 1 (2018) <https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh/article/view/25555>. . Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undng-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 109 butir (1) KUHAP). Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana.
R. Soesilo berpendapat bahwa penyidikan dapat dibedakan menjadi
LUCKY AGUNG BINARTO, ‘PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN’, 2006.:
1. Penyidikan dalam arti kata luas, yaitu meliputi penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindakan-tindakan dari terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya,
2. Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminil Polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.
Kewenangan kepolisian dalam melaksanakan proses pemeriksaan perkara pidana dijabarkan dalam Pasal 16 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan perkara pidana;
Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi bantuan dan petunjuk penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Di dalam Juklak dan Juknis Tahun 2001 menyangkut penyidik pegawai negeri sipil, dijelaskan tentang kewenangan pejabat penyidik pegawai negari sipil, yaitu;
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang yang menjadi dasarnya;
b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang (tersangka);
e. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan;
f. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik Polri karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik Polri memberitahukan kepada penuntut umum dan tersangka;
g. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan di tempat kejadian.
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e. Penggeledahan.
f. Pemeriksaan atau interogasi.
g .Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat)
h. Penyitaan.
i. Penyampingan perkara.
j. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
2. Aparat Penyidik
Dalam proses penyidikan, yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat Penyidik. Seorang penyidik melakukan penyidikan adalah dalam usaha menemukan alat bukti dan barang bukti, guna kepentingan penyidikan dalam rangka membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan.
Dalam Pasal 1 Butir ke-1 KUHAP dijelaskan pengertian penyidik. ”Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik dua unsur penyidik, seperti tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yaitu :
(1) Penyidik adalah :
a) Pejabat Polisi Negara Indonesia;
b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
3. Macam Upaya Paksa dalam Penyidikan
A) Penangkapan
Berdasarkan Pasal 1 butir (20) KUHAP yang dimaksud dengan penangkapan adalah : “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Dalam hal tertangkap tangan atau tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak pidana, atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana, atau sesaat kemudian.diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut serta melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut (Pasal 1 butir 19 KUHAP), penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
b. Penahanan
Pasal 1 butir (21) KUHAP menentukan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sedangkan dalam Pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik ataupun penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Adapun yang menjadi alasan untuk dapat melakukan penahanan adalah seperti yang tersebut dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana yang dilakukan.
c. Penggledahan
Berdasarkan Pasal 1 butir (17) KUHAP yang dimaksud dengan penggledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan Pasal 1 butir (18) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penggledahan badan adalah tindakan tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita
LUCKY AGUNG BINARTO..
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggledahan rumah dan atau badan dan atau penggledahan pakaian menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dengan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dimana patut dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara layak dan dalam waktu yang singkat (Pasal 32-34 KUHAP).
d. Penyitaan
Pasal 1 butir (16) KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan. Seperti halnya penggledahan rumah maka penyitaan rumah harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun apabila tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang sebagai barang bukti tanpa perlu surat ijin dari Ketua Pengadilan.
4. HubunganPenyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
KUHAP mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instansional di dalam pelaksanaan penyidikan, yaitu hubungan antara penyidik Polri dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu, antara lain tentang :
1) Koordinasi dan pengawasan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP)
2) Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan (Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP ).
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi differensiasi fungsionalpun, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Namun demikian agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan adalah penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah pengawasan penyidik Polri.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP). Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil itu diketemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP). Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP). Penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan pegawai negeri sipil yang dianggap belum sempurna, untuk diperbaiki seperlunya.
B. Manajemen PPNS Keimigrasian
Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Imigrasi berada dibawah Koordinasi Polisi Negara Republik Indonesia yang akan memberikan bantuan dalam proses penyidikannya. Fungsi penyidik dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan
M Alvi Syahrin, ‘Penerapan Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian’, Seminar Hukum Nasional, 2018, 25–48..
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal14 . Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Imigrasi berada dibawah Koordinasi Polisi Negara Republik Indonesia yang akan memberikan bantuan dalam proses penyidikannya. Fungsi penyidik dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Sebagai bagian dari institusi penegak hukum, maka dasar pegawai negeri sipil untuk menjadi penyidik pegawai negeri sipil harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia nomor: M-05.PW.07.03 Tahun 1984 tentang pengusulan Pengangkatan dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 yaitu:
a. Pegawai negeri sipil berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda tingkat I (golongan II/b) yang bertugas dalam bidang penyidikan sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
b. Berpendidikan serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas atau berpendidikan khusus dibidang penyidikan atau khusus dibidang tehnis operasional atau berpengalaman minimal 2 (dua) tahun pada bidang tehnis operasional.
