Senjakala Pluralisme Indonesia
* Paper disajikan untuk Workshop Jurnalisme Empatik untuk Perdamaian, 17-19 November 2006 di Departemen Pendidikan Nasional, Koperasi Primer Ditjen DIKDASMEN, Wisma Handayani.*
Will Kymlicka, dalam pengantar buku bertajuk Multicultural Citizenship, pernah menuturkan penderitaan kaum minoritas:
“Some minorities were physically eliminated, either by mass expulsion (what we now call ‘ethnic cleansing’) or by genocide. Other minorities were coercively assimilated, forced to adopt the language, religion, and customs of majority. In yet other cases, minorities were treated as resident aliens, subjected to physical segregation and economic discrimination, and denied political rights.”
1. Lihat Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press, 1997: hlm. 2.
Dus, berada di lingkungan kaum mayoritas, bukan hanya derita fisik berupa ‘pembersihan etnis’ atau pemusnahan sebuah kelompok (genosida) yang harus ditelan mentah-mentah kaum minoritas, tapi juga luka jiwa dan identitas tatkala sebagian mereka dipaksa mengadopsi bahasa, agama, dan tradisi (kebasaan-kebiasaan) kaum kebanyakan tersebut.
Lebih dari itu, seperti disitir Will, segenap kaum minoritas acapkali diperlakukan tak ubahnya serupa resident aliens [mahluk-mahluk asing yang menetap], para manusia ‘lain’ yang keberadaanya patut di’stabilisasi’. Tak aneh, sederet kisah penderitaan fisik, diskriminasi ekonomi, pengabaian hak-hak politik seringkali menimpa mereka.
Hal inilah, misalnya, yang membuat saya prihatin dan concern dengan isu-isu kaum minoritas, entah itu minoritas etnik, kelompok agama, dan lain-lainnya. Terlebih, empat tahun belakangan ini, ketika kakak kandung saya mendapat cap anak yang sudah ‘sesat’ dan ‘murtad’ lantaran totalitas dirinya di Komunitas Eden yang dipimpin Lia Aminuddin; sebuah komunitas agama yang menurut fatwa MUI menyesatkan.
Saya merasakan juga betapa sulit dan pedih menjadi dirinya yang memiliki keyakinan dan pilihan keberagamaan secara otonomi individual. Latar belakang keluarga besar kami yang NU totok [apalagi kakek dan paman saya terkenal sebagai para kyai di daerahnya] membuat penderitaan jiwa dan identitas kakak saya menyusup juga perlahan-lahan secara psikologis ke dalam diri kami sekeluarga. Apalagi ihwal Komunitas Eden pernah ramai menghiasi media televisi yang memungkinkan diakses dengan nalar yang juga serba ‘superfisial’.
Sebagai perbandingan, jangankan bicara Komunitas Eden yang ‘terlarang’ itu, mendapati anggota keluarga kami yang memilih secara kultural dekat dengan Islam a la Muhammadiyah saja, mayoritas keluarga besar saya sudah menganggap coreng di wajah yang harus dibersihkan.
Pada titik inilah, saya semakin sadar betapa susahnya hidup dalam kemajemukan; hidup dalam realitas sosial yang plural. Di saat saya tengah gamang dalam posisi ini, sebuah fatwa MUI yang baru, hasil Musyawarah Nasional VII (29/7/2005) kembali keluar: haram itu mahluk bernama paham Pluralisme (juga Sekularisme dan Liberalisme).
Sebuah wacana dan kontroversi pun berkibar-kibar di kalangan intelektual, tokoh-tokoh agama, dan pelbagai aktivis kemanusiaan, mempertanyakan definisi dan paham pluralisme yang dimaksud MUI plus beberapa nilai-nilai kebajikan yang ada di dalamnya. Namun sayang, masyarakat muslim Indonesia terlanjur percaya bahwa paham pluralisme itu ‘sesat’; Pluralisme telah dikonstruksi secara sosial dan kognitif melalui media dan agen-agen masyarakat di kampung yang bernama ‘ustadz’ tentang paham yang ‘sesat’ itu. Beberapa bulletin Jum’at dan khutbah-khutbah para khatib di dalam shalat Jum’at kerap menyinggung isu pluralisme yang sesat ini. Pluralisme, pada akhirnya, adalah sebentuk momok, satu istilah yang jati dirinya diringkus menjadi sesuatu yang bebal, jelek dan kekal.
