Jl. H.R. Rasuna Said
Blok X-5 Kav. 4-9
Jakarta
p. 021 5203883
f. 021 5210176
[email protected]
www.gizi.depkes.go.id
Laporan Akuntabilitas Kinerja
Tahun 2015
Direktorat Bina Gizi
Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI
Pendahuluan
Latar Belakang
Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 Bab VIII pasal
141 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan
mutu
gizi
perseorangan
dan
masyarakat,
peningkatan mutu gizi yang dimaksud dilakukan melalui perbaikan
pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, dan
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Amanah tersebut telah
ditindaklanjuti sesuai Peraturan Menteri Kesehatan nomor 23 tahun
2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
Ukuran keberhasilan kinerja Direktorat Bina Gizi dilihat dari
hasil
capaian
dari masing-masing
indikator kegiatan. Proses
evaluasi merupakan penilaian terhadap hasil pencapaian tersebut,
yang dituangkan ke dalam suatu laporan yang disebut Laporan
Akuntabilitas Kinerja (LAK). Penyusunan LAK ini dimaksudkan
sebagai bentuk kewajiban Direktorat Bina Gizi yang sejalan dengan
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, dan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor
53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja,
Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja
Instansi Pemerintah.
Pelaporan kinerja tahun 2015 ini merupakan media untuk
mengkomunikasikan pencapaian kinerja Direktorat Bina Gizi,
kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya serta
mempertanggungjawabkan
tujuan
dan
sasaran
serta
rencana
kinerja yang telah ditetapkan dalam Renstra 2015-2019, Rencana
Kinerja Tahun 2015 dan Penetapan Kinerja Tahun 2015. Selain itu,
pelaporan kinerja tahun 2015 ini merupakan laporan di tahun
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
2
pertama periode Pemerintahan Kabinet Kerja, yang dapat dijadikan
tolak
ukur
dalam
meningkatkan
mendorong
transparansi,
Direktorat
akuntabilitas
Bina
dan
Gizi
dalam
efektifitas
dari
kebijakan dan program serta dapat menjadi masukan dan umpan
balik
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan
dalam
rangka
meningkatkan kinerja organisasi, dan dapat dijadikan lesson learnt
dalam perencanaan kegiatan di tahun selanjutnya.
Maksud dan Tujuan
Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Bina
Gizi merupakan suatu kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan dan kegagalan misi organisasi tahun 2015, dalam
mencapai target dan sasaran program seperti yang tertuang dalam
Renstra,
dan
ditetapkan
dalam
dokumen
penetapan
kinerja
Direktorat Bina Gizi oleh pejabat yang bertanggung jawab.
Tugas Pokok dan Fungsi
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
nomor: 1144/Menkes/PER/XI/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan, bahwa tugas pokok Direktorat Bina
Gizi adalah menyiapkan perumusan dan melaksanakan kebijakan,
dan menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) serta
memberikan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang bina gizi.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Bina Gizi mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. penyiapan perumusan kebijakan teknis di bidang bina gizi makro,
gizi mikro, gizi klinik dan konsumsi makanan, serta kewaspadaan
gizi;
2. pelaksanaan kegiatan di bidang bina gizi makro, gizi mikro, gizi
klinik, dan konsumsi makanan serta kewaspadaan gizi;
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
3
3. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di
bidang bina gizi makro, gizi mikro, gizi klinik, dan konsumsi
makanan serta kewaspadaan gizi;
4. penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang bina gizi makro,
gizi mikro, gizi klinik dan konsumsi makanan serta kewaspadaan
gizi;
5. evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di
bidang bina gizi makro, gizi mikro, gizi klinik dan konsumsi
makanan serta kewaspadaan gizi; dan
6. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
Fungsi tersebut dilaksanakan oleh struktur yang susunannya
adalah sebagai berikut:
a. Direktur Bina Gizi
b. Sub Bagian Tata Usaha
c. Sub Direktorat Bina Gizi Makro
1)
Seksi Standarisasi Bina Gizi Makro
2)
Seksi Bimbingan dan Evaluasi Bina Gizi Makro
d. Sub Direktorat Bina Gizi Mikro
1)
Seksi Standarisasi Bina Gizi Mikro
2)
Seksi Bimbingan dan Evaluasi Bina Gizi Mikro
e. Sub Direktorat Bina Gizi Klinik
1)
Seksi Standarisasi Bina Gizi Klinik
2)
Seksi Bimbingan dan Evaluasi Bina Gizi Klinik
f. Sub Direktorat Bina Konsumsi Makanan
1)
Seksi Standarisasi Bina Konsumsi Makanan
2)
Seksi
Bimbingan
dan
Evaluasi
Bina
Konsumsi
Makanan
g. Sub Direktorat Bina Kewaspadaan Gizi
1)
Seksi Standarisasi Bina Kewaspadaan Gizi
2)
Seksi Bimbingan dan Evaluasi Bina Kewaspadaan Gizi
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
4
Struktur Organisasi
Direktorat Bina Gizi
Tahun 2015
Pada
tanggal
29
September
2015
terbit
Peraturan
Menteri
Kesehatan nomor 64 tahun 2015, tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dalam Permenkes ini,
Direktorat Bina Gizi berubah nama menjadi Direktorat Gizi
Masyarakat, di bawah Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Direktorat Gizi Masyarakat terdiri dari empat sub direktorat yaitu:
a. Sub Direktorat Penanggulangan Masalah Gizi
b. Sub Direktorat Peningkatan Mutu dan Konsumsi Gizi
c. Sub Direktorat Pengelolaan Konsumsi Gizi
d. Sub Direktorat Kewaspadaan Gizi
Struktur organisasi yang baru ini berlaku semenjak keluarnya
Permenkes tersebut di atas. Akan tetapi demi alasan kelancaran
pelaksanaan
kegiatan,
pemberlakuan
struktur
organisasi
ini
diterapkan sejak tanggal 4 Januari 2016.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
5
Sistematika
Sistematika penulisan laporan akuntabilitas kinerja Direktorat
Bina Gizi ini adalah sebagai berikut:
1. Kata Pengantar
2. Ringkasan Eksekutif
3. Daftar Isi, yang meliputi:
Bab I Pendahuluan
Menyajikan tentang penjelasan umum Direktorat Bina Gizi,
dengan menekankan kepada aspek strategis Direktorat Bina Gizi
serta permasalahan utama yang sedang dihadapi Direktorat Bina
Gizi dan sistematika penulisan laporan.
Bab II Perencanaan Kinerja
Menguraikan ringkasan singkat atau ikhtisar perjanjian kinerja
Direktorat Bina Gizi tahun 2015.
Bab III Akuntabilitas Kinerja
Diuraikan hasil pengukuran kinerja, evaluasi dan analisis
capaian kinerja, termasuk di dalamnya menguraikan secara
sistematis keberhasilan dan kegagalan, hambatan/kendala dan
permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah antisipatif
yang akan diambil, serta akuntabilitas keuangan yang memuat
pagu
dan
realisasi
anggaran
kegiatan
yang
dilaksanakan,
dikaitkan dengan tingkat capaian setiap sasaran strategis dan
indikator kinerja yang telah ditetapkan.
Bab IV Penutup
Mengemukakan simpulan umum atas capaian kinerja serta
langkah di masa mendatang yang akan dilakukan untuk
meningkatkan kinerja Direktorat Bina Gizi.
Lampiran
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
6
Perencanaan Kinerja
Perencanaan Kinerja
Dalam
menjalankan
kegiatannya,
Direktorat
Bina
Gizi
berpegang kepada hal-hal sebagai berikut:
Visi dan Misi
Visi
dan
“Terwujudnya
misi
Presiden
Indonesia
yang
Republik
Indonesia
Berdaulat,
Mandiri
yaitu
dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” menjadi visi dan misi
seluruh Kementerian di Indonesia. Oleh karena itu, Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan dan Rencana Aksi Direktorat Bina
Gizi tahun 2015-2019 tidak mencantumkan visi dan misinya.
Upaya untuk mewujudkan visi Presiden RI ini diterjemahkan
ke dalam 7 misi pembangunan yaitu:
1. Terwujudnya
keamanan
nasional
yang
mampu
menjaga
kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan
mengamankan
sumber
daya
maritim
dan
mencerminkan
kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan
masyarakat
maju,
berkesinambungan
dan
demokratis berlandaskan negara hukum.
3. Mewujudkan
politik
luar
negeri
bebas
dan
aktif
serta
memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri,
maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, serta
7. Mewujudkan
masyarakat
yang
berkepribadian
dalam
kebudayaan.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
7
Tujuan
Meningkatkan cakupan, kualitas dan kesadaran gizi keluarga dalam
upaya meningkatkan status gizi masyarakat dengan prioritas pada
1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), remaja puteri serta usia
produktif.
