Academia.eduAcademia.edu

KARAKTERISTIK KITAB Al-MUWATTHA' IMAM MALIK RA

Pada akhir abad pertama hijriah, tepatnya tahun 99 H, khalifah Umar bin Abd`Azîz (w. 101 H) mengeluarkan instruksi kepada gubernur Madinah Abû Bakar bin Muhammad Ibn Hazm (w. 117 H) dan Muhammad bin Muslim Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 124 H) agar mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw yang terdapat pada koleksi 'Amârah binti Abd Rahmân (w. 98 H) dan Qâsim bin Muhammad (107 H). Perintah resmi tersebut memiliki tendensi yang sangat kuat untuk melestarikan hadis Nabi saw, bersamaan dengan munculnya hadi-hadis palsu dan wafatnya sebagian besar para ahli hadis. Ibn Syihâb al-Zuhrî ulama tersohor dipandang sebagai orang pertama yang mengkodifikasikan hadis Nabi saw, telah memenuhi ajakan khalifah jujur di atas sebelum khalifah tersebut kembali menghadap sang Khâliq. Hadis-hadis kumpulan al-Zuhrî dimaksud telah dikirimkan ke berbagai pelosok negeri Islam saat itu, dengan maksud agar menjadi contoh sekaligus motivasi untuk para ahli ilmu guna memberanikan diri mereka mempelajari hadis Nabi saw dan menghidupkannya. 1 Agaknya maksud mulia ini mendapat respon positif dari para ahli hadis yang hidup saat itu. Fenomena ini ditandai dengan bermunculan ulama hadis melalui beragam hasil karyanya dari berbagai daerah Islam. Seperti Abd Mâlik bin Abd Azîz (w. 150 H) di Makkah, Muhammad bin Ishâk (w. 151 H), Muhammad bin Abd Rahmân bin Abî Dzi'ib (w. 158 H), Sa'id bin Abî `Arûbah (w. 156 H), Rabî' bin Subaih (w. 160 H) dan Mâlik bin Anas (w. 179 H) semuanya di Madinah. Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H) di Kufah, Ma'mar bin Râsyid (w. 153 H) di Yaman, Abd Rahmân bin`Umar al-Auzâ`î (w. 157 H) di Syam, Abdullah bin Mubârak (w. 181 H) di Khurasan dan Laits bin Sa'ad (w.

KARAKTERISTIK KITAB Al-MUWATTHA’ IMAM MALIK RA Dr. Ja`far Assagaf, MA I. Pendahuluan Pada akhir abad pertama hijriah, tepatnya tahun 99 H, khalifah Umar bin Abd `Azîz (w. 101 H) mengeluarkan instruksi kepada gubernur Madinah Abû Bakar bin Muhammad Ibn Hazm (w. 117 H) dan Muhammad bin Muslim Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 124 H) agar mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw yang terdapat pada koleksi ‘Amârah binti Abd Rahmân (w. 98 H) dan Qâsim bin Muhammad (107 H). Perintah resmi tersebut memiliki tendensi yang sangat kuat untuk melestarikan hadis Nabi saw, bersamaan dengan munculnya hadi-hadis palsu dan wafatnya sebagian besar para ahli hadis. Ibn Syihâb al-Zuhrî ulama tersohor dipandang sebagai orang pertama yang mengkodifikasikan hadis Nabi saw, telah memenuhi ajakan khalifah jujur di atas sebelum khalifah tersebut kembali menghadap sang Khâliq. Hadis-hadis kumpulan al-Zuhrî dimaksud telah dikirimkan ke berbagai pelosok negeri Islam saat itu, dengan maksud agar menjadi contoh sekaligus motivasi untuk para ahli ilmu guna memberanikan diri mereka mempelajari hadis Nabi saw dan menghidupkannya. Muhammad `Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 330; Muhammad al-Mâlikî, al-Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts al-Syarîf, (Jeddah: al-Sahar, 1982), h. 22-24; Abû Yaqzhân `Aliah al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn al-Sunnah al-Muthahharah, (Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, tth.), h. 140. Agaknya maksud mulia ini mendapat respon positif dari para ahli hadis yang hidup saat itu. Fenomena ini ditandai dengan bermunculan ulama hadis melalui beragam hasil karyanya dari berbagai daerah Islam. Seperti Abd Mâlik bin Abd Azîz (w. 150 H) di Makkah, Muhammad bin Ishâk (w. 151 H), Muhammad bin Abd Rahmân bin Abî Dzi’ib (w. 158 H), Sa’id bin Abî `Arûbah (w. 156 H), Rabî’ bin Subaih (w. 160 H) dan Mâlik bin Anas (w. 179 H) semuanya di Madinah. Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H) di Kufah, Ma’mar bin Râsyid (w. 153 H) di Yaman, Abd Rahmân bin `Umar al-Auzâ`î (w. 157 H) di Syam, Abdullah bin Mubârak (w. 181 H) di Khurasan dan Laits bin Sa’ad (w. 172 H) di Mesir serta ulama hadis lainnya. Al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn, h. 337; al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn…, h. 146-147. Dari koleksi hadis para ulama di atas, hanya karya imam Malik bin Anas bernama al-Muwattha’ yang akan menjadi sentral bahasan tulisan ini. Al-Muwattha’ merupakan kitab hadis tertua ditulis pada periode awal Islam yang dapat dilihat sampai kini sementara kitab hadis ulama lainnya tidak diketahui nasibnya sampai sekarang. II. Biografi Ringkas Imam Malik ra Keterangan saling melengkapi tentang imam Malik, lihat: al-Mâlikî, al-Manhal al-Lathîf, h. 264-266; Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî (w. 748 H), Siyar A`lâm al-Nubalâ’ , diedit oleh Syua’ib al-Arnawûth dan Muhammad Nu`aim al-`Arqusûsî. (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, cet IX, 1413 H)) juz VIII, h .47- 131; Mu’min bin Hasan Mu’min al-Syabalnjî, Nûr Abshâr fî Manâqib Âli al-Nabiyyi al-Mukhtâr, (Ttp: Dâr al-Fikr, 1948), h. 230-233; Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Icthiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid III, h. 139-140. Abû Abdillah Mâlik bin Anas bin `Âmir al-Ashbahî lahir di Madinah 93 H Ada riwayat yang mengatakan beliau dilahirkan pada tahun 91, 94,95,96 atau bahkan 97 H. al-Syabalanjî, Nûr al-Abshâr... h. 230. , Anas ayah Mâlik adalah seorang tabi’in dari turunan orang Anshar. Ibunya bernama Aliyah binti Syuraik. Semenjak kecil Mâlik tidak pernah pergi keluar dari kota Madinah sampai beliau meninggal kecuali ketika ia mengerjakan ibadah haji di Makkah. Kurangnya biaya tidak menghalangi Mâlik kecil mempelajari ilmu agama terutama hadis Nabi saw. Bahkan Mâlik telah menghafal al-Qur’an, yang sejak awal telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam bidang hadis. Hal ini tidak terlepas dari kesungguhan orang tuanya dalam membimbing Mâlik. Pernah suatu saat ketika Mâlik belajar lalu ditanya tentang sesuatu namun Mâlik kecil tidak menjawab sehingga ia ditegur agar jangan terlalu banyak main dengan burung merpati peliharaannya. Peristiwa ini membawa tekad yang kuat dalam diri Mâlik untuk bersungguh-sungguh mempelajari hadis. Selain kecerdasan inetlektual, Mâlik juga terkenal memiliki akhlaq terpuji dan diam merupakan ciri khasnya. Dalam umur sepuluh tahun Mâlik telah mempelajari hadis Nabi saw dan kemudian termashur sebagai pendiri mazhab Mâlikî. Mâlik berguru pada segolongan ulama terkenal di masa itu seperti Nâfi’ (w. 117 H) maula Ibn Umar , Ibn Syihab az-Zuhri (w. 124 H), `Atha bin Rabâh (w .117 H), Hisyâm bin `Urwah bin Zubair, tetapi ia lebih lama bersama gurunya Abû Bakar Abdullah bin Yazîd Ibn Hurmuz. Menurut sebagian ulama, kehadiran imam Mâlik telah diisyaratkan oleh Nabi saw melalui sebuah hadisnya yang berbunyi Seperti pendapat Sufyân bin `Uyainah, lihat: Muhammad al-Zarqânî, Syarh al-Zarqânî (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), juz I, h. 3-4. Lafadz hadis lihat Abû `Îsâ Muhammad bin `Îsâ al-Turmudzî (w. 279 H), Sunan al-Turmudzî, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syâkir dkk ( Beirut: Dâr Ihyâ’ Turats al-`Arabî, tth), juz 5, h. 47. Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal (164-241 H), AJ. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawi (Leiden: EJ. Brill, 1965),jilid 5, h. 508. : يوشك‎‮ ‬ان‮ ‬يضرب‮ ‬الناس‮ ‬أكباد‮ ‬الابل‮ ‬يطلبون‮ ‬العلم‮ ‬فلا‮ ‬يجدون‮ ‬احدا‮ ‬اعلم‮ ‬من‮ ‬عالم‮ ‬المدينة‭ “ Hampir manusia bertaruh untuk mencari hati unta guna mencari ilmu, tapi mereka tidak mendapati orang yang lebih pandai dari seorang alim Madinah” Sekalipun Mâlik berdomisili di kota Madinah, tetapi kesempatan untuk menimba ilmu hadis para ulama dari berbagai wilayah Islam dapat diperolehnya saat mereka melaksanakan ibadah haji. Kondisi demikian menjadikan Mâlik sebagai pemuda yang mampu mengajarkan hadis Nabi saw di mesjid Madinah saat berumur 17 tahun, dan saat itu usia seperti ini merupakan hal yang langka. Imam Mâlik yang awalnya hidup serba kekurangan, setelah menjadi imam terkenal, memperoleh anugerah yang berkecukupan dalam hidupnya. Beberapa kali Mâlik mendapat hadiah dari para khalifah saat itu, tetapi semua itu tidak membuaikannya, bahkan uang atau hadiah yang diberikan kemudian digunakan untuk membantu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama. Imam