Academia.eduAcademia.edu

Tugas Kelompok Atsiri JAHE

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan rempah-rempah, seperti jahe, nilam, cengkeh, pala, kapulaga, sereh wangi, mawar, dan lain-lain.Rempah-rempah telah dikenal luas penggunaannya sebagai pemberi cita rasa atau bumbu pada makanan dan di samping itu rempah-rempah banyak digunakan sebagai obat-obatan dalam bentuk jamu tradisional. Rempah-rempah adalah suatu produk pertanian yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Rempah-rempah mempunyai kandungan kimiawi dan mineral yang berbeda daripada produk pertanian yang lainnya, sehingga rempah-rempah menjadi produk ekspor yang sangat diminati oleh semua negara. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu komoditas rempah-rempah yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena memiliki banyak kegunaan, baik sebagai minuman penghangat, penambah rasa, dan sebagai bahan baku obat tradisional, parfum, serta kosmetik. Penggunaan rimpang jahe secara spesifik tergantung kepada varietas jenis jahe yang digunakan. Hal ini disebabkan karena setiap varietas jahe memiliki perbedaan dalam jumlah komponen bioaktif yang terkandung didalamnya. Menurut Yuliani et al. (1991), jahe putih besar umumnya digunakan sebagai makanan dan minuman karena rasanya yang tidak terlalu pedas. Jahe putih kecil yang memiliki rasa lebih pedas dari jahe putih besar umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri, dan pembuatan oleoresin, serta banyak dimanfaatkan sebagai jamu. Sedangkan jahe merah mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi. Bahan baku obat tradisional ini mempunyai beberapa kegunaan bagi kesehatan seperti mengobati sakit gigi, malaria, rematik, sembelit, batuk, kedinginan dan sebagai sumber antioksidan (Asosiasi Petani dan Produsen Jahe Indonesia, 2013). Daya guna tersebut pada umumnya disebabkan oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang jahe, seperti senyawa fenolik, minyak atsiri, resin, asam-asam organik, asam malat, asam oksalat, dan gingerin (DepKes,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan rempah-rempah, seperti jahe, nilam, cengkeh, pala, kapulaga, sereh wangi, mawar, dan lain-lain.Rempah-rempah telah dikenal luas penggunaannya sebagai pemberi cita rasa atau bumbu pada makanan dan di samping itu rempah-rempah banyak digunakan sebagai obat-obatan dalam bentuk jamu tradisional. Rempah-rempah adalah suatu produk pertanian yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Rempah-rempah mempunyai kandungan kimiawi dan mineral yang berbeda daripada produk pertanian yang lainnya, sehingga rempah-rempah menjadi produk ekspor yang sangat diminati oleh semua negara. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu komoditas rempah-rempah yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena memiliki banyak kegunaan, baik sebagai minuman penghangat, penambah rasa, dan sebagai bahan baku obat tradisional, parfum, serta kosmetik. Penggunaan rimpang jahe secara spesifik tergantung kepada varietas jenis jahe yang digunakan. Hal ini disebabkan karena setiap varietas jahe memiliki perbedaan dalam jumlah komponen bioaktif yang terkandung didalamnya. Menurut Yuliani et al. (1991), jahe putih besar umumnya digunakan sebagai makanan dan minuman karena rasanya yang tidak terlalu pedas. Jahe putih kecil yang memiliki rasa lebih pedas dari jahe putih besar umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri, dan pembuatan oleoresin, serta banyak dimanfaatkan sebagai jamu. Sedangkan jahe merah mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi. Bahan baku obat tradisional ini mempunyai beberapa kegunaan bagi kesehatan seperti mengobati sakit gigi, malaria, rematik, sembelit, batuk, kedinginan dan sebagai sumber antioksidan (Asosiasi Petani dan Produsen Jahe Indonesia, 2013). Daya guna tersebut pada umumnya disebabkan oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang jahe, seperti senyawa fenolik, minyak atsiri, resin, asam-asam organik, asam malat, asam oksalat, dan gingerin (DepKes, 1989). Minyak atsirinya terdiri dari zingeron, zingiberen, zingiberol, geraniol, curcumen, bisapolen, borneol, dan linalool (Hasanah, tanpa tahun). Salah satu bentuk produk olahan jahe adalah oleoresindan minyak atsiri.Oleoresin dan minyak atisiri jahe digunakan secara meluas dalam industri pangan, dalam campuran minyak untuk flavor permen, minuman keras, dan saos. Pada umumnya oleoresin dan minyak atsiri jahe diperoleh melalui proses ekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain melalui destilasi uap, ekstraksi padat cair, ekstraksi superkritis, dan pengepresan mekanis. Setiap teknik ekstraksi memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan oleoresin dan minyak atsiri dengan mutu yang berbeda pula. Mengingat spektrum kegunaannya yang cukup luas dan nilai ekonomi yang cukup tinggi, maka tanaman jahe perlu dikembangkan secara intensif. Akan tetapi, permasalahan utama dalam pengembangan jahe adalah kurangnya informasi mengenai teknik budidaya, panen, dan pascapanen, sehingga menyebabkan mutu jahe yang dihasilkan menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, untuk memecahkan permasalahan tersebut pada makalah ini akan dibahas mengenai teknik budidaya, panen, dan pascapanen jahe, serta standar mutu jahesegar guna meningkatkan nilai ekonomi dan mutu jahe. Selain itu, makalah ini juga akan membahas mengenai berbagai bentuk olahan jahe, terutama minyak atsiri dan oleoresin jahe, termasuk teknik ekstraksi dan standarisasi mutunya, serta aplikasi jahe dalam berbagai bidang. B. Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini antara lain: Memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Rempah-Rempah dan Minyak Atsiri. Mempelajari jenis-jenis jahe, serta teknik budidaya, panen, dan pascapanen jahe. Mempelajarikarakteristik, teknik ektraksi, dan standarisasi mutu oleoresin dan minyak atsiri jahe. Mempelajari berbagai hasil olahan jahe dan aplikasinya pada berbagai bidang. II. PEMBAHASAN A. Jahe 1. Uraian Tanaman a. Sejarah singkat Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam suku Zingiberaceae. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina (Paimin dan Murhananto, 2008). Nama Zingiber berasal dari bahasa Sansekerta “singabera” dan Yunani “Zingiberi” yang berarti tanduk, karena bentuk rimpang jahe mirip dengan tanduk rusa. Officinale merupakan bahasa latin (officina) yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan (Janson, 1981 dalam Warintek, 2014). Jahe dikenal dengan nama umum (Inggris) ginger atau garden ginger. Nama ginger berasal dari bahasa Perancis: gingembre, bahasa Inggris lama: gingifere, Latin: ginginer, dan Yunani (Greek): zingiberis. Namun kata asli dari zingiber berasal dari bahasa Tamil inji ver. Istilah botani untuk akar dalam bahasa Tamil adalah ver, jadi akar inji adalah inji ver. Di Indonesia, jahe memiliki berbagai nama daerah. Di Sumatra disebut halia (Aceh). Di Jawa, jahe dikenal dengan jahe (Sunda), jae (Jawa). Di Sulawesi, jahe dikenal dengan nama layu (Mongondow). Di Kalimantan (Dayak), jahe dikenal dengan sebutan lai, di Banjarmasin disebut tipakan. Di Maluku, jahe disebut hairalo (Amahai). Di Papua, jahe disebut tali (Kalanapat) dan sebagainya. Adanya nama daerah jahe di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan penyebaran jahe meliputi seluruh wilayah Indonesia. b. Sistematika Sistematika Tanaman Rimpang Jahe (Roscoe, 1817 dalamWarintek, 2014): Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta/Pteridophyyta, Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida-Monocotyledoneae Subkelass : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber Species : Zingiber officinale c. Deskripsi/Morfologi Tanaman jahe termasuk tanaman rumput-rumputan tegak dengan ketinggian 30-75 cm, berdaun sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15-23 cm, lebar lebih kurang dua 2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-bintik putih kekuningan dan kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang bercabang-cabang dan berbau harum, berwarna kuning atau jingga dan berserat (Paimin dan Murhananto, 2008; Rukmana, 2000). Secara morfologi, tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang, daun, dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunas-tunas yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Akar tumbuh dari bagian bawah rimpang, sedangkan tunas akan tumbuh dari bagian atas rimpang. Batang pada tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus, berbentuk bulat pipih, tidak bercabang tersusun atas seludang-seludang dan pelepah daun yang saling menutup sehingga membentuk seperti batang. Rimpang jahe merupakan modifikasi bentuk dari batang tidak teratur. Bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis, tersusun melingkar. Rimpang adalah bagian tanaman jahe yang memiliki nilai ekonomi dan dimanfatkan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai rempah, bumbu masak, bahan baku obat tradisional, makanan dan minuman serta parfum. Bunga pada tanaman jahe terletak pada ketiak daun pelindung (Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Jahe merupakan tanaman yang bersifat self incompatible (Dhamayanthi et al., 2003 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014) dan posisi kepala putik lebih tinggi dibandingkan kepala sari (Pillai et al., 1978 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Struktur seperti ini mengakibatkan sistem penyerbukan jahe adalah menyerbuk silang. Buah berbentuk bulat panjang, berkulit tipis berwarna merah yang memiliki tiga ruang berisi masing masing banyak bakal biji berwarna hitam dan memiliki selaput biji (Rugayah 1994). Tetapi pada jahe yang ditanam secara komersial jarang berbuah dan berbiji yang kemungkinan disebabkan karena tepung sari jahe steril (Bermawie dan Purwiyanti, 2014). 2. Jenis Menurut Rumpfius dalam bukunya Herbarium Amboinense, jahe dibagi menjadi 2 jenis yaitu Zingiber majus (rimpang besar) dan Zingiber minus (rimpang kecil). Sementara itu Vonderman dalam buku Tidjschr voor Ind Geneeskundegen memberi nama jenis Z. rubrum untuk jenis jahe merah dari Z. minus Rumpf. Valeton memberi nama sunti untuk Z. minus Rumpf baik yang berwarna merah maupun putih, namun terutama untuk jenis jahe merah (Burkill, 1935). Heyne (1988) dalam Bermawie dan Purwiyanti (2014) menyatakan di dunia dikenal ada 2 macam jahe yang perbedaannya terletak pada warna rimpang yaitu merah dan putih. Jamaika mengenal 4 tipe jahe yaitu haliya bara, haliya udang dan dua tipe jahe merah yang beraroma sangat tajam dan hanya digunakan sebagai obat, sedangkan di British Salomon dikenal lima tipe jahe. Tindall (1968) dalam Bermawie dan Purwiyanti (2014) menyatakan di Afrika Barat terdapat 2 tipe jahe yang berbeda pada warna rimpangnya yaitu merah ungu dan putih kekuningan. Ridley (1912) dalam Bermawie dan Purwiyanti (2014) menyatakan di Malaysia ditemukan 3 bentuk jahe yaitu halia betel (jahe), halia bara atau halia padi dengan rimpang berukuran lebih kecil berwarna kekuningan, daun lebih sempit, rasa lebih pedas, agak sedikit pahit dan hanya digunakan untuk pengobatan, halia udang yaitu jahe merah (Z. officinale var. rubrum) dengan warna merah pada pangkal akar udara. Di Jepang, jahe terbagi menjadi 3 kelompok yaitu jahe yang berukuran rimpang kecil dan akarnya banyak, rimpang dan akar sedang serta yang berukuran besar dengan akar sedikit. Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang, jahe di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis yakni jahe merah (Z. officinale var. rubrum), jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum) dan jahe putih besar (Z. officinale var. officinale) (Bermawie dan Purwiyanti, 2014; Harmono dan Andoko, 2005; Yulianto dan Parjanto, 2010). Ketiga jenis jahe tersebut memiliki perbedaan morfologi pada ukuran dan warna kulit rimpang (Rostiana et al., 1991 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014), akar, batang, kadar minyak atsiri, kadar pati dan kadar serat (Bermawie, 2003). Perbedaan karakteristik dari ketiga jenis jahe tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik dari ketiga jenis jahe Karakteristik Jenis jahe Jahe besar Jahe kecil Jahe merah Karakteristik rimpang Minyak atsiri 1.62-2,29 3,05-3,48 3,90 Kadar pati 55,10 54,70 44,99 Kadar serat 6,89 6,59 - Kadar abu 6,60-7,57 7,39-8,90 7,46 Karakteristik minyak Bobot jenis 0,9434 0,9320 0,9533 Indeks bias 1,4955 1,4946 1,4949 Putaran optik -16,30 -13,20 - Bilangan penyabunan 18,20 15,30 16,40 Sumber: Yuliani dan Risfaheri (1990) Jahe putih/kuning besar (Z. officinale var. officinale) disebut juga jahe gajah atau jahe badak. Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna kuning muda atau kuning, berserat halus dan sedikit. Beraroma tapi berasa kurang tajam. Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua, baik sebagai jahe segar maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan dan minuman. Gambar 1. Jahe putih besar Jahe putih/kuning kecil (Z. officinale var. amarum) disebut juga jahe sunti atau jahe emprit. Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya termasuk kategori sedang, dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma serta berasa tajam (pedas). Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya. Rimpang jahe emprit juga mengandung gizi cukup tinggi, antara lain 58% pati, 8% protein, 3-5% oleoresin dan 1-3% minyak atsiri (Rukmana, 2000 dalam Sari et al., 2006). Gambar 2. Jahe putih kecil Jahe merah (Z. officinale var. rubrum) Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Diduga di Indonesi terdapat 2 macam jahe merah, yaitu rimpang besar dan rimpang kecil seperti yang dilaporkan Rumpfius dan Valeton tentang adanya 2 jenis jahe merah yaitu yang berukuran rimpang besar dan yang berukuran rimpang kecil. Dipanen setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil sehingga jahe merah pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan. Gambar 3. Jahe merah Hasil analisis keragaman jahe menggunakan marka molekuler (AFLP, ISSR atau RAPD) diketahui bahwa keragaman genetik jahe dari India dan Indo China (Myanmar) lebih luas dibandingkan dengan karagaman genetik jahe Indonesia. Selain itu marka RAPD telah banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi beberapa spesies Zingiberaceae, keragaman dalam spesies Zingiber officinale (Hsiang dan Huang, 2000 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014), keragaman beberapa species Zingiber spp. (Dasuki et al., 2000) serta keragaman antar varietas jahe komersial dari Z. officinale (Nayak et al., 2005 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Berdasarkan marka AFLP, keragaman pada masing masing varietas jahe di Indonesia sangat sempit, bahkan keragaman kelompok jahe putih besar lebih sempit dibandingkan dengan jahe putih kecil dan jahe merah dan pengelompokan jahe berdasarkan karakteristik morfologi tidak sejalan dengan hasil pengelompokkan berdasarkan AFLP (Wahyuni et al., 2003) dan RAPD (Purwiyanti, 2012). Di India, pengelompokkan jahe berdasarkan aktivitas antioksidan menghasilkan pengelompokkan yang selaras dengan dengan pola pita RAPD (Gosh dan Mandi, 2011 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Purwiyanti (2012) menggunakan karakter morfologi dan profil pita RAPD menemukan bahwa keragaman genetik dalam kultivar jahe putih kecil (Z. officinale var amarum) dan jahe merah (Z. officinale var. rubrum) yang diperoleh dari wilayah Indonesia lebih luas dibandingkan dengan yang dilaporkan Wahyuni et al. (2003). Marka DNA (RAPD) juga cukup sensitif untuk mendeteksi perbedaan genetik pada berbagai varian jahe (Rout et al., 1998 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Di India juga juga ditemukan perbedaan pada pola pita RAPD pada jahe yang tumbuh di dataran tinggi dengan yang tumbuh di dataran rendah (Sajeev et al., 2011 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Namun jahe yang berasal dari daerah yang sama kebanyakan memiliki pola pita yang tidak berbeda (Kizhakkayil dan Sasikumar, 2010 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Hal ini menunjukkan marka molekuler lebih akurat dalam mendeteksi perbedaan varietas pada jahe, sekalipun secara morfologi seringkali tidak bisa dibedakan. Banyaknya perbedaan pada pola pita berdasarkan marka molekuler menunjukkan bahwa telah terbentuk berbagai varian genetik jahe akibat adaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda dalam jangka waktu yang lama yang menjadi dasar pembentukan berbagai varietas jahe. Oleh sebab itu, program pembentukan varietas pada jahe dapat dilakukan melalui seleksi keragaman genetik dari populasi yang ada di alam. Hasil seleksi keragaman populasi di alam, telah dihasilkan beberapa varietas dari masing masing kultivar yaitu Cimanggu1 untuk jahe putih besar, Halina1, Halina2, Halina3 dan Halina4 untuk jahe putih kecil serta Jahira1 dan Jahira2 untuk jahe merah dengan karakteristik sifat morfologi yang berbeda-beda (Deptan, 2007). Varietas tersebut diperoleh dari hasil seleksi pada jahe yang terdapat di berbagai wilayah Indonesia untuk karakter produktivitas dan mutu (kadar minyak atsiri) yang tinggi. Selain varietas tersebut masih terbuka peluang ditemukannya varietas baru dari keragaman genetik jahe yang ada di alam dari masing masing kultivar Z. officinale var. officinale, Z. officinale var. amarum atau Z. officinale var. rubrum untuk berbagai sifat antara lain untuk varietas toleran penyakit, toleran cekaman lingkungan, hemat pupuk (low input). Pengumpulan keragaman genetik jahe dari alam akan mempercepat dan mempermudah program pemuliaan menghasilkan varietas baru yang sesuai dengan selera konsumen (Bermawie dan Purwiyanti, 2014). 3. Budidaya Budidaya tanaman jahe menurut Warintek (2014) diantaranya sebagai berikut: a. Syarat tumbuh Agar diperoleh rimpang yang gemuk berdaging, tanaman jahe sebaiknya ditanam di tanah yang banyak mengandung bahan organik atau humus dan drainase yang baik. Tekstur tanah yang baik adalah lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik. Tanaman jahe dapat tumbuh pada keasaman tanah (pH) sekitar 4,3-7,4. Tetapi keasaman tanah (pH) optimum untuk jahe gajah adalah 6,8-7,0. Tanaman jahe umumnya ditanam pada daerah tropik dan sub tropik yang mendapat curah hujan yang agak merata sepanjang tahun dan curah hujan yang cocok berkisar antara 2.500-4.000 mm/tahun. Selain itu tanaman jahe paling cocok ditanam pada ketinggian antara 0-2.000 m dpl. Pada umur 2,5 sampai 7 bulan atau lebih tanaman jahe memerlukan sinar matahari. Dengan kata lain penanaman jahe dilakukan di tempat yang terbuka sehingga mendapat sinar matahari sepanjang hari. Suhu udara optimum untuk budidaya tanaman jahe antara 20-35°C. b. Pembibitan Tanaman jahe diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan rimpang. Pemilihan bibit disesuaikan dengan tujuan produksi. Untuk produksi segar baik tua maupun muda hendaklah ditanam jahe gajah. Sementara untuk produksi minuman, rempah-rempah, obat tradisional dan minyak arsiri memakai jenis jahe putih kecil dan klon jahe merah. Bibit hendaklah berasal dari tanaman yang baik yaitu: Berasal dari tanaman yang tua dimana tajuknya mengering umur 9 – 10 bulan Berasal dari tanaman yang sehat terutama tidak terserang penyakit layu bakteri, busuk