Masalah Gizi di Indonesia
Dalam masalah kekurangan gizi, saat ini Indonesia sudah
bisa mengontrol masalah Kurang Vitamin A dan Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium, namun masih harus terus bekerja keras dalam
mengatasi masalah gizi kurang, stunting, dan anemia gizi besi.
Walaupun kekurangan vitamin A dan iodium telah dapat dikontrol,
tetapi masih berpotensi menjadi masalah apabila kita kurang
maksimal dalam menjaga kesinambungannya. Berdasarkan Riset
Kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi gizi kurang dan stunting di
Indonesia saat ini masih cukup tinggi, masing-masing 19,6% dan
37,2%. Masalah anemia gizi besi, disamping prevalensi yang masih
tinggi yaitu sebesar 37,1% pada ibu hamil, masalah anemia juga
terjadi pada anak balita yaitu sebesar 28,1%.
Pada
masalah
kelebihan
gizi,
Indonesia
sudah
mulai
dikhawatirkan dengan masalah gizi lebih pada balita yang sudah
mencapai 11,9% yang berujung pada peningkatan risiko Penyakit
Tidak Menular (PTM).
Mengantisipasi permasalahan gizi di atas, dalam dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019, meningkatnya status gizi masyarakat menjadi salah satu
prioritas pembangunan, dengan sasaran pokok: 1) prevalensi
anemia pada ibu hamil 28%; 2) persentase bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) 8%; 3) persentase bayi usia kurang dari 6 bulan
yang mendapat ASI eksklusif 50%; 4) prevalensi kekurangan gizi
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
8
(underweight) pada balita 17%; 5) prevalensi wasting (kurus) anak
balita 9,5%; dan 6) prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek)
pada anak baduta (di bawah 2 tahun) 28% pada tahun 2019.
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Kesehatan 2015-2019 telah menetapkan 6
(enam) indikator kinerja kegiatan (IKK) pembinaan gizi masyarakat
yang harus dicapai yaitu; 1) persentase ibu hamil KEK yang
mendapat makanan tambahan; 2) persentase ibu hamil yang
mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) 90 tablet selama masa
kehamilan; 3) persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang
mendapat ASI eksklusif; 4) persentase bayi baru lahir mendapat
Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 5) persentase balita kurus yang
mendapat makanan tambahan; dan 6) persentase remaja puteri
yang mendapat Tablet Tambah Darat (TTD). Keenam indikator ini
ditetapkan untuk menunjang pencapaian indikator kinerja utama
(IKU) Direktorat Jenderal Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Upaya pembinaan gizi masyarakat dilaksanakan secara
bertahap
dan
berkesinambungan,
melalui
pendekatan
siklus
kehidupan (life circle approach) secara bertahap dan berdasarkan
prioritas pembangunan nasional. Kegiatan unggulan pembinaan gizi
masyarakat pada tahun 2015-2019 dilaksanakan melalui beberapa
kegiatan pokok dan pendukung yang terdiri dari:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
9
Sasaran Strategis Pembinaan Gizi Masyarakat
2015-2019
Untuk merealisasikan visi dan misi serta tujuan tersebut di
atas, maka Direktorat Bina Gizi telah menetapkan sasaran strategis
sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 20152019, sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
INDIKATOR KINERJA
KEGIATAN
Ibu hamil KEK yang mendapat
makanan tambahan
Ibu hamil yang mendapat
Tablet Tambah Darah (TTD) 90
tablet selama masa kehamilan
Bayi usia kurang dari 6 bulan
yang mendapat ASI eksklusif
Bayi baru lahir mendapat
Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Balita kurus yang mendapat
makanan tambahan
Remaja puteri yang mendapat
Tablet Tambah Darat (TTD)
2015
13
TARGET (%)
2016
2017
2018
50
65
80
2019
95
82
85
90
95
98
39
42
44
47
50
38
41
44
47
50
70
75
80
85
90
10
15
20
25
30
Dalam mencapai sasaran strategis di atas, indikator kinerja
penunjang disusun sebagai upaya dalam kegiatan pembinaan gizi
masyarakat. Indikator kinerja penunjang tersebut adalah:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
10
% kasus balita gizi buruk
yang mendapat perawatan
% balita yang ditimbang
berat badannya
% rumah tangga
mengonsumsi garam
beriodium
% balita 6-59 bulan
mendapat kapsul Vit. A
% ibu nifas mendapat kapsul
Vit. A
% bayi dengan berat badan
lahir rendah
% balita mempunyai buku
KIA/KMS
% balita ditimbang yang
naik berat badannya
% balita ditimbang yang
tidak naik berat badannya
% balita ditimbang yang
tidak naik berat badannya 2
kali berturut-turut
% balita di Bawah Garis
Merah (BGM)
% ibu hamil anemia
% ibu hamil kurang energi
kronik (KEK)
Arah Kebijakan
2015-2019
Arah
kebijakan
Pembinaan
pembinaan
Gizi
gizi
Masyarakat
masyarakat
2015-2019
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan
surveilans
surveilans
khusus,
dan
gizi
di
seluruh
surveilans
gizi
kabupaten/kota,
darurat
termasuk
pemantauan pertumbuhan.
2. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan,
gizi, dan lain-lain.
3. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan
gizi, dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan,
remaja, calon pengantin dan ibu hamil, termasuk pemberian
makanan
tambahan,
terutama
untuk
keluarga
kelompok
termiskin dan wilayah DTPK.
4. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perbaikan gizi.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
11
5. Penguatan pelaksanaan dan pengawasan regulasi dan standar
gizi.
6. Penguatan kerja sama dan kemitraan dengan lintas program dan
lintas
sektor,
organisasi
profesi,
dan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam rangka intervensi sensitif dan spesifik.
Strategi Operasional Pembinaan Gizi Masyarakat
2015-2019
Strategi operasional pembinaan gizi masyarakat 2015-2019
adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK),
melalui:
a. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil kurang
energi kronik (KEK).
b. Pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil sampai
masa nifas.
c. Promosi dan konseling inisiasi menyusu dini (IMD).
d. Promosi dan konseling ASI eksklusif.
e. Pemantauan pertumbuhan.
f. Pemberian makanan bayi dan anak (PMBA).
g. Tatalaksana anak gizi buruk.
h. Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) bagi
balita menderita gizi kurang (kurus)
i.
Pemberian vitamin A bagi anak usia 6-59 bulan dan ibu
nifas.
j.
Pemberian Taburia bagi anak usia 6-24 bulan.
2. Perbaikan gizi remaja putri dan wanita usia subur (WUS)
melalui:
a. Pemberian tablet tambah darah.
b. Kampanye dan konseling gizi seimbang.
3. Perbaikan gizi pada anak usia sekolah melalui:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
12
a. Pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah.
b. Promosi gizi seimbang.
c. Pendidikan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Promosi Gizi Seimbang secara umum dan kepada kelompok
khusus.
5. Pelaksanaan surveilans melalui rutin pelaporan sigizi.com, SMS
gateway, Pemantauan Status Gizi di seluruh kabupaten dan
kota, serta surveilans khusus dalam kondisi bencana.
6. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas dalam
pemantauan pertumbuhan, konseling menyusui dan MP-ASI,
tatalaksana anak gizi buruk, surveilans dan program gizi
lainnya.
7. Menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) mutu
dan kecukupan gizi, kewaspadaan gizi, penanggulangan masalah
gizi, dan konsumsi gizi.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
13
Perjanjian Kinerja
Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang
selektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil,
Direktorat Bina Gizi pada tahun 2015 akan mewujudkan target
kinerja tahunan dalam rangka mencapai target kinerja jangka
menengah seperti yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Di
dalam Penetapan Kinerja tahun 2015, tercantum pagu alokasi
anggaran untuk kegiatan pembinaan gizi masyarakat sebesar Rp.
388.497.675.000,-. Selama periode berjalan, Direktorat Bina Gizi
telah melakukan 3 (tiga) kali revisi Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) dari DIPA awal, sehingga total anggaran Direktorat
Bina Gizi TA 2015 menjadi 394.232.275.000,-. Adapun sasaran
strategis, indikator kinerja dan target yang dimuat dalam Penetapan
Kinerja dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:
Penetapan Kinerja Direktorat Bina Gizi Tahun 2015
Sasaran
Strategis
Meningkatnya
pelayanan
gizi
masyarakat
Indikator Kinerja Kegiatan
Target
2015
1 Persentase (%) ibu hamil Kurang
Energi Kronik yang mendapat
makanan tambahan
13%
2 Persentase (%) ibu hamil yang
mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD)
3 Persentase (%) bayi usia kurang
dari 6 bulan yang mendapat ASI
eksklusif
82%
4 Persentase (%) bayi baru lahir
mendapat Inisiasi Menyusu Dini
(IMD)
38%
5 Persentase (%) balita kurus yang
mendapat makanan tambahan
70%
6 Persentase (%) remaja puteri yang
mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD)
10%
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
39%
14
1. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang
mendapat makanan tambahan
Indikator persentase ibu hamil KEK yang mendapat
makanan tambahan adalah ibu hamil dengan lingkar lengan
atas (LiLA) kurang dari 23,5 cm yang mendapat makanan
tambahan. Makanan tambahan ini merupakan makanan yang
dikonsumsi sebagai tambahan asupan zat gizi diluar makanan
utama, dalam bentuk makanan tambahan pabrikan atau
makanan tambahan bahan pangan lokal yang diberikan minimal
selama
90
hari
makan
ibu
(HMI)
berturut-turut.