Syafi’i (w. 204 H) salah seorang murid Mâlik merasakan anugerah tersebut. Keadaan ini pun tidak menjadikan Mâlik lantas tunduk begitu saja dengan keputusan para penguasa saat itu. Fenomena ini terlihat dari fatwanya yang mengakibatkan Mâlik menjalani siksaan fisik atas perintah al-Manshur karena pernyataan Mâlik kalau sumpah atau bai`ah dengan pemaksaan maka bai`ah tersebut tidak sah. Ketika Harun al-Rasyîd berada di Madinah, khalifah memanggil Mâlik untuk membacakan kitab al-Muwattha’nya, tetapi Mâlik menjawab bahwa ilmu itu mesti didatangi dan bukan mendatangi. Sekalipun Mâlik tidak mendukung pemerintahan saat itu tetapi hubungannya dengan mereka secara umum adalah baik. Kekaguman ulama terhadap imam Mâlik dapat dilihat dari keterangan mereka bahwa imam Malik adalah imam dalam hadis dan sunnah Terdapat sebuah ungkakapan kalau Sufyân al-Tsaurî (w.161 H) adalah imam dalam hadis, Auzâ’i (w. 157 H) adalah imam dalam sunnah sedangkan Malik adalah imam dalam hadis maupun sunnah sekaligus. Muhammad `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuhu wa Musthalahahu (Dâr al-Fikr, Beirut, 1989), h. 26; al- Khatîb, al-Sunnah..., h. 20. Laits bin Sa’ad pernah berkata “Mâlik adalah jaminan keamanan bagi siapa yang mengikutinya” dan “tidak ada sesuatu yang lebih kucintai di atas bumi ini lebih dari Mâlik” Ibn Mubârak berkata Fuad Kauma, Perjalanan Spritual Empat Imam Madzhab (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 18. Ada riwayat menyatakan kalau perkataan itu berasal dari Hammâd bin Salamah, lihat: al-Syabalanjî, Nûr al-Abshâr..., h. 230. “Seandainya aku disuruh untuk memilih imam untuk umat ini maka aku akan memilih Mâlik”. Imam Syafi’i (150-204 H) berkata “ Jika hadis datang dari Mâlik maka itu adalah hujjah”. Terdapat beberapa karya imam Mâlik seperti kitab al-Nujûm, tafsîr li Gharâ’ib al Qur’an, kitab al-Siyar, Risâlah ila Laits bin Sa’ad dan lainnya. Tetapi Mâlik terkenal untuk aliran pemikiran, karakteristik personal serta kitabnya al-Muwattha’ yang sempat diminta khalifah Harun ar-Rasyid untuk dijadikan rujukan utama bagi umat Islam dalam bidang hadis, tetapi Mâlik menolak dengan alasan yang sangat rasional. Setelah menderita sakit selama 1 minggu, imam Dâr al-Hijrah tersebut wafat pada 10 Rabi’ul awwal 179 H dalam usia 90 tahun. Jenazahnya disemayamkan di pekuburan Baqi dekat Madinah. III. Sistematika Penulisan dan Jumlah Hadis Al-Muwattha’ Memasuki pertengahan abad ke II hijriah penulisan literatur hadis telah mengalami perubahan sistematika dalam penyusunan. Ketika hadis Nabi saw belum dikodifikasi secara resmi, telah terdapat kumpulan tulisan berisi hadis Nabi baik dari kalangan sahabat dan tabi’in seperti shahîfah Jâbir bin Abdillah al-Anshârî (w. 78 H), shahîfah shâdiqah oleh `Abdullah bin `Amr bin Ash (w. 65 H), shahîfah Hammâm bin Munabbih (w. 131 H). Keterangan lengkap mengenai beberapa shahîfah tersebut di atas dan lainnya lihat al-Khatîb, al-Sunnah..., h. 348-355; A`zhamî, Studies In Early Hadith Literature, alih bahasa Ali Mustafa Ya’qub, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 142,148, 156,170-174 . Tetapi penyusunan hadis dalam shahîfah- shahîfah dimaksud belum ditertibkan sebagaimana yang kemudian kita kenal dalam kitab-kitab hadis mu’tamad. Agaknya kodifikasi tersbut berdasarkan apa yang mereka dengar kemudian dituliskan dalam lembaran-lembaran. Walaupun demikian telah terdapat kumpulan tulisan hadis tentang haji misalnya oleh Jâbir dan kitab hadis tentang peperangan Nabi “diduga” telah ditulis oleh Abdullah bin Amr. A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h. 170-174 Pada perkembangan selanjutnya, setelah penulisan hadis secara resmi pada masa khalifah Umar bin Abd Azîz, hadis Nabi saw disusun dalam satu kitab dengan menyertakan pendapat atau konvensi khulafâ’ al-râsyidîn dan pendapat tâbi’în yang disistematikan berdasarkan topik-topik tertentu seperti jihad atau kumpulan dari berbagai topik Dapat berbentuk kitab Mushannaf, Jâmi’, Maghâzî, Sîrah atau Sunan. Muhammad bin Muthahhar al-Zahrânî, Tadwîn al-Sunnah al-Nabawiah Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu (Madinah: Maktabah