BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan berputarnya zaman berbagai macam pemikiran manusia pun terus berkembang, baik dari belahan bumi timur, barat, selatan dan utara semua menjadi dekat dengan berbagai macam sarana kemajuan alat komunikasi.
Setiap manusia menyadari bahwa mereka tidaklah hidup sendiri, mereka senantiasa hidup berdampingan dengan berbagai elemen masyarakat. Pelan tapi pasti berbagai pemikiran manusia yang mulanya hanya seputar politik ataupun ekonomi kini pemikiran tersebut telah menyentuh ranah agama.
Dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika ada pemikiran yang menyimpang mengenai agama yang dibawanya tentu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan tinggal diam, apalagi mengatasnamakan Islam sebagi alirannya. Beliau awali dengan dakwah, mengingatkan dengan kelemah lembutan beliau, hingga akhirnya peperangan pun tidak ragu untuk beliau perintahkan kepada para sahabatnya. Sebagai contoh kecil adalah Musailamah Al-Kadzab, ia merupakan seseorang yang mengaku Nabi Palsu dizaman beliau
Berbagai macam fitnah telah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu, mengenai berbagai macam golongan-golongan sesat yang membangkang kepada ajarannya. Dan yang menentang para Khulafaur Rasyidin dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Dengan berbagtai macam dalih hawa nafsu, merekapun membuat kelompok baru dan sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pun benar-benar terjadi, mulai dari dibunuhnya Sayyidina Umar Radhiallahu ‘Anhu ketika Sholat, dibunuhnya Sayyidina Ustman Bin Affan oleh para pemberontak, hingga fitnah yang menimpa Sayyidina Ali Radhiallahu ‘Anhu
Pada makalah ini kami selaku penyusun makalah secara ringkas akan membahas mengenai sejarah dan apapun yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah.
Rumusan Masalah
Bagaimana Inti dari Pemahaman Mu’tazilah?
Bagaimana Inti dari Pemahaman Syi’ah ?
Bagaimana Sejarah Awal Mulanya Mu’tazilah dan Syi’ah Muncul ?
Tujuan Penulisan
Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Mu’tazilah.
Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Syi’ah.
Agar Kita Bisa Memahami Awal Mula Munculnya Aliran Mu’tazilah dan Syi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
Perpecahan umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan apa-apa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita melalui sunnah-sunnahnya yang mulia. Pembahasan kali ini penyusun makalah akan mengajak pembaca untuk menelusuri aliran Mu’tazilah dan Syi’ah baik itu sejarahnya ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Mu’tazilah
Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan pemikiran barunya dalam beragama, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran baru dalam agama, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.Hingga mereka mendalami buku-buku yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar- benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam.( Al-Milal Wan-Nihal, hal. 29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
. Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65. Perlu diketahui bagi pembaca bahwa Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahu wata'aala akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahu wata'aala tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil- Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
2. Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij.Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
. Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
3. Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah subhaanahuwata'aala. Dalilnya mereka adalah firman Allah subhaanahu wata'aala :
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah subhaanahu wata'aala untuk memenuhi janji- Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Selain dari lima landasan diatas, mu’tazilah juga memiliki banyak sekali pemikiran lainnya, diantarannya adalah :
Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa,
Mengingkari ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat,
Mengingkari timbangan amal di hari kiamat,
Mengingkari Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam),
Mengingkari telaga Rasulullah di padang Mahsyar,
Mengingkari keluarnya Dajjal di akhir zaman,
Mengingkari telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini).
Mengingkari turunnya Allah ke langit dunia setiap malam.
Mengingkari hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
Mereka juga memvonis terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan kita sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar. Mereka memiliki pandangan bahwa meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
. Novi Effendi, Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal, Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45. Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Lc
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171) publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan gambaran firqah tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau, ”Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
. Abu Mushlih Ari Wahyudi, Beberapa Aliran Sesat, Artikel www.muslim.or.id https://muslim.or.id/1963-beberapa-aliran-sesat.html ,3 February 2010.
SYI’AH
Sejarah Munculnya Syi’ah
Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan.. Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm). Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.
Awal Munculnya Pemikiran Syi’ah
Perlu diketahui bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus, bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tidak pula merendahkan keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka juga tidak menuding para sahabat kafir. Namun seorang tokoh Syi’ah Modern, Abdul Husain Al-Musawi mengklaim bahwa kelompok sahabat Nabi yang dia sebut namanya itu adalah para tokoh yang menjadi teladan kaum syi’ah masa kini. Padahal aqidah para sahabat itu bersikap loyal (tawalli) kepada empat khulafaurrasyidin, dan tidak berlepas diri (tabarri) dan tidak mencaci As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar Radhiallahu’anhuma).
Dalam perkembangan selanjutnya, syi’ah ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi sarang persembunyian para musuh, dan para pendengki islam yang hendak membuat makar terhadap islam dan kaum muslimin.
. Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 30-31.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.
Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya).
Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadits secara marfû’ dari Ali Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma sedang berjalan menuju Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dua orang ini merupakan dua tokoh tua
. Ini diungkapkan dengan menggunakan istilah saat mereka berada di dunia, karena di surga tidak ada yang tua penduduk surga dari orang-orang yang terdahulu sampai yang terakhir. Wahai Ali! Janganlah kamu beritahukan hal ini kepada mereka“,(HR at-Tirmizdi ( 4/310)).