Upaya
pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil KEK merupakan
realisasi dari upaya kesehatan dalam bentuk kuratif sekaligus
preventif guna meningkatkan status gizi ibu hamil, agar
melahirkan anak yang tidak mempunyai masalah gizi.
2. Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD)
Indikator persentase ibu hamil yang mendapat TTD adalah
ibu
hamil
yang
menerima
tablet
tambah
darah
yang
mengandung Fe dan asam folat, baik yang berasal dari program
maupun mandiri, selama masa kehamilannya minimal 90 tablet.
Setiap ibu hamil diharapkan sudah mendapat 90 TTD selama
pelayanan antenatal. Setiap ibu hamil mempunyai risiko untuk
menderita anemia gizi besi, meskipun di awal kehamilannya dia
tidak anemia. Adalah sebuah kondisi yang normal terjadi dimana
saat triwulan kedua masa kehamilan seorang ibu menderita
anemia. Untuk itu, pemberian TTD merupakan upaya kesehatan
dalam
bentuk
preventif
guna
mencegah
terjadinya
kasus
pendarahan saat melahirkan dan mencegah terjadinya kelahiran
stunting.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
15
3. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI
eksklusif
Indikator persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang
mendapat ASI eksklusif adalah bayi umur 0 bulan 1 hari sampai
5 bulan 29 hari yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan
lain kecuali obat, vitamin dan mineral berdasarkan recall 24 jam.
Data indikator ini dilaporkan setiap enam bulan, bulan Februari
dan Agustus, sehingga untuk cakupan tahunan menggunakan
penjumlahan
bulan
Februari
dan
Agustus.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif menyatakan bahwa setiap ibu yang
melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang
dilahirkannya, untuk menjamin pemenuhan hak bayi untuk
mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 (enam) bulan.
4. Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini
(IMD)
Indikator persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) adalah bayi baru lahir yang mendapat IMD. IMD
adalah proses inisiasi dimulai dari bayi baru lahir yang
diletakkan segera setelah lahir dengan posisi tengkurap di dada
atau perut ibu minimal selama 1 jam sehingga kulit bayi melekat
pada kulit ibu.
5. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan
tambahan adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 23
bulan 29 hari dengan status gizi kurus, diukur berdasarkan
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
16
indeks berat badan menurut tinggi badan -3SD sampai dengan
<-2SD, yang mendapat makanan tambahan selama 90 hari
berturut-turut.
Makanan tambahan yang dimaksud adalah makanan yang
dikonsumsi sebagai tambahan asupan zat gizi diluar makanan
utama
dalam
bentuk
makanan
tambahan
pabrikan
atau
makanan tambahan bahan pangan lokal.
6. Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah
Darah (TTD)
Indikator persentase remaja puteri yang mendapat TTD adalah
remaja putri yang berusia 12-18 tahun yang bersekolah di SLTP
dan SLTA, yang mendapat tablet tambah darah 1 tablet setiap
minggu dan 1 tablet setiap hari selama 10 hari masa haid. Tablet
tambah darah yang diberikan dapat berupa TTD program atau
TTD mandiri. TTD program adalah tablet yang mengandung 60
mg elemental besi dan 0.25 mg asam folat yang disediakan oleh
pemerintah dan diberikan secara gratis pada remaja puteri.
Sementara itu, TTD mandiri adalah TTD atau multi vitamin dan
mineral, minimal mengandung elemental besi dan asam folat
yang diperoleh secara mandiri sesuai anjuran.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
17
Akuntabilitas Kinerja
Capaian Kinerja
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kinerja Direktorat
Bina Gizi dalam rangka mencapai sasaran strategisnya yaitu
“meningkatnya pelayanan gizi masyarakat” adalah dengan melihat
pencapaian target ibu hamil KEK yang mendapat makanan
tambahan, ibu hamil yang mendapat TTD, bayi usia kurang dari 6
bulan yang mendapat ASI eksklusif, bayi baru lahir mendapat IMD,
balita kurus yang mendapat makanan tambahan, dan remaja puteri
yang mendapat TTD, yang diuraikan dan ditetapkan dalam
penetapan kinerja Direktorat Bina Gizi tahun 2015.
Data dan informasi untuk penyusunan laporan bersumber
dari dokumen Rencana Kinerja Tahun 2015, Penetapan Kinerja
Tahun 2015, dan laporan tahunan yang dituangkan datanya ke
dalam formulir Pengukuran Kinerja (PK), serta didasarkan pada
analisis deskriptif yang telah disusun. Kegiatan yang dilakukan oleh
Direktorat Bina Gizi merupakan implementasi dari tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan. Tabel di bawah ini adalah hasil
capaian dari indikator kinerja kegiatan yang telah ditetapkan.
Pencapaian Indikator Kinerja Kegiatan Tahun 2015
Sasaran
Strategis
Meningkatnya
pelayanan gizi
masyarakat
Indikator Kinerja Kegiatan
Target
(%)
Cakupan
(%)
Capaian
(%)
Persentase (%) ibu hamil Kurang Energi
Kronik yang mendapat makanan
tambahan
13%
35.6%
273.9%
Persentase (%) ibu hamil yang
mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
82%
83.2%
101.4%
Persentase (%) bayi usia kurang dari 6
bulan yang mendapat ASI eksklusif
39%
41.9%
107.4%
Persentase (%) bayi baru lahir mendapat
Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
38%
38.7%
101.8%
Persentase (%) balita kurus yang
mendapat makanan tambahan
70%
13.9%
19.9%
Persentase (%) remaja puteri yang
mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
10%
20%
200%
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
18
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa dari 6 (enam)
indikator kinerja kegiatan Direktorat Bina Gizi, masih terdapat satu
indikator yang belum mencapai target, yaitu persentase balita kurus
yang mendapat makanan tambahan. Adapun evaluasi dan analisis
capaian setiap indikator kinerja tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang
mendapat makanan tambahan
Masalah gizi kurang pada ibu hamil masih merupakan
fokus perhatian, masalah tersebut antara lain ibu hamil kurang
energi kronis (KEK). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 menunjukkan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil (15-49
tahun) sebesar 24.2%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada usia
remaja (15-19 tahun) sebesar 38.5%.
Kondisi ibu hamil KEK,
berisiko menurunkan kekuatan
otot
yang
membantu
proses
sehingga
dapat
persalinan
mengakibatkan
terjadinya
partus lama dan perdarahan
pascasalin,
bahkan
kematian
ibu. Risiko pada bayi dapat mengakibatkan terjadinya kematian
janin (keguguran), premature, lahir cacat, berat badan lahir
rendah (BBLR) bahkan kematian bayi. Ibu hamil KEK dapat
mengganggu tumbuh kembang janin, yaitu pertumbuhan fisik
(stunting), otak dan metabolism yang menyebabkan penyakit
tidak menular di usia dewasa.
Faktor
penyebab
langsung
ibu
hamil
KEK
adalah
konsumsi gizi yang tidak cukup dan penyakit. Penanggulangan
ibu hamil KEK dilaksanakan melalui intervensi gizi spesifik
secara lintas program, terutama pada pelaksanaan pelayanan
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
19
antenatal
terpadu.
Salah
satu
intervensi yang dilakukan adalah
pemberian
makanan
tambahan
pada ibu hamil yang terdeteksi
KEK selama 90 hari makan ibu.
Pada tahun
2015 secara
rata-rata nasional cakupan ibu hamil KEK yang mendapat
makanan tambahan sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu
35.6%, dari target 13%. Penentuan target 13% ini didasarkan
kepada besaran anggaran APBN tahun 2015 yang hanya mampu
mengakomodir sebanyak 13% dari total jumlah ibu hamil KEK
yang ada di Indonesia (berdasarkan hasil Riskesdas 2013).
Cakupan Ibu Hamil KEK Yang Mendapat
Makanan Tambahan Tahun 2015
13.0%
Target
35.6%
Capaian
Perbandingan realisasi kinerja kegiatan ibu hamil KEK
yang mendapat makanan tambahan tahun 2015 dengan target
jangka menengah dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Perbandingan Cakupan Ibu Hamil KEK Yang Mendapat Makanan
Tambahan Tahun 2015 Dengan Target Jangka Menengah
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
95%
80%
65%
Target
36%
50%
Capaian
13%
2015
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
2016
2017
2018
2019
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
20
Berikut distribusi cakupan ibu hamil KEK yang mendapat
12.2
30
69.9
64.4
64.1
63.6
63.2
62.2
54.9
54.7
45.0
42.9
35.6
34.4
34.0
26.7
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
10
0.0
20
18.3
40
17.4
50
30.7
60
38.0
70
54.0
80
59.4
90
68.4
83.0
100
88.1
Distribusi Cakupan Ibu Hamil KEK Yang Mendapat
Makanan Tambahan Menurut Provinsi Tahun 2015
98.6
makanan tambahan menurut provinsi pada tahun 2015.