Ia, pluralisme versi MUI itu, meminjam bahasa Jurgen Habermas, telah di-konsensus secara universal (universal consensus) menjadi penilaian yang tunggal dan absolut. Pluralisme yang, menurut Jacques Derrida, pemikir posmodernis itu, telah mrucut ke ranah logosentris; kecenderungan pemaknaan sebuah kebenaran yang tunggal dan dogmatis sehingga menutup peluang-peluang pelbagai penafsiran baru. Dalam bahasa Derrida, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, penafsiran gaya ini disebut dengan tafsir restrospektif.
Lihat Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat; Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Penerbit Mizan, 1998: hlm. 267.
Oleh karena itulah, pluralisme bukan lagi paham, yang menurut Frans Magnis Suseno, dalam arti yang sebenarnya. Yakni, suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua--keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan.
[lihat Franz Magnis Suseno dalam makalah seminar Masa Depan Pluralisme di Indonesia, yang diselenggarakan Komunitas Syir’ah pada 29 November 2005.]
Melihat tafsir Magnis yang sangat arif ihwal pengertian pluralisme ini, saya membayangkan betapa capek, terjal, dan berlikunya proyek mengembalikan substansi pluralisme pada rumah asalnya. Sebab, jelas sekali, pemegang produksi makna pluralisme akhirnya telah dikonsensus di tangan MUI dan para pengikutnya: itulah makna pluralisme yang stereotipikal dan pejoratif; serba ‘negatif dan sesat’.
Lebih dari itu, untuk memperjelas posisi fatwanya, MUI dan para juru dakwah (ustadz), seperti yang dilansir beberapa media, meneguhkan kembali bahwa mereka menerima pluralitas karena memang itu adalah realitas yang tak terelakkan dan dengan tegas menolak pluralisme.
Lihat M. Dawam Rahardjo, Kala MUI Mengharamkan Pluralisme, Tempointeraktif.com, (1/8/2005). Karena pluralisme mengandaikan sebuah keyakinan bahwa semua agama sama dan benar.
Dan, di tempat saya tinggal, pluralisme model inilah yang berkembang. Apalagi, salah satu keluarga besar saya adalah seorang kyai yang menjadi salah satu ketua MUI wilayah Jakarta Barat. Walhasil, ayah saya dan para penduduk di lingkungan saya, sebagian besar juga mencecap dengan taste dan meaning yang sama. Terlebih-lebih, gerakan wacana untuk meng-counter isu pluralisme yang ‘cacat’ ini hampir tidak ada. (Kecuali saya, mungkin. Itu pun harus dengan pendekatan linguistik dan diksi yang mereka pahami. Meski kurang berhasil, paling tidak pikiran mereka toh ada juga yang terbuka bahwa ada pemikiran ‘yang berbeda’).
Hal inilah yang membuat saya berkesimpulan bahwa pluralisme di Indonesia seperti senjakala (twilight). Cahaya pluralisme luruh temaram sebelum sempat benar-benar bersinar dan bercahaya. Ia menunggu hari esok dengan semangat dan cahaya yang baru.
Ini satu hal yang menggangu saya. Belum lagi perkara krusial lainnya. Yakni, perkara kondisi mayoritas masyarakat (grass root) Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang kultur non-literer; sebuah budaya di mana masyarakat tidak hanya masih buta huruf (tidak bisa membaca), tapi juga belum melek dalam mengakses informasi tentang dunia yang berbeda di luar dirinya. Bagi saya, meminjam istilah Imanuel Kant, faktor ini adalah conditions of possibilties (syarat-syarat yang memungkinkan) tercapainya kebajikan pluralisme. Bukankah masyarakat Indonesia terkadang lebih banyak menerima informasi pengetahuan sepihak dan tak berimbang dari satu orang (tokoh) tertentu yang memang sangat mereka percayai dan kultuskan ? Pada titik inilah, tak aneh bila wacana pluralisme redup sebelum ia lahir menjadi sebuah tindakan yang benar-benar menyejukkan bagi semua lapisan golongan dan kelompok (rahmatan lil ‘alamin). Faktor condition of possibilites inilah, menurut hemat saya, yang juga membuat wacana dan kebajikan nilai-nilai pluralisme lebih bisa hidup di negara-negara maju.
