Academia.eduAcademia.edu

PARLUHUTAN - TAFSIR AHMAD KHAN.pdf

Penelitian ini dilakukan terhadap buku tafsir karya Ahmad Khan merupakan tafsir yang sedang dirintis, belum sempurna dan belum selesai. Ahmad Khan keluar dari tradisi ulama tafsir yang lazim mencari makna leksikal teks dan kemudian ia menerapkan metode tafsir kontekstual adalah suatu tindakan yang sangat luar biasa di zamannya. Buku Tafsir Alquran yang dihasilkan oleh Ahmad Khan tidak sekedar tafsir modern, seperti yang dijuluki oleh banyak ahli, melainkan merupakan suatu kitab tafsir hermeneutik. Walaupun belakangan ini muncul pemikiran para penafsir liberal yang dinilai cukup berani, namun buku tafsir Ahmad Khan belum dapat ditandingi, paling tidak belum dapat dikalahkan kehebatannya. Pikiran-pikiran genial dalam buku tafsir Ahmad Khan luar biasa, seperti baru saja ditulis dan mengikuti perkembangan pemikiran kaum liberal hari ini. Penting dilakukan penelitian terhadap karya Ahmad Khan, seorang pembaru abad 19 di Anak-benua India.

Jurnal Ibn Abbas PERSPEKTIF SAINSTIFIK DALAM PENAFSIRAN ALQURAN: STUDI ANALISIS TAFSIR AL-QUR'AN WA AL-HUDÂ WA AL-FURQÂN KARYA SYED AHMAD KHAN Oleh: Parluhutan Siregar Abstrak Penelitian ini dilakukan terhadap buku tafsir karya Ahmad Khan merupakan tafsir yang sedang dirintis, belum sempurna dan belum selesai. Ahmad Khan keluar dari tradisi ulama tafsir yang lazim mencari makna leksikal teks dan kemudian ia menerapkan metode tafsir kontekstual adalah suatu tindakan yang sangat luar biasa di zamannya. Buku Tafsir Alquran yang dihasilkan oleh Ahmad Khan tidak sekedar tafsir modern, seperti yang dijuluki oleh banyak ahli, melainkan merupakan suatu kitab tafsir hermeneutik. Walaupun belakangan ini muncul pemikiran para penafsir liberal yang dinilai cukup berani, namun buku tafsir Ahmad Khan belum dapat ditandingi, paling tidak belum dapat dikalahkan kehebatannya. Pikiran-pikiran genial dalam buku tafsir Ahmad Khan luar biasa, seperti baru saja ditulis dan mengikuti perkembangan pemikiran kaum liberal hari ini. Penting dilakukan penelitian terhadap karya Ahmad Khan, seorang pembaru abad 19 di Anak-benua India. Abstrac This research was carried out on the interpretation book by Ahmad Khan which is an interpretation that is being pioneered, not yet perfect and not yet finished. Ahmad Khan came out of the tradition of interpreting scholars who commonly sought the lexical meaning of the text and then he applied the method of contextual interpretation is a very extraordinary action in his day. The book Tafsir Alquran produced by Ahmad Khan is not just a modern interpretation, as it is dubbed by many experts, but is a book of hermeneutic interpretation. Even though lately the thoughts of liberal interpreters have emerged which are considered quite brave, but Ahmad Khan's interpretation book cannot be matched yet, at least it cannot be defeated. Genial thoughts in Ahmad Khan's commentary book are extraordinary, as they have just been written and follow the development of liberal thinking today. It is important to do research on the work of Ahmad Khan, a 19th century reformer in the Indian subcontinent. Kata Kunci: Syed Ahmad Khan, tafsir modern, kontekstual A. Pendahuluan Syed Ahmad Khan (1817-1898) adalah seorang pembaru di Anak-benua India. Pembaruan Khan meliputi banyak aspek, terutama