DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sengketa Bisnis 3
2.2 Metode Penyelesaian Sengketa Bisnis
Konvensional dan Bisnis Syariah 4
2.3 Penyelesaian Sengketa Proses Ligitasi (Pengadilan) 5
2.3.1 Pengadilan Umum 5
2.3.2 Pengadilan Agama 6
2.3.3 Pengadilan Niaga 7
2.4 Penyelesaian Sengketa Proses Non Ligitasi (ADR) 9
2.4.1 Konsultasi 9
2.4.2 Negosiasi 10
2.4.3 Mediasi 11
2.4.4 Konsiliasi 12
2.4.5 Penilaian Ahli 13
2.4.6 Arbitrase 13
2.4.7 Arbitrase Syariah 16
2.4.8 Perbedaan antara Negoisasi, Konsiliasi,
Mediasi, dan Arbitrase 17
2.5 Contoh Kasus Sengketa Bisnis
dan Penyelesaiannya 18
2.5.1 Contoh Sengketa Bisnis Konvensional 19
2.5.2 Contoh Sengketa Bisnis Syariah 25
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 28
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu memegang peranan vital didalam kehidupan manusia sepanjang masa, sehingga kepenntingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional.
Di zaman modern seperti saat ini bangsa Indonesia banyak mengalami berbagai polemik yang beredar di dalam masyarakat yang menimbulkan suatu pertentangan ataupun permasalahan sengketa bahkan sampai menimbulkan pertikaian diantara masyarakat. Pertikaian yang ada muncul dari berbagai masalah yang biasanya timbul karena perbedaan pendapat atau paham yang mereka anut. Pertikaian bermula dari suatu persoalan yang kecil karena tidak cepat diselesaikan maka persoalan tersebut menjadi besar. Persoalan ini sebaiknya cepat diselesaikan agar tidak menjadi besar.
Sengketa sendiri menurut Ali Achmad adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya
Jenis sengketa yang sering kita temui adalah sengketa dalam bidang bisnis. Biasanya cara yang paling mudah, murah, dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut secara musyawarah mufakat. Cara lain yang dapat ditempuh para pihak adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang memang berwenang menyelesaikan sengketa baik secara konvensional maupun syariah, baik melalui suatu lembaga pengadilan (ligitasi) dan secara non ligitasi yaitu Konsultasi, Negosasi, Mediasi, Konsoliasi, Penilaian ahli, dan Arbitrase Konvensional maupun Syariah.
Rumusan Masalah
Dari Uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
Jelaskan Pengertian dari Sengketa Bisnis?
Jelaskan Metode-metode Apa Saja yang Digunakan didalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Baik Secara Konvensional maupun Syariah?
Sebutkan dan Jelaskan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Proses Ligitasi Maupun Non Ligitasi?
Berikan Contoh Kasus Sengketa Bisnis Konvensioanal Maupun Syariah Beserta Penyelesaiannya?
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Pengertian Sengketa Bisnis.
Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Metode-metode yang Digunakan didalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Konvensional maupun Syariah.
Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Proses Ligitasi Maupun Non Ligitasi.
Dapat Memberi Contoh Kasus Sengketa Bisnis Konvensional Maupun Syariah beserta Penyelesaiannya.
Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sengketa Bisnis
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.
Dalam kamus Bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton adalah “a commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market economy” (“Suatu sengketa bisnis adalah suatu hal yang muncul selama berlangsungnya proses transaksi yang berpusat pada ekonomi pasar”).
Abdul R. Saliman. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. (Jakarta: Kencana PrenadaMediaGroup,2005). Hlm. 266.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu– individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
https://www.academia.edu/10211024/Penyelesaian_Sengketa_Dalam_Hukum_Bisnis_Serta_Pembuktian, diakses pada tanggal 25 September 2016.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Dalam praktik sengketa bisnis dapat diperinci berupa sengketa-sengktea sebagai berikut (Bambang Sutiyoso, 2006:7);
Op Cit. Abdul R Saliman.
1.
Sengketa perniagaan;
7.
Sengketa konsumen;
2.
Sengketa perbankan;
8.
Sengketa kontrak;
3.
Sengketa Keuangan;
9.
Sengketa ketenagakerjaan;
4.
Sengketa Inverstasi;
10.
Sengketa perdagangan publik;
5.
Sengketa Perindustrian
11.
Sengketa property;
6.
Sengketa HAKI;
12.
Dan sengketa lainnya.
2.2 Metode Penyelesaian Sengketa Bisnis Konvensional dan Bisnis Syariah
Penyelesaian sengketa bisnis merupakan tata cara bagaimana pelaku bisnis dapat menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara pelaku bisnis. Sengketa adalah konsekuensi logis dari para pihak yang mengaitkan diri dalam sebuah kontrak bisnis, oleh karena itu sangat disarankan adanya klausul penyelesaian sengketa di setiap kontak bisnis.
