Academia.eduAcademia.edu

Public Health Law: Study Material Part 1

Pandangan masyarakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan berbagai persepsi pula tentang hukum. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi pengertian sebagai pengatur. Oleh karena itu aturan aturan di bidang kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan mungkin lebih luas lagi cakupannya dari itu. Dalam pandangan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh cicero, yaitu dimana setiap masyarakat disitu ada hukum (ibi societas ibi ius) telah mengindikasikan bahwa setiap aktivitas masyarakat pasti ada hukumnya. Demikian halnya dengan praktek penyelenggaraan kesehatan, yang tentunya pada setiap kegiatannya memerlukan pranata hukum yang dapat menjamin terselengaranya penyelenggaraan kesehatan. Pranata hukum yang mengatur penyelenggaraan kesehatan adalah perangkat hukum kesehatan. Adanya perangkat hukum kesehatan secara mendasar bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.

HUKUM KESEHATAN Bahan Ajar IBNU SINA CHANDRANEGARA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan masyarakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan berbagai persepsi pula tentang hukum. Hukum dalam arti peraturan perundang- undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi pengertian sebagai pengatur. Oleh karena itu aturan aturan di bidang kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan mungkin lebih luas lagi cakupannya dari itu. Dalam pandangan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh cicero, yaitu dimana setiap masyarakat disitu ada hukum (ibi societas ibi ius) telah mengindikasikan bahwa setiap aktivitas masyarakat pasti ada hukumnya. Demikian halnya dengan praktek penyelenggaraan kesehatan, yang tentunya pada setiap kegiatannya memerlukan pranata hukum yang dapat menjamin terselengaranya penyelenggaraan kesehatan. Pranata hukum yang mengatur penyelenggaraan kesehatan adalah perangkat hukum kesehatan. Adanya perangkat hukum kesehatan secara mendasar bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. DI Indonesia hukum kesehatan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan manusia, dia lebih banyak mengatur hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan, dan lebih spesifik lagi hukum kesehatan mengatur antara pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit, puskesmas, dan tenaga-tenaga kesehatan lain dengan pasien. Karena merupakan hak dasar yang harus dipenuhi, maka dilakukan pengaturan hukum kesehatan, yang di Indonesia dibuat suatu aturan tentang hukum tersebut, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Hukum Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hukum kesehatan di Indonesia diharapkan lebih lentur (fleksibel dan dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran. Salah satu tujuan dari hukum, peraturan, deklarasi ataupun kode etik kesehatan adalah untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu hukum kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan terhadap pasien sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah yang akan timbul diantara hubungan perikatan antara dokter dan pasien, dan atau kelalaian serta kesalahan yang dilakukan oleh dokter, yang berakibat hukum entah itu hukum perdata maupun pidana. Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum kesehatan public (public health law) dan Hukum Kedokteran (medical law). Hukum kesehatan public lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan masyarakat atau mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk hukum kedokteran, lebih memilih atau mengatur tentang pelayanan kesehatan pada individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut tentang pelayanan kesehatan. Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, "...health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law".1 Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah ".... het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. 1 Van der Mijn, 1984, "The Development of Health Law in the Nederlands", Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari "Issues of Health Law", Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zin" 2. Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang- undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin. Dari pandangan tersebut tergambar bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.3Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan4. 2 H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22. 3 D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28. 4 Ibid, hal 33. Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, "... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights" 5. Pandangan masyarakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan berbagai persepsi pula tentang hukum. Hukum dalam arti peraturan perundang- undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi pengertian sebagai pengatur, meskipun pengertian hukum sebenarnya cukup luas. Prof. Sunaryati misalnya mengartikan hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan (materi hukum) semata, melainkan juga meliputi aparatur (kelembagaan), budaya, dan sarana serta prasarana, sehingga dikatakan olehnya bahwa hukum merupakan suatu sistem6. Dalam substansi hukum Sunaryati tidak membaginya berdasarkan pembagian yang konvensional seperti hukum pidana, perdata dan dagang, tata negara dan hukum internasional, melainkan juga mengarah kepada hukumhukum yang berkembang secara sektoral, misalnya hukum 5 Genevieve Pinet, 1998, "Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants", Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134. 6 BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996) hal.19. Dikatakan bahwa : Sistem ini terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Semua unsur/ komponen/ fungsi/ variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asasasas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan. Sistem hukum nasional tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat. teknologi dan telekomunikasi, hukum ekonomi dan pasar modal, termasuk hukum kesehatan7. Demikian pula apa yang disampaikan oleh Schuyt bahwa hukum merupakan sistem yang terdiri dari 3 (tiga) komponen8. Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen. Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur. Melihat atas pandangan mengenai hukum tersebut, maka seluruh peraturan dan kebijakan yang ada dalam penyelenggaraan kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan. Dan, aturan-aturan di bidang kesehatan merupakan bagian hukum kesehatan. Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk 7 8 Ibid., Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12. menentukan nasib sendiri (the right of self determination)9. Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi10. Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.11 9 Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22. 10 Roscam Abing, 1998, "Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe" dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107. 11 HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel. BAB II HUKUM KESEHATAN DI INDONESIA A. Pengertian Hukum dan Hukum Kesehatan Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Pergaulan hidup atau hidup dimasyarakat yang sudah maju seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun-temurun seperti sebelumnya lahirnya peradaban yang modern. Untuk itu, maka oleh kelompok masyarakat yang hidup dalam suatu masyarakat atau Negara diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis, yang disebut hukum. Meskipun demikian, tidak semua prilaku masyarakat atau hubungan antara satu dengan yang lainnya juga masih perlu diatur oleh hukum yang tidak tertulis yang disebut : etika, adat istiadat, tradisi, kepercayaan dan sebagainya12. Pengertian hukum sebenarnya begitu abstrak, sehingga sulit untuk diartikan. Dan, pada dasarnya tidak ada satupun definisi tentang hukum yang mempunyai arti sama, karena hukum adalah merupakan sesuatu yang abstrak. Bahkan dikemukakan oleh Prof. Van Apeldorn13 bahwa hukum terdapat 12 Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, 2010, hal. 43. 13 Apeldorn, dalam buku Achmad Ali tentang Menguak Tabir Hukum, Chadas Pratama, Jakarta 1996, hal. 21. Lihat juga : AdeMaman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 8. diseluruh dunia, dimana terdapat suatu masyarakat manusia. Disamping itu karena hukum tidak dapat ditangkap oleh panca indra, maka sangat sulit untuk membuat definisi tentang hukum yang dapat memuaskan orang. Pengertian hukum seperti yang digambarkan oleh Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, misalnya lebih mengedepankan pandangan- pandangan seperti yang digambarkan oleh masyarakat, yaitu :14 1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3. Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. 4. Hukum sebagai Tata Hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah- kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tetentu serta berbentuk tertulis. 5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum ("law enforcement officer"). 6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut (Wayne La Favre 1964) : "...Decision making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement", oleh karena yang dimaksudkan diskresi adalah (Roscoe Pounds 1960) : "an authority conferred by law to act in certain or conditions in accordance with an official's or an official agency's own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals." 7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari system kenegaraan. Artinya, hukum dianggap sebagai (Henry Pratt et.al. 1976): "A Command or prohibition emanating from the authorized agency of the state...,and back up by the authority and the 14 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 2-4. capacity to exercise force which is characteristic of the state." Dengan demikian, maka yang dimaksudkan dengan hukum adalah (Donald Black 1976): "...the normative life of a state ands its citizen, such as legislation, litigation and adjucation." 8. Hukum sebagai sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang "teratur" yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. 9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell : 1977). Selain itu oleh Satjipto Rahadjo dikatakan, bila dilihat dari tujuannya, secara umum dapat dikatakan bahwa "hukum" bertujuan menjaga ketertiban. Adapun unsur dari hukum itu terdiri dari : 1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; 2) Peraturan itu diadakan oleh badanbadan resmi yang berwajib; 3) Peraturan itu bersifat memaksa; dan 4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Sedangkan hukum juga memiliki ciri seperti : 1) Adanya perintah dan/atau larangan; dan 2) Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.15 Pengertian hukum sebagaimana tertera di atas, berbeda dengan pengertian dari peraturan perundang-undangan atau undang-undang. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah : "peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan". Sedangkan yang dimaksud dengan Undang-undang adalah : Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama 15 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal 38. Presiden.16 Bila "hukum" memiliki fungsi sebagaimana diterangkan di atas, maka peraturan perundang-undangan juga mempunyai fungsi. Fungsi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai kegunaan (gunanya) peraturan perundangundangan di lingkungan kerja berlakunya dalam rangkaian keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Secara esensial peraturan perundang-undangan fungsinya adalah mengatur sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument) pemerintah (negara) dalam rangka pelayanan kemasyarakatan apapun bentuknya, apakah penetapan, pengesahan, pencabutan atau pun perubahan. Dengan demikian fungsi peraturan perundang- undangan adalah sebagai berikut17: 1. Fungsi UUD yang utama adalah membatasi dan membagi kewenangan para penyelenggara pemerintahan Negara, sehingga dapat tercipta keterkendalian dan keseimbangan (chekcs and balances) diantara para penyelenggara pemerintahan negara sesuai dengan asas trias politica (distribution of powers) dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (clean governance/government). 2. Fungsi Undang-Undang (UU) adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 baik yang tersurat maupun yang tersirat sesuai dengan asas negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme. 3. Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah mengatur lebih lanjut sesuatu subtansi atau materi muatan yang dalam keadaan hal-ihwal kegentingan yang memaksa harus segera diatur berdasarkan Pasal 22 UUD 16 Lihat : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 1 angka 2 dan 3. 17 H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 154-158. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Negara RI Tahun 1945. Jika ditolak DPR Perpu tersebut harus dicabut. Fungsi Peraturan Pemerintah (PP) adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya baik yang diperintahkan secara tegas maupun tidak dari suatu UU. Landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Negara RI Th 1945. Dasar hukum UU-nya adalah UU No 12/2011 (UU-P3) Fungsi Peraturan Presiden (Perpres) adalah menyelenggarakan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan. Landasan formal konstitusionalnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Fungsi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah untuk menyelenggarakan aturan lebih lanjut atau mengisi kekosongan aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan dan hukum acaranya. Dasar hukumnya UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No 5/2004. Fungsi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) adalah untuk menyelenggarakan aturan lebih lanjut atau mengisi kekosongan aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan konstitusional dan hukum acaranya. Dasar hukumnya adalah UU No. 24/2003 Fungsi Peraturan BPK-kalau ada- adalah melaksanakan lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan pengawasan penggunaan uang dan kekayaan negara yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU yang mengatur tentang BPK yang dilakukan oleh semua lembaga pemerintah di pusat dan daerah untuk disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD dan selanjutnya untuk ditindaklanjuti. Fungsi Peraturan Bank Indonesia adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan UU no 23/1999 tentang Bank Indonesia yang berkaitan dengan tujuan dan tugas Bank Indonesia mengenai kestabilan rupiah, kebijakan moneter,kelancaran sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. 10. Fungsi 11. 12. 13. 14. Peraturan Menteri (Permen) adalah menyelenggarakan fungsi pemerintahan umum sebagai pembantu presiden sesuai dengan lingkup tugasnya dan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Peraturan Kepala LPND/Komisi/Badan atau yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi serta kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan menetapkan LPND/Badan/Komisi tersebut. Fungsi Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) adalah untuk menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (vide Pasal 136 dari UU No 32/2004). Di samping itu, fungsi Perda Provinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran DPRD Propinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD dan pengelolaan keuangan Propinsi (vide Pasal 181 s/d Pasal 191 UU No 32/2004 Fungsi peraturan Gubernur Provinsi adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Perda Provinsi atau atas kuasa peraturan perundang-undangan (lain) yang lebih tinggi, sesuai dengan lingkup kewenangan provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif (wakil pemerintah pusat/dekonsentrasi) Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) adalah untuk menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah di tingkat Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan (medebewin) dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (vide Pasal 136 dari UU No. 32/2004). Disamping itu fungsi Perda Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten/Kota (vide Pasal 181 s/d Pasal 191 UU No 32/2004) 15. Fungsi Peraturan Bupati/Walikota adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Perda Kabupaten/Kota atau melaksanakan peraturan perundangundangan (lain) yang lebih tinggi. 16. Fungsi Peraturan Desa (Perdes) atau yang sejenis misalnya Peraturan Nagari antara lain adalah untuk menyelenggarakan ketentuan yang berisi pengayoman adat istiadat desa yang selama ini sudah mentradisi dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Kedudukan peraturan perundang-undangan, saat ini menjadi penting baik untuk negara yang menganut sistem kontinental maupun negara yang menganut sistem anglo sakson. Sistem anglo sakson tidak menjadikan peraturan perundangundangan sebagai sendi utama sistemnya sendi utamanya adalah pada yurisprudensi. Sistem hukum anglo sakson berkembang dari kasus-kasus konkrit dan dari kasus konkrit tersebut lahir berbagai kaidah dan asas hukum. Karena itu sistem hukum ini sering disebut sebagai sistem hukum yang berdasarkan kasus (case law system). Dalam perkembangan, perbedaan dasar antara sistem kontinental dan sistem anglo sakson makin menipis. Pada sistem kontinental, yurisprudensi makin penting sebagai sumber hukum. Begitu pula peraturan perundang-undangan, pada sistem anglo sakson makin menduduki tempat yang penting . Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal : a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya. b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah ditemukan kembali. c. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya. d. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundangundangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.18 Disamping memiliki peran yang besar, tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah (antara lain) : a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukumhukum sendiri akan "terpaksa" menerima peraturan perundang-undangan yang sudah "ketinggalan". Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai "ketidak-adilan" dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat. b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut sebagai kekosongan hukum atau "rechtsvacuum".19 Dari beberapa pandangan seperti dikemukakan tersebut, undang- undang merupakan hukum tertulis. Dan hukum tertulis tersebut dikelompokkan menjadi sebagai berikut : 18 Ibid., hal. 8. Ibid., Menurut Bagir Manan yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) bukan sebagai kekosongan hukum atau (rechtsvacuum). Hal ini sesuai sesuai dengan ajaran Cicero (ubi societas ibi ius), maka tidak akan ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila "hukum resmi" tidak memadai atau tidak ada. 19 a. Hukum perdata mengatur subjek dan antarsubjek, anggota masyarakat yang satu dengan yang lain dalam hubungan interrelasi. Hubungan interrlasi ini antara kedua belah pihak sama atau sederajat atau mempunyai kedudukan sederajat atau mempunyai kedudukan sederajat. Misalnya, hubungan antara penjual dan pembeli, hubungan antara penyewa dan yang menyewakan. Di samping itu hubungan antara keluarga, kesepakatan- kesepakatan dalam keluarga, termasuk perkawinan dan warisan juga dapat digolongkan dalam hukum perdata. b. Hukum pidana adalah mengatur hubungan antara subjek dan subjek dalam konteks hidup bermasyarakat dalam suatu Negara. Dalam hukum pidana selalu terkait antara seseorang yang melanggar hukum dengan penguasa ( dalam hal ini pemerintah ) yang mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Dalam hukum pidana atau peraturan mengenai hukuman, kedudukan penguasa/pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sebagai subjek hukum. c. Hukum administrasi mengatur mengatur subjek dan subyek lainnya yaitu pemerintah. Dengan kata lain antara anggota masyarakat dengan pemerintah dalam hubungan interrelasi. Hubungan interrelasi ini berupa yang satu meminta permohonan/ijin dan yang lainnya memberikan ijin atas kewenangannya. Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan itu mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat. Hukum kesehatan relatif masih muda bila dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain. Perkembangan hukum kesehatan baru dimulai pada tahun 1967, yakni dengan diselenggarakannya "Word Congress on Medical Law" di Belgia tahun 196720. Di Indonesia, perkembangan hukum 20 Soekidjo Notoatmodjo, Op.Cit., hal. 44. kesehatan dimulai dengan terbentuknya kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI dan Rumah Sakit Ciptomangunkusomo di Jakarta tahun 1982. Hal ini berarti, hampir 15 tahun setelah diselenggarakan Kongres Hukum Kedokteran Dunia di Belgia. Kelompok studi hukum kedokteran ini akhirnya pada tahun 1983 berkembang menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI). Pada kongres PERHUKI yang pertama di Jakarta, 14 April 1987. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau kelompok-kelompok profesi kesehatan yang saling berhubungan dengan yang lainnya, yakni : Hukum Kedokteran, Hukum Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya21. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, meskipun Etika dan Hukum Kesehatan mempunyai perbedaan, namun mempunyai banyak persamaan, antara lain22 : 1. Etika dan hukum kesehatan sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat dalam bidang kesehatan. 2. Sebagai objeknya adalah sama yakni masyarakat baik yang sakit maupun yang tidak sakit ( sehat ). 3. Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik pihak yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima pelayanan kesehatan agar tidak saling merugikan. 4. Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik peyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan. 5. Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para pakar serta pengalaman para praktisi bidang kesehatan. Sedangkan perbedaan antara etika kesehatan dan hukum kesehatan, antara lain : 21 22 Ibid., Ibid., Etika kesehatan hanya berlaku dilingkungan masingmasing profesi kesehatan, sedangkan hukum kesehatan berlaku untuk umum. b. Etika kesehatan disusun berdasarakan kesepakatan anggota masing- masing profesi, sedangkan hukum kesehatan disusun oleh badan pemerintahan, baik legislative ( Undang-Undang=UU, Peraturan Daerah = Perda ), maupun oleh eksekutif ( Peraturan Pemerintah / PP, Kepres. Kepmen, dan sebagainya). c. Etika kesehatan tidak semuanya tertulis, sedangkan hukum kesehatan tercantum atau tertulis secara rinci dalam kitab undang-undang atau lembaran Negara lainnya. d. Sanksi terhadap penyelenggaraan etika kesehatan berupa tuntunan, biasanya dari organisasi profesi, sedangkan sanksi pelanggaran hukum kesehatan adalah " tuntutan ", yang berujung pada pidana atau hukuman. e. Pelanggaran etika kesehatan diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Profesi dari masing-masing organisasi profesi, sedangkan pelanggaran hukum kesehatan diselesaikan lewat pengadilan. f. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, sedangkan untuk pelanggaran hukum pembuktiannya memerlukan bukti fisik. a. Hukum kesehatan terkait dengan peraturan perundangundangan dibuat untuk melindungi kesehatan masyarakat di Indonesia. Peraturan perundang- undangan terkait dengan kesehatan adalah: 1. Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang tentang Kesehatan, yang pernah berlaku di Indonesia : ( UU Pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960 ; UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, direvisi menjadi UU NO. 36 Tahun 2009. 3. Peraturan Pemerintah. 4. Keputusan Presiden. 5. Keputusan Menteri Kesehatan. 6. Keputusan Dirjen/Sekjen. 7. Keputusan Direktur/Kepala Pusat. Kemudian dengan berkembangnya otonomi daerah, masing-masing daerah baik provinsi maupun kabupaten juga semakin marak untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan, misalnya : 1. Peraturan Daerah ( Perda ) 2. Keputusan Gubernur, Wali Kota atau Bupati 3. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Seperti telah disebutkan bahwa hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Oleh sebab itu, hukum kesehatan mengatur dua kepentingan yang berbeda, yakni : 1. Penerima pelayanan, yang harus diatur hak dan kewajiban, baik perorangan, kelompok atau masyarakat. 2. Penyelenggara pelayanan : organisasi dan sarana-prasarana pelayanan, yang juga harus diatur hak dan kewajibannya. Mengingat banyaknya penyelennggara pelayanan kesehatan, baik dari segi perorangan maupun kolektivitas, di mana masingmasing mempunyai kekhususan antara pihak yang dilayani kesehatannya maupun sifat pelayanan dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, maka hukum kesehatan itu dikelompokkan menjadi berbagai bidang, antara lain : 1. Hukum Kedokteran dan Kedokteran Gigi. 2. Hukum Keperawatan. 3. Hukum Farmasi Klinik. 4. Hukum Rumah Sakit. 5. Hukum Kesehatan Masyarakat. 6. Hukum Kesehatan Lingkungan. 