di bidang politik, sosial, 1 Jurnal Ibn Abbas pendidikan, dan pemikiran keagamaan. Karena pemikiran dan usaha-usahanya, Khan dijuluki Bapak Pembaruan Islam India dan Bapak Tafsir Modernis. Pemikiran keagamaan Ahmad Khan didasarkan pada prinsip-prinsip pengetahuan modern. Pengetahuan modern tersebut digunakan untuk menafsirkan kembali ajaran Islam dan memahami konsep Alquran. Dengan kesungguhan yang luar biasa, ia berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan perkembangan kontemporer, dan mempublikasikannya melalui media massa dan pendidikan. Karena kepiawaian, keberanian, konsistensi dan ketegasannnya melakukan pembaruan, Khan semakin dikenal sebagai tokoh yang sempurna bagi upaya modernisasi. Kebesarannya tidak hanya terekam dari pemikiran dan gerakannya yang unik dan luar biasa, tetapi juga dari kemampuannya mendorong dan menyumbangkan kemajuan bagi masyarakat. Mengingat peranan Ahmad Khan yang besar dalam usaha pembaruan, pembahasan mengenai penafsiran Alquran menjadi semakin penting dikaji ulang. Aspek-aspek yang perlu diungkap tersimpul pada tiga pertanyaan berikut; “Bagaimana cara-cara penafsiran Alquran dengan memanfaatkan sains modern dilihat dari kacamata hermeneutik”? B. Mengenal Syed Ahmad Khan Ahmad Khan lahir pada tahun 1817 di Delhi. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Dari pihak ayah, Muhammad Muttaqy, keluarga Khan masih memiliki hubungan geneologis dengan Husein –cucu Nabi Muhammad. Moyangnya berasal dari Iran yang pindah ke Delhi pada masa pemerintahan Akbar Syah. Atas dasar hubungan geneologis ini keluarga Ahmad Khan digelari “Sayyid”.1 Ahmad Khan dapat disebut seorang otodidak, karena tidak ada satu jenis pendidikan formal pun yang benar-benar diselesaikannya. Pengetahuan agama tradisional, seperti Alquran, Bahasa Arab dan Parsi, yang dipelajari dari ibunya Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadis, (Qohiroh: Maktabah alNahdhah al-Mishriyyah, 1979), h. 133. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: University Press, 1995), p. 57. 1 2 Jurnal Ibn Abbas dan Syekh Ghulam Ali, seorang pemimpin tarikat mujaddidi yang cukup disegani, tidak sampai pada tingkat mahir. Ia beralih ke pengetahuan umum, seperti matematika dan astronomi, tetapi juga tidak ditekuni secara intensif dan hanya berlangsung beberapa waktu. 2 Pengetahuan lain diperoleh Khan ketika bekerja sebagai pegawai pemerintah. Selama 8 tahun di Delhi, Khan banyak bergaul dengan para pemuka Muslim India, seperti Ghalib (sasterawan), Maulvi Wilayat Ali, Maulvi Inayat Ali dan Maulvi Abdullah (para pembaru, pengikut Syah Waliyullah), Nawab Ahmad Baksh dan Nawab Aminuddin (negarawan), Mahmud Khan (hakim) serta Nawab Mushthafa Khan (ilmuwan) 3 . Pergaulan ini menumbuhkan kesadaran baru bagi Khan atas keterbatasan ilmunya, sehingga ia merasa perlu menyempurnakannya. Dari kesadaran itu, Khan semakin mencintai pengetahuan dan terus belajar, sampai ia berhasil menyelesaikan studi otodidaknya dan sekaligus mengangkat posisinya menjadi seorang intelektual. Pada tahun 1869 Ahmad Khan mendapat kesempatan berkunjung ke Inggris4. Kunjungan sekitar 17 bulan tersebut ternyata cukup banyak membentuk pemikirannya. Berbabagai kemajuan yang dilihat Ahmad Khan di negara Inggris membuka mata dan hatinya atas kondisi sumber daya manusia di negerinya yang berada jauh di bawah bangsa Eropa. Kesadaran itulah yang mendorong Khan mengambil keputusan untuk melakukan moderniasasi di India. 