Klausul penyelesaian sengketa ini menentukan bagaimna penyelesaian yang dilakukan para pihak terhadap sengketa yang mungkin timbul, menentukan forum mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa sehingg para pihak dapat menyelesaikan setiap sengketa secara tepat, baik, dan benar.
Bunyi klausul dalam suatu kontrak bisnis yang menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat bila di kemudian hari terjadi sengketa berkaitan dengan pelaksanaan maupun penafsiran perjanjian ini, maka akan diselesaikan dengan cara mufakat, namun apabila tidak tercapai para pihak sepakat menundukkan diri berdasarkan segala akibat hukum yang timbul kepada pengadilan setempat.
Ibid, Hlm 267.
Dengan demikian, metode penyelesaian sengketa bisnis konvensional maupun bisnis syariah dapat di bagi menjadi 2 bagian yaitu:
Susanti Adi Nugraha, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011). Hlm. 14.
Penyelesaian sengketa melalui proses Ligitasi (Pengadilan) baik Pengadilan umum, Agama maupun Niaga.
Penyelesaian sengketa melalui proses Non Ligitasi atau penyelesaian sengketa alternative (Alternative Dispute Resolution/ADR)
Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak yang bersengketa dengan musyawarah mufakat;
Penyelesaian sengketa melalui ADR yaitu Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli (Expert Appraisal), serta Arbitrase dan Arbitrase syariah.
2.3 Penyelesaian Sengketa Proses Ligitasi (Pengadilan)
Penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan pada umumnya diselesaikan berdasarkan hukum acara yang sudah ditentukan. Penyelesaian sengketa bisnis dan bisnis syariah pada umumnya tidak ditunjukan pada suatu kemenangan sepihak secara mutlak dan jalankeluarnya adalah menghindari penyelesaian sengketa yang sifatnya formal dan bisanya penyelesaian melalui lembaga peradilan ini sebisa mungkin dihindari kecuali memang tidak ada laternatif lain, meliputi pengadilan umum, pengadilan agama dan pengadilan niaga.
Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm. 268.
Pengadilan Umum
Pengadilan umum merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Menurut pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, dinyatakan pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Dengan demikian, pengadilan negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis.
Ibid,
Ciri-ciri pengadilan umum, sebagai berikut:
Prosesnya sangat formal.
Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Negara (majelis hakim).
Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan.
Isi keputusan win-lose solution.
Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding).
Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah).
Fokus ke masa lampau (past focus).
Proses persidangan bersifat terbuka.
Pengadilan Agama
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti pada masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dahulunya, putusan peradilan agama murni berdasarkan fikih para fuqaha (ahli hukum Islam) , eksekusinya harus dikuatkan oleh peradilan umum, para hakimnya hanya berpendidikan syariah tradisional dan tidak berpendidikan umum, organisasi-nya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung (MA) dan lain-lainnya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, telah membawa sejumlah perubahan mendasar bagi lingkungan peradilan agama, terutama menyangkut kewenangan atau kompetensinya. Atas dasar undang-undang tersebut, ruang lingkup kewenangan lingkungan peradilan Agama menjadi lebih luas di banding sebelumnya. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, kewenangan lingkungan Peradilan Agama selain meliputi perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah, ditambah lagi dengan perkara-perkara dalam bidang zakat, infak dan bidang ekonomi Syariah dalam hal penyelesaian sengketa bidang ekonomi dan bisnis syariah.
http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/viewFile/155/138, diakses pada tanggal 25 September 2016.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus da menyelesaikan perkaraa dalam bidang ekonomi syariah. Dengan berlakunya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini, tentu para pihak akan menyepakati penyelesaian sengketa ke Basyranas (Badan Arbitrase Syariah Nasional) atau ke Pengadilan Agama.
Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm 269.
Pengadilan Niaga
Menurut Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, telah dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga atau Pengadilan Komersial (Commercial Court) adalah pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa bisnis seperti sengketa kepailitan, sengketa hal atas kekayaan intelektual (Haki) dan sengketa lainnya di bidang perniagaan.
Ibid, Hlm. 270 .
Ciri-ciri pengadilan niaga sebagai berikut:
Prosesnya sangat formal.
Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Negara (majelis hakim).
Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan.
Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding).
Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah).
Persidangan bersifat terbuka.
Waktu lebih cepat, perkara selesai 30 hari, tidak ada banding dan dapat langsung kasasi ke Mahkamah Agung (putusan dalam 30 hari), dan dimungkinkan diajukan peninjauan kembali (PK).