Dalam pengangkatan tersebut diutamakan bagai pegawai negeri sipil yang mengikuti pendidikan khusus dibidang penyidikan. c. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai negeri sipil (DP3) untuk selama 2 (dua) tahun berturut-turut harus terisi dengan nilai baik dan berbadan sehat yang dinyatakan dengan keterangan dokter.
Setelah pegawai negeri sipil tersebut diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil ditugaskan untuk mengakkan peraturan-peraturan hukum pidana yang mencakup
S.H FEBMI RIRIN CIKPRATIWI, ‘KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) IMIGRASI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN VISA SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN FUNGSI KEAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN’, 2017.:
a. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organorgan yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana; norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma hukum penitensier atau lebih luas yaitu hukum tentang sanksi dan aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. Dengan begitu, hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dan melindungi masyarakat hukum.
Proses penyidikan dugaan tindak pidana keimigrasian merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mncari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang duagaan tindak pidana keimigrasian yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
C. Alat Bukti Keimigrasian
Pembuktian merupakan proses yang yang sangat penting dalam persidangan untuk mengetahui kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh para pihak dalam persidangan. Kebenaran dari suatu peristiwa ini hanya dapat diperoleh melalui pembuktian.Untuk dapat menjatuhkan putusan yang adil, hakim harus mengenal peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya. Sebaiknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, yang sesuai dengan Pasal 193 (1) KUHAP yang berbunyi: jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bermasah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh kerena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai serta mempertimbangkan nilai pembuktian.Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti ynang dapat digunakan berdasarkan pasal tersebut diantaranya :
1. keterangan saksi
2. keterangan ahli
3. surat petunjuk
4. surat bukti
5. keterangan terdakwa
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 108 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian berupa:
Dwi Dharma, ‘Alat Bukti Keimigrasian’, Lex Crimen, IV (2015).
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu; dan
c. keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang.
D. KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Dalam pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian diperlukan alat bukti guna proses pemberkasan serta mendukung penilaian hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang melakukan pelanggaran tindak pidana Keimigrasian. Dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian telah disebutkan bahwa terdapat alat bukti di luar KUHAP terkait dengan suatu alat bukti informasi elektronik yang tercantum dalam undangundang Keimigrasian yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu
‘Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian’, 2011.. Secara eksplisit, KUHAP memang tidak mengatur alat bukti informasi elektronik. Dasar hukum penggunaan alat bukti informasi elektronik di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Terdapat korelasi antara alat bukti yang terdapat dalam Pasal 108 huruf (b) UU Keimigrasian dengan alat bukti Pasal 5 UU ITE. Lebih lanjut mengenai korelasi alat bukti informasi elektronik dalam UU Keimigrasian ini diatur dalam Pasal 5 UU ITE, yaitu
Budy Mulyawan, ‘PIDANA KEIMIGRASIAN ( The Power of Electronic Information as Evidence in The Investigation of Immigration-Related Crimes )’, 2018, 107–18. :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku untuk:
i. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
ii. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 5 ini dicantumkan dalam Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut :
(1) Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
(2) Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(3) Cukup jelas.
(4) Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
(5) Huruf b
Cukup jelas.
Dalam menjabarkan kedudukan alat bukti informasi elektronik yang serupa dengan bunyi pasal dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, berdasarkan Pasal 5 Undang-undang ITE terdapat beberapa peraturan perundang-undangan hukum pidana yang menerangkan tentang alat bukti informasi elektronik, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 108 huruf (b) UU Keimigrasian menyebutkan bahwa alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu. Penjelasan lebih lanjut mengenai informasi elektronik tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE yang menyebutkan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Apabila kita hubungkan pasal 108 huruf (b) tersebut dengan Pasal 5 UU ITE, di dalamnya tidak hanya terdapat informasi elektronik saja, melainkan juga dokumen elektronik. Yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE.
Kedudukan alat bukti Pasal 108 huruf (b) dalam pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian tersebut dianggap sama dengan alat bukti KUHAP yang lain. Karena di dalam KUHAP sendiri tidak ada tingkatan/hierarki manakah alat bukti yang seharusnya diajukan terlebih dahulu. Kedudukan alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP. Arti perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya sebagai berikut:
1. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti informasi elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP,
2. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat dan petunjuk yang diatur dalam KUHAP.
