MAKALAH
PERKEMBANGAN STATUS GIZI BAYI-BALITA
DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Gizi
Dosen :
Dra. Riszqie Aulia M. Kes
Disusun oleh:
Mafaza Nur A. 17511241005
Balqis Salitsa Yasmin 17511241010
Aji Nugroho 17511241024
Lutfi Cahyaningsih 17511241039
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BOGA
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK BOGA DAN BUSANA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Gizi tentang Perkembangan Status Gizi Bayi-Balita Di Indonesia
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan penulis makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan tangan terbuka menerima masukan,saran,dan usulan guna penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Yogyakarta , 02 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Stunting 3
B. Pentingnya Pemberian ASI Terhadap Gizi Bayi-Balita 6
C. Status Perkembangan Gizi Bayi – balita Terkait Pemberian ASI di Indonesia 6
D. Upaya Pemerintah dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita 8
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di negara berkembang, kesakitan dan kematian pada anak balita banyak dipengaruhi oleh status gizi (Supariasa, 2001). Status gizi balita perlu dipertahankan dalam status gizi baik, dengan cara memberikan makanan bergizi seimbang yang sangat penting untuk pertumbuhan (Paath, 2004).
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, salah satunya yaitu mengenai persoalan Balita Pendek (stunting). Stunting dapat di diagnosis melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000).
Secara umum gizi buruk disebabkan karena asupan makanan yang tidak mencukupi dan penyakit infeksi. Terdapat dua kelompok utama zat gizi yaitu zat gizi makro dan zat gizi mikro (Admin, 2008). Zat gizi makro merupakan zat gizi yang menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk di dalamnya adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan zat gizi mikro merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh lainnya, misalnya dalam memproduksi sel darah merah, tubuh memerlukan zat besi. Termasuk di dalamnya adalah vitamin dan mineral.
Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007). Hasil Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi kependekan pada anak umur 2-5 tahun di Indonesia adalah 35,6 % yang terdiri dari 15,1 % sangat pendek dan 20 % pendek.
Rumusan Masalah
Apa pengertian stunting ?
Apa pentingnya pemberian ASI terhadap gizi bayi-balita?
Bagaimana status perkembangan gizi bayi-balita terkait pemberian ASI di Indonesia ?
Apa saja upaya pemerintah dalam peningkatan gizi bayi – balita ?
Tujuan
Mengetahui stunting dan faktor penyebab stunting.
Mengetahui dan memahami pentingnya pemberian ASI pada bayi-balita terhadap gizi bayi-balita.
Mengetahui status perkembangan gizi bayi-balita terkait pemberian ASI di Indonesia.
Mengetahui upaya pemerintah dalam peningkatan gizi bayi – balita.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Balita Pendek (Stunting)
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019). Oleh karenanya Infodatin yang disusun dalam rangka Hari Anak – anak Balita tanggal 8 April ini mengangkat data yang terkait dengan upaya penurunan prevalensi balita pendek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.
Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan.
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Upaya intervensi tersebut meliputi:
Pada Ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
Pada saat bayi lahir
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif)
Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar lengkap.
Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan Walaupun remaja putri secara eksplisit tidak disebutkan dalam 1.000 HPK, namun status gizi remaja putri atau pra nikah memiliki kontribusi besar pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran, apabila remaja putri menjadi ibu.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.
Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Ada beberapa faktor utama penyebab stunting (UNICEF, 2007) yaitu :
Asupan makan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air)
Asupan ASI ekslusif kurang
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
Riwayat penyakit (UNICEF, 2007).
Pentingnya Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Terhadap Gizi Bayi-Balita
Air Susu Ibu merupakan sumber gizi yang paling sempurna, baik kualitas maupun kuantitasnya dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI bukan sekedar sebagai makanan melainkan juga sebagai suatu cairan yang terdiri dari sel-sel yang hidup (seperti darah). ASI mengandung sel darah putih, antibodi, hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim, serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus. Menggunakan tata laksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan (Roesli, 2005).
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif sejak lahir pada anak akan mempengaruhi masukan zat gizi anak sehingga pertumbuhan anak juga akan berpengaruh. Dengan pemberian MP-ASI (Makanan Pengganti-ASI) dini maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan menurun yang berdampak pada kegagalan pertumbuhan bayi dan anak (Fikawati et al., 2015). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orangtua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada usia emas ini bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010).
Status Perkembangan Gizi Bayi-Balita Terkait Pemberian ASI di Indonesia
Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan serta menghasilkan energi, untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ (Proverawati A, 2009).
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan antara pertumbuhan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal tercapai bila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Salah satu upaya yang ditempuh untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yaitu dengan peningkatan status gizi masyarakat. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, salah satunya pengukuran antropometri (Budiyanto, 2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa, 2001).