Sumut
Kep. Babel
Jateng
Jatim
NTB
NTT
Kalsel
Sulut
Sulsel
Maluku
Papua
Jabar
Sultra
Riau
DKI Jakarta
Sumbar
Bali
INDONESIA
Kalbar
DIY
Malut
Lampung
Sulteng
Kepri
Kaltim
Aceh
Sulbar
Kalteng
Banten
Bengkulu
Jambi
Kaltara
Papua Barat
Sumsel
Gorontalo
0
Sumber: Laporan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Grafik di atas menunjukkan, dari 34 provinsi yang ada di
Indonesia, sementara masih terdapat 10 provinsi yang belum
melaporkan hasil cakupan indikator ibu hamil KEK yang
mendapat makanan tambahan. Dari 24 provinsi yang lapor,
hanya 1 (satu) provinsi yang belum mencapai target nasional,
yaitu provinsi Papua dengan cakupan 12.2%.
Walaupun rata-rata provinsi yang melapor sudah melebihi
target, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu dilakukan
evaluasi dan analisis capaian indikator kinerja ini dengan
penjelasan sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Terdapat beberapa faktor yang mendukung pencapaian target
oleh 23 provinsi, yaitu:
1) Pemberian
PMT pada ibu
hamil
KEK tidak hanya
berbentuk MP-ASI pabrikan saja, namun juga PMT lokal.
2) Ketersediaan logistik makanan tambahan bagi ibu hamil
KEK yang diadakan oleh APBD I dan APBD II, sangat
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
21
membantu mengurangi ketergantungan daerah kepada
logistik dari pusat.
3) Kesadaran pengelola gizi daerah dalam pencatatan dan
pelaporan yang sangat tinggi.
b. Permasalahan Terkait Pencapaian Indikator
Belum tercapainya target ibu hamil KEK yang mendapat
makanan tambahan oleh Provinsi Papua, dan masih terdapat
10 provinsi yang belum melaporkan cakupan kinerja ini,
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1) Dikarenakan indikator ibu hamil KEK mendapat makanan
tambahan merupakan indikator baru dengan sosialisasi
yang belum maksimal, hal ini mengakibatkan masih
banyak daerah yang belum terpapar dan berimbas kepada
sistem pelaporan.
2) Indikator ini sesungguhnya merupakan kegiatan yang
sudah
biasa
dilaksanakan
di
lapangan.
Namun
mekanisme pencatatan dan pelaporan belum dipahami
hingga tingkat Puskesmas. Menjadikan kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan tersebut tidak terlaporkan, sehingga
tidak tercatat dan berpengaruh terhadap cakupan setiap
daerah.
3) Indikator persentase ibu hamil KEK mendapat makanan
tambahan, berhubungan dengan proses pengadaan PMT.
Keterlambatan
dalam
pengadaan
mengakibatkan
terlambatnya proses distribusi hingga ke sasaran.
4) Kurangnya sosialisasi Pedoman Penanggulangan Kurang
Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil oleh Pusat.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
22
c. Alternatif Pemecahan Masalah
Untuk mengatasi permasalahan di atas maka perlunya
dirumuskan alternatif pemecahan masalah, antara lain:
1) Sosialisasi dan advokasi yang terus menerus hingga
tingkat Puskesmas tentang indikator baru ini (definisi
operasional, cara perhitungan dan sasaran), sehingga
setiap
daerah
memasukkannya
ke
dalam
sistem
pencatatan dan pelaporannya.
2) Direktorat
Bina
mengembangkan
Gizi
sistem
telah
membangun
pelaporan
hingga
dan
level
puskesmas melalui Sistem Informasi Gizi (SIGIZI), dengan
memasukkan semua mekanisme yang terkait dengan
indikator baru.
3) Sosialisasi
pemanfaatan
SIGIZI
dan
pedoman
Penanggulangan Kurang Energi Kronik (KEK) secara
kontinyu.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
23
2. Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD)
Anemia merupakan masalah gizi yang perlu mendapat
perhatian khusus. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 37.1%.
Prevalensi anemia ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan
rata-rata prevalensi anemia di negara-negara maju, karena itu di
Indonesia masalah anemia pada ibu hamil masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya lebih dari
20% (WHO, 2001).
Kebutuhan zat gizi pada wanita hamil meningkat 25%
dibandingkan wanita yang tidak hamil. Kebutuhan tambahan zat
besi selama kehamilan adalah kurang lebih 1000 mg, yang
diperlukan untuk pertumbuhan janin, plasenta dan perdarahan
saat persalinan yang mengeluarkan rata-rata 250 mg besi.
Anemia pada ibu hamil berisiko terhadap terjadinya hambatan
pertumbuhan janin sehingga bayi lahir dengan berat badan lahir
rendah (BBLR), perdarahan pada saat persalinan dan dapat
berlanjut setelah persalinan yang dapat menyebabkan kematian
ibu dan bayinya (WHO, 2001). Prevalensi BBLR di Indonesia
pada kurun waktu tahun 2007 sampai tahun 2010 cenderung
tetap yakni sebesar 11% (Riskesdas 2007 dan 2010). Sementara
berdasarkan data laporan rutin tahun 2013, sekitar 32%
kematian ibu disebabkan karena perdarahan.
Meningkatnya kebutuhan zat besi
pada wanita hamil sangat sulit dipenuhi
hanya dari makanan saja. Oleh karena itu
diperlukan Tablet Tambah Darah (TTD)
untuk
mencegah
dan
menanggulangi
anemia gizi besi.
Secara rata-rata nasional, cakupan ibu hamil yang
mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilannya
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
24
sudah mencapai target, yaitu sebesar 83.2% dari target 82%.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Persentase Ibu Hamil Mendapat TTD
Tahun 2015
83.2%
84%
83%
83%
82%
82%
81%
82.0%
Target
Capaian
Perbandingan realisasi kinerja kegiatan ibu hamil yang
mendapat tablet tambah darah tahun 2015 dengan target jangka
menengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Perbandingan Cakupan Ibu Hamil Yang Mendapat
TTD Tahun 2015 Dengan Target Jangka Menengah
100%
95%
90%
85%
80%
75%
70%
98%
83.20%
95%
90%
85%
82%
2015
2016
2017
Target
2018
2019
Capaian
Jika melihat secara detail dari 34
provinsi yang ada di Indonesia, hanya 12
provinsi yang sudah mencapai bahkan
melebihi
target
nasional.
Adapun
distribusi cakupan ibu hamil mendapat
TTD minimal 90 tablet selama masa
kehamilan menurut provinsi pada tahun
2015, dapat dilihat pada gambar berikut:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
25
41.1
48.7
62.5
62.8
63.4
63.5
66.3
71.2
71.2
73.0
73.0
73.2
73.2
74.7
75.4
76.4
77.5
78.2
78.7
79.1
79.2
83.2
83.3
87.2
88.0
88.5
89.7
93.4
93.5
93.6
93.7
95.5
97.1
100.1
Distribusi Cakupan Ibu Hamil Mendapat TTD
Menurut Provinsi Tahun 2015
100
80
40
21.8
60
20
Papua
Maluku
Papua Barat
Sultra
Malut
Sulteng
NTT
Sulbar
Banten
Kalteng
Kaltim
Kalsel
Aceh
Sumut
DIY
Gorontalo
Sumsel
Sulsel
Riau
Kalbar
Sulut
Sumbar
INDONESIA
Kepri
Bengkulu
Kaltara
Lampung
Jatim
Kep. Babel
Jateng
NTB
Bali
Jabar
DKI Jakarta
Jambi
0
Sumber data: Laporan Bulanan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Dari gambar di atas menunjukkan, sebagian besar
provinsi (22 provinsi) yang belum mencapai target nasional, yaitu
Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Riau,
Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Gorontalo, DI Yogyakarta,
Sumatera Utara, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Barat, NTT, Sulawesi
Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Maluku
dan Papua.