Dari perluasan alat bukti yang dimaksud di atas terlihat jelas terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pada pandangan yang pertama bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri. Alat bukti informasi elektronik tersebut terpisah dari alat bukti sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP. Pengaturannya dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sedangkan pada pandangan yang kedua dapat diketahui bahwa alat bukti informasi elektronik tersebut masuk ke dalam pengkategorian bukti yang sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri. Seperti contohnya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan mengingat dokumen elektronik merupakan bagian dari dokumen perusahaan dan dokumen perusahaan dimaksud merupakan bagian dari alat bukti surat. Kemudian dalam Undangundang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa alat bukti informasi elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah berupa petunjuk sebagaimana telah diterangkan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Selanjutnya alasan mengapa alat bukti informasi elektronik tidak bisa dijadikan sebagai perluasan sumber perolehan alat bukti petunjuk karena mengingat untuk keberadaan alat bukti petunjuk itu digunakan setelah menghadirkan alat bukti lain. Padahal alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik untuk beberapa kasus pidana bisa menjadi alat bukti utama dan pertama dalam pembuktian tindak pidana, seperti tindak pidana Keimigrasian.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran undang-undang keimigrasian yang dilakukan oleh PPNS Keimigrasian dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur KUHAP, dengan berbagai pengecualian sebagaimana yang diatur secara khusus oleh undang-undang keimigrasian. Berdasarkan hasil penegakan hukum terhadap pelanggaran undang-undang keimigrasian oleh PPNS Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, diketahui bahwa sebagian besar pelaku pelanggaran undangundang keimigrasian dikenakan sanksi yang bersifat tindakan administratif oleh Pejabat Keimigrasian. Pelaku pelanggaran undang-undang keimigrasian yang diperiksa dan dijatuhi pidana oleh pengadilan, jumlahnya sangat sedikit. Pejabat keimigrasian mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk menentukan apakah seorang warga negara sing yang melakukan pelanggaran keimigrasian akan dijatuhi sanksi berupa tindakan administratif atau tidak.
2. Alat bukti informasi elektronik baik berupa informasi elektronik maupun dokumen elektronik saat ini merupakan suatu kebutuhan untuk mengungkap tindak pidana yang dipersidangkan di pengadilan, terutama yang sulit pembuktiannya dan atau masih tidak cukup meyakinkan alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP. KUHAP tidak mencantumkan tentang bukti elektronik namun hakim bisa menggunakan bukti elektronik ini sebagai alat bukti yang menambah alat bukti lain diluar KUHAP.
Saran
Diharapkan agar pihak imigrasi melakukan joint invertigation dengan Polri guna tercapainya penegakan hukum keimigrasian yang lebih optimal. Sehingga menimbulkan lagi kepercayaan masyarakat kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Imigrasi dalam melindungi kedaulatan Negara serta upaya dalam penanggulangan kejahatan di bidang keimigrasian.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Dwi, ‘Alat Bukti Keimigrasian’, Lex Crimen, IV (2015)
FEBMI RIRIN CIKPRATIWI, S.H, ‘KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) IMIGRASI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN VISA SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN FUNGSI KEAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN’, 2017
LUCKY AGUNG BINARTO, ‘PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN’, 2006
Mulyawan, Budy, ‘PIDANA KEIMIGRASIAN ( The Power of Electronic Information as Evidence in The Investigation of Immigration-Related Crimes )’, 2018, 107–18
Syahrin, M. Alvi, ‘Penerapan Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian’, Seminar Hukum Nasional, Vol 4 No 1 (2018) <https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh/article/view/25555>
Syahrin, M Alvi, ‘Penerapan Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian’, Seminar Hukum Nasional, 2018, 25–48
‘Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian’, 2011
M. Alvi Syahrin, Menakar Kedaulatan Negara dalam Perspektif Keimigrasian, Jurnal Penelitian Hukum De Jure.
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/331
https://scholar.google.com/citations?user=9ASRg2oAAAAJ&hl=en&oi=ao
M. Alvi Syahrin, The Implementation of Non-Refoulement Principle to the Asylum Seekers and Refugees in Indonesia, Sriwijaya Law Review.
http://journal.fh.unsri.ac.id/index.php/sriwijayalawreview/article/view/41
https://scholar.google.com/citations?user=9ASRg2oAAAAJ&hl=en&oi=ao
M. Alvi Syahrin, Legal Impacts of The Existence of Refugees and Asylum Seekers in Indonesia, International Journal of Civil Engineering and Technology.
http://www.iaeme.com/MasterAdmin/UploadFolder/IJCIET_09_05_117/IJCIET_09_05_117.pdf
https://scholar.google.com/citations?user=9ASRg2oAAAAJ&hl=en&oi=ao