5 Keputusan ini membentuk gagasan dan aktifitasnya pada masa-masa selanjutnya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1898. John L. Esposito, The Oxford…., p. 57. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1995), h. 56-57. 4 Menurut Abul Hasan al-Nadwi, kunjungan Ahmad Khan ke Inggris ini sampai ke Prancis serta bersama Ferdinand De Lesseps melakukan perjalanan ke Terusan Suez. Pada saat ini pula pemerintah Inggris memberikan gelar C.S.I (Sir) kepada Ahmad Khan. Lihat Ali Nadwi, Western Civilization Islam and Muslim, terjemahan Inggris oleh Mohammad Asif Kidwal, (Lucknow: Academy of Islamic Research and Publications, edisi ke-3, 1978), h. 68-69. 5 W. C. Smith, Modern Islam in Idia: A Social Analysis, (New Delhi: Usha Publications, 1979), p. 11. 2 3 3 Jurnal Ibn Abbas C. Pembaruan Ahmad Khan Setidaknya ada tiga tahapan penting --dalam perjalanan hidup Ahmad Khan-- yang dapat digunakan untuk menganalisis corak pemikirannya dalam pembaruan. Ketiga tahapan dimaksud adalah periode sebelum peristiwa mutiny6, periode pasca mutiny, dan periode setelah kunjungan ke Inggris. Sebelum mutiny (revolusi) tahun 1857, pemikiran dan kegiatan Ahmad Khan masih menggambarkan corak ketimuran dan belum terpengaruh oleh pemikiran dan budaya Barat modern. Tulisan-tulisannya pada waktu itu lebih menonjolkan bidang sastera atau sains-sains Islam abad pertengahan. Gagasangagasan keagamaan yang ditawarkan juga lebih menonjolkan upaya-upaya pemurnian agama, yang lebih-kurang sejalan dengan pandangan kaum Wahhabi.7Pasca mutiny, Ahmad Khan mulai memperlihatkan corak pemikiran dan sikap berbeda dari mainstrem ulama dengan memperkenalkan ilmu-ilmu modern; suatu pengetahuan yang masih dianggap “merusak”8 oleh kaum ulama konservatif. Periode ketiga ditandai dengan kesungguhan Ahmad Khan untuk memodernisasi pemahaman ajaran Islam dengan menggunakan pendekatan rasional dan empiris. D. Paradigma dan Metode Penafsiran Alquran Buku tafsir Ahmad Khan yang berjudul Tafsir Al-Qur'an wa al-Hudâ wa alFurqân ditulis setahun setelah didirikannya Aligarh College. Pada dasarnya, Ahmad Khan tidak secara khusus mempersiapkan sebuah kitab tafsir yang lengkap, melainkan hanya memilih beberapa tema yang berkaitan dengan 6 Peristiwa mutiny (pemberontakan Sepoy) pada 1857 merupakan masa kritis yang membawa perubahan besar bagi jalan hidup Ahmad Khan. Pada saat pemberontakan terjadi, Khan dengan tegas mengecam para pemeberontak dan ia bertindak sebagai pelindung orang-orang Inggris. Lebih jauh, Khan berusaha untuk meyakinkan pemerintah Inggris ketidakterlibatan umat Islam dalam gerakan revolusi, dengan mengungkapkan beberapa nama orang Islam terkemuka yang memihak pada Inggris. Dalam buku “The Causes of the Indian Revoll” (1859), Khan menjelaskan bahwa, jika ada orang-orang Islam yang terlibat dalam pemberontakan, maka hal itu adalah karena kebodohan. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, cet.2, 1995), h. 166-167; A. Mukti Ali, Alam Pikiran…, h. 60-61; Ahmad Amin, Zu’ama…, h. 134; 7 W. C. Smith, Modern Islam… h. 9. 8 Ahmad Amin, Zu’ama…., h. 130. 