Evaluasi dan analisis capaian indikator kinerja ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Tercapainya target indikator ibu hamil mendapat TTD oleh 12
provinsi didukung oleh beberapa hal berikut ini:
1) Tersedianya alokasi anggaran untuk belanja obat program
bersumber
dana
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah (APBD), sehingga ketersediaan logistik tablet
tambah darah di wilayah tersebut tidak tergantung
kepada alokasi dari pusat.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
26
2) Program pemberian TTD untuk ibu hamil merupakan
program rutin yang sudah sejak lama dilaksanakan. Oleh
karena itu sistem distribusi serta pencatatannya sudah
terbangun dengan baik.
b. Permasalahan Terkait Pencapaian Indikator
Belum tercapainya target ibu hamil mendapat TTD oleh
sebagian besar provinsi disebabkan oleh beberapa hal antara
lain:
1) Ketersediaan logistik tablet tambah darah yang terbatas.
Hal
ini
disebabkan
karena
keterlambatan
proses
pengadaan tablet tambah darah di Kemenkes yang
dilaksanakan oleh Ditjen Farmasi dan Alat Kesehatan,
sehingga mempengaruhi proses distribusi ke daerah.
Sementara itu stok yang diadakan oleh masing-masing
daerah
juga
terbatas,
tergantung
kepada
kekuatan
anggaran masing-masing daerah.
2) Pencatatan dan pelaporan yang belum terintegrasi, mulai
dari tingkat puskesmas hingga pusat. Selain itu, sebagian
besar daerah masih belum mencatat distribusi TTD yang
dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta.
3) Mekanisme pelaporan di tingkat Puskesmas tidak berjalan
sinergis (antara tenaga pelaksana di lapangan). Tenaga
gizi
Puskesmas
seharusnya
memiliki
tanggungjawab
dalam pengumpulan data cakupan TTD, bertindak aktif
dalam pengumpulan data laporan. Mengingat bidan di
desa
sudah
cukup
banyak
diberikan
beban
dan
tanggungjawab pelayanan kesehatan di wilayahnya.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
27
c. Alternatif Pemecahan Masalah
Untuk mengatasi permasalahan di atas maka perlunya
dirumuskan alternatif pemecahan masalah, antara lain:
1) Koordinasi yang intensif dengan Ditjen Farmasi dan Alat
Kesehatan agar pengadaan tablet tambah darah dapat
terlaksana tepat waktu.
2) Membangun sistem pelaporan hingga level puskesmas
melalui SIGIZI, dengan memasukkan semua unsur data
yang terkait.
3) Penataan dan peningkatan peran tenaga gizi Puskesmas
dalam pencatatan dan pelaporan kegiatan gizi.
4) Sosialisasi pemanfaatan SIGIZI secara kontinyu.
5) Sosialisasi
yang
kontinyu
tentang
pedoman
penatalaksanaan pemberian tablet tambah darah dan
integrasi pencatatan dan pelaporan distribusi TTD ibu
hamil di puskesmas.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
28
3. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat air
susu ibu (ASI) eksklusif
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara
lain adalah penurunan angka kematian bayi dan peningkatan
status gizi masyarakat. Indonesia saat ini masih menghadapi
masalah gizi ganda yaitu kondisi dimana disatu sisi masih
banyaknya jumlah penderita gizi kurang, sementara di sisi lain
jumlah
masyarakat yang
mengalami
gizi
lebih
cenderung
meningkat. Status gizi masyarakat akan baik apabila perilaku
gizi yang baik dilakukan pada setiap tahap kehidupan termasuk
pada bayi.
Pola pemberian makan terbaik
untuk bayi
berumur
sejak lahir sampai anak
2
tahun
meliputi:
(a)
memberikan ASI kepada bayi segera
dalam waktu 1 (satu) jam setelah lahir;
(b) memberikan hanya ASI saja sejak
lahir sampai umur 6 (enam) bulan.
Namun
penerapan
demikian,
pola
saat
pemberian
ini
makan
terbaik untuk bayi sejak lahir sampai
anak berusia 2 tahun tersebut belum dilaksanakan dengan baik
khususnya dalam hal pemberian ASI eksklusif.
Di tahun 2015, pencapaian target indikator bayi usia
kurang dari 6 bulan yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif,
secara nasional sudah berada di atas target, yaitu
sebesar
41.9% dari target 39%. Angka cakupan ini diperkuat oleh hasil
Pemantauan
Status
Gizi
(PSG)
tahun
2015
yang
juga
menunjukkan hasil yang sama (di atas target), yaitu 65.1%.
Grafik berikut menggambarkan target dan capaian indikator bayi
usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
29
Persentase Bayi Usia <6 Bulan Mendapat ASI
Eksklusif Tahun 2015
42%
41%
40%
41.9%
39%
39.0%
38%
37%
TARGET
CAPAIAN
Perbandingan realisasi kinerja kegiatan bayi usia kurang
dari 6 (enam) bulan mendapat ASI eksklusif tahun 2015 dengan
target jangka menengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Perbandingan Cakupan Bayi Usia <6 Bulan Mendapat ASI
Eksklusif Tahun 2015 Dengan Target Jangka Menengah
60%
50%
41.9%
40%
30%
39%
42%
44%
2016
2017
47%
50%
20%
10%
0%
2015
Target
2018
2019
Capaian
Jika melihat distribusi indikator ini berdasarkan provinsi,
terlihat hasil yang cukup menjanjikan. Dimana dari 33 provinsi
yang melapor, 18 provinsi diantaranya sudah melebihi target.
Sementara itu Provinsi Papua belum melaporkan cakupannya.
Untuk lebih jelasnya, distribusi cakupan bayi usia kurang dari 6
bulan yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif menurut
provinsi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
30
78.9
Distribusi Cakupan Bayi Usia <6 Bulan Mendapat ASI
Eksklusif Menurut Provinsi Tahun 2015
10.0
57.3
54.6
51.4
50.7
48.4
47.6
45.7
43.9
43.5
43.0
42.9
42.8
41.9
41.3
41.1
38.5
36.0
35.5
35.3
33.4
31.6
27.4
27.1
26.9
23.4
0.0
20.0
20.8
30.0
20.3
15.8
40.0
20.3
50.0
30.2
60.0
40.6
70.0
49.7
80.0
65.0
90.0
Papua
Kalteng
Sumut
DKI Jakarta
Maluku
Sulut
Malut
Kaltara
Kalbar
Sultra
Sulteng
Gorontalo
Jabar
Papua Barat
Kaltim
Banten
Kepri
DIY
Jateng
INDONESIA
NTT
Riau
Kep. Babel
Bali
Sulsel
Sulbar
Sumbar
Aceh
Kalsel
Sumsel
Bengkulu
Jambi
Lampung
Jatim
NTB
0.0
Sumber data: Laporan Bulanan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Evaluasi dan analisa capaian indikator kinerja ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Tercapainya target nasional persentase bayi kurang dari 6
bulan mendapat ASI eksklusif oleh 18 provinsi, tidak lepas
dari faktor pendukung sebagai berikut:
1) Terbitnya Peraturan Pemerintah RI nomor 33 tahun 2012
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.
2) Terbitnya 3 (tiga) Peraturan Menteri Kesehatan, turunan
dari PP 33/2012, yaitu:
-
Permenkes nomor 15 tahun 2013 tentang Tata Cara
Penyediaan
Fasilitas
Khusus
Menyusui
dan/atau
Memerah Air Susu Ibu.
-
Permenkes nomor 39 tahun 2013 tentang Susu
Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya.
-
Permenkes nomor 15 tahun 2014 tentang Tata Cara
Pengenaan
Sanksi
Administrasi
Bagi
Tenaga
Kesehatan,
Penyelenggara
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan,
Penyelenggara
Satuan
Pendidikan
Kesehatan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
31
Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu
Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang
Dapat Menghambat Keberhasilan Program Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif.
3) Diberlakukannya
Permenkes
nomor
49
tahun
2014
tentang Standar Mutu Gizi, Pelabelan, dan Periklanan
Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan
Anak Usia 1-3 tahun.
4) Terbitnya Peraturan Daerah tentang ASI eksklusif di
beberapa
daerah
turut
menguatkan
pelaksanaan
pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari 6
bulan.
5) Komitmen
petugas
pelayanan
kesehatan
dalam
mendukung tercapainya ASI eksklusif, semakin baik.
Terutama petugas kesehatan di RS Pemerintah maupun
Swasta dan di Puskesmas.
b. Permasalahan Terkait Pencapaian Indikator
1) Dari 34 provinsi, masih ada 15 provinsi yang belum
mencapai target nasional dan 1 (satu) provinsi yang tidak
melaporkan cakupan indikator persentase
bayi usia
kurang dari 6 bulan mendapat ASI eksklusif.
2) Belum tercapainya target terjadi karena sistem pencatatan
dan pelaporan yang belum terbangun maksimal.
3) Penerapan sanksi terkait PP nomor 33 tahun 2012
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif dan Permenkes
turunannya belum terlaksana.
4) Beberapa daerah belum mempunyai Perda ASI sendiri.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
32
c. Alternatif Pemecahan Masalah
1) Sosialisasi yang kontinyu mengenai indikator persentase
bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI eksklusif,
beserta definisi operasionalnya agar mudah dilaksanakan
di daerah.