Karena itulah, what’s the next?
The Other dan The Same
[Sebuah Penghampiran Rekomendasi]
Berangkat dari fenomena di atas, saya menduga bahwa citra pluralisme yang sudah majal lantaran digerus maknanya secara superfisial oleh ‘beberapa kalangan’ harus kembali diasah. Tentunya, dengan sebuah strategi kebudayaan yang baru. Pertama, misalnya, kampanye redefinisi pluralitas dan pluralisme dalam wacana demokrasi di Indonesia.
Yasraf Amir Piliang, dalam Hipersemiotika, Tafsir Culutural Studies Atas Matinya Makna, pernah mentakrifkan; pluralitas adalah kenyataan adanya kemajemukan (agama, suku, ras bangsa, bahasa, budaya) di sebuah tempat, lokasi, atau daerah yang sama; sedangkan pluralisme adalah kecenderungan atau pandangan yang menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog di dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian, lanjut Yasraf, tanpa ada keterlibatan aktif dalam dialog, dalam upaya mencari pemecahan-pemecahan bersama untuk masalah-masalah bersama di dalam sebuah masyarakat plural (pluralitas), maka sesungguhnya tidak ada pluralisme.
Lihat Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Culutural Studies Atas Matinya Makna, Penerbit Jalasutra, 2003, cet. 1: hlm 265.
Senada dengan Yasraf, Magnis juga menyerukan hal yang sama bahwa pluralisme adalah sikap orang yang memang mempunyai pandangan dan keyakinan-keyakinannya sendiri dan karena itu tidak menyetujui semua keyakinan lain di sekelilingnya, akan tetapi tetap mudah bergaul serta kerja sama dengan orang-orang atau kelompok-kelompok atau golongan-golongan yang mempunyai pandangan dan keyakinan religius, kultural dan politik lain. Seorang pluralis bukannya orang yang tidak mempunyai pendirian. Melainkan ia mengikuti hak semua orang lain untuk mempunyai pendirian juga. Jadi pluralisme menuntut toleransi positif. Tak aneh bila Frans Magnis Suseno, Guru Besar STF Driyarkara itu berseloroh, “Meskipun saya barangkali sulit memahami ajaran agama golongan lain, namun saya sepenuhnya menghormati keberadaannya di lingkungan hidup masyarakat dan negara saya sendiri.”
Franz Magnis Suseno, ibid.
Pengertian-pengertian dasar inilah yang justru harus mulai disemai kembali. Term pluralisme harus dapat disosialisaikan dengan packaging (kemasan) yang berbeda. Bukankah di zaman industri seperti sekarang ini, packaging adalah modal utama menjual sebuah gagasan atau ide? Tengok saja, misalnya, para juru dai selebritis yang acapkali muncul di layar kaca. Semua memiliki packaging sendiri-sendiri.
Dalam pada itu, pluralisme yang selama ini terkemas sebagai sebuah anggapan relativisme; sebuah pandangan bahwa nilai (value) dan kebenaran (truth) ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan, kebenaran, makna) mengandung kebenaran relatif. Jadi persoalan benar/salah, baik/buruk, halal/haram dan seterusnya bersifat relatif.
Yasraf Amir Piliang, ibid. Pandangan relativisme inilah (bahwa semua agama benar dan sama) yang terlanjur tercitrakan sebagai pluralisme. Bukankah ini sebuah fallacy (kesalahan berpikir)?