rimpang dan lalat rimpang. Tidak memar dan kulit tidak lecet. Bahan bibit diambil langsung dari kebun Bibit diambil dari potongan rimpang dengan 1-2 mata tunas yang telah tumbuh, dengan berat 20 – 40 gram untuk jahe putih kecil dan jahe merah sedangkan jahe gajah seberat 25 – 60 gram. Kebutuhan bibit tiap hektar tergantung jenis dan jarak tanam, untuk jahe putih kecil dan jahe merah membutuhkan bibit sebanyak 1-2 ton/ha sedangkan untuk jahe gajah membutuhkan bibit sebanyak 2-3 ton/ha. Bila dipanen muda dapat ditanam lebih rapat lagi sehingga kebutuhan bibit lebih banyak yaitu 4 – 6 ton/ha dengan populasi tanaman sekitar 80.000 tanaman/ha. Sebelum ditanam bibit perlu diperlakukan sebagai berikut: Bibit disimpan pada tempat yang cukup lembab dan gelap sampai terbentuk tunas. Bibit dipotong sesuai ukuran yaitu 1 –2 tunas yang tumbuh. Potongan bibit direndam dalam Agrimicin 0,1 % selama 8 jam. Bagian bibit yang terluka dicelupkan kedalam larutan kental abu dapur atau bisa ditambah fungisida Dithane M 45 atau Benlate. c. Penanaman Tanah diolah sampai gembur dengan mencangkul sedalam lebih kurang 30 cm. kemudian dibuat saluran drainase agar air tidak tergenang. Setelah tanah diolah kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 20-30 ton/ha dan di atas pupuk kandang diberikan pupuk SP 36 sebanyak 300-400 kg/ha. Tanah yang kandungan liatnya tinggi dapat diberi alas sekam sebanyak 5 ton/ha sebelum diberi pupuk kandang. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain: penentuan pola tanaman, memperbaiki sifat fisik dan mengawetkan tanah akibat rendahnya pertumbuhan gulma (tanaman pengganggu), pembuatan lubang tanam, cara penanaman, dan periode tanam. d. Pemeliharaan Pemeliharaan terdiri dari penyulaman (2-3 minggu setelah tanam untuk melihat rimpang yang mati), penyiangan (tergantung pada kondisi tanaman pengganggu yang tumbuh, namun setelah jahe berumur 6-7 bulan, sebaiknya tidak perlu dilakukan penyiangan lagi, sebab pada umur tersebut rimpangnya mulai besar), pembubunan (menimbun rimpang jahe yang kadang-kadang muncul ke atas permukaan tanah), pemupukan (organik dan konvensional), pengairan dan penyiraman (tanaman jahe tidak memerlukan air yang terlalu banyak untuk pertumbuhannya, namun pada awal masa tanam diusahakan penanaman pada awal musim hujan), dan waktu penyemprotan pestisida (dilakukan mulai dari saat penyimpanan bibit yang untuk disemai dan pada saat pemeliharaan; penyemprotan pestisida pada fase pemeliharaan biasanya dicampur dengan pupuk organik cair atau vitamin-vitamin yang mendorong pertumbuhan jahe). 4. Panen Pemanenan dilakukan tergantung dari penggunaan jahe itu sendiri. Bila kebutuhan untuk bumbu penyedap masakan, maka tanaman jahe sudah bisa dipanen pada umur kurang lebih 4 bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai tua. Apabila jahe untuk dipasarkan maka jahe dipanen setelah cukup tua. Umur tanaman jahe yang sudah bisa dipanen antara 10-12 bulan, dengan ciri-ciri warna daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering. Misal tanaman jahe gajah akan mengering pada umur 8 bulan dan akan berlangsung selama 15 hari atau lebih. Menurut Warintek (2014), tanaman jahe umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin optimum ditandai dengan rasa pedas dan bau harum. Khusus untuk jahe gajah bisanya dipanen disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Cara panen yang baik, tanah dibongkar dengan hati-hati menggunakan alat garpu atau cangkul, diusahakan jangan sampai rimpang jahe terluka. Selanjutnya tanah dan kotoran lainnya yang menempel pada rimpang dibersihkan dan bila perlu dicuci. Sesudah itu jahe dijemur di atas papan atau daun pisang kira-kira selama 1 minggu. Tempat penyimpanan harus terbuka, tidak lembab dan penumpukannya jangan terlalu tinggi melainkan agak disebar. Waktu panen sebaiknya dilakukan sebelum musim hujan. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas tanah. Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau tahun berikutnya. Pemanenan pada musim hujan menyebabkan rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan rendahnya bahan aktif karena lebih banyak kadar airnya. Produksi rimpang segar untuk klon jahe gajah berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan untuk klon jahe emprit atau jahe sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar. 5. Pascapanen a. Penyortiran basah dan pencucian Sortasi pada bahan segar dilakukan untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma. Setelah selesai, timbang jumlah bahan hasil penyortiran dan tempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian. Pencucian dilakukan dengan air bersih, jika perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Amati air bilasannya dan jika masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung didalam tidak larut dalam air. Pemakaian air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai, tiriskan dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar sisa air cucian yang tertinggal dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam wadah plastik/ember. b. Perajangan Jika perlu proses perajangan, lakukan dengan pisau stainless steel dan alasi bahan yang akan dirajang dengan talenan. Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan kira-kira 5 mm – 7 mm. Setelah perajangan, timbang hasilnya dan taruh dalam wadah plastik/ember. Perajangan dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin pemotong. c. Pengeringan Pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari atau alat pemanas/oven. pengeringan rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya dibawah 8%. pengeringan dengan sinar matahari dilakukan diatas tikar atau rangka pengering, pastikan rimpang tidak saling menumpuk. Selama pengeringan harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan merata. Lindungi rimpang tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan disekitarnya yang bisa mengkontaminasi. Pengeringan di dalam oven dilakukan pada suhu 50°C-60°C. Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan bahwa rimpang tidak saling menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang yang dihasilkan. d. Penyortiran kering Selanjutnya lakukan sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan cara memisahkan bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah atau kotoran-kotoran lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran ini (untuk menghitung rendemennya). e. Pengemasan Setelah bersih, rimpang yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong plastik atau karung yang bersih dan kedap udara (belum pernah dipakai sebelumnya). Berikan label yang jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama bahan, bagian dari tanaman bahan itu, nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih dan metode penyimpanannya. f. Penyimpanan Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30°C dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan, memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta bersih dan terbebas dari hama gudang. B. Oleoresin Jahe 1. Karakteristik Oleoresin Jahe Oleoresin merupakan suatu produk olahan dari rempah yang biasanya berbentuk pasta pada suhu ruangan dan pada suhu yang lebih tinggi berbentuk minyak kental. Oleoresin diperoleh dengan cara mengekstrak rempah kering yang bermut baik dengan pelarut organik yang mudah menguap. Bahan pelarut kemudian dipisahkan dari oleoresin yang dihasilkan (Considine, 1982). Oleoresin jahe merupakan cairan berwarna coklat gelap, dan mempunyai kandungan minyak atsiri berkisar 15-35%, dan senyawa pembentuk rasa yaitu gingerol, shogaol, zingeron, bersifat agak kental dengan aroma dan rasa jahe. Oleoresin jahe yang digunakan dalam pengolahan pangan didapat dari ekstraksi rimpang jahe segar, jahe kering, atau tepung jahe. Oleoresin mengandung total rasa dan aroma khas bahan asalnya (Koswara, 1995). Sifat fisik oleoresin yaitu memiliki bentuk seperti minyak kental sampai bentuk pasta. Sifat ini membuat oleoresin sulit bercampur denganmakanan, sehingga untuk membantu pencampuran sering ditambahkan pelarut yang diijinkan seperti propylene glycol atau minyak sayur. Keseimbangan minyak yang mudah menguap maupun bahan-bahan lain miripdengan bahan asli (Heath, 1981). Jahe mengandung resin yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat sebagai oleoresin. Keuntungan dari oleoresin adalah lebih higienis, bentuknya seragam, terstandardisasi, kandungan senyawa aktifnya lengkap, kadar airnya sangat rendah atau hampir tidak ada, dan mempunyai masa simpan yang cukup lama. Oleoresin jahe selain memiliki keuntungan juga mempunyai berbagai kerugian diantaranya adalah sangat pekat dan kadang-kadang lengket sehingga sulit ditimbang dengan tepat, sejumlah oleoresin masih menempel pada wadahnya ketika dituang, dan apabila tidak dikontrol dengan baik masih mengandung residu atau sisa pelarut yang melebihi batas yang ditentukan (Yuliani, 2009). Penggunaan oleoresin dalam industri lebih disukai, karena aromanya lebih tajam dan dapat menghemat biaya pengolahan. Sifat-sifat fisis oleoresin disajikan pada Tabel 2 dan karakteristik mutu oleoresin jahe disajikan pada Tabel 3 (Oktora, 2007). Tabel 2. Sifat fisis oleoresin jahe Sifat Fisik Nilai Berat jenis Indeks bias Titik didih (oC) Warna 1,026 - 1,045 1,515 - 1,525 235 – 240 Kuning cerah, kuning sampaicoklat gelap Tabel 3. Karakteristik oleoresin jahe Parameter Kualitas Warna dan bau Kadar minyak atsiri Indeks bias minyak Kelarutan Coklat tua, kental sekali, dengan aroma dan bau seperti jahe 18-35 ml/100 gr 1,488 - 1,497 Alkohol - larut dengan endapan Benzyl benzoat – larut dalam semua perbandingan Glyserin – tidak larut Minyak mineral – tidak larut Propilen glikol – tidak larut Fixed oil – sedikit larut 2. Ekstraksi OleoresinJahe Proses ekstraksi merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan oleoresin jahe. Kesempurnaan proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: penyiapan bahan sebelum ektraksi, ukuran partikel, pelarut, metode yang digunakan dan kondisi operasi selama proses ekstraksi berlangsung. Penyiapan bahan sebelum ekstraksi Untuk memudahkan proses ekstraksi perlu dilakukan penyiapan bahan baku yang meliputi pengeringan bahan dan penggilingan. Sebelum di ekstraksi bahan harus dikeringkan dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan pada tempat yang kering agar terjaga kelembabannya. Dengan pengeringan yang sempurna akan dihasilkan ekstrak oleoresin yang memiliki kemurnian yang tinggi. Ukuran partikel Operasi ekstraksi akan berlangsung dengan baik bila diameter partikel diperkecil. Pengecilan ukuran ini akan memperluas bidang kontak antara jahe dengan pelarut, sehingga produk ekstrak yang diperoleh pun akan semakin besar. Sebaliknya ukuran padatan yang terlalu halus dinilai tidak ekonomis karena biaya proses penghalusannya mahal dan semakin sulit dalam pemisahannya dari larutan. Pelarut Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut, yaitu: 1. Sifat pelarut, terdiri dari: - Selektivitas - Koefisien - Densitas - Tegangan antar permukaan - Kemudahan pengambilan kembali pelarut - Keaktifan secara kimia 2. Jumlah pelarut Semakin banyak jumlah pelarut semakin banyak pula jumlah produk yang akan diperoleh, hal ini dikarenakan: Distribusi partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga memperluaspermukaan kontak. Perbedaan konsentrasi solute dalam pelarut dan padatan semakin besar (Gamse, 2002). Dalam pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah daya melarutkan oleoresin, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh terhadap alat peralatan ekstraksi. Pada umumnya pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol mempunyaipolaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar. Etanol mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air, dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurnian oleoresin. Keuntungan menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol mempunyai kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Metode yang digunakan dan kondisi operasi selama proses ekstraksi berlangsung Ekstraksi oleoresin dapat dilakukan dengan cara antara lain ekstraksi dengan cara perkolasi, ekstraksi kontinyu dan ekstraksi cara sokhlet (batch). Waktu ekstraksi merupakan hal yang berpengaruh dalam ekstraksi oleoresin jahe ini. Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin banyak pula oleoresin yang didapat. Namun waktu yang terlalu lama menyebabkan biaya operasi semakin tinggi. Begitu juga dengan suhuoperasi, dimana semakin tinggi suhu maka jumlah oleoresin yang terekstrak pun semakin banyak namun juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45oC. Berikut akan dibahas mengenai berbagai teknologi pemisahan yang dapat diterapkan untuk mendapatkan senyawa oleoresin dari jahe. a. Distilasi Uap (steam distilation) Distilasi uap adalah suatu proses yang mengontakkan steam dengan bahan yang diproses secara langsung. Metode ini dilakukan untuk mengambil cairan yang tidak larut dalam air dari padatan. Misalnya, pengambilan oleoresin jahe dari rimpang jahe. Ketika rimpang jahe dikontakkan dengan steam, maka minyak campuran oleoresin dan air yang terkandung di dalamnya akan mendidih pada suhu yang lebih rendah dari titik didih oleoresin dan air itu sendiri. Hal ini sangat menguntungkan, karena dengan suhu operasi yang rendah maka kerusakan bahan-bahan yang terkandung di dalam rimpang jahe dapat dikurangi. Uap yang terbentuk selanjutnya diembunkan, sehingga terbentuk dua lapis cairan yang tidak saling larut, yaitu lapisan minyak pada bagian atas dan lapisan air pada bagian bawah. Pada tahap selanjutnya kedua lapisan ini dapat dipisahkan dengan mudah (Sediawan, 2000). Distilasi uap tidak memiliki kelemahan untuk melakukan proses pemisahan oleoresin dari jahe. b. Ekstraksi padat cair (Leaching) Leaching atau ekstraksi padat cair adalah proses untuk menghilangkan komponen terlarut dalam suatu padatan dengan menggunakan pelarut. Interaksi diantara komponen terlarut dari padatan ini sangat berpengaruh pada proses ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini, komponen terlarut yang terperangkap di dalam padatan, bergerak melalui pori-pori padatan. Zat terlarut berdifusi keluar permukaan partikel padatan dan bergerak ke lapisan film sekitar padatan, selanjutnya ke larutan. Kelemahan proses leaching antara lain: Adanya sedikit pelarut yang tertinggal dalam produk. Untuk produk-produk tertentu, terutama makanan, adanya sedikit pelarut tersisa tersebut perlu dihindari. Usaha-usaha penghilangan pelarut dalam produk merupakan masalah pemisahan yang perlu dipelajari lebih lanjut. Memerlukan suhu tinggi karena daya larut akan naik dengan naiknya suhu. Suhu tinggi ini sering menimbulkan kerusakan bahan, sehingga kualitas produk turun. Selektivitas pelarut tidak sempurna sehingga ada komponen lain yang ikut terambil dalam ekstrak. Misalnya pada ekstraksi minyak atsiri dari bunga-bungaan, diperoleh produk yang disebut concrete, yang masih perlu dimurnikan lagi. Namun, proses leaching juga memiliki keunggulan yaitu harga alat proses nya yang lebih murah serta alatnya mudah digunakan. c. Ekstraksi Superkritis Keadaan superkritis adalah fluida yang kondisinya berada di atas tekanan dan suhu kritis, yang mempunyai sifat di antara sifat cairan dan sifat gas. Fluida dalam keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai pelarut pada ekstraksi dengan beberapa kelebihan, antara lain: Kekuatan pelarut dapat diatur sesuai keperluan dengan mengatur kondisi operasinya. Daya larutnya tinggi karena bersifat seperti cairan. Karena mempunyai sifat seperti gas, maka viskositasnya rendah sehingga koefisien perpindahan massanya tinggi. Pemisahan kembali pelarut dari ekstrak cukup cepat dan sempurna, karena pada keadaan normal, fluida tersebut berupa gas, sehingga dengan penurunan tekanan, pelarut otomatis keluar sebagai gas. Dapat memakai fluida yang tidak mencemari lingkungan dan tidak mudah terbakar (misalnya CO2). Difusi dalam padatan bergerak cepat. Namun, proses ini tetap memiliki kelemahan yaitu harga alat yang sangat mahal dikarenakan tekanan operasi yang sangattinggi sehingga diperlukan peralatan yang tahan pada tekanan tinggi (Sediawan, 2000). d. Pengepresan Mekanis Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70%). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dipisahkan dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan. Namun, proses inimemiliki kelemahan yaitu membutuhkan energi pengepresan yang sangat besar serta banyaknya minyak yang masih terlarut dalam padatan yakni sekitar 7-8%. D. Minyak Atsiri Jahe Minyak atsiri jahe dapat diperoleh cara penyulingan. Bahan baku yang digunakan berasal dari jahe kering yang diambil dari jahe segar berumur 9 bulan. Sebelumdisuling jahe kering digiling kasar dengan alat hammer mill, selanjutnya segera disuling supaya minyakatsirinya tidak menguap (Yuliani, 2009). Ada tiga metode penyulingan, yang pertama metode uap langsung (steam distillation), kedua metode uap dan air biasa disebut dengan metode kukus (water andsteam distillation) dan ketiga metode perebusan (water distillation). Penyulingan dengan bahan jahe keringlebih cocok dilakukan secara dikukus. Bila jahe yangdisuling dalam jumlah banyak, maka sebaiknya jahedalam ketel dibagi atas beberapa fraksi untukmemudahkan dan meratakan aliran uap dengan kerapatan bahan dalam ketel (bulk density) 200-800 g/l. Proses penyulingan jahe ini membutuhkan waktu 8 jam dengan rendemen minyak sekitar 3-4,5%. Untuk jahe basah sebaiknya disuling dengan sistem uap langsung dengan tekanan 2,5 atm (Rusli dan Risfaheri, 1992 dalam Yuliani, 2009). Minyak atsiri dalam jahe kering berkisar 1-3%. Minyak atsiri dalam jahe terdiri dari zingiberol, zingiberan, α-β phellandren, methyl heptenon, cineol, citral, borneol, linalool, asetat, dan haprilat, selain itu juga mengandung phenol mungkin chavicol, seskuiterpen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, sineol,sitral, dan felandren (Djubaedah, 1986 dalam Oktora, 2007). Di samping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol (Oktora, 2007). Menurut informasi dari beberapa eksportir minyak atsiri dalam Ma’amun (2006), minyak atsiri jahe dari Indonesia agak sulit untuk diterima di pasar internasional. Hal ini disebabkan minyak atsiri jahe dari Indonesia selalu menunjukkan angka putaran optik positif (+), yang hal tersebut berbeda dengan standar yang berlaku, di mana besaran putaran optik yang dikehendaki adalah bernilai negatif (-).Hal ini juga didukung oleh Anon (2005) dalam Ma’amun (2006) yang menunjukkan bahwa seluruh sampel minyak jahe yang dianalisis memiliki angka putaran optik positif. Kandungan senyawa zingiberen pada jahe mempunyai sifat putaran optik negatif, sementara kamfen bersifat putar optik positif. Komposisi dari senyawa-senyawa tersebut berbeda pada setiap jenis minyak jahe. Perbedaan komposisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis atau varietas, teknik budidaya, dan kondisi lingkungan tumbuh. Minyak jahe yang banyak diperdagangkan di pasar luar negeri berasal dari Cina dan India, di mana kedua negara tersebut tentu memiliki kondisi lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia (Ma’amun, 2006). Tabel 4. Karakteristik minyak atsiri