2) Membangun sistem pencatatan dan pelaporan secara
terpadu melalui SIGIZI.
3) Sosialisasi dan advokasi yang terus menerus terkait
penerapan PP nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif dan Permenkes turunannya,
sehingga setiap daerah mempunyai Perda ASI Eksklusif
sendiri.
4) Peningkatan penjamin mutu penegakan regulasi.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
33
4. Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini
(IMD)
Makanan yang tepat bagi bayi
adalah Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
yakni
pemberian
ASI
saja
segera
setelah lahir sampai usia 6 bulan yang
diberikan sesering mungkin. Hampir
semua
ibu
dapat
dengan
sukses
menyusui diukur dari permulaan pemberian ASI dalam jam
pertama kehidupan bayi. Untuk itu tenaga kesehatan dan
penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan
inisiasi menyusu dini (IMD) terhadap bayi yang baru lahir
kepada ibunya sekurang-kurangnya 1 (satu) jam segera setelah
lahir. IMD dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat
pada kulit ibu.
Di tahun 2015, dari 34 provinsi baru 12 provinsi yang
melaporkan cakupan indikator bayi baru lahir mendapat IMD
melalui laporan rutin setiap bulan. Sehubungan dengan hal
tersebut, cakupan nasional yang diperoleh secara tidak langsung
tidak dapat menggambarkan kondisi Indonesia secara utuh.
Akan tetapi jika melihat hasil PSG tahun 2015, diperoleh angka
sebesar 49.7% untuk indikator bayi baru lahir mendapat IMD.
Secara rinci, berdasarkan 12 provinsi yang lapor, terdapat
4 (empat) provinsi yang sudah mencapai dan melebihi target
sebesar 38%. Ketiga provinsi tersebut adalah Provinsi Jambi
(41.2%), Jawa Barat (50.2%), Sumatera Barat (64.9%), dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (68.0%).
Perlu upaya lebih keras dalam pelaksanaan IMD ini,
terutam dalam mendorong komitmen tenaga kesehatan dan
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
34
pemerintah
untuk
mengimplementasikan
dan
menerbitkan
regulasi daerah tentang IMD, mengingat bahwa masih terdapat
22
provinsi
yang
belum
melaporkan
pelaksanaan
IMD.
Gambaran secara rinci dapat dilihat pada grafik berikut:
Distribusi Cakupan Bayi Baru Lahir Mendapat IMD
Menurut Provinsi Tahun 2015
80.0
64.9
70.0
60.0
50.2
50.0
35.3
40.0
30.0
20.0
10.0
68.0
13.0
1.8
16.8
14.4
18.5
38.7
41.2
22.5
5.4
0.0
Kaltim
Lampung
Papua
Riau
INDONESIA
Jabar
DIY
Sumber data: Laporan Bulanan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Evaluasi dan analisa capaian indikator kinerja ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Berikut
beberapa
hal
yang
diharapkan
sebagai
faktor
pendukung tercapainya target nasional persentase bayi baru
lahir mendapat IMD:
1) Terbitnya Peraturan Pemerintah RI nomor 33 tahun 2012
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, dimana pada
pasal 9 tercantum butir tentang praktik IMD yang harus
dilakukan pada bayi baru lahir.
2) Terbitnya Peraturan Daerah tentang ASI eksklusif di
beberapa daerah turut menguatkan pelaksanaan IMD
pada bayi baru lahir.
3) Tumbuhnya komitmen petugas terhadap implementasi
IMD.
b. Permasalahan Terkait Pencapaian Indikator
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
35
1) Indikator ini adalah indikator baru, dimana banyak
daerah yang belum membangun sistem pencatatan dan
pelaporannya hingga ke tingkat pusat. Hal ini dapat
tergambar dari 34 provinsi hanya 12 provinsi yang
melaporkan indikator ini.
2) Belum tersosialisasikannya indikator ini secara maksimal,
sehingga belum ada pemahaman yang sama terkait
definisi operasional dan pencatatan serta pelaporannya.
3) Penerapan sanksi terkait PP nomor 33 tahun 2012
tentang
Pemberian
Air
Susu
Ibu
Eksklusif
belum
terlaksana.
4) Beberapa daerah belum mempunyai Perda ASI sendiri.
5) Belum adanya pengaturan penempatan tenaga konselor di
ruang persalinan. Hal ini sangat penting, mengingat
semakin meningkatnya pelaksanaan persalinan di fasilitas
kesehatan,
sementara
tidak
diimbangi
dengan
penempatan tenaga konselor ASI.
c. Alternatif Pemecahan Masalah
1) Sosialisasi yang kontinyu mengenai indikator persentase
bayi
baru
lahir
mendapat
IMD,
beserta
definisi
operasionalnya agar mudah pelaksanaannya di daerah.
2) Membangun sistem pencatatan dan pelaporan secara
terpadu melalui SIGIZI.
3) Sosialisasi dan advokasi yang terus menerus terkait
penerapan PP nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif, sehingga penerapan sanksi dapat
diterapkan
secara
maksimal
dan
setiap
daerah
unit
teknis
mempunyai Perda ASI Eksklusif sendiri.
4) Kerjasama
lintas
program
dengan
penanggungjawab pengelolaan pelayanan persalinan (RS,
Puskesmas) baik milik Pemerintah mapun Swasta, dalam
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
36
upaya penataan penempatan konselor ASI pada ruang
persalinan.
5. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
Setelah ASI eksklusif 0-6 bulan, ASI harus tetap diberikan
hingga usia 2 tahun atau lebih. Akan tetapi bayi membutuhkan
zat gizi yang lebih banyak setelah berusia 6 bulan, untuk itu
butuh makanan pendamping ASI untuk memenuhi kebutuhan
zat gizinya. Apabila kebutuhannya tidak terpenuhi, maka akan
terjadi kekurangan gizi, yang apabila dibiarkan secara terus
menerus akan mengakibatkan terjadinya gizi kurang dan
bahkan buruk.
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan anak balita
kurus di Indonesia sebesar 12.1% dan balita gizi kurang sebesar
19.6%. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi
tersebut di atas dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,
dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam
jangka
panjang,
menurunnya
akibat
kemampuan
buruk
yang
kognitif
ditimbulkan
dan
prestasi
adalah
belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit dan risiko
tinggi untuk munculnya penyakit tidak menular.
Untuk
mengatasi
masalah
anak
balita
kurus,
Kementerian Kesehatan memberlakukan program pemberian
makanan tambahan. Setiap balita dengan status gizi kurus
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
<-2SD, mendapat makanan tambahan selama 90 hari makan
anak. Pemberian makanan tambahan pada balita kurus dapat
diberikan berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan (MP-ASI).
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
37
Indikator
balita
kurus
yang
mendapat
makanan
tambahan pencapaiannya secara nasional masih jauh dari target
(70%) yaitu sebesar 13.9%.
Persentase Balita Kurus
Yang Mendapat Makanan Tambahan Tahun 2015
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
70.0%
13.9%
Target
Capaian
Perbandingan realisasi kinerja kegiatan balita kurus yang
mendapat makanan tambahan tahun 2015 dengan target jangka
menengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Perbandingan Cakupan Balita Kurus Yang Mendapat
Makanan Tambahan Tahun 2015
Dengan Target Jangka Menengah
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
70%
85%
80%
75%
90%
13.9%
2015
2016
Target
2017
2018
2019
Capaian
Meskipun secara nasional pencapaiannya masih jauh dari
target, tetapi jika dilihat distribusi menurut provinsi, terdapat 4
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
38
(empat) provinsi yang sudah melampaui target nasional yaitu
Provinsi Maluku Utara (70.6%), Lampung (71.1%), Gorontalo
(75.5%) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (91.4%). Selain itu
terdapat 13 provinsi yang cakupannya di atas capaian nasional.
Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat dari gambar berikut.
91.4
Distribusi Cakupan Balita Kurus Yang Mendapat
Makanan Tambahan Menurut Provinsi Tahun 2015
70.6
71.1
75.5
100.0
90.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
1.0
1.5
2.1
2.8
3.2
4.1
4.5
5.2
7.5
8.2
8.8
9.3
10.6
11.2
11.9
12.3
12.3
13.9
14.1
14.4
17.5
17.9
18.4
22.3
23.0
31.9
36.8
37.7
40.9
46.3
51.3
80.0
Sumut
Maluku
Kalsel
Riau
NTB
Jatim
Sumsel
Jateng
Bali
Sulsel
Kaltim
Banten
NTT
Jabar
Papua
Sulut
Kep. Babel
INDONESIA
Sulteng
Sumbar
Bengkulu
Kalbar
Kaltara
Papua Barat
Sultra
DKI
Kep. Riau
Aceh
Sulbar
Jambi
Kalteng
Malut
Lampung
Gorontalo
DIY
0.0
Sumber data: Laporan Bulanan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Evaluasi dan analisa capaian indikator kinerja ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Faktor pendukung tercapainya indikator persentase balita
kurus mendapat makanan tambahan oleh 4 (empat) provinsi,
adalah sebagai berikut:
1) Penyediaan MP-ASI oleh Pusat dan dukungan penyediaan
PMT lokal dari daerah.