Penyelesaian Sengketa Proses Non Ligitasi (ADR)
Alternative dispute resolution yang di dalam bahasa Indonesia disebut penyelesaian sengketa alternatif terdiri dari tiga buah kata, yaitu “penyelesaian”, “sengketa”, dan “alternatif. Kata perselisihan berasal dari kata dasar “selisih” yang mendapatkan awalan “per” dan akhiran “an”. Secara etimologis, kata “selisih” berarti “beda”, sedangkan “perselisihan” berarti: pertentangan, perbantahan, percekcokan. Istilah perselisihan sering juga disebut “perkara” atau “sengketa” atau persengketaan yang juga berarti “pertentangan”.
Dalam bahasa Inggris, kata-kata sengketa, percekcokan, pertentangan sama dengan “conflict” atau “disagreement” atau “dispute”. Kata conflict dalam bahasa Iggris tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”.
Ronny Hanitijo Soemitro (1990: 36), menulis bahwa yang dimaksudakan dengan konflik adalah: “Situasi (keadaan) dimana dua orang atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri masing-masing”.
Dari pengertian konflik di atas, maka dapat ditarik unsur dari konflik atau perselisihan adalah sebagai berikut:
Adanya beberapa pihak (dua orang atu lebih);
Para pihak tersebut mempunyai tujuan yang tidak dapat dipersatukan; dan
Masing-masing saling meyakinkan akan kebenaran tujuannya sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan di metode penyelesaian sengketa bisnis konvensional dan bisnis syariah di atas bahwa penyelesaian atas sengketa di bagi dua yaitu melalui pengadilan nan tidak melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan inilah yang disebut “Altenative Dispute Resolution (ADR)” atau penyelesaian sengketa alternatif. Cara penyelesaian melalui ADR akhir-akhir ini mendapat perhatian berbagai kalangan terutama dalam dunia bisnis, sebagai cara penyelesaian perselisihan yang perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan pengadilan.
Zaeni Asyhadie. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014). Hlm. 301-302 .
Penyelesaian sengketa alternatif (ADR) saat ini telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif peyelesaian sengketa. Penjelasan pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 ini dinyatakan tentang ruang lingkup hukum perdagangan yang dapat diselesaikan melalui forum penyelesaian alternatif ini tang meliputi, kegiatan perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Pasal 1 angka 10 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm. 270-271.
Konsultasi
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak ditemukan rumusan atau penjelasan mengenai arti dari konsultasi. Namun demikian, konsultasi pada prinsipnya merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien tersebut. Tidak ada satu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan.
Negosiasi
Secara umum negosasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tenpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Munir Fuady (2003:43-44) mengemukakan ada dua macam negosasi, yaitu negosasi kepentingan dan negosasi hak.
H.R. Daeng Naja. Pengantar Hukum Bisnis. (Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2008). Hlm. 138.
Negosiasi Kepentingan (interes negotiation) merupakan negosiasi yang sebeleum bernegosasi sama sekali para pihak tidak ada hak dari satu pihak kepada pihak lain. Akan tetapi, mereka bernegosiasi karena masing-masing pihak ada kepentingan untuk melakukan negosasi tersebut. Misalnya, negosasi terhadap harga, waktu pembayaran, dan lain-lain.
Sebaliknya, dalam negosiasi hak (right negotiation), sebelum para pihak bernegosiasi, antara pihak sudah terlebih dahulu punya hubungan hukum tertentu, sehingga antara para pihak tersebut timbul hak-hak tertentu, sehingga antara para pihak tersebut timbul hak-hak tertentu yang dijamain pemenuhannya oleh hukum. Kemudian para pihak bernegosiasi agar hak-hak tersebut dapat dipenuhi oelh pihak lawan. Jadi bedanya dengan negosiasi kepentingan, di mana negosiasi tersebut dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum tertentu, tetapi dalam negosiasi hak, hubungan hukum tersebut justru sudah ada sebelum negosiasi dimulai.
Dalam penyelesaian sengketa atau dalam hubungan hukum tertenntu, untuk melakukan negosiasi tentunya mempunyai tahap-tahap utnuk tercapainya suatu kesepakatan guna menyelesaikan permasalan yang dihadapi. Howard Raiffia dalam pengamatannya memabagi tahap-tahap negosiasi menjadi:
Tahap persiapan;
Tahap tawaran awal (opening gambit);
Tahap pemberian konsesi;
Tahap akhir permainan (End Play).
Dari banyak kasus yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua pendekatan di dalam suatu negosiasi, yaitu:
Model Pendekatan Kooperatif
Model pendekatan ini sering disebut sebagai model pemecahan masalah secara bersama, yaitu “menang sama menang”. Menurut Scoommaker, negosiasi menang-menang layak dilakukan jika masalah yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama antara pihak yang melakukan negosiasi, dan terdapat hubungan yang saling memercayai.
Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang lebih besar peluang keberhasilannya bila dibandingkan dengan negosiasi menang-kalah. Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan bersama yang tidak berdasar pada posisi masing-masing pihak.