jahe Indonesia Karakteristik Minyak Atsiri Jahe Standar Internasional ISO 7355 : 1995 Jawa Tengah Lampung Eksportir Berat jenis, 250/250C 0,8965 0,8959 0,8916 0,870 – 0,890 Indeks bias, 250C 1,4890 1,4878 1,4868 1,480 – 1,490 Putaran optik +120 40’ +100 30’ +60 20’ (-200) – (-450) Kelarutan dalam etanol 90% Larut 1 : 7 Larut 1 : 5 Larut 1 : 5 Larut 1 : 4 Bilangan asam 2,40 2,82 2,16 2,00 – 5,00 Bilangan ester 10,20 16,85 20,45 10,00 – 40,00 Sumber: Ma’amun (2006) Keterangan: Minyak atsiri jahe Jawa Tengah merupakan minyak atsiri yang diperoleh dari jahe emprit kuning kering yang didapat petani Boyolali, Jawa Tengah. Minyak atsiri jahe Lampung merupakan minyak atsiri yang diperoleh dari rimpang jahe emprit kuning yang didapat dari pengumpul di Lampung. Minyak atsiri jahe ekportir diperoleh dari PT Scent Indonesia. E. Aplikasi dan Standarisasi Mutu Hasil Olahan Jahe 1. Hasil Olahan dan Aplikasi Jahe Komponen bioaktif pangan yang menimbulkan efek fisiologis atau biasa disebut dengan khasiat pangan banyak di temukan dalam rempah salah satunya yaitu jahe. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu janis rempah yang sejak dulu dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Manurut Tang dan Eisenbrand (1992) khasiat jahe ditimbulkan oIeh kandungan senyawa bioaktif jahe. Senyawa bioaktif jahe, seperti oleoresin, gingerol, dan shogaol sudah banyak dteliti dari aspek aktivitasnya sebagai antibakteri, antitusif, dan antioksidan.  Dari jahe dapat dibuat berbagai produk yang sangat bermanfaat dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, kosmetik dan makanan/minuman. Ragam bentuk hasil olahannya, antara lain berupa simplisia, oleoresin, minyak atsiri dan serbuk. a. Rimpang Segar Bumbu masak Jahe sering kali di tambahkan pada masakan ayam maupun kari ikan dan ditambahkan jahe sebagai penyedap aroma maupun rasanya. Dengan dicampur jahe, aroma masakan jadi bertambah sedap dan bau anyir dari ikan pun hilang.  Makanan Sensasi panas jahe memikat banyak lidah. Khasiatnya menjadikan jahe salah satu alternatif kesehatan murah bagi orang-orang. Saat ini, baik itu di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya, produk olahan jahe telah menjamur dan mudah dijumpai di pasar manapun dengan harga yang terjangkau. Berbagai produk berbasis jahe sudah banyak di kenal diantaranya yaitu ginger cookies, dan permen jahe (Tentang Jahe, 2012) Minuman fungsional Sejak akhir abad ke-20, jahe selalu digunakan dalam formula makanan dan minuman kesehatan, seperti STMJ (Susu Telur Madu Jahe), wedang jahe dan lainnya. Hal ini didasari oIeh khasiat jahe yang secara tradisi dan empiris dirasakan oIeh masyarakat, terutama sebagai bahan anti rnasuk-angin, walaupun secara ilmiah belum dbuktikan efeknya pada kesehatan manusia (Admin, 2012).  Jahe memiliki rasa pedas sehingga dapat memberikan rasa hangat ketika di konsumsi. Rasa dominan pedas dari jahe di sebabkan oleh senyawa keton bernama zingeron (Info kuliner pendidikan, 2012). Selain wedang jahe, bahan minuman berbasis jahe lainya yaitu instant jahe dan sirup jahe. Instan jahe merah dapat dibuat dari rimpang jahe merah segar, yang dicuci bersih kemudian diparut atau diblender, dan disaring untuk memperoleh ekstrak jahe merah. Ekstrak jahe merah dimasak dengan gula, tanaman herbal, kopi atau susu hingga kental. Adonan selanjutnya dipanaskan hingga kering dan berbentuk kristal. Untuk memperoleh instan jahe merah yang memiliki daya simpan tinggi, kristal dihaluskan untuk memperkecil partikel dan mengurangi kadar air, kemudian disimpan di dalam wadah tertutup (Tajibu, 2012). Sirup jahe merah merupakan salah satu bentuk diversifikasi produkjahe merah segar. Cara pengolahannya dengan mirip dengan pembuatan instan jahe merah. Pertama, rimpang jahe mareh dicuci bersih, dikupas kemudian diblenderuntuk memperoleh ekstrak. Pengolahan jahe merah menjadi sirup jahe merah dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak jahe merah dan tanaman herbal hingga mendidih.Diamkan dan saring larutan jahe merah selama 2 kali dengan kain sampai bersih. Sari jahe merah tersebut direbus kembali dan ditambahkan gula pasir ke dalamnya. Untuk mengemas sirup jahe merah, digunakan botol yang terlebih dahulu disterilkan dengan cara dikukus selama 20 menit pada air mendidih. Dalam keadaan panas, sirup dimasukan dalam botol hingga tersisa jarak 3-4 cm dari ujung botol. Botol ditutup dan disegel. Untuk mencegah pertumbukan mikroba, sirup dipasteurisasi dengan cara merendam sirup dalam air mendidih selama 30 menit (Tajibu, 2012). Obat tradisional Jahe banyak digunakan sebagai obat herbal (Weidner dan Sigwart 2001). Hasil penelitian farmakologi menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien dalam menghambat radikal bebas superoksida dan hidroksil yang dihasilkan oleh sel-sel kanker, dan bersifat sebagai antikarsinogenik, non-toksik dan non-mutagenik pada konsentrasi tinggi (Manju dan Nalini 2005). Beberapa senyawa, termasuk gingerol, shogaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti efek antioksidan, antiinflammasi, analgesik, antikarsinogenik dan kardiotonik (Hernani dan Winarni, 2009). Pengobatan menggunakan jahe sudah banyak di kembangkan untuk mengobati berbagai penyakit seperti diare. b. Jahe Kering Pengembangan produk jahe kering sangat menguntungkan dan mampu mencegah terjadinya pengurangan kualitas dan flavour jahe segar akibat terlalu lama disimpan. Beberapa produk yang dapat dikembangkan, yaitu: Bubuk jahe Bubuk jahe merupakan komponen utama dalam resep bumbu kari. Disamping itu digunakan juga dalam perusahaan bir, brandi, dan anggur jahe. Dalam pembuatan bubuk jahe, bahan yang digunakan adalah jahe kering sempurna (kadar air sekitar 8-10%). Bahan tersebut kemudian digiling halus dengan ukuran, sekitar 50-60 mesh. Oleoresin jahe Oleoresin jahe merah merupakan campuran yang homogen antara resin dan minyak atsiri yang diperoleh darihasil ekstraksi jahe  kering menggunakan pelarut organik. Oleoresin jahe merah mempunyai rasa yang pedas dan aroma yang cukup kuat seperti jahe merah dalam bentuk segar. Bentuk oleoresin adalah cairan pekat berwarna cokelat tua. Oleoresin umumnya digunakan dalam industri kue, daging, makanan kaleng, dan bumbu masak (Tajibu, 2012). Minyak atsiri jahe Minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap yang terdiri atas campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. Sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan atau hidrodestilasi. Dewasa ini, minyak atsiri banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri parfum, kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent. Biasanya, minyak atsiri yang berasal dari rempah digunakan sebagai flavoring agent makanan. Bahkan dewasa ini sedang dikembangkan penyembuhan penyakit dengan aromatheraphy, yaitu dengan menggunakan minyak atsiri yang berasal dari tanaman. Minyak atsiri yang disuling dari jahe berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama penyulingan dapat berlangsung sekitar 10 – 15 jam, agar minyak dapat tersuling semua. Kadar minyak dari jahe sekitar 1,5 – 3%. Minyak jahe mempunyai banyak efek biologis yang menguntungkan yaitu mencegah kerusakan akibat oksidasi, harus diperhatikan cara penyulingan, penyimpanan dan penggunaannya sebagai supplemen serat (Hernani dan Winarni, 2009). 