al-Shiddîq,1412 H), h. 88; Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, no. 11, (Bandung: Yayasan Muthahari, 1993), h. 40, 43,47. Sebelum imam Malik, pentadwinan hadis belum berdasarkan bab-bab ilmu secara komperhensip, lihat al-Mâlikî, al-Manhal..., h. 268. al-Muwattha’ karya imam Mâlik disusun berdasarkan bab-bab yang dikenal dalam ilmu fiqih Selain al-Muwattha’ imam Malik terdapat pula karangan ulama saat itu, dinamakan seperti al-Muwattha’, misalnya karangan Muhammad bin Abd Rahmân bin Abî Dzi’ib. Lihat: al-Khatib, Ushûl al-Hadîts..., h.337. Terdapat pula al-Muwattha’ Muhammad bin Hasan al-Syaibânî (189H) yang ia riwayatkan 1180 hadis marfû’, mauqûf dan mursal, 1005 hadis dari Malik, 13 hadis dari Abû Hanîfah (w. 150 H) dan 4 dari Abu Yusuf (w. 182 H), al-Jabâwurî, Mabâhits fî Tadwîn..., h. 154. , akan tetapi penyusunan tidak sama persis dengan kitab fiqih yang dikenal belakangan karena secara umum penyusunan kitab fiqih dimulai dengan bab wudhu misalnya, sedangkan dalam al-Muwattha’ dimulai dengan bab waktu-waktu shalat kemudian waktu Jum’at dan di bagian-bagian akhir kitab tersebut dicantumkan bab yang berkaitan dengan akhlaq misalnya tentang kebohongan dan kebenaran atau bertalian dengan aqidah seperti sifat neraka Jahannam dan ditutup dengan bab menuntut ilmu. Abû Abdillah Mâlik bin Anas al-Ashbahî, al-Muwattha’ Mâlik, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Bâqî (Mesir: Dâr Ihyâ’ Turats al-`Arabî, t.th), juz I, h. 3, 9; juz II, h. 989, 994, 1004. Penyebutan dalam setiap bab dimulai dengan hadis Nabi saw disusul dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat lalu tâbi’în dan terkadang imam Mâlik berpegang dengan atsar mereka khususnya yang berdomisili di Madinah, sehingga terlihat Mâlik menjadikan amalan praktis mereka (ahl Madinah) salah satu sumber hukum. Al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn..., h. 151-152.Dengan demikian al-Muwattha’ bukan merupakan buku koleksi hadis murni. Konon al-Muwattha’ karya Mâlik disusun atas permintaan khalifah Abû Ja’far al-Manshur untuk memudahkan masyarakat Islam guna dijadikan rujukan kitab hadis sehingga dinamakan al-Muwattha’, atau karena para ulama Madinah telah merestui kitab al-Muwattha’ setelah diajukan oleh Mâlik. Al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn..., h. 149-150; al-Mâlikî, al-Manhal..., h.268; al-Zahrânî, Tadwîn al-Sunnah..., h. 90. Hadis-hadis dalam al-Muwattha’, Mâlik terima dari 89 ulama Madinah, 2 ulama Basrah, ulama Makkah, Khurasan, Suriah dan Aljazair masing masing satu orang, tetapi kebanyakan Mâlik mengambil riwayat dari Ibn Syihâb al-Zuhrî, Yahya bin Sa’id dan Nâfi`. Ensiklopdi Islam, jilid III, h .318-319. Jumlah guru imam Malik hampir mencapai 1000 orang, al-Zarqânî, Syarh al-Zarqânî, juz I, h. 5-6. Mâlik menghabiskan 40 tahun mengarang kitab tersebut, dikarenakan Mâlik selalu mengadakan revisi terhadap karyanya itu dan mengakibatkan terjadi reduksi atas materi dalam kitab itu, sehingga didapati sekitar 80 naskah bebeda versi, 15-20 di antaranya yang cukup dikenal Ada riwayat menyatakan 60 tahun, al-Zarqânî, Syarh al-Zarqânî, juz I, h. 5-6; A`zhamî, Studies In Hadith Methodologi and Literature, alih bahasa A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 134. . Hanya satu versi dari Yahya bin Yahya yang tersisa dalam bentuk aslinya, lengkap dan telah diterbitkan. Versi ini berisikan hadis-hadis Nabi saw, atsar sahabat dan tâbi`în. A`zhamî, Studies In Hadith (Metodologi), h.134-135 Jumlah hadis dalam kitab al-Muwattha’ menurut Abû Bakar al-Abhârî terdiri dari 1720, 600 diantaranya hadis musnad, 222 hadis mursal, 613 hadis mauquf dan 285 hadis maqthu sedangkan menurut riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi terdapat 853 hadis al-Zarqânî, Syarh al-Zarqânî, juz I, h. 7; al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn..., h. 153-154. al-Zahrânî, Tadwîn al-Sunnah..., h. 90-91 tanpa merincikan hadis-hadis dimaksud. Penulisan hadis dalam al-Muwattha’ merupakan hasil seleksi imam Malik dari 100 ribu hadis yang ia hapal lalu dibukukan. Pada awalnya al-Muwattha’ berkisar 10 ribu hadis lalu berkurang menjadi 1000 hadis