4 Jurnal Ibn Abbas masalah-masalah yang dianggapnya penting pada masanya. Masalah-masalah dimaksud berkaitan dengan fenomena alam, dan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dasar umat Islam, serta hubungan Muslim-Nonmuslim. Semua tema itu ditulis dalam bentuk esei, kemudian dikoleksi menjadi dua buah buku tafsir Alquran.9 Penulisan tafsir ini diawali dengan sebuah esei mengenai prinsip-prinsip tafsir Alquran berjudul “Tahrir fi Ushul at-Tafsir” (1892). Tulisan ini bermula dari korespondensi Khan dengan Muhsin al-Muluk Mahdi Ali Khan, seorang sahabat dekatnya. Prinsip-prinsip dasar yang ditulis Khan dalam Tahrir dinilai cukup penting dalam memahami argumentasinya menafsir Alquran dengan caracara yang tidak lazim. Paradigma Penafsiran; Ahmad Khan mendasari penafsirannya terhadap Alquran dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam secara mutlak tidak bertentangan dengan hukum alam. Alquran adalah kalam Allah, sedangkan hukum alam adalah hasil perbuatanNya. Atas dasar itu dapat dipastikan bahwa mustahil terjadi pertentangan antara perkataan dan perbuatan-Nya sendiri, 10 atau antara pernyataan Alquran dengan sains modern. 11 Idealnya, alam (empiris), rasio dan Kalam Allah tidak bertentangan satu sama lain, ketiganya seiring dan saling melengkapi untuk memperkaya pengetahuan manusia. Berdasarkan asumsi dasar tersebut, Ahmad Khan meyakini setiap apa saja yang terjadi di alam ini sejatinya dapat dijelaskan berdasarkan hukum kausalitas. Karena itu, dalam menafsir mau tak mau harus menjelaskan isi Alquran secara empiris. Implikasinya, seperti ditulis Khan dalam Tahrir, untuk menafsir Alquran harus menggabungkan dengan teori-teori ilmiah paling mutakhir.12 9 Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan: Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 79. 10 Said, Busthami Muhammad, Mafhum Tajdid al-Din, terjemahan Ibnu Marjan dan Ibadur-rahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernitas dan Tadiduddin, (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995), h. 132. Menurut Rosenthal, dengan mengutip A.H. Albiruni, pemikiran Khan ini menetapkannya sebagai muktazilah modern. Rosenthal, Erwin I.J., Islam in the Modern National State, (London: Cambridge at the University Press, 1966), p. 191 11 Mukti Ali. Alam Pikiran…, h. 90 12 Mukti Ali. Alam Pikiran…, h. 90 Rosenthal, Erwin I.J., Islam in.., p. 345 5 Jurnal Ibn Abbas Metode Penafsiran; Bertolak dari paradigma Ahmad Khan di atas, secara metodologis penafsiran Alquran harus berpegang pada beberapa ketentuan; Pertama, pernyataan Alquran yang menginformasikan peristiwa spritual harus dibedakan pada dua kategori; yang benar-benar faktual terjadi berdasarkan hukum kausalitas dan yang bukan faktual. Menurut Khan, ada di antara informasi yang bersifat supernatural itu hanya terjadi dalam mimpi (bukan fakta), seperti proses kelahiran Nabi Isa. 13 Karena itu betapa pun luar biasanya suatu mimpi tentu bukanlah muzi’jat. Kedua, peristiwa supernatural yang terjadi pada Rasul Allah harus dilihat dari hukum kausalitas. Setiap ayat yang berkaitan dengan alam hendaknya dipahami berdasarkan hukum itu. Cerita tentang Musa dan pengikutnya yang menyeberang lautan, misalnya, adalah hal yang biasa terjadi. Ketika Allah menyuruh Musa dengan kata “an idhrib bi-’asaka al-hajar” adalah suatu perintah untuk berjalan menyeberang lautan yang memang waktu itu airnya dangkal.14 Kaidah dasar yang