Model Pendekatan Kompetitif
Model pendekatan sering juga disebut sebagai model pendekatan menang-kalah. Untuk memenangkan model menang-kalah ini perlu ditempuh empat langkah, yaitu:
Menjelaskan komitmen kita secara tegas tentang apa yang diinginkan.
Menunjukkan akibat-akibat yang kan terjadi jika keinginan tersebut tidak tercapai.
Menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelematkan “muka” lawan dengan menawarkan konsesi penghibur.
Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan pertama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antara para pihak dengan suasa keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dalam mediasi ini yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga, yaitu mediator, hanya berperan sebagai pendamping dan penasihat, menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa melalui sistem mediasi pada akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Hal ini disebabkan karena alasan-alasan berikut.
Proses penyelesaian sengketa relatif cepat (quick);
Biaya murah (inexpansive);
Bersifat rahasia (confidential);
Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi;
Hubungan kooperatif;
Sama-sama menang (win win);
Tidak emosional.
Dengan memperhatikan unsur-unsur di atas, maka Mahkamah Agung menentukan, bahwa semua kasus atau perkara atau perselisihan yang diajukan ke Pengadilan Negeri sekarang harus diupayakan dulu secara mediasi sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Mahkamah Agung No 01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.
Op Cit, Zaeni Asyhadie. Hlm. 307-319.
Konsiliasi
Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan suatu penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi tetapi perannya lebih sedikit dalam proses konsiliasi dibandingkan seorang mediator.
Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak fasiliator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain.
Penilaian Ahli (Expert Appraisal)
Penilaian ahli merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (pasal 1 angkan 10 UU Nomor 30 Tahun 1999). Penilaian ahli adalah suatu proses yang menghasilkan pendapat objektif, independen dan tidak memihak atas fakta atau isu yang diperselisihkan, oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa, di mana pendapat para ahli bersifat final den mengikat sesuai persetujuan para pihak. Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan para pihak dalam suatu perjanjiaan berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Op Cit. Abdul R Saliman.Hlm. 272-273.
Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999 yaitu: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
UU No 30 Tahun 1999 Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Asas-Asas yang terdapat di Arbitrase yaitu:
Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil. Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Jenis-Jenis Arbitrase terbagi menjadi 2 yaitu:
Arbitrase sementara (Ad Hoc)
Arbitrase Ad Hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase. Pada umumnya arbitrase Ad Hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Arbitrase Ad Hoc ini akan bubar dan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus.
Arbitase Institusi
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
M.Yahya Harahap. Arbitrase. (Jakarta: Sinar Grafika: 2004). Hlm. 104-106.
Keunggulan arbitrase juga dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu:
Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya;
Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase.
Disamping keunggulan arbitrase diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
Arbitrase Syariah
Gagasan berdirinya badan arbitrase syariah, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh Dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 22 April 1992 dan akhirnya pada tanggal 21 oktober 1993 resmi di bentuk Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (Bamui) yang sekarang badan arbitrase syariah (Basyarnas).
Pedoman arbitrase yang diterapkan di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari tiga kriteria di bawah ini:
Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogyanya mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang, dan tidak merugikan (menguntungkan) salah satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter mengupayakan untuk menegakkan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam Pancasila harus dijadikan se-bagai salah satu acuan pokok di dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah.
Baik Arbitrase Nasional (BANI) maupun Arbitrase Syariah (BASYAR-NAS) yang dikenal di Indonesia ditinjau dari sudut tata hukum Indonesia, mempunyai kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dilihat dari jenis objek yang dipersengketakan, arbitrase dapat di bagi ke dalam:
Arbitrase Kualitas (Quality Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan “Arbitrase Kualitas” adalah suatu arbitrase yang menyangkut dengan fakta-fakta sehingga arbitrase harus jeli memilah fakta tersebut serta meng-interpretasi dan menganalisisnya.
Arbitrase Teknis (Technical Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan “Arbitrase Teknis” adalah arbitrase yang menyangkut dengan hal-hal yang timbul dari penyusunan dan penafsiran kontrak.
Arbitrase Campuran (Mixed Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan arbitrase ini adalah suatu campuran antara arbitrase yang berkenaan dengan fakta dan arbitrase yang berkenaan dengan hukum.
Arbitrase Khusus.
Baik secara internasional, regional, maupun nasional eksistensi arbitrase khusus sangat diperlukan. Arbitrase khusus yang bersifat nasional, yang sangat diperlukan, misalnya saja Arbitrase khusus Muamalat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkena-an dengan sengketa terhadap bank yang berdasarkan kepada Syariat Islam.
Mardani. Jurnal PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, Hlm 298 – 310.
Terhadap putusan arbitrase syariah tersebut jika para pihak tenyata tidak mau melaksanakannya secara sukarela maka idealnya agar konsisten dan relevan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999.
Cik Basir. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. ( Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2009). Hlm. 125.
Perbedaan antara Negoisasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Perbedaan antara Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase, yaitu:
Op Cit. Zaeni Asyhadie. Hlm. 306.