setelah diadakan beberapa kali penyeleksian sampai saat Mâlik wafat. Ada yang menyatakan 9 ribu atau 4 ribu, al-Zarqânî, Syarh al-Zarqânî, juz I, h. 7. IV. Kriteria Kesahihan Suatu Hadis Kesahihan suatu hadis tidak terlepas dari terhindarnya suatu matan dan sanad dari berbagai hal yang dapat mencemari kualitas suatu hadis Suatu hadis dikatakan shahîh bila memenuhi beberapa syarat berikut ini. Para perawinya terdiri dari orang yang adil dan dhâbith, sanadnya bersambung dari perawi pertama sampai perawi terakhir (mukharrij), terhindar dari syudzuz (kejanggalan), dan illat (cacat), Jalâluddîn al-Suyûthî (w.911 H), Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, ditahqiq oleh Abd Wahâab Abd Lathîf (Riyâdh: Maktabah Riyâdh al-Hadîtsah, t.th), juz I, h. ; al-Mâlikî, al-Manhal..., h. 58-59. Keterputusan jalur periwayatan dalam sanad dapat membawa konsekuensi pada rendahnya kualitas suatu hadis berikut menjadikan hadis dimaksud tidak kuat sehingga tak dapat dijadikan sandaran dalam menentukan hukum-hukum Islam. Dalam al-Muwattha’, indikasi seperti ini dapat terlihat melalui periwayatan dengan menggunakan shîgat tamrîdh atau lafad yang mengandung kemungkinan terdapat keterputusan sanad seperti ‘an dan balaghanî. Ulama hadis dalam masalah ini telah menetapkan qaidah-qaidah berkaitan dengan periwayatan yang menggunakan lafad ‘an dan sebagainya, apakah suatu hadis dianggap marfû` ataukah hanya mencapai taraf mauqûf. Suatu hadis dapat dikatakan marfû` bila di dalam sanad maupun matan terdapat beberapa indikator yang menunjukan kalau hadis tersebut benar berasal dari Nabi saw. Qarînah dimaksud meliputi beberapa hal di antaranya sebagai berikut Hadis marfû’ dibagi dua, marfû’ tashrîh dan marfû’ hukmî, al-Mâlikî, al-Manhal...,h. 77. Indikasi di atas berkaitan dengan marfû’ hukmî.: Dalam hadis tersebut terdapat lafad كنا‮ ‬نفعل‮ ‬كذا‮ ‬وكذا‮ ‭ ‬atau‭ ‮ ‬من‮ ‬السنة‭ ‬dengan syarat disandarkan pada zaman Nabi saw. Perkataan sahabat tidak berhubungan dengan cerita-cerita israiliyyat atau perkara yang tidak mungkin diijtihadkan seperti cerita masa lalu dan peristiwa yang akan terjadi Marfû’ hukmî sebagai mana marfû’ tashrîh, bentuknya dapat berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Hadis marfu’ berikut penjelasan dan pembagiannya lihat: al-Mâlikî, al-Manhal...,h.78-79; al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî..., juz I, h. 180-193 beserta keterangannya.. Dalam kitab al-Muwattha’ selain masalah berkaitan dengan hadis marfû` juga terdapat problem keterputusan sanad, karena dalam kitab ini terdapat ‘lompatan’ dalam mengambil suatu hadis atau yang lebih dikenal dalam kalangan muhaddisin dengan hadis mursal. Seperti hadis tentang waktu shalat subuh, larangan shalat di suhu yang sangat panas dari `Athâ bin Yasâr (94/99/104 H) langsung dari Nabi saw. Hadis tentang ketiduran dan terlambat mengerjakan shalat dari Sa’id bin Musayyab (94 H) dan Zaid bin Aslam (136 H) dari Nabi saw, serta hadis masalah mengangkat tangan ketika memulai shalat dari Sulaiman bin Yas6ar (107 H) dari Nabi saw. Hadis yang diriwayatkan oleh generasi tabi’în dengan penukilan secara langsung tanpa menyebutkan nama sahabat Nabi saw. Hadis mursal terbagi menjadi 2 mursal shahâbi dan mursal tabi’î, al-Mâlikî, al-Manhal..., h. 113. al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî..., juz I, h.195-196. Lihat contohnya dalam imam Malik, al-Muwathha’..., juz I, h. 3, 13-15, 76. Keterangan mereka lihat Jalâluddîn al-Suyûthî, Is`âf al-Mubthia’ bi Rijâl al-Muwathha’, (Mesir: al-Maktabah at-Tijârah al-Kubrâ, 1969), h. 10,12, 21. Ulama hadis dalam menentukan posisi hadis semisal ini berbeda pendapat, yang dapat dikategorikan menjadi 3 pendapat, yaitu: Hadis mursal dapat dijadikan hujjah secara mutlaq, demikian menurut Abû Hanîfah, Mâlik dan sejumlah tokoh muhadditsîn dan fuqahâ’. Mayoritas Ulama menilai hadis mursal sebagai hadis dha`îf. Hadis mursal dapat dijadikan hujjah, tapi terbatas pada tokoh terkenal dari tâbi’în seperti Sa’id bin Musayyab (w. 94 H). Kualifikasi di atas dikhususukan pada mursal tâbi’î sedangkan untuk mursal shahâbî maka jumhur ulama membolehkan menguunakan hadis mursal. al-Malikî, al-Manhal..., h. 