dipegang Ahmad Khan dalam menafsirkan Alquran adalah pembedaan antara ayat-ayat muhkam dan mutasyabih 15 . Ayat-ayat muhkamat bersifat asasi dan mengandung dasar–dasar aqidah, sedangkan ayatayat mutasyabihat bersifat simbolik dan dapat menerima lebih dari satu makna. Makna ayat-ayat serupa dapat berubah sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia. Kedua, dengan menangkap inti pernyataan wahyu. Ini merupakan satu hal penting, karena ayat Alquran memiliki ide pokok yang menjadi pesan dasar dan memiliki pernyataan tambahan/ sampingan sebagai penjelas yang dapat berupa ungkapan-ungkapan simbolik.16 Bekenaan dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, hal itu penting karena Alquran berbicara tentang alam gaib, yaitu satu alam yang tidak dapat diketahui dengan mudah melalui rasio. Pada konteks serupa lafaz-lafaz simbolik penting 13 Menurut Ahmad Khan, kelahiran Isa bukanlah suatu mukjizat, tetapi suatu kejadian yang wajar saja melalui perkawinan. Adapun berita kelahiran anaknya yang kemudian dijawab Maryam dengan: “Qalat rabbi anna yakunu li waladun walam yamsasny basyar’ terjadi dalam mimpi sebelum ia menikah. Said, Mafhum…, h. 138 14 Ibid. 15 Lihat Q.S. 3:7 16 Said, Mafhum…, h. 133-134 6 Jurnal Ibn Abbas untuk dikedepankan sekedar untuk memudahkan pemahaman melalui contohcontoh atau hal-hal yang mirip dengan apa yang dialami manusia di dunia ini. Jadi pemahaman ayat-ayat Alquran atas dasar makna zahir saja –tanpa menerima adanya ayat-ayat yang bersifat simbolik, sama artinya dengan meniadakan ruh Alquran17. Metode yang digunakan Ahmad Khan dalam penafsiran Alquran adalah metode rasionalistik. Metode ini, menurut Khan, merujuk pada tafsir tradisional yang menerima ta’wil. Maksud metode rasionalistik di sini adalah penentuan makna sutau lafaz Alquran berdasarkan pemahaman akali. Metode ini lebih menempatkan akal sehat dan hukum kausalitas sebagai parameter utama untuk mengukur kebenaran makna suatu ayat. Jika berpegang pada arti leksikal, tetapi tidak sesuai dengan akal sehat atau bertentangan dengan hukum alam, maka makna sebenarnya bukan menurut arti kata itu, melainkan harus dicari makna lain yang masuk akal.18 Dengan metode ini, Khan sering menafsirkan Alquran secara metaforik. E. Unsur Saintifik dalam Penafsiran Ahmad Khan Sisi hermeneutik yang segera tampak dari tafsir Ahmad Khan adalah pada upayanya untuk meniadakan aspek-aspek primitif dari penafsirannya. Sebagai suatu kitab tafsir yang bersemangat untuk menyelaraskan antara pemahaman teksteks Alquran dengan fenomena alam, jelas kali terlihat pada semua tafsir Ahmad Khan untuk merasionalkan makna ayat-ayat Alquran yang bersifat irrasional atau bertendensi primitif. Usaha penafsiran semacam ini, jika diekuevalenkan dengan hermeneutik Schleiermacher, termasuk dalam lingkup “membebaskan tafsir dari dogma” dan upaya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, jelas bahwa tafsir Ahmad Khan dapat dikategorikan tafsir hermeneutik. Hal menarik dari tafsir Ahmad Khan, jika dikaitkan dengan Filsafat Wacana Ricoeur, yang memberi otonomi kepada pembaca, maka pada konteks ini jelas sekali sisi hermeneutik penafsiran Ahmad Khan. Khan sendiri sebagai 17 18 Ibid., h. 169 Ahmad Khan, Priciples of Exegesis, (MSIP), h. 35. 