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (MaqalatulIslamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secaraterang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudahNabi Muhammad seharusnya jatuh ketangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu kewaktu, sampai kepada menuhankan Ali bin AbiThalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusaktatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin AbiThalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giatberibadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi.
(Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘AqidahAth-ThahawiyyahIbnuAbil ‘Izzhlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
. [Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam] https://muslim.or.id/8770-sejarah-kemunculan-syi.html
Faham Tentang Kedudukan Imam Syi’ah
Ajaran Syi’ah menyatakan bahwa para imam mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul. Imam Khumaini (imam mereka) menyatakan bahwa, ‘Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan mendunia, dimana seisi alam ini tunduk dibawah wilayah kekuasaanya. Dan termasuk para Imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang diutus”.
. Ayatullah Khumaini, Al-Hukumat Al-Islamiyyah, Hal:52. Lihat Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 76.
Nikah Mut’ah
Menutut Syi’ah, nikah mut’ah boleh bahkan akan mendapat pahala yang besar. Ulama Syi’ah menyatakan bahwa nikah mut’ah (kawin kontrak) tidak perlu mempedulikan apakah si wanita punya suami atau tidak. Boleh juga nikah mut’ah dengan pelacur.
. Al-Khumaini, Tahrir Al-Wasilah, vol.2/216. Ibid, hal: 81. Nuri Al-Thabarsi (ulama Syi’ah), menjelaskan bahwa dalam nikah mut’ah boleh dengan wanita bersuami asal dia mengaku tidak punya suami.
. Nuri Ath-Thabarsi, Mustadrak Al-Wasail, Hal. 485. Ibid.
Pemahaman Syi’ah Mengenai Al-Qur’an
Berhubung mereka sangat membenci dan bahkan mengkafirkan para sahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sudah tidak heran jika mereka akhirnya mempunyai pandangan baru dalam memahami Al-Qur’an. Menurut seorang ulama Syi’ah al-Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini tidak orisinil. Al-Qur’an sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan.
. al- Mufid, Awail al-Maqalaat, Hal. 80-81. Ibid, hal : 45. Hal senada juga dikatakan imam-imam mereka seperti Al-Qummi seorang tokoh mufassir Syi’ah, Ahmad bin Ali al-Thabarsi seorang tokoh syi’ah abad ke 6 H, Ni’matullah al-Jazairi dll.
Kiranya salah satu ulama mashur di negri kita sudah cukup untuk memberikan pengetahuan pada kita akan extreme dan alangkah bahayanya ajaran mereka tersebut, adalah Ra’is Akbar Nahdlatul Ulama Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah (1875-1947) yang berfatwa mengenai aliran ini, berikut fatwa beliau,
“Di antara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencac Sayidina Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma., membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina Ali da anggota keluarganya, semoga Allah meridhai mereka semua. Berkata Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini.
Berkata Al Qadhi Iyadh dalam kitab AsySyifa bi Ta’rif Huquq Al Musthafa, dari Abdillah ibn Mughafal, Rasulullah shallallahul’aihiwasallam bersabda: Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki sesudah aku tiada. Barangsiapa mencintai mereka, maka semata-mata karena mencintaiku. Dan barangsiapa membenci mereka, maka berarti semata-mata karena membenciku. Dan barangsiapa menyakiti mereka berarti dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa telah menyakiti Allah dikhawatirkan Allah akan menghukumnya. (Hadits riwayat Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi Juz V hal. 696 hadits no.3762). Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam bersabda: “Janganlah kamu mencela para sahabatku, Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah.” (HR. Abu Nu’aim, Al-Thabrani dan Al-Hakim). Rasulullah sallallahu’alayhi wasallam bersabda: “Janganlah kamu mencaci para sahabatku, sebab di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang mencela para sahabatku, maka jangan kamu menyolati atas mereka dan shalat bersama mereka, jangan kamu menikahkan mereka dan jangan duduk-duduk bersama mereka, jika sakit jangan kamu jenguk mereka.” Nabi shallallahu’alayhi wasallam telah mengabarkan bahwa mencela dan menyakiti mereka adalah juga menyakiti Nabi, sedangkan menyakiti Nabi haram hukumnya. Rasul sallallahu’alayhiwasallam bersabda: “Jangan kamu sakiti aku dalam perkara sahabatku, dan siapa yang menyakiti mereka berarti menyakitiaku.” Beliau bersabda, “Jangan kamu menyakiti aku dengan cara menyakiti Fatimah. Sebab Fatimah adalah darah dagingku, apasaja yang menyakitinya berarti telah menyakiti aku.” (Risalat Ahli Sunnah wal Jama’ah, h.9-10).
. Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 133-136.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perpecahan umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan apa-apa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita melalui sunnah-sunnahnya yang mulia.
Kelompok Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Kelompok ini memiliki ciri khas dengan lima landasan yang telah kami sebutkan diatas.
Menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau. Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya
DAFTAR PUSTAKA
As-syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal , (bina ilmu;2009)
Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth)
Bin Sulaimi, Ruwaifi (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah).
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. Posted by: Novi Effendi
sumber: (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171)
publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
Ari Wahyudi, Abu Mushlih , Beberapa Aliran Sesat, Artikel www.muslim.or.id https://muslim.or.id/1963-beberapa-aliran-sesat.html ,3 February 2010.
15