Academia.eduAcademia.edu

Makalah Hukum Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan

Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang tersebut memang ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak.

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM Makalah Untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh mata kuliah Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan (HKU2091) Disusun Oleh : Nama : Ken Luigi Bagaskara NIM : 13 / 351885 / HK / 19707 YOGYAKARTA 2016 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan aktivitas kehidupan, terjadinya persinggungan antara manusia ataupun badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun badan hukum. Persinggungan tersebut dapat menimbulkan suatu konflik yang menyebabkan terjadinya sengketa. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan dan aktivitas manusia dapat menimbulkan perselisihan dan berujung pada sengketa. Selain karena sengketa dapat terjadi pada siapa saja, baik dari karakter dan sifat seseorang, juga dapat terjadi oleh adanya faktor-faktor eksternal berupa aturan-aturan yang berlaku bagi setiap orang. “Aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak tertulis dapat menyebabkan konflik, jika penerapannya terlalu kaku dan keras”. Wahyudi, “Manajemen Konflik: Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner”, Bandung : Alfabeta, 2008, hlm 35. Karena suatu peraturan yang kaku menyebabkan seseorang tidak dapat bergerak ataupun bertindak. Selain itu bagi orang-orang yang terjun di dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan atau saingan bisnis. Adanya usaha dari para pihak untuk mencapai tujuannya masing-masing, tentunya akan berdampak pada persaingan yang tidak sehat. Persaingan yang tidak sehat tentu akan menimbulkan kerugian baik dari salah satu pihak, maupun pada kedua belah pihak. Maka dari itu sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Timbulnya suatu perselisihan tersebut mempunyai arti penting agar manusia selalu dapat memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib dalam hidup bersama tersebut Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., “Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan”, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm 12., dan juga terjadinya suatu sengketa harus dapat diselesaikan oleh para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui litigasi, yaitu melalui jalur pengadilan ataupun non-litigasi, yaitu melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman pada Hukum Acara yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan hingga upaya upaya hukum yang dapat dilakukan. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk dilakukannya penyelesaian sengketa harus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak berdasarkan adanya pemaksaan, dan prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, pada umumnya ada beberapa faktor kekurangan. diantaranya adalah faktor jangka waktu yang lama, Faktor biaya yang besar dapat menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa. Pengadilan juga harus menangani perkara yang harus diselesaikan bahkan sampai menumpuk perkara-nya. Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., “Cara Menyelesaikan Sengketa di luar Pengadilan”, Jakarta : Transmedia Pustaka, 2011, hlm 9. Karena pada biasanya untuk menyelesaikan suatu kasus perdata di pengadilan dapat membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan sengketa sampai pada putusan hakim dibacakan. Tidak hanya itu, putusan yang telah keluar dari pengadilan pun belum tentu memberikan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa sehingga mereka mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.  Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. Winarta, Herda Frans, S.H, M.H., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm 1-2 Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Widjaja, Gunawan, “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2005, hlm. 1. Undang-Undang tersebut memang ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, lebih banyak mengatur tentang ketentuan arbitrase, mulai dari tata cara, prosedur, kelembagaan, jenis-jenis, maupun putusan dan pelaksanaan putusan arbitrase itu sendiri. Oleh karena itu, saat ini mulai diperkenalkan alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. yakni negosiasi, arbitrasi, mediasi, dan konsiliasi. Salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahmi. Dalam bahasa hukum modern dikenal Win – Win Solution dan inilah tujuan hakiki atau esensial dari Penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan. Secara umum penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan di-equivalensi-kan dengan pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli mengenai objek yang disengketakan dengan waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan dan pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan mempunyai maksud untuk menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan  perkara atau perselisihan. Jurnal resmi : https://www.academia.edu/9350099/PENYELESAIAN_SENGKETA_ALTERNATIF. Diakses pada 9 Maret 2016 Pukul 15.00. Menurut Goldberg, tujuan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa itu sendiri adalah Mengurangi kemacetan di pengadilan, Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa, Memperlancar jalur menuju keadilan, dan Memberikan kesempatan bagi terciptanya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Goldberg, Stephen