7 Jurnal Ibn Abbas pemberi makna terhadap teks tampak otonom dalam memaknai teks-teks Alquran, sampai keluar jauh dari makna dasarnya. Perlakuan serupa diakui oleh Khan yang tidak sepenuhnya mau menerima makna-makna leksikal yang ditulis dalam kamus-kamus klasik yang merujuk pada bahasa yang digunakan bangsa Arab praIslam. Sehubungan dengan prinsip Khan tersebut, sebagai seorang penafsir yang otonom, Ahmad Khan lebih menekankan penafsirannya pada konteks zaman (khususya perkembangan teori sains) dan dunia sosial di sekitarnya. Jadi bercorak hermeneutik. Sisi hermeneutik penafsiran Ahmad Khan terletak pada pertimbangan kontekstual, seperti yang diteorikan oleh hampir semua ahli metode hermeneutik. Penafsiran berdasarkan konteks ini antara lain adalah pemaknaan terhadap konsep malaikat, syetan, jin, tiupan terompet pada hari berbangkit, dan Jibril atau ruh alamin dan ruh al-quds. Ketika penafsir konsep-konsep tersebut, Khan benar-benar meninggalkan makna lafzi lalu mencoba mensainskan agar dapat diterima secara akal sehat dan selaras dengan fenomena alam. Tampaknya ada dua faktor kontekstual yang mendasari penafsiran hermeneutik Ahmad Khan; Pertama, perkembangan sains modern yang saat itu sangat dikaguminya. Atas dasar perkembangan sains ini, Khan berusaha keras untuk merumuskan ulang penafsiran Alquran agar bersesuaian dengan sains modern tersebut. Kedua, lingkungan sosial-keagamaan yang melingkari kehidupannya, termasuk termasuk teologi yang diyakini oleh penganut agama Hindu dan Kristen. Usaha keras Ahmad Khan untuk menafsir ulang ayat-ayat Alquran yang mengungkap agama lain dapat disebut sebagai faktor kontekstual yang mendasari penafsirannya. Ini tertangkap dari corak penafsirannya yang berorientasi pada upaya mencari titik temu antaragama. Faktor kontekstual lain yang mempengaruhi pola penafsiran Ahmad Khan ajaran teologi Hindu yang mempercayai sejumlah dewa-dewi. Untuk membedakan secara tegas antara teologi Hindu dengan Islam, Khan harus mencari makna konsep malaikat dari perspektif lain, yang dalam pemahaman mayoritas umat Islam, memiliki kemiripan dengan konsep dewa-dewi dalam Hindu. 8 Jurnal Ibn Abbas Berdasarkan kenyataan tersebut, Ahmad Khan telah benar-benar menerapkan metode hermeneutik, walau mungkin metode penafsiran ini belum banyak dikenal waktu itu. Kesimpulan ini berangkat dari cara-cara Ahmad Khan dalam menafsir Alquran yang tidak lagi berdasarkan makna tekstual, melainkan telah menemukan makna terdalam atau nilai dari suatu teks. Cara ini tidak lain adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hermeneutik, di mana nilai yang diungkap tidak berada di belakang teks tapi melanglang ke depan teks. Berangkat dari kenyataan tersebut, sesungguhnya sangat nyata bahwa paradigma penafsiran Alquran oleh Ahmad Khan menggunakan tori-teori sains dan mempertimbangkan konteks sosial dalam upaya menemukan makna teks Alquran. Sepertinya, paradigma saintifik ini digunakan secara intens oleh Ahmad Khan sebagai bagian penting dalam ikhtiarnya menginterpretasi teks-teks Alquran. Sebab Khan selalu berangkat dari berbagai bentuk problematika sains modern, sosio-politik dan budaya yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri khasnya'; khususnya perbedaan agama, kolonialisme, kondisi obyektif aqidah umat Islam, dan keterbelakangan mereka. Paling tidak, Khan telah melakukan interaksi dengan sosial, budaya dan