Perbedaan antara Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Nagosiasi
Konsiliasi
Mediasi
Arbitrase
Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaiakan sengketa
Yang memutus sengketa para pihak
Yang memutuskan sengketa arbiter yang disepakati para pihak
Tidak ada pihak ketiga
Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki pleh para pihak
Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki sebagai penengah Karena keahliannya di bidang yang disengketakan.
Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki sebagai pemutus masalah yang disengketakan karena arbiter yang dipilih memang ahli dalam bidang yang bersangkutan.
Aturan pembuktian tidak ada
Ada aturan pembuktian yang sifatnya formal.
2.5 Contoh Kasus Sengketa Bisnis dan Penyelesaiannya
Pada dasarnya, tidak seorang atau satu pihak pun yang menginginkan adanya/terjadinya suatu sengketa di dalam suatu transaksi bisnis. Namun demikian, haruslah dimaklumi bahwa terjadinya sengketa terjadi karena hal-hal yang sangat sepele. Untuk itu, penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif merupakan idaman setiap pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Suatu sengketa dapat menghadirkan risiko-risiko merugikan yang tidak dikehendaki dan dapat mengacaukan prediksi-prediksi bisnis. Hal ini menjadi sangat perlu diperhatikan, terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yang mendasari kegiatan demikian itu, yaitu efisiensi dan profit.
Berikut beberapa contoh kasus sengketa baik konvensioanl maupun syariah:
Contoh Sengketa Bisnis Konvensional
(Penyelesaian Sengketa Semen Padang melalui Center for Settlement of Disputes)
http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-internasional/367-penyelesaian-sengketa-semen-padang-melalui-center-for-settlement-of-disputes, diakses pada tanggal 29 November 2016.
Sengketa Semen Padang merupakan imbas dari permasalahan setelah terjadinya perubahan pemberlakuan sistem pemerintah daerah dari sistem yang semula sentralistik menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik, sehingga timbul gugatan-gugatan terhadap asset negara yang berada di daerah antara lain seberapa jauh wewenang dan keterlibatan masyarakat daerah terhadap asset-asset tersebut serta gugatan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengelola asset tersebut.
Selain itu, kasus Semen Padang yang berlarut larut merupakan cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia. Berbagai benturan kepentingan telah terjadi di dalamnya, baik mengenai penerapan ketentuan tentang hukum perseroan, hukum investasi, hukum adat dan berbagai aspek hukum lainnya terjadi dalam kasus tersebut. Berbagai warna-warni politik ikut juga mewarnai penyelesaian sengketa tersebut sehingga menyebabkan para investor asing dalam hal ini Cemex melepaskan investasinya di Semen Padang sebagai anak perusahaan Semen Gresik.
Pertentangan antara Direksi yang lama (yang telah dihentikan melalui RUPSLB) dengan Direksi baru (yang diangkat melalui RUPSLB yang sama) mencerminkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam penerapan hukum perseroan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tentang pereroan terbatas. Hal ini menyebabkan ketidak pastian hukum bagi pemegang saham PT Semen Gresik selaku pemilik PT Semen Padang, terutama partner asing pemegang saham PTSemen Gresik, yaitu Cemex.
Walaupun akhirnya Direksi baru bisa memasuki areal pabrik melalui proses eksekusi, namun bagaimanapun kasus Semen Padang ini telah memberikan gambaran yang negatif bagi kepastian hukum untuk melakukan investasi di Indonesia, karena bagaimanapun kepentingan investor yang mempunyai itikad baik untuk melakukan investasi di Indonesia harus dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
Karena masalah hukum yang terjadi di dalam tubuh PT Semen Padang inilah akhirnya menyebabkan penjualan saham kepada Cemex yang telah diperjanjiakan dalam perjanjian jual beli antara Pemerintah Indonesia dengan Cemex Conditional Sales and Purchases Agreement (CPSA) tidak direalisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Pada akhirnya kemelut ini oleh Cemex di ajukan ke pengadilan arbitrase komersial internasional yaitu ICSID (International Center for Settlement of Disputes)
Beberapa fakta hukum sengketa Semen Padang:
Tahun 1958 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Presiden RI Soekarno mengumumkan semua aset Belanda di Indonesia harus dinasionalisasikan, satu diantaranya adalah Semen Padang.
Untuk menyehatkan PT Semen Padang, masyarakat Nagari Lubuk Kilangan menyerahkan tanah ulayat 127 hektar kepada Pemda Sumatera Barat tanpa bayaran dan Pemda Sumatera Barat menyerahkan tanah tersebut kepada PT Semen Padang.
Juli 1995 Semen Padang dan semen Tonasa diakusisi Semen Gresik. Oktober 1998 Semen Gresik diprivatisasi.