7. Hukum Rumah Sakit. Disamping ketentuan mengenai aturan sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat pula etika kesehatan berupa : a. Lafal sumpah dokter, dokter gigi, Apoteker b. Lafal sumpah tenaga keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan c. Kode Etik Kedokteran, kedokteran gigi dan Apoteker d. Kode etik keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan e. Kode etik Rumah Sakit Sedangkan hukum dan etik terkait dengan hukum kesehatan adalah : a. Hukum Pidana, Perdata b. Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara) c. Hukum Agama, Militer d. Etika Umum dan bisnis e. Etika tenaga profesi lain (Hukum, Wartawan) f. UU No 39 th 1999 (HAM) Adanya hukum dan Etika tsb diatas, maka terdapat pula berbagai badan yang melaksanakan pengawasan, mengontrol dan memberi sanksi. Badan-badan peradilan tersebut antara lain : 1. Peradilan Pidana - Perdata 2. Peradilan Agama, Militer 3. Peradilan Administrasi / Tata Usaha Negara 4. Peradilan Hak Asasi Manusia 5. Peradilan Profesi Kesehatan 6. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan 7. Badan Perlindungan Kesehatan Nasional 8. Majelis Pembinaan Pengawasan Etika Kesehatan Medis 9. Majelis Etika Profesi dan Rumah Sakit B. Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Problematikanya Sejalan dengan perkembangan peradaban di dunia, ilmu dan teknologi kedokteran juga telah berkembang pesat. Persoalan kesehatan bukan lagi hanya menjadi persoalan antara dokter dan pasiennya, telah banyak pelaku-pelaku lain yang ikut berperan dalam dunia kesehatan, seperti asuransi kesehatan, industri alat medis dan farmasi serta masih banyak lagi yang lainnya. Dengan semakin meluasnya imu kesehatan, termasuk juga dokter atau tenaga kesehatan lainnya juga juga telah terspesialisasi, maka pada sisi lain dokter atau tenaga kesehatan atau nama lainnya tidak boleh lagi diisolasi dari hukum, karena seluruh masyarakat harus memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. Dengan adanya berbagai perkembangan tersebut, maka pada sekitar tahun 1960-an di negara-negara eropa dan amerika mulai berkembang bidang hukum baru yakni: hukum kesehatan. Hukum kesehatan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban tenaga kesehatan, individu dan masyarakat dalam pelaksanaan upaya kesehatan, aspek organisasi kesehatan dan aspek sarana kesehatan. Selain itu, hukum kesehatan dapat juga dapat didefinisikan sebagai segala ketentuan atau peraturan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa : "Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis"23. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan amanah konstitusi dan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karenanya, untuk setiap kegiatan dan atau upaya yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya harus dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan daya saing bangsa serta pembangunan nasional Indonesia. Hukum kesehatan berperan untuk mengusahakan adanya keseimbangan tatanan di dalam upaya pelaksanaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat serta memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan hukum kesehatan yang berlaku. Hukum kesehatan memiliki cakupan yang lebih luas daripada hukum medis (medical law). Hukum kesehatan meliputi, hukum medis (medical law), hukum keperawatan (nurse law), hukum rumah sakit (hospital law), hukum pencemaran lingkungan (environmental law) dan berbagai 23 Lihat : Pasal 1 angka 1 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan macam peraturan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan manusia. Hukum kesehatan tidak dimuat dalam satu kitab khusus seperti halnya kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Hukum kesehatan dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesehatan manusia atau peraturan perundang-undangan lainnya yang memuat pasal atau ketentuan mengenai kesehatan manusia. Ketentuan mengenai hukum kesehatan tersebut penerapannya dan penafsirannya serta penilaian terhadap faktanya merupakan bidang medis. Itulah sebabnya hukum kesehatan merupakan salah bidang ilmu yang cukup sulit untuk ditekuni karena harus terkait dengan 2 (dua) disiplin ilmu sekaligus. Regulasi bidang hukum kesehatan seperti yang saat ini menjadi rujukan dalam menyelenggarakan sesuatu berkaitan dengan masalah kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009). Terdapat beberapa istilah yang penting untuk mengetahui penyelenggaraan kesehatan di Indonesia, yaitu24 : 1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. 5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada 24 Ibid., Pasal 1 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. 13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. 14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. 15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. 16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Terkait dengan penyelenggaraan kesehatan, beberapa hal penting diatur dalam UU Kesehatan adalah mengenai upaya kesehatan, tenaga kesehatan, sarana kesehatan, obat dan alat kesehatan. 1. Upaya Kesehatan Pengertian secara umum mengenai upaya kesehatan yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat25. Sedangkan mengenai Penyelenggaraan Upaya Kesehatan UU No. 36 Tahun 2009 mengaturnya sebagai berikut : 25 Ibid., Pasal 1 angka 11 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat26. b. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, 27 menyeluruh, dan berkesinambungan . a. Dalam upaya kesehatan, terkait dengan implementasinya adalah mengenai penyelenggaraannya. Kegiatan-kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan dengan kegiatankegiatan sebagai berikut28 : a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kesehatan tradisional; c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; e. kesehatan reproduksi; f. keluarga berencana; g. kesehatan sekolah; h. kesehatan olahraga; i. pelayanan kesehatan pada bencana; j. pelayanan darah; k. kesehatan gigi dan mulut; l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; m. kesehatan matra; n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; o. pengamanan makanan dan minuman; p. pengamanan zat adiktif; dan/atau q. bedah mayat. 26 Ibid, Pasal 46 Ibid, Pasal 47 28 Ibid, Pasal 48 ayat (1) 27 Penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut secara keseluruhan dilaksanakan oleh sumber daya kesehatan29. Dan, demi terselenggarannya maksud dari penyelenggaraan kesehatan, maka pemerintah dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang tidak kecil. Oleh karena itu peran pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk terselenggaranya upaya kesehatan. Ketentuan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 mengatur peran pemerintah dan masyarakat sebagai berikut : Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan. Dan, Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi30. Demikian pula halnya dengan pengembangan upaya kesehatan, peningkatan upaya kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketentuan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 yang mengatur peningkatan upaya kesehatan adalah 31: a. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. b. Upaya kesehatan sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat. c. Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian. d. Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dilaksanakan melalui kerja sama antarPemerintah dan antarlintas sektor. Tujuan dari upaya kesehatan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat32, yaitu : 29 Ibid., Pasal 48 ayat (2) Ibid., Pasal 49 31 Ibid., Pasal 50 32 1bid, Pasal 51 30 a. b. c. Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Upaya kesehatan sebagaimana didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan. Ketentuan mengenai standar pelayanan minimal kesehatan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pengaturan berkaitan dengan tenaga kesehatan Tenaga kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesehatan. Tanpa adanya tenaga kesehatan, mustahil penyelenggaraan kesehatan akan terlaksana. Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 dimaksud sebagai tenaga kesehatan adalah : "setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan"33. Keseluruhan terkait dengan tanaga kesehatan baik dari proses rekruitmen hingga penempatan dan pelaksanaan pekekrjaannya hingga pertanggungjawaban atas pekerjaannya secara keseluruhan diatur diatur oleh pemerintah. UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 mengatur tentang hal tersebut, yaitu : a. Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan34. b. Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah35. 33 Ibid., Pasal 1 angka 7 UU No.36 Tahun 2009 Ibid., Pasal 21 ayat (1) 35 Ibid., Pasal 21 ayat (2) 34 Untuk lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum baik mengenai hak dan tanggung jawab tenaga kesehatan maupun pertanggungjawabannya kepada masyarakat, maka tenaga kesehatan akan diatur tersendiri dengan UndangUndang36. Beberapa Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang persyaratan dan tanggung jawab tenaga kesehatan adalah : Pasal 22 (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. (2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Pasal 23 (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. (5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal24 (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. 36 Ibid., Pasal 21 ayat (3) (3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 25 (1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan. (2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. (3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 26 (1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. (3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan: a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat; b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada. (4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 27 (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. (3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 28 (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Pasal34 (1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan. (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal58 (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 63 Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (Pasal 63 ayat (4)). Pasal 65 Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.(Pasal 65 ayat (1) Pasal 67 Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (Pasal 67 ayat(1)) Pasal 68 Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu (Pasal 68 ayat (1). Pasal 69 Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (Pasal 69 ayat (1). Pasal 88 (1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. (2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi darah. Pasal 121 (1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. (2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 124 Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi. Pasal 127 (1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Pasal 147 (1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. (2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita. (4) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 157 (1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat. (2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempattempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 3. Pengaturan berkaitan dengan sarana kesehatan Pengertian umum mengenai sarana kesehatan tidak disebut secara tegas dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan mengenai sarana kesehatan yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu : Pasal26 (1) Pemerintah (2) (3) (4) (5) mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan: a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat; b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada. Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal73 Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pasal 128 Penyediaan fasilitas khusus diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum (Pasal 128 ayat (3)). Pasal 135 Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat (Pasal 135 ayat (1). 