produk intelektual yang dihasilkan Barat yang diimpornya secara terbuka, melalui dialektika yang kritis, intens dan produktif. F. Konten Tafsir Saintifik Ahmad Khan Berdasarkan paradigma dan metode penafsiran yang dikemukakan Ahmad Khan di atas, berikut dikemukakan beberapa contoh penafsiran yang ditulis dalam Tafsir Al-Qur`an wa al-Huda wa al-Furqan. Untuk melihat secara jelas penafsiran Khan yang menyelaraskan antara kandungan Alquran dengan alam empiris, contoh yang dikutip hanya dibatasi pada informasi-informasi Alquran tentang dunia gaib dan eskatologis. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sisi penafsiran hermeneutik akan lebih mudah kelihatan pada tema-tema tersebut. 1. Tafsir tentang Malaikat, Syetan dan Jin; Ketika menafsir ayat Alquran yang berkenaan dengan malaikat dan syetan, Ahmad Khan tidak memahaminya sebagai makhluk yang memiliki entitas 9 Jurnal Ibn Abbas tersendiri. Khan dengan tegas menolak eksistensi faktual malaikat dan syetan, karena keduanya adalah suatu ungkapan simbolis tentang sifat-sifat makhluk ciptaan Allah. Menurut Khan, malaikat adalah dukungan moral dari Allah yang membesarkan hati manusia dalam perjuangannya melawan rintangan-rintangan berat. Sedangkan syetan –yang secara tekstual disebut Alquran berasal dari api, menunjukkan serba nafsu manusia. Jadi, Ahmad Khan menganggap bahwa konsep malaikat dan syetan adalah ungkapan simbolik Alquran berkenaan dengan dorongan kebaikan dan kejahatan yang berada dalam diri manusia.19 Berkenaan dengan jin yang terdapat pada lima tempat dalam Alquran,20 menurut Khan hanyalah suatu informasi mengenai keyakinan orang-orang Arab pra-Islam mengenai adanya makhluk suprahuman. Alquran tidak menyokong keberadaan makhluk tersebut. Di sisi lain, menurut Khan, yang dimaksud dengan jin adalah orang-orang (manusia) biadab yang jauh dari dunia beradab.21 2. Tafsir tentang Kenabian dan pewahyuan; Sejalan dengan tafsir Ahmad Khan terhadap konsep malaikat, menurutnya Jibril yang disebut-sebut sebagai perantara Allah untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi adalah sebuah pernyatan simbolik. Konsep Alquran mengenai “ruh al-amin” atau “ruh al-quds”, sebagai sebutan lain dari Jibril, tidak lain adalah fakultas kenabian yang sudah ada pada diri para nabi. Ketika menafsir QS. Al-Baqarah; 97 dan al-Qiyamah; 17-19, Khan menulis dalam buku tafsirnya, bahwa ayat-ayat ini membuktikan bahwa tidak ada agen perantara antara Tuhan dan Nabi. Tuhan telah memberikan kekuatan kenabian pada hati para nabi selaras dengan fitrah mereka.22 Jadi ruh al-amin dan ruh al-quds 19 Amal,Taufik Adnan, Ahmad Khan…, h. 117. Ayat Alquran berkenaan dengan jin terdapat pada al-An’am; 100, Saba; 41, al_Jinn; 5-6, Fushshilat; 29, dan ash-Shaffat; 158. 21 Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: E. J. Brill, 1968), h. 157. 22 Ahmad Khan, “On the Mode and Nature of Prophet Revelation”, seperti dikutip oleh Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan…, h. 120. 