78-79; al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî..., juz I, h. 197-200. Permasalahan yang kemudian muncul yaitu penetapan kehujjahan hadis mauqûf maupun hadis mursal sebagaiman dalam kitab al-Muwattha’. Bila ditilik dari qaidah yang telah ditetapkan sehubungan dengan shahîhnya suatu hadis, maka posisi kedua hadis di atas (mmursal dan mauqûf) hemat penulis termasuk dalam kategori dha`îf, sebab keduanya tidak memenuhi kriteria shahîhnya sanad suatu hadis karena keterputusan periwayatan. Tapi agaknya ulama yang membolehkan memakai kedua model hadis tersebut dengan beberapa kualifikasi misalnya hadis mauqûf dapat dijadikan hujjah bila terdapat qarînah (indikator) yang menunjukkan kemarfû`annya atau bila sanad hadis yang terputus itu adalah sahabat dan disadur dari salah seorang tâbi`în terpercaya seperti Sa’id bin Musayyab dalam kasus hadis mursal Seperti imam Syâfi`î, sekalipun ia tidak menerima hadis mursal, ia tetap menerima bila mursalnya dari Sa’îd bin Musayyab (w. 94 H) . Dalam masalah ini, ulama hadis yang membolehkan mengambil pengecualian dari qaidah umum bahwa suatu sanad bila telah terputus maka kedudukan suatu hadis tidak dapat dikelompokkan dalam kategori hadis-hadis shahîh. Ulama menerima hadis-hadis dalam kitab al-Muwattha’ lebih didasarkan pada reputasi Mâlik sekalipun didalam kitab tersebut terdapat lafad-lafad yang menunjukan ketidak pastian seperti ‮ ‬عنdan‭ ‮ ‬بلغني,‭ ‬belakangan sebagian ahli hadis enggan menggunakannya. Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam (Bandung: Yayasan Muthahari, 1995), vol IV, no 14, h. 22.‭ ‬Tetapi kualitas hadis dalam‭ ‬al-Muwattha‭’ ‬kemudian dibuktikan bahwa semuanya‭ ‬shahih‭ ‬karena‭ ‬sanad‭ ‬yang diduga terputus ternyata bersambung.‭ ‬Hanya‭ ‬4‭ ‬buah hadis‭ ‬al-Muwattha‭’ ‬yang tak ditemukan‭ ‬sanadnya‭ ‬menurut‭ ‬penelitian Ibn‭ ‬Abdil Barr‭ (‬463‭ ‬H‭) ‬dalam kitab‭ ‬al-Tamhîd al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî..., juz I, h. 212..‭ ‬Kalau benar penelitian tersebut,‭ ‬kenapa sebagian besar ulama hadis‭ ‬mutaqaddimîn‭ ‬maupun‭ ‬muta‭’‬akhirîn‭ ‬seperti Ibn‭ ‬Hajar al-‭`‬Asqalânî‭ (‬773-852H‭) ‬tetap mengannggap bahwa imam‭ ‬al-Bukhârî‭ ‬melalui kitab‭ ‬shahîhnya‭ ‬adalah‭ ‬pengarang kitab hadis‭ ‬shahîh‭ ‬yang pertama‭ ‬dan kitab al-Bukhârî tersebut adalah kitab‭ ‬shahîh‭ ‬utama ketimbang‭ ‬al-Muwattha‭’‬. Ahmad bin Ali al-Asqalânî, Hadyu al-Sârî Muqaddimah Fath al-Bârî , (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), h. 10. Ada juga yang menganggap imam Malik adalah pengarang kitab shahih yang pertama, Jamâl al-Ddîn al-Qâsimî, Qawâ’id al-Tahdîts min Funun Musthalah al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1979), h. 83.‭ ‬Padahal apa yang dipermasalahkan dalam kitab‭ ‬al-Muwattha‭’ ‬mengenai‭ ‬mursal,‭ ‬munqathi‭`‬,‭ ‬mauqûf‭ ‬dan lainnya‭ ‬sudah terjawab‭ ‬melalui penelitian Ibn‭ `‬Abd al-Bar,‭ ‬ataukah pembuktian tersebut menurut Ibn‭ ‬Hajar masih kalah tinggi kualifikasi‭ ‬al-Muwattha‭’ ‬dalam menerima perawi yang dianggap‭ ‬tsiqah‭ ‬disbanding dengan perawi dalam‭ ‬shahîh‭ ‬al-Bukhârî. V. Penilaian dan Kritikan Ulama hadis menilai kitab al-Muwattha’ termasuk salah satu sumber hadis shahih, bahkan imam Syâfi`î menilai kitab gurunya itu sebagai kitab yang tervalid sesudah al-Quran. Abˆu Fidâ’ Ismâ`îl bin Umar Ibn Katsîr (w. 774 H), al-Bâ`its al-Hatsîs, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), h. 28. Sementara ulama berusaha menginterpretasikan perkataan Syafi`î itu dengan pernyataan bahwa pengakuan itu sebelum ditulisnya shahîh al-Bukhârî dan Muslim, Ibn al-Katsîr, al-Bâ`its..., h. 28; al-Zahrâni, Tadwîn al-Sunnah..., h. 91. yaitu seandainya kitab shahîh al-Bukhârî dan Muslim sudah ada saat itu, imam Syâfi`î tidak akan atau paling tidak mengakui kitab shahîh kedua imam yang sering disebutkan bersama itu lebih unggul dari al-Muwattha’ karya Mâlik. Menurut penulis hal ini hanya merupakan pembelaan mayoritas ulama yang memang sejak awal telah mendahulukan shahîh al-Bukhârî dan Muslim daripada al-Muwattha’, padahal telah terdapat perbedaan tentang posisi kitab yang disebutkan terakhir. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu: Ulama yang mendahulukan al-Muwattha’ dari kitab shahîh al-Bukhârî dan Muslim. Kelompok ini kebanyakan berasal dari ulama bermazhab mâlikî. Ulama yang mensejajarkan kitab al-Muwathha’ dengan kitab shahîhain, imam al-Dahlawi termasuk kelompok ini. Kitab al-Muwattha’ berada setingkat di bawah shahîh al-Bukhârî dan Muslim. Ibn Hajar termasuk kelompok ini yang disebut sebagai bagian mayoritas Al-Jabawurî, Mabâhits fî Tadwîn..., h. 152-153; al-Mâlikî, al-Manhal..., h. 268.. Terlepas dari perbedaan tentang posisi al-Muwattha’, ulama hadis sepakat kitab imam dâr al-hijrah tersebut memiliki kualitas yang tinggi, sehingga hadis-hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah atau bernilai shahîh, bahkan sanad imam Mâlik dari Nâfi’ dari Ibn `Umar dianggap sebagai sanad terkuat dibandingkan dengan sanad yang lain atau diistilahkan dengan silsilah al-Dzahab Terdapat banyak silsilah emas dalam sanad hadis, tetapi menurut imam al-Bukhârî sanad di atas merupakan yang terkuat di antara sekalian sanad silsilah emas, Ibn Katsir, al-Bâ`its..., h. 20-22. Ibn Hajar mengarang sebuah kitab bernama Silsilah al Dzahab berisi hadis-hadis Malik dari Ibn Umar (w. 73/74 H). . Penilaian positif terhadap kitab al-Muwattha’, tidak pula terlepas dari kritikan yang diberikan terhadap kitab ini, terutama yang datang dari orientalis. Tidak dipungkiri ada pula kritikan ulama hadis, tetapi lebih berkaitan dengan klasifikasi kitab al-Muwattha’ apakah ia termasuk kitab hadis atau kitab fiqih dan mengenai hadis mursal yang terdapat di dalamnya. Agaknya A`zhamî lebih sepakat kalau kitab al-Muwattha’ dimasukkan dalam kelompok literatur fiqih klasik, A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h. 538. Kritikan kalangan orientalis terhadap kitab al-Muwattha’ berasal dari Schacht terdiri dari dua bagian. Pertama, meragukan keotentikan sanad hadis dalam kitab al-Muwattha’ dengan tuduhan bahwa sanad yang terdapat di dalamnya adalah hasil pemalsuan sebagaimana tuduhannya terhadap literatur hadis lainnya. Contoh hadis tentang sujud sajadah dikomentari oleh Khalifah Umar ra. Sanad hadis ini terdiri dari Mâlik, Hisyâm dari `Urwah, dinilai oleh Schacht terputus dengan menyertakan pendapat al-Zarqânî tentang perbedaan dalam berbagai naskah kitab al-Muwattha’. Kritikan tersebut dibantah oleh Pakar hadis kontemprer Muhammad Mustafa A`zhamî. Menurut A`zhamî, Schacht tidak pernah menemukan naskah asli kitab al-Muwattha’ sehingga naskah kuno tidak pernah ada sebagaimana anggapannya. Tuduhan itu juga dijawab oleh A`zhamî dengan menyertakan bagian teks hadisnya sebagai perbandingan. A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h. 566-567. Kritikan Schachat sebenarnya bertujuan memberikan keraguan terhadap matan hadis secara umum dengan pernyataan bahwa sanad hadis dibuat untuk menguatkan matan yang telah dipalsukan. A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h. 565. Kedua, tentang silsilah emas, Mâlik dari Nâfi’dari Ibn `Umar ra. Schacht meragukan otentisitas sanad silsilah emas di atas dengan dua alasan, yaitu: Umur Malik. Dibandingkan tahun wafat imam Malik tahun 179 H dengan tahun wafatnya Nafi’ 117 H. Hubungan Nafi’ dengan Ibn Umar, sebagai bekas hamba sahaya tokoh yang disebutkan kedua A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h.578-579.. Point pertama dibantah A`zhamî, memang benar terdapat perbedaan pendapat tahun kelahiran imam Mâlik, tetapi tidak ada yang menyatakan ia lahir di atas tahun 97 H. Oleh karena itu perbandingan Schacht bukan pada tempatnya, karena saat Nâfi’ wafat tahun 117 H, Mâlik paling kurang telah berusia 20 tahun. Selain itu, Nâfi` maupun Mâlik sama-sama hidup di Madinah sehingga sulit rasanya mengingkari riwayat-riwayat dari Nâfi` yang tidak lebih dari 30 halaman. A`zami mengakui mengenai sanad keluarga yang tidak autentik, tetapi hal itu bukanlah alasan bahwa sanad silsilah emas tidak kuat seperti alasan kedua dari Schacht. Nâfi` sekalipun bekas hamba sahaya dari Ibn Umar, tetapi kritikus hadis telah menyatakan ia sebagai perawi terpercaya. Selain itu, Nâfi` bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis dari Ibn `Umar, melainkan