Setelah itu, saya kira, project-nya adalah menyemai nilai-nilai dasar ihwal re-posisi mayoritas dan minoritas. Untuk diskursus ini, bingkai posmodernisme layak untuk dikedepankan. Menurut Yasraf:
“Bagi kelompok, agama, komunitas, etnis, atau bangsa yang sebelumnya merasakan dahsyatnya tekanan, pemaksaan, peminggiran, homogenisasi, marjinalisasi—oleh kekuatan-kekuatan imprealisme, kolonialisme, rasisme, etnosentrisme—tawaran pluralisme tampaknya lebih berguna ketimbang libralisme. Hal ini karena pluralisme dapat dilihat sebagai sebuah peluang atau tantangan bagi semua yang terpinggirkan atau termarjinalisasikan untuk menemukan ruang hidupnya di dalam ruang posmoderinisme, yang kini terbuka lebar terhadap berbagai bentuk perbedaan, fragmentasi, dan heterogenisasi.”
Ibid, hlm. 268.
Senafas dengan Yasraf di atas, F. Budi Hardiman, suatu kali pernah menuliskan:
“Dalam diskursus tentang soal ini sebenarnya tersirat suatu keprihatinan bahwa sejarah umat manusia ini selalu diwarnai oleh usaha-usaha menundukkan dan menyingkirkan Yang Lain (The Other) di bawah Yang Sama (The Same)...Yang punya hak hidup adalah Yang Sama, sedangkan Yang Lain dan kelainanya harus dibasmi, diberangus, ditobatkan, dan...pada akhirnya di-Sama-kan. Diskusi tentang The Other seperti di atas dimunculkan oleh Emmanuel Levinas. Dia mengatakan bahwa Yang Sama (Le Meme) selalu berusaha memasukkan Yang Lain (L’Autrui) ke dalam wilayah totalitasnya, maka memasuki hubungan dominasi, imprealisme, dan kolonialisme...”
Lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Postivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisisus, 2003, hlm. 198-199.
Berdasarkan pemerian di atas, dalam ranah pluralisme, kaum mayoritas adalah kelompok The Same, sedang golongan minoritas adalah kelompok The Other, kelompok yang, menurut Goenawan Mohammad, disebut dengan kaum Liyan. Kita sadar betapa kaum Liyan (The Other) telah banyak mengalami penderitaan lantaran dipaksa menuruti kemauan dan kehendak kaum The Same. Padahal, Yang Liyan juga memiliki potensi dasar yang sama dengan Yang Sama: mereka juga manusia yang bisa berbicara, memerintah, memahami, dan seterusnya (baca: alter ego).
Untuk itulah, dialog ko-eksistensi
Dialaog dimana masing-masing pihak pada posisi subyek. Keduanya sama-sama memiliki eksistensi yang bisa diperjuangkan dan diperthankan secara bersama. dalam pluralisme menjadi sebuah keniscayaan. Namun, bukan sebentuk dialog dimana ada konsensus universal sepeti saya ungkap di atas, melainkan serupa disensus, yaitu ketidakmungkinan mencari sebuah kriteria universal dalam segala bentuk penilaian, di dalam dunia yang dibangun oleh narasi-narasi kecil.
Demikian ungkap J.F. Lyotard, filsuf post-strukturalisme.Yasraf Amir Piliang, ibid, hlm 271.
Dan sebuah dialog menjadi mungkin ketika orang menghancurkan egoisme narsistiknya serta mau mendengarkan serta menjumpai keliyanan ‘Yang Lain’. Berdasarkan dialog-lah, saya kira bisa dipahami bahwa, seperti dituturkan Budi Hardiman, “yang baru bagi masyarakat Indonesia sebetulnya bukanlah pluralitas/pluralisme, tetapi cara bertindak menghadapi pluralitas/pluralisme tersebut.”
F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 200.
Bila situasi mendasar tersebut mulai menyebar sebagai sebuah visi dan misi bersama; sebuah cara bagaimana kita hidup bersama di muka bumi, maka selanjutnya, hal-hal partikular mengenai nilai-nilai (ajaran) kehidupan yang intrinsik di dalam setiap kelompok (entah itu mayoritas, maupun minoritas) baru bisa di-share dan diwacanakan sehingga kehidupan umat manusia terasa damai dan menyejukkan.
1