20 10 Jurnal Ibn Abbas (Jibril) ada pada diri nabi sebagai fakultas kenabian yang secara khusus diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu saja. 3. Tafsir tentang Eskatologis; Ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan akhirat (eskatologi) dikelompokkan Ahmad Khan sebagai deskripsi-deskripsi metaforik. Deskripsi tentang kenikmatan yang luar biasa di surga dan kesengsaraan yang dahsyat di neraka tidak bisa dipahami seperti peristiwa alam sekarang. Ayat-ayat semacam itu hanya merupakan suatu dorongan berbuat baik dan pencegahan berbuat jahat.23 Demikian juga dengan deskripsi Alquran tentang tiupan terompet sangkakala, seperti pada QS. al-An’am;73, pernyataan ini merupakan ungkapan metaforis. Ayat tersebut harus dipahami dengan; “pada waktu tertentu di hari hari kebangkitan, sebagaimana telah diterapkan Tuhan dalam hukum alam, seluruhnya akan bangkit.24 Kebangkitan itu sendiri, menurut Khan tidak bersifat fisik (tubuh), melainkan hanya bersifat ruhaniah (immaterial) saja.25 G. Penutup Keberanian Khan untuk keluar dari tradisi ulama tafsir yang lazim mencari makna leksikal teks dan kemudian ia menerapkan metode tafsir kontekstual adalah suatu tindakan yang sangat luar biasa di zamannya. Ternyata, buku Tafsir Alquran yang dihasilkan oleh Ahmad Khan tidak sekedar tafsir modern, seperti yang dijuluki oleh banyak ahli, melainkan merupakan suatu kitab tafsir hermeneutik. Walaupun belakangan ini muncul pemikiran para penafsir liberal yang dinilai cukup berani, namun buku tafsir Ahmad Khan belum dapat ditandingi, paling tidak masih belum dapat dikalahkan kehebatannya. Pikiranpikiran genial dalam buku tafsir Ahmad Khan sungguh luar biasa, seolah baru ditulis kemarin sore mengikuti perkembangan pemikiran kaum liberal hari ini. Itulah Ahmad Khan, seorang pembaru abad 19 di Anak-benua India. 23 Ahmad Khan, Tafsir I, h. 40; dikutip dari Baljon, The Reforms and Religion of Sir Ahmad Khan, (Leiden: E. J. Brill, 1949), h. 56. 24 Ahmad Khan, Tafsir I, h. 55; dikutip dari Baljon, Reforms…, h. 57. 25 Ahmad Khan, Principles …, h. 31. 11 Jurnal Ibn Abbas Sebagai proyek rintisan, tentu buku tafsir Ahmad Khan belum sempurna dan belum selesai. Tidak sempurna, karena pemaknaan teks-teks Alquran yang belum final –yang menurut Khan akan terus berkembang mengikuti perkembangan zamannya, dan belum selesai karena Ahmad Khan baru menafsirkan sebagian kecil teks-teks Alquran. Ini sejatinya menjadi pendorong bagi pemikir muslim kontemporer untuk melanjutkan usaha-usaha Ahmad Khan untuk memproduk tafsir Alquran yang lebih genius dan memberdayakan. [ ] Pustaka Acuan Ahmad Khan, Priciples of Exegesis, (MSIP). Ali, Mukti A., Alam Pokiran Islam Modren di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1995). Al-Nadwi, Ali, Western Civilization. Islam and Muslims, terj, Inggris oleh Mohammad Asif Kidwai, (Lucknow: Academy of Islamic Researd and Publications, 1978). Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan: Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004). Amin, Ahmad, Zu’ama’ al-Ishalah fi al Ashr al-Hadits (Qahirah: Maktabah alNahdhah al-Mishirayyah, 1979). Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: E. J. Brill, 1968). Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word (New York: Oxford University Press, 1995). Rosenthal, Erwin I. J., Islam in the Modren National State (Combride: Combridge University Press, 1965). Busthami, Sa’id Muhammad, Gerakamn Pembaruan Agama: Antara Modarnisme dan Tajdiduddin; Terj. Ibn Marjen dan Ibadurrahman (Bekasi: Wacanalazuardi, 1995), hal. 130. Smith, W.C., Modern Islam in India: A Social Analysis. (New Delhi: Usha Publications, 1979). 12