2) Sistem pencatatan dan pelaporan di daerahnya yang
sudah terbangun dengan baik.
3) Beberapa daerah menyediakan anggaran sendiri terkait
makanan tambahan baik lokal maupun pabrikan dalam
APBD-nya sehingga tidak tergantung kepada alokasi dari
pusat.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
39
b. Permasalahan Terkait Pencapaian Indikator
1) Dari 34 provinsi, hanya 4 (empat) provinsi yang sudah
mencapai target nasional.
2) Indikator
persentase
balita
kurus
yang
mendapat
makanan tambahan merupakan indikator baru. Belum
maksimalnya sosialisasi mengenai indikator dan definisi
operasionalnya menjadi salah satu penyebab rendahnya
cakupan.
3) Diperlukan satu tahap konfirmasi untuk memastikan
status balita kurus yang menerima PMT.
4) Belum tercapainya target terjadi karena sistem pencatatan
dan pelaporan yang belum terbangun maksimal.
5) Indikator persentase balita kurus mendapat makanan
tambahan,
sangat
pengadaan.
berhubungan
Keterlambatan
dengan
dalam
proses
pengadaan
mengakibatkan terlambatnya proses distribusi hingga ke
sasaran sehingga mempengaruhi hasil cakupan indikator.
c. Alternatif Pemecahan Masalah
1) Sosialisasi
dan
advokasi
yang
kontinyu
mengenai
indikator persentase balita kurus mendapat makanan
tambahan, beserta definisi operasionalnya agar mudah
dilaksanakan di daerah.
2) Membangun sistem pencatatan dan pelaporan secara
terpadu melalui SIGIZI.
3) Mengupayakan penyediaan PMT tepat waktu.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
40
6. Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah
Darah (TTD)
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, diketahui anemia
pada ibu hamil sebesar 37.1%. Anemia pada ibu hamil berisiko
terhadap terjadinya
Untuk mengurangi risiko terjadinya anemia saat hamil,
maka Kementerian Kesehatan memperluas sasaran programnya
kepada remaja puteri. Dimana remaja puteri ini merupakan
calon ibu dan ibu hamil selanjutnya. Untuk itu kelompok
sasaran ini dipersiapkan kualitas status gizinya sejak masih dini
dengan cara memberikan tablet tambah darah (TTD), 1 (satu)
tablet setiap minggu saat tidak haid dan 1 (satu) tablet setiap
hari saat sedang haid, selama minimal 4 (empat) bulan.
Sama
halnya
dengan
indikator bayi baru lahir mendapat
IMD,
indikator
remaja
putri
mendapat tablet tambah darah pun
cakupan
dapat
secara
nasional
menggambarkan
tidak
kondisi
nasional, karena dari 34 provinsi, hanya 9 (sembilan) provinsi
yang melaporkan cakupannya. Hal ini tentu saja tidak dapat
mewakili situasi Indonesia secara utuh. Akan tetapi, perlu
memberikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh provinsi yang
lapor karena selain sudah melaporkan kegiatannya, cakupan
provinsi-provinsi tersebut sudah melebihi target nasional yaitu
sebesar 10%.
Secara rinci, capaian 9 (sembilan) provinsi yang lapor
dapat dilihat pada gambar berikut.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
41
Distribusi Persentase Remaja Putri Mendapat TTD
Menurut Provinsi Tahun 2015
120.0
100.0
100.0
88.1
86.7
80.0
60.0
33.2
40.0
20.0
11.1
14.4
20.0
17.6
23.5
25.8
0.0
DIY
Riau
Lampung
Sumbar
Sumsel
Sumber data: Laporan Bulanan Dinkes Provinsi Tahun 2015
Evaluasi dan analisis capaian indikator persentase remaja
puteri mendapat tablet tambah darah (TTD) dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung Tercapainya Indikator
Beberapa faktor yang diharapkan dapat mendukung tercapainya
target indikator persentase remaja puteri mendapat TTD adalah:
1) Walaupun stok tablet tambah darah bagi remaja puteri belum
teralokasikan pada anggaran 2015, akan tetapi pelaksanaan
program ini dapat berjalan dengan menggunakan stok „sisa‟
TTD bagi ibu hamil. Selain itu beberapa daerah/sekolah
menggunakan TTD mandiri, dimana beberapa sekolah/siswa
dengan kesadaran penuh membeli sendiri tablet tambah
darahnya.
2) Beberapa daerah sudah melakukan proyek percontohan
pemberian TTD kepada remaja putri di beberapa sekolah
menengah,
sehingga
pengalaman
ini
dapat
mendorong
pelaksanaan dan pencapaian indikator ini.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
42
b. Permasalahan Terkait Indikator
1) Indikator persentase remaja puteri mendapat tablet tambah
darah (TTD) merupakan indikator baru. Terkait dengan
kondisi tersebut, belum semua daerah terpapar dengan
indikator ini beserta definisi operasionalnya.
2) Belum
terpaparnya
mengakibatkan
indikator
dalam
baru
sistem
di
semua
pelaporan
daerah,
yang
sudah
terbangun belum mencantumkan indikator baru.
3) Ketersediaan stok tablet tambah darah bagi remaja puteri
belum terfasilitasi oleh pusat (Ditjen Farmasi dan Alat
Kesehatan), karena itu pada pelaksanaan pemberian tablet
tambah darah bagi remaja puteri sangat tergantung dengan
stok „sisa‟ dari tablet tambah darah bagi ibu yang ada di
daerah.
4) Belum ditemukannya mekanismes pendataan cakupan TTD
mandiri.
5) Belum adanya pengaturan terhadap kandungan ferro sulfat
yang terdapat dalam TTD mandiri yang setara dengan TTD
program yang disediakan oleh pemerintah.
c. Alternatif Pemecahan Masalah
Untuk
mengatasi
permasalahan
di
atas
maka
perlunya
dirumuskan alternatif pemecahan masalah, antara lain:
1) Sosialisasi yang terus menerus mengenai definisi operasional
indikator hingga cara perhitungan cakupan indikator, agar
dicapai
kesamaan
pemahaman
dan
cakupan
yang
terlaporkan mempunyai validitas yang sama.
2) Membangun sistem pelaporan yang terpadu hingga level
puskesmas melalui SIGIZI.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
43
3) Direktorat Bina Gizi akan berkoordinasi dengan Ditjen
Farmalkes agar teralokasikan stok tablet tambah darah bagi
remaja puteri.
4) Menyusun Naskah Akademi tentang kandungan ferro sulfat
TTD mandiri.
5) Penyusunan pedoman penataan cakupan TTD mandiri.
6) Penyusunan Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet
Tambah Daerah Bagi Remaja Puteri.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
44
Realisasi Anggaran
Dalam rangka mewujudkan target sasaran strategisnya, Direktorat
Bina Gizi pada tahun 2015 mempunyai pagu awal sebesar Rp
388.497.675.000,-
melalui
DIPA
dengan
nomor:
DIPA-
024.03.1.466034/2015 tanggal 7 Desember 2014. Selama periode
berjalan, Direktorat Bina Gizi telah melakukan 3 (tiga) kali revisi
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dari DIPA awal. Hal ini
disebabkan oleh:
1. Perubahan
pejabat
penandatangan
SPM
dan
bendahara
pengeluaran dari TA 2014 ke TA 2015 (Revisi ke-1 tanggal 27
Januari 2015).
2. Program penghematan belanja pemerintah melalui efisiensi
belanja perjalanan dinas yang disertai dengan penambahan
anggaran untuk refocusing kegiatan (Revisi ke-2 tanggal 4
Agustus 2015).
3. Penambahan anggaran yang berasal dari realisasi dana hibah
UNICEF dan WHO yang diterima Direktorat Bina Gizi Tahun
2015
serta
adanya
perubahan
kegiatan
sesuai
dengan
kebutuhan dan situasi serta kondisi pada saat pelaksanaan
(Revisi ke-3 tanggal 31 Desember 2015).