B., Frank E. Sander, Nancy H. Rogers & Sarah Rudolph Cole. Dispute Resolution: Negotiation Mediation & Other Processes (Aspen 6th ed. forthcoming). BAB II RUMUSAN MASALAH Makalah ini membahas tentang Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan. ditinjau dari segi teori dan pendapat para ahli, macam – macam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut undang – undang, asas – asas yang ada pada proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan manfaat proses penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan. BAB III PEMBAHASAN Keberedaan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam sistem penyelesaian sengketa sudah diramal sejak 40 tahun yang lalu, dalam pidato Prof. Frank Sander dari Harvard University di tahun 1976 untuk memperingati Roscoe Pound, bahwasannya untuk merespon kecenderungan makin meningkatnya perkara di pengadilan, maka nantinya hanya akan ada dua solusi, yaitu : 1) mencegah terjadinya sengketa, dan 2) mengeksplor alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sander, Frank E. "Varieties of Dispute Processing" in The Pound Conference: Perspectives on Justice in the Future (A. Levin & R. Wheeler eds., West, 1979). Secara garis besar, Masyarakat di Indonesia pada umumnya menyelesaikan sengketa dengan jalan musyawarah dan dengan para tetua atau pemuka adat di suatu tempat tertentu. seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sekarang ini sudah hal yang biasa jika terjadi sengketa antar para pihak ditempuh dengan jalur pengadilan. Sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan di pengadilan memerlukan waktu yang lama, proses peradilan yang berbelit-belit, dan biaya mahal. Kesulitan mendapatkan suatu putusan yang benar-benar final dan mengikat (karena hak para pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan lainnya). sebagaimana digambarkan oleh J. David Reitzel, bahwa : “There is a long wait for litigants to get trial”. Harahap, Yahya, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradiilan dan Penyelesaian Sengketa”, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm.155 Suatu kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi, merupakan kenyataan yang umum di seluruh pelosok dunia. A. Studi Literatur dan Tujuan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa merupakan cara menyelesaikan sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya dilaksanakan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih pilihan penyelesaian sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau meminta penilaian dari ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhya dari para pihak. Kebebasan untuk memilih bentuk penyelesaian yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diketahui bagi masyarakat tidak terdapat keharusan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian atau arbitrase. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang diprakarsai oleh PBB. Konvensi ini mengatur bahwa dalam setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang mencantumkan klausul arbitrase, akan meniadakan hak dari pengadilan untuk memeriksa sengketa yang terjadi berdasarkan perjanjian tersebut. Tujuan Alternative Dispute Resolution yang merupakan serangkaian praktik dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk : H. Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, (PT Fikahati Aneska & BANI, 2002), hlm. 15. a. memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa; b. mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional; c. mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan. B. Asas-Asas Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif penyelesaian sengketa intinya adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Asas-asas yang berlaku dalam alternatif penyelesaian sengketa antara lain: Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., Op.Cit., hlm.12 1. Kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih. 2. Itikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi. 3. Kepatutan, terbuka, dan kedua pihak bertujuan untuk tidak pergi ke pengadilan; 4. Perjanjian terakhir dan mengikat (pacta sunt servanda), yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati. 5. Putusan terakhir dan mengikat (final and binding); 6. Kerahasiaan (confidential), yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain, karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas sengketa. C. Macam – macam Proses Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 1. Konsultasi Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan. Yetti Wira Citerawati, “PENYULUHAN DAN KONSULTASI” https://adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf. Diakses pada 11 Maret 2016 pada 23.36 Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah : Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject. Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999. Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary  tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Di dalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Jurnal resmi : https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKETA_DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM. Diakses pada 11 Maret 2016 Pukul 22. 42. 2. Negosiasi Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang berkonflik akan memulai suatu komunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan oleh para pihak untuk dapat mengetahui pokok permasalahan. Setelah terjalin komunikasi di antara para pihak selanjutnya adalah menegosiasikan masalah yang sedang dihadapi. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 rumusan tentang negosiasi pada prinsipnya adalah memberikan kepada pihak-pihak terkait suatu alternatif untuk menyelesaikan sendiri masalah yang timbul di antara mereka secara kesepakatan dimana hasil dari kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai komitmen yang harus dilaksanakan kedua belah pihak. Dalam kenyataannya negosiasi merupakan cara pertama yang akan ditempuh para pihak guna menghindari atau mengatasi suatu sengketa, karena merupakan cara termurah dan paling tertutup dari pihak lain dibandingkan cara-cara lainnya. Negosiasi adalah proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka yang bersengketa. Komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan, maupun pengambil keputusan. Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., Op.Cit., hlm.23 Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari solusi pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Negosiasi biasanya digunakan dalam kasus yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak beritikad baik untuk secara bersama memecahkan persoalannya. Negosiasi dilakukan jika komunikasi antara pihak masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan baik untuk mencapai kesepakatan serta menjalin hubungan baik. Penyelesaian Negosiasi tidak win-lose, tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak. Batasan waktu penyelesaian yang paling lama 14 hari, dan penyelesaiannya langsung oleh pihak yang bersengketa. Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 313. Ada baiknya apabila sudah mencapai suatu kesepakatan antara para pihak dibuat tenggat waktu pelaksanaan atas kesepakatan tersebut bagi masing-masing pihak dengan tujuan meminimalisasi kerugian-kerugian yang akan muncul dari tidak dilaksanakannya kesepakatan tersebut. Oleh karena itu untuk dapat menjamin adanya kepastian dalam pelaksanaan kesepakatan, sebaiknya dibuat suatu nota kesepakatan ataupun akta perdamaian di antara para pihak yang bersifat mengikat para pihak untuk taat dan tunduk terhadap segala hal yang telah disepakati bersama. Adanya nota kesepakatan atau akta perdamaian tentu dapat dijadikan bukti oleh para pihak apabila terjadi tindakan wanprestasi dari salah satu pihak dalam pelaksanan kesepakatan sehingga pihak yang beritikad baik tidak dirugikan. Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., Op.Cit., hlm.24 Kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa yang diinginkan. Pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian yang diharapkan. Kekurangan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah ada kalanya mengalami jalan buntu, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dan manakala terdapat pihak yang kaku. 3. Mediasi Penyelesaian sengketa dengan mediasi sekarang ini dibatasi. Dibatasi hanya untuk sengketa keperdataan saja. Di Indonesia terdapat beberapa sengketa yang dapat diselesaikan dengan mediasi, yakni sengketa perbankan, konsumen, tenaga kerja, dan sengketa di pengadilan. Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Garry Goodpaster, “Arbitrase di Indonesia”, Jakarta : Ghalia Indonesia,1995, hlm. 11 Proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator. Mediator adalah seorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak – atau lebih – yang bersengketa. Tujuannya adalah untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediator juga berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan bebas para pihak. Mediator tidak mempunyai kewenangan memberikan putusan terhadap objek yang dipersengketakan, melainkan hanya berfungsi membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa. Mediator juga harus mempunyai sertifikasi pelatihan sebagai seorang mediator nonhakim dari lembaga yang sudah disertifikasi oleh Mahkamah Agung. Ketentuan tentang mediasi dapat ditemukan di dalam Pasal 6 ayat (3) s.d. ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999. Pengalaman, kemampuan, dan integritas dari seorang mediator sangat menentukan keefektifan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa. Selain itu Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, kemudian diganti dengan peraturan yang baru yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016. Ada beberapa poin penting dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 yang berbeda dengan Perma No. 1 Tahun 2008. Misalnya, jangka waktu penyelesaian mediasi lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung. Kedua, kewajiban para pihak menghadiri pertemuan mediasi dengan atau tanpa kuasa hukum, kecuali ada alasan sah. Hal terpenting adanya itikad baik dan akibat hukum (sanksi) para pihak yang tidak beritikad baik dalam proses mediasi. Perma No. 1 Tahun 2016 juga mengenal kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang terlibat dalam sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya. Berbeda dengan Perma sebelumnya apabila hanya sebagian pihak yang bersepakat atau tidak hadir mediasi dianggap dead lock (gagal). Tetapi, Perma yang baru kesepakatan sebagian pihak tetap diakui, misalnya penggugat hanya sepakat sebagian para tergugat atau sebagian objek sengketanya. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik diakses pada 16 Maret pukul 12.00. Substansi Perma No. 1 Tahun 2016 hampir sama dengan Perma sebelumnya. Misalnya, prosedur mediasi bersifat wajib ditempuh, jika tidak putusan batal demi hukum; mediator bisa dari kalangan hakim ataupun nonhakim yang bersertifikat. Hanya saja, pengaturan Perma Mediasi terbaru cakupannya lebih luas dari Perma sebelumnya. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah: 1.    Keputusan yang hemat 2.    Penyelesaian secara cepat 3.    Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak 4.    Kesepakatan yang komprehensif 5.    Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan 6.    Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu. Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak pada kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang benar-benar secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 4. Konsiliasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Emirzon, Joni, “Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 91. UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.  Dalam upaya menyelesaikan sengketa : 1. Konsiliator tidak harus mengadakan pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak di suatu tempat, tapi bisa dihasilkan shuttle negotiation antara para pihak. 2. Putusan yang diambilnya dijadikan resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak. Proses konsiliasi berakhir, apabila : 1. Berdasarkan persetujuan untuk berakhir yang ditandatangani oleh para pihak; persetujuan tersebut harus tetap bersifat rahasia kecuali dalam perjanjian tersebut mensyaratkan agar persetujuan tersebut dibuka; 2. Berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh konsiliator mengenai laporan yang menyatakan bahwa upaya untuk berkonsiliasi tidak berhasil. laporan-laporan demikian itu tidak perlu mencantumkan alasan-alasannya; dan 3. Berdasarkan pemberitahuan kepada konsiliator oleh satu pihak atau lebih pada saat proses konsiliasi dinyatakan tidak lagi menyelesaikan perkaranya melalui proses konsiliasi. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa. 5. Arbitrase Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul di kemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh beberapa orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Emirzon, Joni, Op,Cit. hlm. 97-98. Para pihak sepakat menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada pihak yang netral. Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum yang diterapkan. Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi. Putusan yang dimaksud bersifat final and binding, serta merupakan win-loss solution. Beberapa jenis arbitrase yaitu: 1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase) 2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase) Disebut juga dengan arbitrase Ad-Hoc atau Volunter Arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan satu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka arbitrase Ad-Hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditemukan oleh undang-undang. Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., Op,Cit, hlm. 316. Kelebihan alternatif penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase adalah adanya kebebasan, kepercayaan, dan keamanan. berproses menggunakan arbitrase adalah perkaranya diproses dengan cepat dan hemat biaya. selain itu adanya arbiter/wasit yang memiliki keahlian (expertise). Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa arbitrase tidak memilikii kekuatan  eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan. BAB IV PENUTUP Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan. Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan kemudahan dibandingkan dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal di Indonesia ada empat jenis, yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahmi. Dalam bahasa hukum modern dikenal “WIN WIN SOLUTION” dan inilah tujuan hakiki atau esensial dariArbitrase, Mediasi, atau cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. DAFTAR PUSTAKA UNDANG-UNDANG NO. 30/ 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Goldberg, Stephen B., Frank E. Sander, Nancy H. Rogers & Sarah Rudolph Cole. Dispute Resolution: Negotiation Mediation & Other Processes (Aspen 6th ed. forthcoming). Sander, Frank E. "Varieties of Dispute Processing" in The Pound Conference: Perspectives on Justice in the Future (A. Levin & R. Wheeler eds., West, 1979). Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999. Garry Goodpaster, “Arbitrase di Indonesia”, Jakarta : Ghalia Indonesia,1995, Wahyudi, “Manajemen Konflik: Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner”, Bandung : Alfabeta, 2008 Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., “Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan”, Jakarta : Rajawali Pers, 2011 Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., “Cara Menyelesaikan Sengketa di luar Pengadilan”, Jakarta : Transmedia Pustaka, 2011 Winarta, Herda Frans, S.H, M.H., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012 Widjaja, Gunawan, “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005 Harahap, Yahya, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradiilan dan Penyelesaian Sengketa”, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, H. Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, (PT Fikahati Aneska & BANI, 2002) Yetti Wira Citerawati, “PENYULUHAN DAN KONSULTASI” https://adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf. Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Emirzon, Joni, “Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKETA_DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM. https://www.academia.edu/9350099/PENYELESAIAN_SENGKETA_ALTERNATIF.