masih banyak orang yang meriwayatkan dari figur yang disebutkan belakangan. Kritikus hadis selalu membandingkan antara ucapan murid-murid yang belajar pada seorang guru untuk memberikan penilaian terhadap mereka atau guru mereka. Jika ternyata terdapat kesalahan atau kebohongan maka para krtikus itu tidak akan diam. A`zhamî, Studies In Early (Hadis Nabawi)..., h. 580 Demikian pembelaan A`dzami IV Kesimpulan Imam Mâlik diakui sebagai ulama yang memiliki kredibilitas akhlaq dan kapasitas intelektual dan dipandang sebagai ulama yang alim di zamannya. Penyusunan kitab al-Muwattha’ secara umum didasarkan pada bab-bab dalam fiqih dan sebagai literatur hadis tertua yang sampai pada kita. Ulama hadis mengagumi al-Muwattha’ Mâlik, sebagian mensejajarkannya dengan kitab shahîh al-Bukhârî dan Muslim, bahkan sebagian lainnya menggunggulkan kitab al-Muwattha’ dari kitab shahîhain secara mutlaq. Kritikan tentang isi kitab al-Muwattha’, berkisar pada hadis-hadis yang diriwayatkan dengan lafad-lafad yang dianggap tidak menunjukan ketersambungan sanad secara pasti dan hadis-hadis mauqûf maupun mursal, tetapi hal itu telah dibuktikan oleh ulama lainnya kalau hadis-hadis tersebut sanadnya bersambung. Terdapat pula kritikan yang datang dari kalangan orientalis berkaitan dengan keautentikan sanad dalam al-Muwattha’ dan sanad silsilah emas. kelemahan argumentasi mereka telah dibantah oleh ulama hadis kontemporer seperti A`zhamî. DAFTAR PUSTAKA Al-Ashbâhî, Abû Abdillah Mâlik bin Anas, al-Muwattha’ Mâlik. Ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Bâqî. Mesir: Dâr Ihyâ’ Turats al-`Arabî. Juz I. Tth. al-Asqalânî, Ahmad bin Ali Ibn Hajar, Hadyu al-Sârî Muqaddimah Fath al-Bârî. Beirut: Dâr al-Fikr. 2000. A`zhamî, Muhammad Musthafa, Studies In Early Hadith Literature, alih bahasa Ali Mustafa Ya’qub, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. __________________________, Studies In Hadith Methodologi and Literature. Alih bahasa A. Yamin. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Icthiar Baru Van Hoeve. Jilid III. 1994. al-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad, Siyar A`lâm al-Nubalâ’ , diedit oleh Syua’ib al-Arnawûth dan Muhammad Nu`aim al-`Arqusûsî. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, cet IX. Juz VIII 1413 H. Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam. Bandung: Yayasan Muthahari. no. 11. 1993. Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam. Bandung: Yayasan Muthahari. Vol IV. no. 14. 1995. Ibn Katsîr, Abˆu Fidâ’ Ismâ`îl bin Umar. al-Bâ`its al-Hatsîs. Beirut: Dâr al-Fikr, tth. Kauma, Fuad, Perjalanan Spritual Empat Imam Madzhab. Jakarta: Kalam Mulia, 1999. al-Jabawurî, Abû Yaqzhân `Aliah, Mabâhits fî Tadwîn al-Sunnah al-Muthahharah. Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, tth. Al-Khatîb, Muhammad `Ajjâj, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. ________________________. Ushûl al-Hadîts `Ulûmuhu wa Musthalahahu. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989. al-Mâlikî, Muhammad bin Alwi, al-Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts al-Syarîf. Jeddah: al-Sahar, 1982. al-Qâsimî, Jamâl al-Ddîn. Qawâ’id al-Tahdîts min Funun Musthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah. 1979. al-Suyûthî, Jalâluddîn. Is`âf al-Mubthia’ bi Rijâl al-Muwathha’. Mesir: al-Maktabah at-Tijârah al-Kubrâ. 1969. ____________________. Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî. Ditahqiq oleh Abd Wahhâb Abd Lathîf. Riyâdh: Maktabah Riyâdh al-Hadîtsah. Juz I. T.th. al-Syabalanjî, Mu’min bin Hasan Mu’min, Nûr al-Abshâr fî Manâqib Âli al-Nabiyyi al-Mukhtâr. Ttp: Dâr al-Fikr, 1948. al-Turmudzî, Abû `Îsâ Muhammad bin `Îsâ, Sunan al-Turmudzî, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syâkir dkk. Beirut: Dâr Ihyâ’ Turats al-`Arabî Juz 5. Tth. Wensinck, AJ., al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawi. Leiden: EJ. Brill. Jilid 5. 1965. al-Zahrânî, Muhammad bin Muthahhar, Tadwîn al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu. Madinah: Maktabah al-Shiddîq,1412 H. al-Zarqânî, Muhammad, Syarh al-Zarqânî. Beirut: Dâr al-Fikr. Juz I. 1981 PAGE 13 - PAGE 1 -