Status gizi erat kaitannya dengan pertumbuhan sehingga untuk mengetahui pertumbuhan bayi, perlu memperhatikan status gizinya. Menurut pendapat Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), status gizi Indonesia saat ini lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya cakupan ASI Eksklusif dan menurunnya angka Balita pendek (stunting) di Indonesia.
Pemberian ASI eksklusif untuk bayi yang berusia kurang dari 6 bulan secara global dilaporkan kurang dari 40%. Secara nasional cakupan ASI untuk bayi sampai umur 6 bulan mengalami fluktuasi, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan pada tahun 2002 sebesar 40%, tahun 2007 sebesar 32%, dan tahun 2012 sebesar 42% (Roesli, 2005; Depkes, 2014).
Namun, sekarang dunia kini mengakui bahwa Lancet Breastfeeding Series 2016 menyebutkan ASI Eksklusif kita meningkat dari sebelumnya 38% (Riskesdas, 2013) naik menjadi 65%.
Sementara itu, keberhasilan lainnya adalah Indonesia berhasil menurunkan angka stunting yang sebelumnya mencapai 37,2% (Riskesdas, 2013) menjadi 29,0% berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di 496 Kabupaten/Kota dengan melibatkan 165.000 balita sebagai sampelnya. Hasil ini diperkuat juga dengan data UNICEF yang melakukan intervensi selama tiga tahun sejak 2011-2014 di tiga Kabupaten di Indonesia (Sikka, Jayawijaya, Klaten) dan berhasil menurunkan angka stunting sebesar 6%.
Perlu diketahui, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Anak dengan stunting memiliki kelemahan dan berkorelasi terhadap : IQ yang rendah, tinggi badan dan berat badan tidak sesuai grafik perkembangan, serta rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu, masyarakat utamanya para remaja harus mengerti dan memahami bagaimana merencanakan keluarga, utamanya mengenai nutrisi. Bagaimana kesiapannya untuk menikah, hamil dan memiliki anak, serta bagaimana agar dapat menjaga kecukupan nutrisi anak tersebut dan dirinya sendiri.
Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita
Upaya perbaikan gizi sebaiknya dilakukan melalui pendekatan continuum of care dengan fokus yang diutamakan adalah 1000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa kehamilan sampai anak berumur 2 tahun. Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan suatu program yaitu usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK). Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat .
Ketiga masalah tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Pokok permasalahan yang menyebabkan kurang gizi pada balita adalah kurangnya pemberdayaan wanita dalam keluarga dan kurangnya pemanfaatana sumberdaya masyarakat berkaitan dengan faktor penyebab langsung dan tidak langsung (Azwar A, 2004). Kegiatan pengabdian masyarakat berupa penyuluhan kesehatan tentang KADARZI akan meningkatkan pengetahuan dan peran serta ibu tentang perilaku apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi balitanya. Ibu akan dapat meningkatkan gizi balita dan keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain; memantau berat badan balita secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam, hanya mengkonsumsi garam beryodium, memberikan hanya Asi saja kepada bayi sampai usia 6 bulan, serta mendapatkan dan memberikan makanan tambahan bagi balitanya.
Kegiatan penyuluhan ini juga dilakukan untuk membantu mengatasi masalah gizi makro. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi makro adalah melalui pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi, subsidi loangsung berupa dana untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan pada ibu balita gizi buruk dan ibu hamil yang mengalami kurang gizi kronis (Depkes RI, 2006).
Di samping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi perbaikan pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang. Karena sampai saat ini perilaku ibu dalam menyusui secara eksklusif masih rendah yaitu baru mencapai 39% dari seluruh ibu yang menyusui bayi 0 – 6 bulan. Hal tersebut merupakan penyebab tak langsung dari masalah gizi pada anak balita.
Menurut WHO, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap di rumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang di rawat di rumah sakit, karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan melakukan penatalaksanaan balita gizi buruk di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas. Oleh karena itu Pemerintah membentuk Tim Asuhan Gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dantepat pada kasus gizi buruk baik di tingkat puskesmas maupun di rumah sakit, untuk membantu pemulihan kasus gizi buruk pada anak balita.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus selalu memberikan konseling dan penyuluhan tentang pentingnya pemberian gizi yang tepat sesuai dengan usia dan perkembangannya. Konseling tentang gizi balita bisa dilakukan ketika posyandu diadakan, ketika ibu balita berkunjung ke bidan desa untuk menggunakan KB. Disamping itu hendaknya tenaga kesehatan selalu memberikan penyadaran tentang pentingnya pemberian nutrisi tepat untuk balitanya. Hal itu bisa dilakukan melalui penyuluhan rutin, penyebaran leaflet dan pemasangan spanduk yang berhubungan dengan pemenuhan asupan nutrisi. Kegiatan ini diupayakan dilakukan secara berkala dan terus menerus agar ibu termotivasi untuk memberikan makanan tambahan sesuai dengan kebutuhan dan jadwal pemberian makanan .