4. Pengaturan berkaitan dengan Obat dan Alat Kesehatan Ketentuan tentang obat sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan : Pasal 1 Ketentuan Umum, angka 4 : bahwa sediaan farmasi adalah bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Angka 8: Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Angka 9: Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Angka 11: Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Angka 14: Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Angka 16: Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pasal8 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Pasal36 (1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. (2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Pasal37 Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan. Pasal 38 (1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia. (2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat. (3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya. Pasal40 (1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat. (2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi. (3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat. (4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan. (5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten. (6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal59 (1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi : a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. (2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 63 (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat. (2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan. (3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya. (4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan Pasal 68 (1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal78 (1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. (2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. (3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. (1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan. Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat,usaha kesehatan gigi sekolah. Pasal94 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. (2) Pasal98 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/ bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal100 (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional. Pasal 101 (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal104 (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh enggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan. (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Pasal105 (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan. Pasal108 (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 126 (1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. (2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 149 (1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat. (4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Pasal 161 (1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat. (3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular. Pasal 165 (3) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. (2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja. (3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 166 Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja. Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 2. Pengaturan tentang Alat Kesehatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur pula berkaitan dengan alat kesehatan. Dalam Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang ketentuan umum disebutkan bahwa alat kesehatan merupakan sumber daya di bidang kesehatan. Dalam angka 2 Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan bahwa sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Angka 5 : Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak (1) mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Angka 7 : Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Angka 10 : Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia. Pasal37 (1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi. (2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan factor yang berkaitan dengan pemerataan. Pasal48 Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; Pasal 64 (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Pasal 68 (1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga (2) kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal104 (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan. (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Pasal105. (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan. Pasal 106 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang (1) kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 179 (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk: a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan; c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan; d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman; e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan; f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat; b. pendayagunaan tenaga kesehatan; c. pembiayaan. Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) C. Perbandingan Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 1. Sejarah Lahirnya Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Undang-Undang RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan dibentuk berdasarkan 5 (lima) pertimbangan37, yaitu : Pertama, kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan. Kedua, prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga, kesehatan adalah investasi. Keempat, pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-undang No. 23 Tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat38. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita- cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan 37 Lihat : Konsideran menimbang Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 38 Dasar mengingat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah Undang- Undang Dasar tahun 1945 Negara Republik Indonesia. Undang-undang kesehatan yang terbaru ini terdiri dari 22 bab dan 205 pasal, serta penjelasannya. suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Selain itu kesehatan juga merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya pokok pikiran tersebut maka dirasa perlu melakukan perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan, oleh karena itu sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Menurut Leenen secara khusus perangkat hukum kesehatan harus bisa menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian karena undang-undang kesehatan terbaru ini dianggap mampu menjawab kompleksitas pembangunan kesehatan yang tidak terdapat (tertampung lagi) dalam undang-undang kesehatan yang lama, maka undangundang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masingmasing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Tentunya hal ini merupakan suatu konsep baru dimana pengelolaan kesehatan yang semula bersifat sentralistik saat ini menjadi otonom. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang- Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang kesehatan terbaru ini dalam perkembangan memungkinakan masih menimbulkan konsep pemahaman yang perlu dijabarkan lagi atau diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kesehatan, atau telah dijabarkan sebagaimana dicantumkan dalam "Pasal 203 pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang Kesehatan yang lama telah berganti dengan Undang-Undang Kesehatan yang baru. Sebagaimana ditunjukkan Pasal 204. Pada saat undang-undang ini berlaku, tanggal 30 Oktober 2009 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan yang terdiri dari 22 bab dan 205 pasal ini terbagi dalam sistematika berikut : Bab I Ketentuan Umum, Bab II Maksud dan Tujuan, Bab III Hak dan Kewajiban, Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah, Bab V Sumber daya Bidang Kesehatan yang meliputi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, Bab VI Upaya Kesehatan yang meliputi : Upaya pelayanan kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat, Pelayanan kesehatan; Perbekalan kesehatan, tehnologi dan produk tehnologi, Pelayanan kesehatan tradisional, Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; Kesehatan reproduksi; Keluarga berencana; Kesehatan sekolah; Kesehatan olahraga; Pelayanan kesehatan pada bencana; Pelayanan darah; Kesehatan gigi dan mulut; Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; Kesehatan matra; Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; Pengamanan makanan dan minuman; Pengamanan zat adiktif; dan/atau Bedah mayat. Bab VII Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, Lanjut Usia dan Penyandang Cacat, Bab VIII Gizi, Bab IX Kesehatan Jiwa Bab, X Penyakit Menular dan tidak menular, Bab XI Kesehatan lingkungan yang meliputi : Tentang lingkungan yang berwawasan kesehatan (lingkungan sehat) meliputi Limbah cair; Limbah padat; Limbah gas; Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; Binatang pembawa penyakit; Zat kimia yang berbahaya; Kebisingan yang melebihi ambang batas; Radiasi sinar pengion dan non pengion; Air yang tercemar; Udara yang tercemar; dan Makanan yang terkontaminasi. Bab XII Kesehatan Kerja, Bab XIII Pengelolaan Kesehatan. Pengelolaan administrasi kesehatan, Informasi kesehatan, Sumber daya kesehatan, Upaya kesehatan, Pembiayaan kesehatan, Peran serta dan pemberdayaan masyarakat, Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan, Bab XIV Informasi Kesehatan, Bab XV Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif, Bab XVI Peran serta Masyarakat Peran serta masyarakat tetapi masih tersirat masyarakat Masih sebagai objek dalam pembangunan kesehatan, Bab XVII Badan Pertimbangan Kesehatan, Bab XVIII Pembinaan dan Pengawasan, Bab XIX Penyidikan, Bab XX Ketentuan Pidana yang meliputi : Ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan. Bab XXI Ketentuan peralihan, dan Bab XXII Penutup. Bila dibandingkan dengan undang-undang kesehatan terdahulu, maka dapat terlihat sistimatika dari Undang Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan yaitu : Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III Hak dan Kewajiban Hak, Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah, Bab V Upaya Kesehatan, Bab VI Sumber Daya Kesehatan Sumber, Bab VII Peran Serta Masyrakat Masyarakat, Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan, Bab IX Penyidikan, Bab X Ketentuan Pidana, Bab XI Ketentuan Peralihan dan Bab XII Ketentuan Penutup. 2. Perbandingan Dengan Undang-Undang No.23 tahun 1992 Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita- cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Landasan Hukum Kesehatan terlihat dari Undang- undang Kesehatan baru ini, secara konseptual telah mencerminkan adanya asas hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Sejalan dengan hal tersebut undang undang kesehatan baru juga telah mentautkan bahwa hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi. Bila diamati secara detail terdapat beberapa perbedaan antara undang-undang kesehatan yang baru dengan yang lama. Terlepas dari pro kontra, hal ini merupakan sebuah langkah maju bagi dunia kesehatan di tanah air. Sebut saja misalnya ketentuan mengenai larangan merokok telah lama di perjuangkan oleh pakar dan praktisi kesehatan termasuk pada saat pembahsan RUU kesehatan tahun 1992. Namun karena kuatnya arus dan dominasi kalangan yang berkepentingan (pengusaha rokok) hal itu mentah dalam pembahasan di DPR. Kita cermati kembali mengenai ASI ekslusif, selama ini upaya untuk memperkuat program ASI ekslusif masih sebatas upaya persuasif dengan pendekatan promosi yang kalah gaung dari produsen susu formula. Saat ini ketentuan tentang ASI ekslusif tersebut telah diakomodasi lengkap dengan ketentuan pidana yang mengikat. Kondisi ini tentunya juga merupakan cerminan dari upaya politik yang dilakukan oleh pemerintah yang mendapat masukan secara terus menerus dari kalangan pegiat dan praktisi kesehatan. Undangundang kesehatan No. 32 Tahun 2009 ini merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Mengutip pernyataan ketua Pansus UU kesehatan dr.Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Undang Undang kesehatan yang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, otonomi daerah dan masyarakat saat ini, sehingga perlu perubahan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada rakyat miskin. Namun hal yang perlu diperhatikan kembali dari undang-undang Kesehatan yang baru tersebut mengatur sejumlah poin penting atau cukup berbeda dari UU yang lama yakni UU kesehatan nomor 23 tahun 1992. Adapun beberapa poin penting itu adalah : Pertama, sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemda, masyarakat, dan swasta yang besarnya 5% APBN, sementara untuk daerah besarnya 10 % dari APBD. Kedua, ketentuan aborsi diatur lebih jelas. Undang-udang Kesehatan ini langsung menyebutkan istilah 'aborsi', tidak lagi 'tindakan medis'. Sementara ketentuan pengecualian dari tindakan aborsi ini mencakup keadaan /kegawatdaruratan medis bagi ibu/janin, korban perkosaan dengan bantuan konsellor yang berkompeten.Usia kehamilan yang boleh dilakukan aborsi dibatasi hanya sampai umur kehamilan dibawah 6 minggu kecuali kedaruratan medis. Ketiga, Undang-udang Kesehatan menegaskan hak bayi untuk memperoleh ASI eksklusif selama 6 bulan, kecuali dalam keadaan darurat medis, ASI dapat digabung dengan makanan lain dan susu formula.Ketentuan pidana yang terkait hal ini jika setiap orang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI ekslusif diancam hukuman pidana maksimal 1 tahun dan denda 100 juta rupiah. Keempat, Undangundang Kesehatan juga memperjelas definisi zat adiktif yang masih rancu dalam UU Kesehatan sebelumnya, termasuk yang paling hangat dibicarakan tentang hilangnya ayat 2 pasal 113 yang menyebutkan tembakau sebagai salah satu zat adiktif. Larangan merokok di tempat umum juga disebutkan secara jelas yakni di tempat pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak,tempat ibadah, angkutan umum, tempat bekerja dan tempat umum yang ditetapkan. Ancaman pidananya pun cukup fantastik yaitu denda 50 Juta rupiah. Kelima, mengenai harga obat. Undang-udang ini memberikan kewenangan pada pemerintah untuk mengendalikan harga obat esensi dan obat generik agar harganya dapat terjangkau. Ketentuan lain yang cukup fenomenal adalah tentang jaminan kesehatan kepada masyarakat. Pemerintah dan rumah sakit tidak bisa lagi melepaskan diri dari kewajibannya memenuhi jaminan kesehatan. Rumah sakit tidak bisa lagi menolak pasien yang tidak bisa membayar uang muka dan tidak mampu membayar, khususnya pasien dalam keadaan darurat. Bagi Rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan yang membandel akan dikenani sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda 200 juta rupiah. Sedangkan jika tindakan tersebut mengakibatkan si pasien meninggal dunia/cacat tetap di kenai sanksi pidana 10 tahun dan denda 1 milyar rupiah. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dalam Undang-undang Kesehatan yang baru, penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu: 1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu; 2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu; 3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. 4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang. Selanjutnya tugas kita sebagai insan kesehatan bersama masyarakat untuk mengawal pelaksanaan Undang-udang ini sekaligus mengawal dan mengkritisi pemerintah sehingga benarbenar menjadi suatu bentuk nyata upaya politik yang pro rakyat dan bermanfaat secara luas kepada masyarakat danbangsa Indonesia yang tercinta. Dalam pandangan masyarakat kesehatan, persoalan kesehatan sarat dengan peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang- undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Oleh karena itu persoalan kesehatan sesungguhnya merupakan sub system dari system hukum. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt. Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenis sisteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen. Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundangundangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur. Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan undang-undang kesehatan yang baru tahun 2009 telah mengandung 4 (empat) obyek, yaitu: 1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan; 2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan; 3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan; 4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan. Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Hal itulah yang menjadi denyut jantung dari UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini. 3. Beberapa Problematika UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan UU kesehatan No.36 tahun 2009 merupakan salah satu Undang- Undang yang dikeluarkan Pemerintah untuk menjalankan kewajibannya dalam bidang kesehatan. Tetapi kebanyakan masyarakat luas belum mengetahui apa isi UU tersebut, bahkan mahasiswa yang bidangnya terkait dengan kesehatan sekalipun. UU kesehatan No.36 tahun 2009 tersebut pada dasarnya merupakan peraturan tentang kesehatan yang memberikan penjelasan tentang kesehatan, pengaturan pemberian sediaan farmasi, serta aturan-aturan yang mendukung segala kegiatan medis. Dasar pengaturan dari UU kesehatan No.36 tahun 2009 berlandaskan Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang isinya secara garis besar tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan cara penyediaan fasilitas kesehatan, peraturan perundangan, serta persamaan hak dan keadilan warga negaranya. Sedangkan bila dilihat dari sisi pertimbangan pemerintah UU ini mempunyai lima pertimbangan yaitu : pertama; kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan kesejahteraan yang harus diwujudkan, kedua; upaya prinsip kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan, ketiga; upaya pembangunan harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah dan masyarakat, keempat; menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dari ringkasan di atas kita dapat sedikit mengerti isi UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang telah mencakup peraturan kesehatan yang luas yang artinya seluruh tujuan dah harapan pemerintah telah tercakupi dalam UU tersebut seperti tujuan dalam UUD 1945 yang telah dimasukkan dalam UU No. 36 tahun 2009, walaupun begitu masih terdapat beberapa kekurangan dalam UU tersebut seperti masyarakat tidak diperuntukkan untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan dan sebagai subjek pembangunan kesehatan, karena isi UU tersebut diperuntukkan untuk petugas kesehatan dan pemerintah sebagai landasan hukum mereka. Beberapa pasal dalam UU tersebut memiliki fungsi yang sangat vital seperti ancaman pidana dan prosedur pemberian obat-obatan. Dan, dalam hal ini telah terjadi beberapa kasus. Kasus yang paling krusial adalah mengenai Gugatan Perawat (Misran S.Km). Dalam kasus ini, Saudara Misran S.Km, seorang yang berprofesi sebagai perawat dan bekerja sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang mengajukan gugatan kedua terhadap UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Saudara Misran menggugat UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dikarenakan dia dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena melakukan pelanggaran atas UU kesehatan No.23 Tahun 1992 dengan sangkaan menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa melalui resep dokter pada Maret 2009 lalu. Hal-hal yang digugat antara lain : mengenai penghapusan terhadap pasal 108 ayat (1) UU kesehatan No.36 tahun 2009 beserta Penjelasan Pasal 108 ayat (1) dan peninjauan atas pasal 190 ayat (1) UU kesehatan tersebut yang terkait dengan sanksi atas penolakan pekerjaan kesehatan seperti yang dimandatkan pasal 32 ayat (2) dan pasal 85 ayat (2). Gugatan Misran terdaftar dalam Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 12/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Gugatan Misran adalah ingin menghapus pasal 108 ayat (1) UU kesehatan No.36 tahun 2009 beserta Penjelasan Pasal 108 ayat (1) yang isinya : "Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan." Sedangkan isi penjelasannya : "Yang dimaksud dengan "tenaga kesehatan" dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan." Bila kita teliti, praktik kefarmasian memang harus dijalankan oleh tenaga kefarmasian karena tenaga kefaramsian memang dilatih untuk menangani pemberian atau pengadaan barang farmasi karena bila yang memberikan barang kefarmasian bukan tenaga terlatih bisa-bisa terjadi kesalahan pemberian dan mengakibatkan kerugian bagi sang pasien. Dalam penjelasan tertulis dikatakan bahwa bila tidak ada tenaga kefarmasian, kewenangan dapat diambil alih oleh tenaga kesehatan yaitu dokter dan/atau dokter gigi, bidan, danperawat walaupun secara terbatas. Pasal tersebut telah secara rinci menjelaskan wewenang dan tanggung jawab tenaga kesehatan dalam menangani pemberian barang kefarmasian agar tidak timbul kesalahan dalam pemberian barang kefarmasian sehingga meminimalkan kasus malpraktek. Jadi alasan Misran ingin menghapus pasal tersebut tidaklah masuk akal dan ambigu. Bayangkan bila semua orang yang tidak terlatih memberikan produk kefarmasian secara sembarangan, pasti akan muncul banyak kasus malpraktek yang terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab. Selanjutnya gugatan kedua yaitu peninjauan atas pasal 190 ayat (1) UU kesehatan tersebut yang terkait dengan sanksi atas penolakan pekerjaan kesehatan seperti yang dimandatkan pasal 32 ayat (2) dan pasal 85 ayat (2). Pasal 32 ayat 2 yaitu: "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka." Sedangkan pasal 85 ayat 2 isinya: "Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu." Dari kedua pasal tersebut dikatakan setiap pemberi layanan kesehatan tidak boleh mengambil keuntungan dan mendahulukan keselamatan pasien dalam keadaan darurat. Oleh sebab itu tiap pekerja berkewajiban untuk mengutamakan keselamatan pasien, mungkin ini alasan Misran memberikan obat golongan G pada pasiennya karena dianggap dalam posisi darurat saat itu. Dari pasal di atas tindakan yang dilakukan Misran memang benar tetapi hal ini bukan alasan untuk meninjau ulang pasal 190 ayat 1 yang isinnya : " Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)." Bila kita teliti kedua pasal ini berhubangan, bila tenaga kesehatan tidak mentaati aturan pasal 32 ayat 2 dan 25 ayat 2 maka akan diberi sanksi seperti di atas. Bila memang Misran memberikan obat karena berlandaskan pasal tersebut seharusnya pasal-pasal tersebut dapat menjadi pembelaan dirinya ketika disidang pengadilan selain masalah dia menyimpan obat golongan G karena ini memang ada pasal khusus tersendiri dan tidak ada sangkut pautnya tentang UU no. 36 tahun 2009. Pembahasan pasal-pasal yang digugat oleh Misran sangatlah ambigu karena sasaran penggugatan dan masalah yang dialaminya sangat tidak berhubungan. Dari sudut pandang yang lain pasal-pasal yang digugat mungkin sudah benar. Gugatan yang sangat tidak masuk akal adalah gugatan mengenai yang ingin menghapus pasal 108 ayat (1) UU kesehatan No.36 tahun 2009 beserta penjelasan Pasal 108 ayat (1), alasan gugatannya sangat tidak jelas karena bila pasal ini dihapuskan malah akan merugikan masyarakat dan pasien. Bisa saja gugatan ini mempunyai alasan lain di belakangnya yang memiliki kepentingan dan tujuan parsial tanpa memikirkan dampaknya. BAB III KETENTUAN HUKUM UPAYA KESEHATAN DAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA A. Upaya Kesehatan 1. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan meyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan39. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang dimaksud dalam hal ini mencakup40 : 1. Pelayanan kesehatan; 2. Pelayanan kesehatan tradisional ; 3. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit ; 4. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan ; 5. Kesehatan reproduksi ; 6. Keluarga berencana ; 7. Kesehatan sekolah ; 8. Kesehatan olahraga ; 9. Pelayanan kesehatan pada bencana ; 10. Pelayanan daerah ; 11. Kesehatan gigi dan mulut ; 12. Penanggulangan gangguan pengelihatan dan gangguan pendengaran; 13. Kesehatan matra ; 14. Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan ; 39 40 Lihat : Pasal 47 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lihat : Pasal 48 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 15. Pengamanan dan penggunaan makanan dan minuman ; 16. Pengamanan zat adikatif ; dan / atau 17. Bedah mayat. Adapun mengenai tanggung jawab dari penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 49 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa : Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas peyelenggaraan upaya kesehatan. Selain itu untuk menyelenggarakan upaya kesehatan maka peyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial budaya, moral dan etika profesi41. Dan, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat, karenanya peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian. Sedangkan ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan dilaksanakan melalui kerjasama antar pemerintah dan antar lintas sector42. Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud disini didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan43. 2. Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan ini terdiri atas pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan baik perorangan maupun masyarakat dalam ketentuan ini meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative. Adapun tujuan pelayanan kesehatan tersebut adalah : a. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihka kesehatan perseorangan dan keluarga. 