Tahun 1998 Cemex masuk ke Indonesia dengan membeli 25,5% saham di Semen Gresik dan membuat kesepakatan dengan pemerintah Indonesia melalui perjanjian jual beli bersyarat CSPA (Conditional Sales and Purchases Agreement) yang salah satu obsinya Cemex dapat memperbesar sahamnya menjadi mayoritas (put option) dengan kata lain Cemex dapat membeli 51% saham pemerintah, opsi ini berlaku sampai batas waktu 26 Oktober 2001 namun sampai batas waktu tersebut pemerintah tidak merealisasikan penjualan saham kepada Cemex.
Opsi Penjualan 51% saham pemerintah kepada Cemex ditentang oleh Masyarakat sumatera barat, pemimpin utama Semen Padang berargumentasi bahwa pabrik itu berdiri di atas tanah ulayat yang tidak bisa begitu saja dijual apalagi kepada pihak asing. Bahkan peristiwa akuisisi Semen Padang oleh Semen Gresik tidak didukung oleh dokumen legal yang memadai seperti peraturan pemerintah. 1 November 2001 masyarakat Sumatera barat melalui DPRD menginginkan pemisahan Semen Padang dari Semen Gresik.
28 Maret 2002, Menteri BUMN Laksamana Sukardi meminta Direksi Semen Padang di ganti melalui RUPSLB. Pergantian Direksi oleh Semen Padang di tolak. Penolakan ini kemudian dibawa ke Pengadilan Negeri Padang. Putusan Pengadilan Negeri Padang menolak izin penyelenggaraan RUPSLB Semen Padang dengan agenda penggantian Direksi.
19 September 2002, Semen Gresik mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Padang dan pada 29 April 2003 Mahkamah Agung mengijinkan RUPSLB Semen Padang yang hasilnya Direksi Semen Padang di ganti.
13 Agustus 2003, Cemex meminta pemerintah segera menyelesaikan kemelut di Semen Gresik, dan mengancam akan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional.
27 Januari 2004, Gugatan diajukan ke ICSID ( International Center for Settlement of Investment Disputes di Washinton, DC, Amerika Serikat. Dalam gugatannya Cemex meminta pengadilan menjatuhkan sanksi denda sekitar US$ 400 juta kepada pemerintah.
Januari 2005, Pemerintah dalam hal ini Semen Gresik dan Cemex sapakat untuk menunda sidang di Arbitrase dan memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
2 Maret 2006, Cemex menyatakan akan melepaskan sahamnya di Semen Gresik dan menyampaikan rencana penjualan sahamnya tersebut kepada kementrian BUMN.
4 Mei 2006, Grup Rajawali membeli 24,9% saham Cemex di Semen Gresik senilai AS $ 337 juta ( Rp. 2,9 triliun).
Awal tahun 2007, Pemerintah Indonesia dan Cemex saling bertukar dokumen yang antara lain mengenai pencabutan tuntutan di pengadilan arbitrase ICSID.
Pemerintah Indonesia dianggap melanggar perjanjian jual beli CSPA (Conditional Sales and Purchases agreement) yaitu perjanjian jual beli yang telah ditandatangani pemerintah dengan Cemex pada September 1998. Dimana salah satu point dari perjanjian tersebut, Cemex berhak memiliki 51% saham Semen Gresik di dalamnya ada anak perusahaan Semen Padang dan Semen Tonasa. Hingga batas waktu yang telah ditentukan 26 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia tetap tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian tersebut untuk menjual 51% saham kepada Cemex.
Cemex mengajukan sengketa dengan Pemerintah Indonesia ke ICSID sebagai sengketa investasi penanaman modal yang kemudian ditetapkan sidangnya akan berlangsung tanggal 11 Januari 2005. Pemerintah Indonesia meminta penundaan sidang hingga 28-30 Juli 2005 dengan alasan akan menempuh perundingan terlebih dahulu atau negosiasi di luar jalur pengadilan (out court setlement). Awal tahun 2006 Cemex menunjuk JP Morgan sebagai penasehat keuangan untuk melepas 25, 53 % sahamnya di Semen Gresik. Pada tahun 2007 Saham Cemex di beli oleh PT Rajawali Group senilai US $ 337 juta, dan Cemex mencabut tuntutan arbitrasenya kepada pemerintah Indonesia serta mengakhiri perjanjian jual beli CSPA yang telah dilakukannya dengan pemerintah Indonesia.
Sengketa Cemex dengan Semen Padang merupakan sengketa dibidang penanaman Modal, maka perlu mengacu pada International Center for Settlement of Disputes ( ICSID ) yang bertugas menyediakan berbagai kemudahan bagi pelaksanaan konsiliasi dan arbitrase, menyangkut sengketa yang timbul antar negara dimana investasi itu dilakukan dengan warga negara atau dengan badan hukum asing ( pasal 1 ayat 2 ICSID ) dalam hal ini Cemex dengan pemerintah Indonesia. Pasal 25 ayat 1 ICSID menyatakan bahwa persetujuan untuk menyerahkan penyelesaian kepada ICSID bersifat tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Dalam masalah Cemex ini, Cemex bersama Pemerintah Indonesia setuju untuk menunda persidangan dan mengambil jalan keluar dengan musyawarah mufakat yaitu negoisasi.