Artikel mengenai peningkatan gizi bayi – balita di Indonesia :
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya banyak pekerjaan rumah untuk mengentaskan persoalan kesehatan dan gizi masyarakat. Sebab, persoalan ini akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia.
Dalam puncak peringatan Hari Gizi Nasional ke-55, sejumlah \kementerian dan lembaga pemerintah mulai memetakan persoalan kesehatan dan gizi masyarakat. Sejumlah program klasik seperti imunisasi, gerakan seribu hari kehidupan pertama sampai mendorong ASI ekslusif mulai digeber lagi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2014-2019), sejumlah target ambisius disusun. Di situ, pemerintah menargetkan menekan angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 346 menjadi 306 pada 2019. Lalu, angka kematian bayi per 100 ribu kelahiran dari 32 menjadi 24 pada 2019.
Pemerintah juga punya target menurunkan prevalensi anemia ibu hamil dari 37,1 persen menjadi 28 persen. Sedangkan bayi berat lahir rendah akan ditekan dari 10,2 persen menjadi 8 persen. Kemudian, meningkatkan bayi mendapatkan ASI ekslusif dari 41,5 persen menjadi 60 persen.
“Pemerintah juga berkomitmen menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 19,6 persen menjadi 17 persen pada 2019 mendatang. Mengurangi angka kurus dan sangat kurus pada balita sampai 9,5 persen dari tahun 2014 sebesar 12 persen. Terakhir, menurunkan prevalensi stunting (tubuh pendek) dari 32,9 persen menjadi 28 persen,” kata Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek di Jakarta, awal pekan lalu.
Nila menambahkan, tahun ini pemerintah akan fokus pada penurunan angka stunting, balita kurus, dan gencar sosialisasi ASI ekslusif. “Strategi percepatan perbaikan gizi tahap awal adalah membangun komitmen dan kerjasama antara pemangku kepentingan,” katanya.
Para pemangku kepentingan yang ikut berkontribusi dalam percepatan perbaikan kesehatan dan gizi di antaranya pemerintah daerah sebagai fasilitator. Lalu, dunia usaha untuk mengembangkan nilai nutrisi dalam produk, dan organisasi masyarakat sebagai analisis sekaligus pelaksana di tingkat masyarakat. Sayangnya, kementerian dan lembaga pemerintah selama ini masih berjalan sendiri-sendiri sehingga menghambat percepatan perbaikan kesehatan dan gizi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, penanganan kesehatan dan gizi yang terpisah-pisah jadi persoalan di pemerintahan terdahulu. “Hari ini Pemerintahan Jokowi menginginkan semua lembaga terkait punya satu visi. Sehingga tidak sendiri-sendiri jalannya dan keberlanjutan,” katanya.
Ke depan, seluruh program terkait penanganan kesehatan dan gizi akan berada di bawah koordinasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pendataan termasuk konsep dan anggaran melalui pintu Bappenas.
“Itu yang mengatur dilakukan satu pintu di Bappenas. Kemudian kordinasikan dengan kementerian terkait. Semua program itu berbasis dengan RPJMN,” lanjut Puan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai macam masalah dalam perkembangan gizi seperti stunting atau balita pendek, pemberian ASI, dan berbagai kendala lainnya yang mengancam keselamatan dan kesehatan anak usia bayi dan balita. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya upaya pencegahan dari pemerintah maupun masyarakat seperti pemberian penyuluhan akan pentingnya gizi dan sosialisasi mengenai dampak negatif kurang gizi bagi mmasyarakat.
Saran
Pemerintah perlu gencar dalam melakukan perbaikan gizi pada bayi dan balita
Pemerintah perlu meningkatkan mutu pangan pada masyarakat khusunya bagi bayi dan balita agar berbagai masalah gizi bisa dicegah.
Pemerataan program bulan vitamin A di Puskesmas dan Posyandu di seluruh Indonesia.
Pemberian penyuluhan kesehatan pada masa kehamilan bagi ibu hamil.
Meningkatkan kinerja program gizi dengan memperbaiki manajemen perencanaan, pengadaan, distribusi, dan pengawasan bantuan 20 keranga kebijakan 1000 hari pertama kehidupan suplemen tablet zat besi dan pemeberian makan tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.varia.id/2015/02/11/upaya-pemerintah-percepat-perbaikan-kesehatan-dan-gizi-masyarakat/#ixzz4uUz0Xi00
http://adisubagio92.blogspot.co.id/2015/01/upaya-peningkatan-status-gizi-balita.html
Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI ISSN 2442-7659
3