41 Lihat : Pasal 49 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lihat : Pasal 50 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 43 Lihat : Pasal 41 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 42 b. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan menigkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan lainnya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas peyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti yang dimaksud diatas. Pengawasan terhadap peyelenggaraan pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Selain itu pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan. Standar mutu pelayanan paling tidak harus dapat memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat, yaitu : a. Perlindungan pasien Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Akan tetapi menerima atau menolak ini tidak berlaku pada : 1) Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular kedalam masyarakat yang lebih luas ; 2) Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri ; atau 3) Gangguan mental. b. Hak- hak pasien Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi ini tidak berlaku dalam hal : 1) Perintah undang-undang; 2) Perintah pengadilan; 3) Izin yang bersangkutan; 4) Kepentingan masyarakat; atau 5) Kepetingan orang tersebut. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau peyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang di terimanya. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud ini tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan ini diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Pelayanan Kesehatan Tradisional Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi: 1) Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan 2) Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. Pelayanan kesehatan tradisional ini dibina dan diawasi oleh pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional diatur dengan peraturan pemerintah. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. Penggunaan alat dan teknologi ini harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bettentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. Dalam pelayanan kesehatan tradisional ini, masyarakat juga diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamananny . pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat. 4. Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyulihan, peyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat. Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi resiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan meyediakan fasilitasi untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. 5. Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan Peyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan, dengan ketentuan bahwa : 1) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya. 2) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oelh tanaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 3) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/ atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan dengan Penyembuhan - Pemulihan dan Transplantasi, Implant, Bedah Plastik, dan Penggunaan Sel Punca. a. Penyembuhan - Pemulihan dan Transplantasi Peyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implant obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastic dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan dengan ketentuan : Hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. 2) Hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. 3) Dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan tertentu. 4) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya. 5) Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya. 6) Pengambilan dan pengiriman specimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan tertentu. b. Implant Pemasangan implant obat dan/atau alat kesehatan kedalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan tertentu. c. Bedah Plastik Bedah plastikc dan rekontruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan utnuk itu. Bedah plastic dan rekontruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas. d. Penggunaan Sel Punca Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi. Sel punca sebagaimana dimaksud tidak boleh berasal dari punca embrionik. 1) 6. Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Kesehatan reproduksi meliputi : a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan , dan sesudah melahirkan; b. Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan c. Kesehatan sistem reproduksi. Kesehatan reproduksi sebagaimana dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitaif. Kesehatan reproduksi harus memperhatikan : a. Hak-hak Reproduksi, dimana setiap orang berhak : 1) Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. 2) Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. 3) Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. 4) Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. b. Pelayanan Kesehatan Reproduksi 1) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. 2) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitative, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan. 3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang- undangan. 6. Keluarga Berencana Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan subur utnuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. 7. Kesehatan Sekolah Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Kesehatan sekolah ini diselenggarakan melaui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain. 8. Kesehatan Olahraga Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat. Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat ini merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga. Upaya kesehatan olahraga ini dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga. Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitative. Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga dilaksanakan oleh pemerintah-pemerintah daerah, dan masyarakat. 9. Pelayanan Kesehatan Saat Bencana a. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan saat bencana. Pelayanan kesehatan ini meliputi pelayanan kesehatan b. c. d. tanggap darurat dan pascabencana. Pelayanan kesehatan saat bencana ini mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut. Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan saat bencana. Pembiayaan sebagaimana saat bencana ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan saat bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebuh lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien. Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan. Fasilitas pelayanan kesehatan pada bencana dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu. 10. Pelayanan Darah Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Darah sebagaimana dimaksud di sini diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi criteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor. Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit. Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh unit Tranfusi Darah. Unit Tranfusi Darah dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya dibidang kepalangmerahan. Pelayanan tranfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelaksanaan pelayanan tranfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfuse darah. 11. Standar Pengelolaan Darah Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan tranfusi darah. Pemerintah juga bertanggungjawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, pemerintah juga menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah. Darah tidak dibenarkan untuk diperjualbelikan dengan dalih apapun. Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan produksi. Hasil proses pengolahan dan produksi dikendalikan oleh pemerintah. 12. Kesehatan Gigi dan Mulut Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh pemerintah, pemerintah daerah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi di sekolah. Untuk itu, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. 13. Penanggulangan Gangguan Pengelihatan dan Pendengaran Penangulanmagna ganguan pengelihatan dan gangguan pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indra pengelihatan, dan pendengaran masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan tersebut di atas menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 14. Kesehatan Matra Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut dan udara. Kesehatan matra ini meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan. Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standard an persyaratan. 15. Pengaman dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Oleh sebab itu, setiap orang yang tidak keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan penyimpanan, promosi, dan pengedaran. a. Sumber Sediaan Farmasi Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi. b. Obat Tradisional sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional. Masyarakat diberi kesempatan yang seluasluasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. c. Narkotika dan Psikotropika Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan. Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standard an/atau persyaratan tertentu. d. Pengamanan Farmasi Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesdehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan. Oleh sebab itu, pengunaan obat dan obat tradisonal harus dilakukan secara rasioanl. Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku harus memenuhi syarat farmakope Indoneisia atau buku standar lainnya. Sedangkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisonal dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standard an/atau persyaratan yang ditentukan. Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Pendanaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. e. Praktek kefarmasiaan Praktek kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendisbutrian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembanagn obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 16. Pengaman Makanan dan Minuman a. Produksi dan Distribusi Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribuksikan makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetic yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan. Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. b. Standard an Persyaratan Kesehatan Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standard an/atau persyaratan kesehatan. Oleh sebab itu, makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Setiap makan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi : Nama produk; Daftar bahan yang digunakan; Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan 5. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Pemberian tanda atau harus dilakukan secara benar danm akurat. Selanjutnya, ketentuan mengenai tata cara pemberian label tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman. 1. 2. 3. 4. 17. Pengaman Zat Adikatif Perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkunagn. Zat adiktif sebagaimana tersebut, meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Produkdi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok kewilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Kawasan-kawasan yang harus bebas dari asap rokok atau kawasan tanpa rokok antara lain : Fasilitas pelayanan kesehatan; Tempat proses belajar mengajar; Tempat anak bermain; Tempat ibadah; Angkutan umum; Tempat kerja;dan Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok diwilayahnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. a. Bedah Mayat Klinis Untuk kepentingan dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit. Bedah mayat klinis ini ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian. Bedah mayat klinis ini dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien. Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinnis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan. b. Bedah Mayat Anatomis Untuk kepentingan pendidikan dibidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis dirumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran. Bedah mayat anatomis sebagaimana ini hanya dap[at dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenak atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. Mayat yang dimaksud dalam hal ini harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis diatur dengan Peraturan Menteri. Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang- undangan. c. Bedah Mayat Forensik Untuk kepentinmgan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensic sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanagn. Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud dalam hal ini dilakukan oleh dokter ahli forensic, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensic dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan. B. Tenaga Kesehatan Dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa tenaga kesehatan merupakan sumber daya kesehatan yang paling utama. Sebab dengan tenaga kesehatan ini semua sumber daya kesehatan ynag lain seperti fasilitas pelayanan kesehatan, pembekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi dapat dikelola secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan yang diharapkan. Secara hukum tenaga kesehatan di Indonesia telah diatur tersendiri sejak 22 Juli 1963 ini masih menggunakan acuan hukum Undang-undang Kesehatan Tahun 1960. Tahun 1992 dengan keluarnya Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, maka Undang-Undang Pokok Kesehatan No.23 Tahun 60 sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan UU No.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan masih berlaku, sambil menunggu produk hukum yang baru yang mengacu pada UU No.23 Tahun 1992. Akhirnya pada tahun 1996, keluarlah Peraturan Pemerintah atau PP No.32 Tahun 1996 tentang tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dijelaskan, bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 1. Jenis Tenaga Kesehatan Dalam Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1996 dijelaskan adanya berbagai macam tenaga kesehatan, yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik dari segi latar belakang pendidikannya maupun jenis pelayanan atau upaya kesehatan yang dilakukan. Jenis tenaga kesehatan berdasarkan UU ini meliputi : tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga Kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisan medis. 1. Tenaga medis, mencakup: a. Dokter b. Doktergigi 2. Tenaga Keperawatan, mencakup: a. Perawat b. Bidang 3. Tenaga Kefarmasian, mencakup: a. Apoteker b. Analis c. Asisten apoteker 4. Tenaga Kesehatan masyarakat, mencakup a. Epidemiolog kesehatan b. Entomolog kesehatan c. Mikrobiolog kesehatan d. Penyuluh kesehatan e. Administrator Kesehatan f. Sanitarian 5. Tenaga gizi, yang mencakup : a. Nutrision b. Esisten 6. Tenaga keterapian fisik yang mencakup : a. Fisioterapis b. Akupasiterafis c. Terapis wicara 7. Tenaga Keteknisan medis, yang mencakup a. Radiografer b. Radioterafis c. Teknisi Gizi d. Teknisi elektromedis e. Analis kesehatan f. Refraksionis g. Optisien h. Otorik prostetek i. Teknisi tranfusi j. Perekam medis 2. Persyaratan Tenaga Kesehatan Untuk menduduki tugas dan fungsi sesuai dengan jenis tenaga kesehatan seperti telah disebutkan diatas, maka tenaga kesehatan harus mempunyai kemampuan atau keterampilan sesuai dengan jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, dalam Perturan Pemeragi intah No.32 Tahun 1996 diatur ketentuan sebagai berikut: a. Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijasah dari lembaga atau intitusi pendidikan b. Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki izin dari menteri. Persyarakatan ini dikecualikan bagi tenaga kesehatan masyarakat. c. Selain izin dari menteri, bagi tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembga pendidikan luar negeri harus melakukan adaptasi terlebih dahulu di fakultas atau lembaga pendidikan dokter negeri di Indonesia. 3. Perencanaan dan Pengadaan Tenaga Kesehatan a. Perencanaan Tenaga Kesehatan Perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata dan yang tersebar diseluruh jenis fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan. Dalam merencanakan tenaga kesehatan di indonesia didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan serta faktor-faktor sebagai berikut: 1) Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masayarkat. Hal ini akan ditentukan oleh jenis pelayanan (preventif, promotif, kuratif atau rehabilitatif) dengan memperhatikan pula faktor geografis, demografis dan sosial budaya masyarakat 2) Sarana kesehatan yang beraneka ragam yang tersebar diseluruh tanah air. Seperti diketahui bahwa sarana kesehatan kita bukan berarti puskesmas dan rumah sakit saja, tetapi juga sarana atau intitusi yang menunjang pelayanan kesehatan, seperti bidang farmasi, alat-alat dan teknologi kesehatan, laboratorium klinik, penelitian kesehatan dan biomedis, dan sebagainya. 3) Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Seperti telah disebutkan bahwa jenis tenaga kesehatan di Indonesia tidak kurang dari 28 jenis. Jenis tenaga kesehatan sebesar itu memang yang dibutuhkan oleh sarana dan fasilitas kesehatan yang ada saat ini. Meskipun belum semua tenaga kesehatan yang diperlukan di masayakat sudah tertampung dalam jenisjenis pelayanan kesehatan yang ada, seperti tekniker gigi, akupuntur dan mungkin masih ada lagi. b. Pengadaan Tanaga Kesehatan Ketentuan tentang pengadaan tenaga kesehatan yang diperlukan oleh berbagai jenis sarana dan pelayanan kesehatan di Indonesia, menurut ketentuan dalam PP No. 32 Tahun 1996, dilakukan melaui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan. Pendidikan 1) Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan oleh lembaga atau intitusi pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat 2) Penyelenggaraan pendidikan bidang kesehatan ini didasarkan pada izin dari pihak yang diberi kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pelatihan 1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan 2) Pelatihan di Bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan. Setiap tenaga kesehatan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya. 4) Penyelenggaraan dan atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan bidang kesehatan. 5) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilaksanakan di Balai Pelatihan Tenaga Kesehatan atau tempat pelatihan lainnya. 6) Pelatihan bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat (swasta) 7) Pelatihan bidang kesehatan yang diselanggarakan oleh pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku 8) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan atas dasar izin menteri 9) Pelatihan di bidang kesehatan wajib meenuhi persyaratan tersedianya: a) Calon peserta b) Tenaga Pelatih c) Kurikulum d) Sumber yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan e) Sarana dan Prasarana 10) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata: a) Tidak sesuai dengan arah pelatihan yang ditentukan b) Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan 11) Penghentian pelatihan karena ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelatihan dilanggar 3) Penempatan Tenaga Kesehatan Penempatan tenaga kesehatan di tempat-tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, dalam undang-undang ini diatur sebagai berikut: 1) Dalam rangka penempatan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakaat, pemerintah mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu 2) Penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan cara masa bakti 3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku Penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara Masa Bakti 1) Penempatan tenaga kerja dengan cara masa bakti di tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a) Kondisi wilayah di mana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan b) Lamanya penempatan c) Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat d) Prioritas sarana kesehatan 2) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan ketentuan: a) Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah b) Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh pemerintah c) Lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar d) Lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 3) Pelaksanaan ketentuan tersebut diatas lebih operasional diatur lebih lanjut oleh menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait 4) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti tersebut merupakan persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh izin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan 5) Surat keterangan yang telah melaksanakan masa bakti tersebut merupakan prasyarat bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh izin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan 6) Status tenaga kesehatan kesehatan dapat berupa: a) Pegawai Negeri sipil b) Pegawai tidak tetap dalam penempatan tenaga 4. Standar Profesi Dan Perlindungan Hukum Petugas kesehatan adalah petugas kesehatan yang profesional. Petugas kesehatan yang profesional mendasarkan semua prilaku dan tindakannyadalam melayani masyarakat atau pasien harus didasarkan pada standar profesi. Oleh sebab itu setiap jenis tenaga kesehatan yang melayani di berbagai sarana atau fasilitas kesehatan harus mempunyai acuan bertindak (etika) profesi atau "Kode Etik Profesi" sebagai standar profesi kesehatan ini harus dirumuskan oleh masingmasing organisasi atau perkumpulan profesi. Misalnya, untuk standar atau etika dokter disusun oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia), etika atau standar profesi bidan oleh IBI (Ikatan Bidan Indonesia), etika atau standar profesi perawat oleh PPNI (Perkumpulan Perawat Nasional Indonesia), dan seterusnya. Ketentuan tentang standar profesi petugas kesehatan ini dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 diatur sebagai berikut: a. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. b. Standar profesi tenaga kesehatan ini selanjutnya ditetapkan oleh Menteri. c. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk: 1) Menghormati hak pasien 2) Menjaga kerahasian identitas dan tata kesehatan pribadi pasien 3) Memberi informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan 4) Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan 5) Membuat dan memelihara rekam medis. 5. Tenaga Kesehatan Dalam UU No.36 Tahun 2009 Aspek hukum tenaga kesehatan seperti telah diuraikan di atas adalah bersumber pada PP.32 Tahun 1996. Sedangkan Peraturan Pemerintah tersebut disusun berdasarkan perintah Undang-Undang Kesehatan yang baru (UU. No.36 Tahun 2009) ketentuan tentang Tenaga Kesehatan ini lebih rinci dibandingkan dengan UU No.23 Tahun 1992. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan ketentuan-ketentuan tentang ketenagaaan (Pasal 21-29 UU No.36 Tahun 2009), sebagai berikut: Perencanaan Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayana kesehatan.ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ini diatur dalam Pertauran Pemerintah. Demikian juaga ketentuan mengenai tenaga kesehatan akan diatur dengan Undang-Undang. Kualifikasi dan kewenangan Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. Ketentuan mengenai kualifikasi miminum akan diatur dengan Peraturan Menteri. Disamping kualifikasi, tenaga kesehatan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan ini sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki 2. Dalam meyelengarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah 3. Selama memberikan pelayanan kesehatan tersebut, dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi Etika dan Kode Etik Tenaga kesehatan yang berwenang menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan: a. Kode etik b. Standar Profesi c. Hak pengguna pelayanan kesehatan d. Standar pelayanan, dan e. Standar prosedur operasional Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi diatur oleh organisasi- organisasi profesi yang bersangkutan. Sedangkan ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, danstandar prosedur operasional diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Pendidikan dan pelatihan Pengadaan, pendidikan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah , dan atau masyarakat melalui pendidikan dan atau pelatihan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah Pendayaguanaan dan penempatan Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Sedangkan pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan ini harus dilakukan dengan memperhatikan: (1) Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat (2) Jumlah sarana pelayanan kesehatan: (3) Jumlah tenaga keehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada Perlu diingat pula bahwa penempatan tenaga kesehatan sebagai mana dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. Hak, Kewajiban, dan kewenangan Tenaga kesehatan mempunyai hak, kewajiban dan kewenangan antara lain: Mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya Berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud tersebut didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. C. Hubungan Hukum Penyelenggaraan Kesehatan Seperti dikemukakan di atas, peyelenggaraan mengenai semua upaya kesehatan didukung oleh sumber daya kesehatan. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara implicit menegaskan bahwa kesehatan dibagi menjadi dua unsur yaitu upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan44. Pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan merupakan dua aspek dari upaya kesehatan. Istilah pemeliharaan kesehatan kesehatan dipakai untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan istilah pelayanan kesehatan dipakai untuk upaya kesehatan individu. Dengan demikian pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang melibatkan tenaga kesehatan (antara lain dokter) dengan pasien dan sarana kesehatan. Sedangkan sumber daya sumber daya kesehatan, terdiri dari sumber daya 44 Dalam Pasal 1 angka 2 dan 11 UU No. 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa : Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Sedang sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. manusia kesehatan (tenaga kesehatan yaitu antara lain dokter, apoteker, bidan, dan perawat), juga sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, klinik, dan tempat praktik dokter). Sarana kesehatan biasanya dimiliki oleh pemerintah dan swasta untuk sarana kesehatan sasta (SKS). Sarana kesehatan ini dalam menjalankan tugasnya selalu hubungan medic dan hubungan. Oleh karena itu hubungan hukum seperti apa yang muncul berkaitan dengan sarana kesehatan, dokter, dan pasien. Sarana kesehatan swasta (SKS) merupakan obyek hukum sedangkan subyek hukumnya adalah dokter dan pasien. Hubungan hukum akan terjadi bila seorang pasien datang ke sarana kesehatan swasta untuk berobat. Hubungan hukum antara dokter, pasien, dan sarana pelayanan kesehatan swasta berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien adalah pihak penerima jasa pelayanan kesehatan dan dokter serta SKS adalah pihak-pihak yang memberi pelayanan kesehatan. Hubungan hukum adalah ikatan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum ini selalu meletakan hak dan kewajiban yang timbal balik, artinya hak subyek hukum yang satu menjadi kewajiban subyek hukum yang lain, demikian juga sebaliknya. Hubungan hukum dalam bidang hukum perdata dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Hubungan antara dokter dan pasien selain hubungan medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada hubungan medik, hubungan dokter dan pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti pasien adalah orang sakit yang awam dan dokter adalah orang sehat yang lebih tahu tentang medis. Namun dalam hukum terdapat hubungan yang seimbang, yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter dan hak dokter menjadi kewajiban pasien dan keduanya merupakan subyek hukum. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat berbentuk perikatan yang lahir karena perjanjian dan dapat berbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh hubungan hukum dokter dan pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan memasang papan nama, dalam arti pasien menerima penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perikatan antara dokter dan pasien yang lahir karena UU, apabila dokter secara sukarela membantu orang yang kecelakaan pada saat dokter tersebut sedang melintas di tempat terjadinya kecelakaan tersebut. Tanpa ada perintah atau permintaan dari siapapun dokter berkewajiban melakukan pertolongan sampai orang tersebut atau keluarganya dapat mengurusnya. Hubungan hukum antara SKS dan pasien tergantung dari hubungan antara dokter dengan SKS tersebut. Apabila terdapat kerugian yang diderita pasien karena pelayanan kesehatan yang didapat, akan terdapat dua perjanjian, yaitu dengan SKS dan dokter yang mengobatinya. Maka pasien harus mencari tahu terlebih dahulu, siapa yang melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Apabila kesalahan dilakukan oleh SKS, maka pasien hanya menggugat SKS. Tapi, apabila kesalahan oleh dokter yang mengobati maka pasien hanya harus menggugat dokter tersebut. Dalam arti salah alamat kalau pasien menggugat SKS. Begitu pula kalau kesalahan dibuat oleh baik SKS ataupun dokternya maka gugatan harus ditujukan kepada keduanya. Peristiwa hukum yang dapat terjadi di SKS adalah bilamana pasien merasa dirugikan oleh pihak SKS atau dokter yang sedang bertugas di SKS tersebut. Namun dapat saja terjadi di bagian lain misal bagian farmasi dan sebagainya. Pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit tentunya tidak lepas dari standar prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit sehingga dokter atau tenaga kesehatan di tuntut dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tidak boleh lepas dari standar yang telah ditetapkan, namun dalam kenyataan di lapangan seringkali dokter atau tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas-tugasnya lalai dan tidak jarang mengakibatkan kondisi pasien bisa berubah menjadi lebih sakit ataupun meninggal karena kelalaian tersebut yang berakibat pada tuntutan hukum. Oleh karena itu dalam beberapa kasus yang yang sering muncul di publik telah memberikan suatu peringatan bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab agar supaya tidak terjadi kesalahan, kelalaian ataupun pembiaran, yang berakibat pada tuntutan hukum. Pembiaran medik secara umum belum di kenal secara luas di kalangan masyarakat baik itu profesi hukum, pembiaran medik merupakan salah satu tindakan kedokteran dimana dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak sesuai standar prosedur yang berlaku, adapun dapat dikatakan pembiaran medik adalah suatu tindakan dokter tidak sungguh-sungguh atau tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan berbagai alasan yang terkait dengan sistem pelayanan kesehatan. Pembiaran medik ini sering kali terjadi di rumah sakit terlebih khusus bagi masyarakat atau pasien miskin dengan alasan harus memenuhi beberapa syarat administrasi, pembiaran medik juga sering terjadi pada Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau Unit Gawat Darurat (UGD) setiap pasien yang masuk ke unit tersebut seringkali tidak diberikan pelayanan yang memadai sehingga dapat terjadi pembiaran, dalam hal tersebut, dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas di unit tersebut harus bertanggung jawab, dalam pertanggung jawab tersebut juga tidak lepas dari peran rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan dan merupakan pihak yang lemah seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum dan advokasi sewajarnya, baik dari pihak rumah sakit ataupun penegak hukum itu sendiri. Kesulitan pasien secara umum adalah dalam hal memperoleh advokasi seperti sulitnya mencari alat bukti, sulitnya menembus kebisuan para saksi ahli dan sulitnya mekanisme pengadilan. Untuk itu pasien terancam tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya. Kasus pembiaran medik yang berdampak pada kecacatan atau kematian kepada pasien menimbulkan dampak hukum yang sangat besar, namun begitu karena ketidaktahuan atau kurang pahamnya pasien dalam sistem pelayanan kesehatan menjadi suatu hal yang biasa saja. Dalam sistem hukum Indonesia pembiaran medik secara umum belum tercantum secara jelas namun dalam hal yang demikian dapat diasumsikan ke dalam beberapa peraturan perundang- undangan yang ada misalnya : 1. KUHPerdata Dalam pasal 1366 KUHPerdata, bahwa setia orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabakan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Dalam asumsi pasal tersebut kelalaian adalah merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tentunya merupakan tanggung jawabnya, jika terjadi pembiaran medik bahwa karena hal-hal yang berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang mengabaikan pasien dengan alasan tertentu misalnya karena tidak ada biaya, atau penjaminnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kecacatan dan kematian bagi pasien, maka tenaga kesehatan dapat di gugatan perdata dalam hal kelalaian dari tugas dan tanggung jawabannya yang seharusnya dikerjakan. 2. KUHP Pasal 304 KUHP, Sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Dalam hal demikian, tenaga kesehatan dengan sengaja membiarkan pasien yang masuk di rumah sakit dan membutuhkan perawatan namun dengan kelalaiannya membiarkan pasien sehingga pasien mengalami kecacatan dan atau kematian, maka tenaga kesehatan tersebut dapat di tuntut melakukan suatu tindakan kejahatan pidana, berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang pidana, antara lain apakah tindakan, atau perbuatan dan sebab-akibat yang terjadi tersebut memenuhi kualifikasi suatu kejahatan atau tidak. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat dijadikan perkara pidana yang artinya bahwa ada korban yang terancam atau dibahayakan jiwanya dan apakah kejadian tersebut murni karena faktor manusia dan bukan alam. 3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam ketentuan pidana tidak secara jelas mengatur tentang tindak pidana kesehatan dalam Pasal 190 menyebutkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 (ayat 2) di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,-. Dalam hal pasal ini dengan secara tegas hanya mengatur tentang ketentuan pidana yang terjadi di unit gawat darurat tetapi tidak dengan pasien umum yang berada di rumah sakit, untuk pembiaran medik ini bisa terjadi pada unit gawat darurat ataupun untuk pelayanan umum karena pembiaran medik terjadi pada pasien yang kurang mampu. Penjelasan diatas sedikit banyak telah mengulas tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang menyebabkan banyak kejadian yang bertentangan dengan standar prosedur pelayanan kesehatan yang berdampak pada penututan atau gugatan hukum, maka diwajibkan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan standar prosedur pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan di rumah sakit. Untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, pada prinsipnya, semua jajaran tenaga kesehatan didukung tenaga non kesehatan dalam prakteknya memperhatikan beragam aturan sbb : a. Status tenaga kesehatan dalam profil standart b. Menerapkan standart pelayanan medis sesuai dengan disiplin ilmu. c. Operasional standart pelayanan medis sesuai dengan indikasi, sistematika ditindaklanjuti dengan protap atau SOP d. Dalam semua tindakan medis sangat memperhatikan saling memahami dan menyetujui serta menghormati akan hak pasien yang tertuang dalam Informed Consent (IC) e. Rekaman tindakan medis yang dibantu / bersama / oleh dengan tenaga kesehatan dan non kesehatan yang lain, sebaiknya cukup lengkap dan benar. Rekaman kesehatan terpaku (RM, asupan keperawatan, kefarmasian, gizi, Lab dan Administrasi ) f. Penjaringan/selektif mengenai kerahasiaan pelayanan medis, diagnosa dan prognosa atau efek samping harus diwaspadai, perlu dicermati. g. Indikasi penggunaan sarana medis khususnya alat canggih betul selektif dan tepat guna. h. Administrasi standart termasuk tarif normative saja i. Semua tindakan medis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis ada transparasi. j. Adanya kemungkinan aspek hukum, rambu-rambu antisipasi atau kenetralan perlu mendapat kewaspadaan. k. Semua tindakan atau perilaku tewrsebut untuk suatu upaya pengamanan timbal balik antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga dan berhasil. Dalam pelayanan medis, khususnya di Rumah Sakit/Unit Pelayanan Kesehatan pelaksanaannya dilakukan secara terpadu, dalam hal ini kadangkala memicu munculnya sengketa. Sengketa tersebut dapat muncul baik secara intern atau juga terhadap pihak ketiga. Oleh karena itu agar persoalan yang muncul tidak berlarut-larut dan bahkan mencuat dan menjadi pemberitaan mass media, maka perlu penyelesaian yang elegan. Penyelesaian dapat dilakukan secara bertahap dan berkomunikasi transparan dan sehat ialah : a. Antara pasien/keluarga dengan pihak petugas Rumah Sakit atau b. Antara pasien / kel. pasien dengan tim medis yang menangani atau c. Antara pasien/keluarga dan panitia rumah sakit (Panitia Etik, Panitia Etik Medis, Hukum) atau d. Antara pasien / keluarga dengan pihak Rumah Sakit yang lebih luas (Direktur, Wakil Direktur Yan Med, Komite Medis, Kepala Bidang Yan Med dan Panitia yang lain serta Tim Medis Pelaksana) e. Lebih luas lagi dengan Kadinkes dan MP2EPM bersama Tim medis termasuk Pengurus Ikatan Profesi Tenaga Kesehatan. f. Hal tersebut merupakan penyelesaian intern (Peradilan Profesi Kesehatan) tanpa melibatkan pihak ketiga. Biasanya kalau sudah dengan pihak ketiga amat sulit, lalu dapat terbawa ke Peradilan Umum, Perdata berlanjut ke Peradilan Pidana dan dapat pula ke Peradilan Administrasi, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).