Pasal 32 ayat 1 dan 3 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengatur tentang cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penenaman modal antara pemerintah dengan investor asing. Ada dua cara dalam menyelesaikan sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing yaitu :
1. Musyawarah dan mufakat
2. Arbitrase internasional
Melihat dari penyelesaian sengketa kasus Cemex dan Semen Padang ini, pada mulanya akan diselesaikan melalui Pengadilan Arbitrase Internasional ICSID tetapi kemudian dibatalkan sebelum ada proses pengadilan (putusan) dan kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalah mereka diluar pengadilan dengan cara musyawarah dan mufakat melalui negoisasi. Negosiasi adalah perundingan secara langsung antara para pihak dengan tujuan mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ke tiga. Segi positif dari negosiasi dalam kasus ini adalah para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.
Mengenai pembatalan putusan menurut ICSID, “ Either party may request annulment of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General” adalah penegasan pasal 52 ayat 1 ICSID. Diberi hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan ICSID mengatur syarat-syarat formal pembatalan, dalam pasal 52 antara lain:
Permohonan diajukan secara tertulis, permohonan pembatalan yang diajukan secara lisan dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dengan demikian permohonan tidak sah akibatnya permohonan tidak dapat diterima.
Permohonan dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal ICSID.
Diperbuat dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan. Permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang waktu tidak memenuhi syarat formal, akibatnya permohonan tidak dapat diterima.
Dalam kasus Cemex ini pembatalan yang dilakukan hanya berupa pembatalan pengajuan untuk menyidangkan sengketa dengan Semen Padang (Pemerintah Indonesia) bukan pembatalan putusan sidang arbitrasenya karena sidangnya pun belum sempat dilaksanakan jadi mungkin hanya syarat formal a dan b saja yang harus dipenuhi.
Alasan permohonan pembatalan yang dibenarkan dalam ICSID ada lima menurut pasal 52 ayat 1 (b) :
Pembentukan mahkamah tidak tepat
Mahkamah melampaui batas kewenangan, misalnya apabila telah diputus atau dikabulkan suatu hal yang sama sekali tidak dituntut dalam claim oleh pihak yang mengajukan sengketa
Salah seorang arbiter korupsi.
Penyimpangan yang serius tata cara pemeriksaan, misalnya putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter.
Tidak cukup dasar pertimbangan putusan, artinya bahwa mahkamah gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan menjelaskan dasar-dasar alasan pertimbangan hukum dalam putuan.
Lima alasan pembatalan diatas adalah merupakan alasan pembatalan atas putusan yang telah ada putusan arbitrase. Pada sengketa Cemex dengan Semen Padang ( pemerintah Indonesia ) tidak sampai pada tahap putusan pengadilan arbitrase. Yang jelasnya ICSID memperbolehkan adanya pembatalan.
Penjualan saham Cemex kepada Rajawali Group menyebabkan akta CPSA dengan Cemex diakhiri dan direvisi kembali yang salah satu revisi tersebut berisi pencabutan pengadilan arbitrase, merupakan langkah penyelesaian sengketa yang di lakukan oleh Cemex untuk mengakhiri sengketa dengan Pemerintah Indonesia.
Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian,
Berperkara melalui badan arbitrase lebih fleksibel, artinya tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak harus di jalani. Dalam sengketa ini para pihak dapat meminta penundaan sidang dan melakukan negosiasi di luar pengadilan.
Kemelut di dalam PT Semen Padang yang berlarut larut merupakan cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia.
Cemex tidak lagi memiliki investasi di Indonesia dan sengketa dengan Pemerintah Indonesia berakhir tanpa melalui sidang di pengadilan arbitrase.
Contoh Sengketa Bisnis Syariah
Contoh kasus sengketa bisnis yang kami ambil sebagai contoh ialah sengketa pada perbankan syariah yaitu pada Bank Syariah Mandiri di Jambi, berikut merupakan penjelasan dan penyelesaian sengketa bisnis secara Syariah.
Praktik bisnis syariah di Indonesia mulai berkembang dengan perkembangan keinginan dan harapan umat Islam yang menjadi sebahagian besar penduduk Indonesia. Keinginan tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya upaya pemahaman terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang berdasarkan syariah Islam pada awal tahun 1990-an. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan syariah. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syariah tidak hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidang-bidang usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syariah, Reksa Dana Syariah dan Obligasi Syariah, dan lain-lain.