Sehingga total anggaran Direktorat Bina Gizi pada tahun 2015
sebesar Rp 394.232.275.000,-. Anggaran tersebut dibagi kedalam 8
(delapan) kategori dengan rincian sebagai berikut:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
45
Rincian Anggaran Rencana Kerja Direktorat Bina Gizi Tahun 2015
Sasaran
Strategis
Meningkatnya
kualitas
pelayanan gizi
masyarakat
Indikator Kinerja
1
2
3
4
5
6
7
8
Persentase (%) ibu hamil
Kurang Energi Kronik yang
mendapat makanan
tambahan
Persentase (%) ibu hamil
yang mendapat Tablet
Tambah Darah (TTD)
Persentase (%) bayi usia
kurang dari 6 bulan yang
mendapat ASI eksklusif
Persentase (%) bayi baru
lahir mendapat Inisiasi
Menyusu Dini (IMD)
Persentase (%) balita kurus
yang mendapat makanan
tambahan
Persentase (%) remaja puteri
yang mendapat Tablet
Tambah Darah (TTD)
Persentase satuan kerja
yang menyelenggarakan
administrasi
kepemerintahan sesuai
ketentuan
Persentase sarana dan
prasarana kerja yang sesuai
standar
Anggaran (Rp)
47.418.166.600
3.019.146.600
2.137.626.600
259.401.994.600
65.255.582.600
14.939.868.000
2.059.890.000
Anggaran sebesar Rp 377.232.517.000,- atau 95.69% dari
total pagu anggaran yang diemban oleh Direktorat Bina Gizi
direncanakan akan digunakan langsung untuk mendukung 6
(enam) indikator kinerja kegiatan yang langsung berhubungan
dengan pencapaian sasaran strategis. Sementara itu 4.31% (Rp
16.999.758.000,-) digunakan untuk kegiatan dukungan manajemen
yang terbagi kedalam 2 (dua) indikator yaitu persentase satuan kerja
yang menyelenggarakan administrasi kepemerintahan sesuai ketentuan
dan persentase sarana dan prasarana kerja yang sesuai standar. Tingkat
capaian sasaran strategis diperoleh dengan realisasi anggaran
sebagai berikut:
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
46
Realisasi Anggaran Berdasarkan Indikator Kinerja Direktorat Bina Gizi
Tahun 2015
Sasaran
Strategis
Indikator
Kinerja
%
Anggaran
Meningkatnya
kualitas
pelayanan
gizi
masyarakat
Persentase (%) ibu
hamil Kurang
Energi Kronik
yang mendapat
makanan
tambahan
35.6%
47.418.166.600
47.156.066.500
99.45
Persentase (%) ibu
hamil yang
mendapat Tablet
Tambah Darah
(TTD)
83.2%
3.019.146.600
2.902.128.129
96.12
Persentase (%)
bayi usia kurang
dari 6 bulan yang
mendapat ASI
eksklusif
41.9%
Persentase (%)
bayi baru lahir
mendapat Inisiasi
Menyusu Dini
(IMD)
38.7%
Persentase (%)
balita kurus yang
mendapat
makanan
tambahan
15.8%
Persentase (%)
remaja puteri
yang mendapat
Tablet Tambah
Darah (TTD)
20.0%
2.137.626.600
Realisasi
%
1.859.380.323
86.98
259.401.994.600
233.695.615.778
90.09
65.255.582.600
61.536.969.470
94.30
Persentase satuan
kerja yang
menyelenggarakan
administrasi
kepemerintahan
sesuai ketentuan
14.939.868.000
10.602.487.342
70.97
Persentase sarana
dan prasarana
kerja yang sesuai
standar
2.059.890.000
2.010.942.150
97.62
394.232.275.000
359.702.389.174
91.26
TOTAL
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa realisasi anggaran yang
mendukung langsung pencapaian 6 (dua) indikator kinerja kegiatan
perbaikan gizi mencapai 92.03%, sementara itu jika dihitung dari
total pagu anggaran yang diemban Direktorat Bina Gizi pada tahun
2015, realisasi 6 (enam) indikator kinerja kegiatan perbaikan gizi
sebesar 88.06%.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
47
Sampai dengan tanggal 31 Desember 2015, Direktorat Bina
Gizi sudah mampu merealisasikan belanja secara bruto sebesar Rp
359.702.389.174,394.232.275.000,-.
(91.26%)
dari
Anggaran
total
anggaran
sebesar
8.76%
sebesar
yang
Rp
tidak
terealisasikan disebabkan antara lain karena:
1. Terdapat sisa anggaran dari pelaksanaan pengadaan dan
distribusi sebesar Rp 25.918.118.485,-.
2. Terdapat alokasi anggaran yang masih diblokir sebesar Rp
3.500.000.000,- karena waktu pelaksanaan kegiatan yang tidak
memungkinkan.
3. Terdapat
sisa
anggaran
kegiatan
operasional
sebesar
Rp
5.046.125.867,4. Terdapat sisa anggaran kegiatan hibah luar negeri sebesar Rp
4.440.956,-.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
48
Penutup
Pada tahun 2015 Direktorat Bina Gizi mendapat alokasi
anggaran sebesar Rp 377.232.517.000,- untuk mendukung secara
langsung pencapaian 6 (enam) indikator kinerja kegiatan, dari total
anggaran Rp 394.232.275.000,-, yang telah ditetapkan dalam
Renstra
Kementerian
Kesehatan
RI
tahun
2015-2019
yaitu
persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang mendapat
makanan tambahan, persentase ibu hamil yang mendapat Tablet
Tambah Darah (TTD), persentase bayi usis kurang dari 6 (enam)
bulan yang mendapat ASI eksklusif, persentase bayi baru lahir
mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD), persentase balita kurus
yang mendapat makanan tambahan, dan persentase remaja puteri
yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD). Dengan realisasi
sebesar 91.26% dari total pagu anggaran, terlihat signifikan dengan
tercapainya target 5 (lima) indikator dari 6 (enam) indikator yang
ditetapkan, walaupun belum semua provinsi melaporkan indikator
persentase bayi baru lahir mendapat IMD dan persentase remaja
puteri yang mendapat TTD. Hal tersebut di atas disebabkan antara
lain karena seluruh indikator Direktorat Bina Gizi tahun 2015
merupakan indikator baru, sesuai dengan Renstra Kemenkes Tahun
2015-2019, dan sangat berbeda dengan indikator kinerja Direktorat
Bina Gizi sebelumnya (tahun 2010-2014). Terkait dengan kondisi
tersebut, belum semua daerah terpapar dengan indikator baru
tersebut. Belum terpaparnya indikator baru di semua daerah,
mengakibatkan dalam sistem pelaporan yang sudah terbangun
belum mencantumkan indikator baru. Indikator-indikator yang
baru ini sesungguhnya merupakan kegiatan-kegiatan yang sudah
biasa dilaksanakan di lapangan. Hanya saja belum tercantumnya
indikator baru dalam sistem pelaporan, menjadikan kegiatankegiatan yang dilaksanakan tersebut tidak terlaporkan, sehingga
tidak tercatat dan berpengaruh terhadap cakupan setiap daerah.
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
49
Selain itu, indikator persentase ibu hamil KEK mendapat makanan
tambahan, ibu hamil mendapat TTD, dan balita kurus mendapat
makanan tambahan, serta remaja puteri mendapat TTD sangat
berhubungan dengan proses pengadaan. Keterlambatan dalam
pengadaan mengakibatkan terlambatnya proses distribusi hingga ke
sasaran sehingga mempengaruhi hasil cakupan setiap indikator.
Dari permasalahan di atas, maka sangat penting kiranya
Direktorat Bina Gizi untuk melakukan:
-
sosialisasi yang terus menerus kepada daerah tentang enam
indikator
baru
ini,
sehingga
setiap
daerah
memasukkan
indikator-indikator tersebut masuk ke dalam sistem pencatatan
dan pelaporannya.
-
sosialisasi yang terus menerus mengenai definisi operasional
setiap indikator hingga cara perhitungan cakupan indikator,
agar cakupan yang terlaporkan mempunyai validitas yang sama.
Untuk itu Direktorat Bina Gizi akan membangun sistem pelaporan
hingga level puskesmas melalui SIGIZI, dengan memasukkan semua
unsur data yang terkait dengan indikator baru serta sosialisasi
pemanfaatan SIGIZI secara kontinyu.
Sangat disadari bahwa penentuan indikator pada masingmasing kegiatan sangat mempengaruhi nilai akhir pencapaian
kinerja kegiatan, sasaran dan program sehingga upaya peningkatan
pendidikan
masyarakat,
penanggulangan
dan
perbaikan
gizi
masyarakat serta penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk
pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak balita secara
paripurna diharapkan dapat mengatasi masalah gizi yang ada,
sebagai upaya mewujudkan perbaikan gizi masyarakat.
Laporan
Akuntabilitas
Kinerja
ini
tentunya
bermanfaat
sebagai bahan penilaian dalam upaya pemantauan, pengawasan
dan pengendalian pelaksanaan kegiatan program pembinaannya di
masa mendatang. Semoga Laporan Akuntabilitas Kinerja ini dapat
dijadikan dasar bagi penyusunan Program Pembinaan Gizi di
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
50
Direktorat Bina Gizi pada khususnya dan Kementerian Kesehatan
pada umumnya, dalam rangka mewujudkan Masyarakat Sehat yang
Mandiri
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
dan
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
Berkeadilan.
51
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA
TAHUN 2015 – JANUARI 2016
52