Academia.eduAcademia.edu

TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/ utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana. [1] Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.[2] Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.[3] Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.[4] Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.[5] Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu : [6] 1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ; 2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ; 5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.[7] Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana. [8] Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat

TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana. [1] Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.[2] Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.[3] Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.[4] Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.[5] Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu : [6] 1.      Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ; 2.      Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana         untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3.      Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ; 4.      Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ; 5.      Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak      untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.[7] Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana. [8] Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).[9] Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu : [10] 1.      Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ; 2.      Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ; 3.      Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ; 4.      Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ; 5.      Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur                 pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.[11] Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : [12] 1.      Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh         melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat; 2.      Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi               penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.[13] Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.[14] Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku. Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.[15] Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). DARTAR PUSTAKA Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010. Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika,, 2009. Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, Bandung, 1992. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005             [1] Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009, Hlm 22.             [2] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, Hlm 105.             [3] Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 24.             [4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 90.             [5] Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.             [6] Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26.             [7] Leden Marpaung, Op. Cit, Hlm 106.             [8] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.             [9] Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26.             [10] Karl O.Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, Ibid.             [11] Leden Marpaung, Op. Cit, Hlm 107.             [12] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm 162-163.             [13] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.             [14] Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.             [15] Ibid. Diposting oleh Rahman Amin di 06:38  Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Sistem Pemidanaan dalam Rancangan UU KUHP 2012 Sistem pemidanaan ditujukan untuk mengambil langkah bagaimana menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang melanggar aturan. Dalam hal pembaharuan hukum pidana, Konsep RUU KUHP 2012 telah merancang mengenai sistem pemidanaan yang sedikit berbeda dari KUHP sekarang.  KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan: mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak¬kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah¬kan martabat manusia. RUU KUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa.  Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RUU KUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RUU KUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif. Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RUU KUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.Dan pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menen¬tukan berat ringannya pidana. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RUU KUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri. Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RUU KUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RUU KUHP menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3)  yaitu:  “mengingat keadaan pribadi dan perbuatan¬nya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati” Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RUU KUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RUUKUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di dalam RUU KUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7) RUU KUHP. KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RUU KUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya. Kapita Selekta Hukum Pidana BAB I : Tentang ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana 1. Menurut waktu Pasal 1 s/d pasal 2 RKUHP mengatur tentang asas legalitas dibandingkan dengan KUHP sekarang, dimana KUHP menganut asas legalitas formil sedangkan RKUHP mengatur dengan adanya keseimbangan antara legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan legalitas formil pasal 1 ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang legalitas formil pada pasal 1 ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP terdapat ketentuan : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan dan Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku. 2. Menurut tempat Pada RKUHP disebutkan dan dijelaskan secara terbuka (jelas) mengenai Tempat pada bagian kedua yang meliputi Asas Wilayah atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif. Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP menambahkan tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP dijelaskan mengenai Waktu Tindak Pidana dan Tempat Tindak Pidana sedangkan hal ini tidak dijelaskan di dalam KUHP. Asas nasional pasif pada RKUHP menambahkan tindak pidana korupsi, pencucian uang, perekonomian, perdagangan, kartu kredit, keamanan peralatan komunikasi elektronik. BAB II: Tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana 1. Tindak Pidana Pada pasal 11 RKUHP dijelaskan secara rinci mengenai apa itu tindak pidana atau pengertiannya dan kriteria mengenai suaatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak ada alasan pembenar. Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga dijelaskan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara harus mempertimbangkan dan mengutamakan keadilan baik ketika adanya pertentangan yang tidak dapat dipertemukan dan hal ini tidak terdapat dalam KUHP, dan hanya merupakan doktrin yang diakui dalam pelaksanaanya. Mengenai Permufakatan Jahat di dalam KUHP sendiri sebenarnya sudah tercantum pada pasal 88 yang berbunyi “dikatakan ada permufakatan jahat apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan suatu kejahatan” namun itu hanya sebatas pengertian. Sedangkan di dalam pasal 13 RKUHP mengatur tentang permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang Undang. Pidananya adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. dalam pasal 14 RKUHP diatur pengecualian yaitu apabila pelaku menarik diri dari kesepakatan itu; atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Di dalam pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I, akan tetapi sebenarnya memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam KUHP pada Buku II pasal 110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada buku I RKUHP. Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana. Pidana untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana tambahan sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. Pengecualian terhadap delik Persiapan terdapat pada pasal 16 RKUHP yang mengatakan bahwa Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut. Percobaan/pogging di dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54 mengenai syarat percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana ( pasal 54 ) namun di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan yang terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu: a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; b. pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut. Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya berupa pidana denda kategori I ( Rp 6.000.000,00 ), seperti yang tercantum di dalam pasal 22 ayat (3) RKUHP. Pengecualian terhadap delik penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP yang berbunnyi sebagai berikut : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau membe¬ratkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan. Pengulangan diatur didalam Buku I RKUHP pasal 24 yang berbunyi : Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak: a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa. Di dalam kuhp sudah diatur mengenai pengulangan tindak pidana atau recidive namun diatur dalam buku II ( tentang kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Di dalam KUHP memang mengatur tentang mengajukan dan menarik kembali suatu pengaduan yang terdapat pada pasal 72-75, akan tetapi RKUHP menjelaskan lebih terbuka mengenai delik aduan yang terdapat pada pasal 25. Serta pasal 30 ayat (2) RKUHP yang mengatakan bahwa pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. Di dalam KUHP pada buku I pasal 44-52a tentang Alasan penghapus pidana, pengurangan dan pemberatan dijadikan dalam satu bab yang juga meliputi alasan pembenar dan pemaaf. Akan tetapi dalam RKUHP alasan pembenar dan alasan pemaaf ditempatkan pada sub bab yang berbeda, dimana alasan pembenar terdapat pada sub bab tindak pidana, sedangkan alasan pemaaf ada pada sub bab pertanggungjawaban pidana. Hal ini menegaskan bahwa alasan pembenar dan alasan pemaaf dijelaskan secara terpisah. Bab tentang kesalahan sama sekali tidak terdapat/tercantum serta dijelaskan di dalam KUHP, namun di dalam RKUHP pasal 37 ayat (1) dan (2) mengatur tentang asas kesalahan itu sendiri dan unsur dari kesalahan (kessalahan dalam arti normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu menekankan bahwa pada prinsipnya bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Oleh karena itu apabila bentuk-bentuk kesalahan seperti dolus/culpa ( kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka seseorang tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam KUHP tidak mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan mengenai Strict Liability dan Vicarious Liabilty. Strict Liability adalah dapat dipidananya seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya ( actus non facit reum men sit rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu pertanggungjawaban pengganti, dimana seseorang ada hubungan khusus, yang akan mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di dalam pasal 38 ayat (1) dan (2). RKUHP pasal 39 ayat 1-3 mengatur tentang kesengajaan dan kealpaan sedangkan di dalam KUHP tidak dijelaskan secara rinci mengenai kesengajaan dan kealpaan. Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai adanya suatu alasan pemaaf namun di RKUHP mengatur tentang ketentuan tersebut yang tertuang dalam pasal 42 ayat (1) dan (2) RKUHP, yang mengatur bahwa tidak dipidana, jika seseorang tidak menge¬tahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Namun apabila patut dipersalahkan atau dipidana maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan. KUHP sebenarnya sudah mengatur yang namanya Daya Paksa/Overmacht, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai jenis-jenis dari overmacht (vis absoluta dan vis compusiva). Sedangkan di RKUHP jenis-jenis overmacht dijelaskan yang dituangkan di dalam pasal 43 RKUHP, sebagai berikut : a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Via Absoluta) ; atau b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari (Via Compulsiva/Daya Paksa Relatif) RKUHP juga menjelaskan apa saja yang termasuk dari Alasan Pemaaf yang terdapat dalam pasal 46 RKUHP, sebgai berikut : a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1). KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana namun RKUHP mengatur tentang itu yang mana tertuang di dalam pasal 47-53 RKUHP. Pasal 47 mengatur bahwa Korporasi merupakan subjek hukum pidana, Pasal 48 dan 49 mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal 50 mengatur ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh korporasi, Pasal 51 mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus korporasi. Pasal 52 mengatur tentang pengesampingan hukum pidana (ultimum remidium) apabila telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna. Dan pertimbangan tersebut harus dinyatakan oleh putusan hakim. Pasal 53 mengatur mengenai tata cara mengajukan alasan pemaaf dan pembenar yang dapat diajukan oleh korporasi. BAB III mengenai Pemidanaan,Pidana, dan Tindakan KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak¬kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah¬kan martabat manusia. RKUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan sebagai berikut : a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau ¬ke¬luarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang ¬dilakukan. l. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau kea¬daan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak 56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan penyesuaian pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu remisi. Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif. Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal 61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan ( penintensier ). RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP. Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RKUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Dan pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menen¬tukan berat ringannya pidana. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri. Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia. KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu: mengingat keadaan pribadi dan perbuatan¬nya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. kategori I Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7) RKUHP. Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87 RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada hal-hal yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Pada pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi. Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RKUHP. Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP. KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RKUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya. Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 115 RKUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan. Pasal 116 mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan; atau pidana teguran keras; b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan di luar lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal 120); atau pidana pengawasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ; c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana penjara (diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal 127). Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan barang barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat. Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136 RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan pidana dan hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang dapat dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi: a. percobaan melakukan tindak pidana; b. pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut : a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; h. pengulangan tindak pidana; atau i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. . Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai berikut : (1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga). (2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Perihal perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71. Akan tetapi ada hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang mengatur tentang, yaitu lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun. BAB IV: Tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana Mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 76 ( mengatur tentang nebis in idem ), pasal 77 (matinya terdakwa), pasal 78 ( Daluwarsa ). Akan tetapi pada RKUHP terdapat hal baru mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana yaitu pada pasal 145: a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada ) b. terdakwa meninggal dunia; ( sudah ada ) c. daluwarsa; ( sudah ada ) d. penyelesaian di luar proses; e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; g. Presiden memberi amnesti atau abolisi; h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian; i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung. Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa sudah diatur pada KUHP pasal 78 tapi ada hal baru yang tecantum pada pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa yaitu sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Kewenangan gugurnya pelaksanaan pidana diatur dalam pasal 153 RKUHP, sedangkan di dalam KUHP hanya mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana pada pasal 84 dan 85. Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika: a. terpidana meninggal dunia; b. daluwarsa eksekusi; c. terpidana mendapat grasi dan amnesti; d. rehabilitasi; atau e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain. Pasal 154 mengatur tentang perampasan barang apabila terpidana meninggal. Hal ini tidak diatur dalam KUHP. KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana yang dijelaskan pada pasal 84 ayat (1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang terpapar pada pasal 155 RKUHP ayat (1) dan (4). Yaitu : Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) maka kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai¬mana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Bab V : Mengatur tentang Pengertian Istilah Dalam RKUHP lebih banyak istilah baru yang dimasukkan dibanding dengan KUHP yang relatif sedikit pengertian istilah yang digunakan. Pasal 158 RKUHP mengatur tentang pengertian anak kunci, sebenarnya sudah diatur pada pasal 100 KUHP tapi hal itu mengenai penjelasannya. yaitu: “Anak kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.” Pasal 160 RKUHP mengatur tentang ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan ra¬sa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.” Pasal 162 RKUHP mengatur istilah awak pesawat udara, yaitu : “Awak pesawat udara adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.” Pasal 165 mengatur definisi barang : “Barang adalah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud, termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer. “ Pasal 166 RKUHP yang mengatur tentang benda cagar budaya : Benda cagar budaya adalah: a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pasal 170 RKUHP mengatur tentang data komputer “Data komputer adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu.” Pasal 172 RKUHP mengatur tentang harta kekayaan : “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.” “Pasal 173 RKUHP mengatur tentang informasi elektronik : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.” Pasal 174 mengatur tentang jaringan telepon, yaitu Jaringan telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. Pasal 175 RKUHP mengatur tentang definisi kapal yaitu kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Pasal 177 RKUHP, menjelaskan tentang kapten pilot : Kapten pilot adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya. Pasal 178 RKUHP mengatur tentang kekerasan : Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Pasal 180 RKUHP mengatur tentang kode akses : Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya. Pasal 181 RKUHP mengatur tentang definisi komputer : Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan. Pasal 182 RKUHP mengatur mengenai korporasi : Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 186 RKUHP mengatur tentang masuk atau log in yang artinya masuk yaitu termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. Pasal 190 mengatur tentang defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh KUHP pada padal 92 KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih rinci. “Pejabat adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi: pegawai negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik; pejabat daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyatakat; pejabat publik asing; atau pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 192 RKUHP mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup: Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pasal 196 RKUHP mengatur tentang penyedia jasa keuangan yaitu: Penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. Pasal 198 RKUHP mengatur tentang perbuatan. Perbuatan adalah termasuk juga perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Pasal 199 mengatur tentang permainan judi adalah : Permainan judi adalah: a.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung untungan belaka; b.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertam¬bah besar, karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil perlombaan atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut bermain; atau d. pertaruhan lainnya. Pasal 200 RKUHP mengatur tentang perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Pasal 203 RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pasal 204 mengatur tentang ruang: Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu. Pasal 205 RKUHP mengatur tentang definisi setiap orang : Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. Pasal 206 RKUHP mengatur tentang sistem komputer yaitu Sistem komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik. Pasal 207 RKUHP mengatur tentang surat yaitu Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain. Pasal 209 RKUHP mengatur tentang pengertian tindak pidana: Tindak pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang undangan. Iklan Report this ad Report this ad BAGIKAN INI: Twitter Facebook Google