Semakin berkembangnya kegiatan ekonomi syariah terutama di bidang keuangan dan perbankan syariah, akhir-akhir ini, mengajak kita terutama para pakar, praktisi dan hakim Pengadilan Agama untuk mempersiapkan jika terjadi persengkataan baik sesama muslim maupun antara muslim dengan non muslim terkait dengan transaksi di bidang ekonomi dan keuangan syariah, seiring dengan amandemen Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kewenangannya diperluas selain perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq dan sadaqah, termasuk juga bidang ekonomi Syariah.
Perkembangan perbankan syariah di propinsi Jambi pun begitu pesat. Hal ini ditandai dengan bermunculan beberapa bank antara lain: bank muamalat, bank syariah mandiri, BRI syariah dan BNI syariah. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa minat dan kepercayaan masyarakat kepada prinsip syariah yang berkaitan dengan transaksi keuangan cukup tinggi. Hal menjadi tantangan kedepan lembaga keuangan syariah untuk lebih berbenah diri melakukan pelayan-pelayan terbaik bagi nasabahnya memberikan konstribusi bagi kemakmuran dan peningkatan ekonomi umat.
Sengketa dalam operasional perbankan syariah tentunya bisa saja terjadi mengingat segala sesuatu kegiatan operasional perbankan syariah terikat dengan segala peraturan dan akad yang harus di taati dan dipatuhi oleh pihak yang melakukan kegiatan investasi dan transaksi keuangan. Tentunya jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mengikat perjanjian dan akad akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku. Akan tetapi penyelesaikan dari sengeketa tersebut bisa saja diselesaikan dengan jalan Sengketa Alternatif atau melalui pengadilan hukum perdata.
Berdasarkan wawancara dengan pihak Bank Syariah Mandiri yang di wakili oleh Bapak Imam Fanzuri menjelaskan bahwa kasus sengketa yang terjadi di Bank Syariah Mandiri berkaitan dengan wanprestasi dimana nasabah tidak mampu mengembalikan tagihan Bank Syariah Mandiri seperti kasus pada tahun 2008 beberapa KUD tidak bisa mengembalikan tagihan akibat turunnya harga sawit dan karet, sengketa tersebut di selesaikan dengan jalan Mediasi . Sedangkan jalur litigasi (peradilan) baru tahap pengajuan somasi lewat pengadilan dan pengadilan mengeluarkan somasi dengan memanggil pihak-pihak terkait, jalur ini baru tahap proses belum putusan pengadilan.
Jadi secara umum sengketa di Bank Syariah Mandiri Cabang Jambi hanya sebatas wanprestasi saja dan penyelesaian dilakukan dengan jalan Mediasi.
http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/viewFile/155/138, diakses pada tanggal 25 September 2016.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan transaksi bisnis baik konvensional maupun syariah sering kali kita mengalami konflik yang berlanjut pada situasi sengketa, sengketa sendiri biasanya bermula pada situasi di mana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif, dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami perorangan atupun kelompok.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan ini seperti biasanya, berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.
Untuk itu, dibutuhkannya suatu cara/metode yang efektif dan efisien dalam proses penyelesaian sengketa ini, cara/metode yang bisa dilakukan ialah
Penyelesaian sengketa melalui proses Ligitasi (Pengadilan) baik pengadilan umum, agama maupun niaga.
Penyelesaian sengketa melalui proses Non Ligitasi atau penyelesaian sengketa alternative (Alternative Dispute Resolution/ADR)
Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak yang bersengketa dengan musyawarah mufakat.
Penyelesaian sengketa melalui ADR yaitu arbitrase, arbitrase syariah, konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli (Expert Appraisal).
Saran
Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat bahwa hak didengar kedua belah pihak sama-sama diperhatikan dan harus terpenuhi. Dengan itu, baru dapat dimulai proses dialog dan pencarian titik temu yang akan menjadikan proses penyelesaian sengketa dapat berjalan dengan baik dan efektif.
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk kritik dan saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka, pada kesempatan ini akan kami jelaskan tentang daftar pustaka makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Mahkamah Agung No 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Negeri.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
R.Saliman, Abdul, 2005. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana PrenadaMediaGroup.
Adi Nugraha, Susanti, 2011. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Asyhadie, Zaeni, 2014. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Daeng Naja, H.R. Daeng Naja, 2008. Pengantar Hukum Bisnis. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Harahap, M Yahya, 2004. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika.
Basir, Cik, 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup.
Https://www.academia.edu/10211024/Penyelesaian_Sengketa_Dalam_Hukum_Bisnis_Serta_Pembuktian. Di akses Pada Tanggal 25 September 2016.
Http://ejournal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/viewFile/155/138. Di akses Pada Tanggal 25 September 2016.
Http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-internasional/367-penyelesaian-sengketa-semen-padang-melalui-center-for-settlement-of-disputes. Diakses pada tanggal 29 November 2016.
Mardani, Jurnal PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 2, Juni 2010. Di akses Pada Tanggal 25 September 2016.
2