2. Standarisasi Mutu Hasil Olahan Jahe a. Jahe Segar Salah satu permasalahan dalam budidaya jahe adalah masih rendahnya produktivitas dan mutu jahe. Sampai saat ini, produktivitas rata-rata jahe nasional adalah 5 – 6 ton/ha (setara dengan 109 – 127 g bobot rimpang per rumpun). Disentra produksi jahe di Jawa Barat produktivitas jahe mencapai 6,35 ton/ ha, sedangkan di Jawa Tengah 6,78 ton/ha. Rendahnya produktivitas jahe, selain disebabkan oleh cara budidaya yang belum optimal, juga disebabkan oleh penggunaan bahan tanaman yang kurang bermutu (Sukarman, et. al, 2010). Dalam proses pengolahan jahe, pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi termasuk kandungan senyawa yang berperan dalam performansinya, harus tetap diperhatikan karena berkaitan dengan hasil akhir olahan. Jahe segar yang baru dipanen dengan garpu atau cangkul dan tidak merusak rimpang kemudian diangkut dengan peti kayu atau keranjang bambu ketempat pencucian sambil dijaga kelembabannya. Rimpang harus segera dicuci dan dibersihkan dari tanah yang melekat. Pencucian disarankan menggunakan air yang bertekanan, atau dapat juga dengan merendam jahe dalam air, kemudian disikat secara hati-hati. Setelah pencucian jahe ditiriskan dan diangin-anginkan dalam ruangan yang berventilasi udara yang baik, sehingga air yang melekat akan teruapkan. Kemudian jahe dapat diolah menjadi berbagai produk atau langsung dikemas dalam karung plastik yang berongga dan siap untuk diekspor. Tabel 5. Syarat mutu fisik jahe segar Penggolongan Jahe Segar Berdasarkan Mutu No Karakteristik Syarat Metode Pengujian 1. Kesegaran jahe Segar Visual 2. Rimpang bertunas Tidak ada Visual 3. Kenampakan irisan melintang Cerah Visual 4. Bentuk rimpang Utuh Visual 5. Serangga hidup Bebas visual Tabel 6. Syarat mutu jahe segar Karakteristik Nilai Kadar air, maksimum Kadar minyak atsiri, minimum Kadar abu, maksimum Berjamur/berserangga Benda asing, maksimum 12% 1,5% 8,0% Tidak ada 2,05% Sumber: Oktora (2007) Keterangan: Kesegaran : Jahe dinyatakan segar apabila kulit jahe tampak halus, mengkilat dan tidak keriput. Bentuk rimpang : Rimpang jahe segar dinyatakan utuh bila cabang-cabang dari rimpang jahe tidak ada yang patah, dengan maksimum 2 penampang patah pada pangkalnya. Rimpang bertunas : Jahe segar dinyatakan mempunyai rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa ujung dari rimpang telah bertunas. Kenampakan irisan : Jahe segar bila diiris melintang pada salah satu rimpangnya maka penampangnya berwarna cerah khas jahe segar. b. Jahe kering Tabel 7. Syarat mutu jahe kering Karakteristik Syarat Mutu Cara Pengujian Bau dan rasa Khas Organoleptik Kadar air, % (bobot/bobot), maks 12,0 SP-SMP-7-1975 (ISO R 939-1969 (E)) Kadar minyak atsiri,(ml/100g),min 1,5 SP-SMP-37-1975 Kadar abu, % (bobot/bobot), maks 8,0 SP-SMP-35-1975 (ISO R 929-1969 (E)) Berjamur dan berserangga Tak ada Organoleptik Benda asing,% (bobot/bobot), maks 2,0 SP-SMP-32-1975 (ISO R 937-1969 (E)) Sumber: SNI 01-3393-1994 c. Minyak atsiri Standar mutu minyak atsiri jahe seperti terlihat pada Tabel 6 yang mengacu pada ketentuan EOA (Essential Oil Association). Tabel 8. Persyaratan mutu minyak atsiri jahe menurut standar EOA No Spesifikasi Persyaratan 1. Warna Kuning muda – kuning 2. Bobot jenis 25/25°C 0,877 – 0,882 3. Indeks bias (nD25) 1,486 – 1,492 4. Putaran optic (-28°) –(-45°) 5. Bilangan penyabunan, maksimum 20 6. Kelarutan dalam etanol 80% Larut dengan sedikit keruh Sumber:Yuliani (2009) d. Oleoresin Standar mutu oleoresinjahe mengacu pada ketentuan EOA (Essential Oil Association) yang terlihat pada Tabel 7. Tabel 9. Persyaratan mutu oleoresin jahe menurut standar EOA Karakteristik / Characteristic Persyaratan / Standard Penampakan dan bau Coklat tua,kental sekali dengan aroma khas jahe Kadar minyak atsiri 18-35 ml/100 g Indeks bias minyak 1,4880-1,4970 Putaran optic (-30)-(-60) Kelarutan Alkohol - larut dengan endapan Benzyl benzoat – larut dalam semua perbandingan Glyserin – tidak larut Minyak mineral – tidak larut Propilen glikol – tidak larut Fixed oil – agak larut Sisa pelarut dalam oleoresin Isopropil alcohol Maksimum 50 ppm Pelarut yang mengandung: Khlor Maksimum 30 ppm Aseton Maksimum 30 ppm Heksan Maksimum 25 ppm Metanol Maksimum 50 ppm Sumber: Yuliani (2009) III. PENUTUP A. Kesimpulan Jahe memiliki tiga varietas, yaitu jahe putih besar (jahe gajah), jahe putih (jahe emprit) kecil, dan jahe putih merah. Jahe putih besar umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan dan minuman, jahe putih kecil biasanya digunakan untuk ramuan obat-obatan, atau diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya, sedangkan jahe merah umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan. Syarat tumbuh jahe yaitu pada tanah bertekstur lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik, serta banyak mengandung bahan organik atau humus dan berdrainase baik. Jahe tumbuh optimal pada pH 6,8-7,0 dan suhu 20-35°C, dengan curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun serta pada ketinggian 0-2.000 m. Tanaman jahe umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin optimum ditandai dengan rasa pedas dan bau harum, dengan ciri-ciri warna daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering. Penanganan pascapanen jahe meliputi penyortiran basah dan pencucian, perajangan, pengeringan, penyortiran kering, pengemasan, dan penyimpanan. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi oleoresin jahe antara lain destilasi uap, ekstraksi padat cair, ekstraksi superkritis, dan pengepresan mekanis. Faktor yang mempengaruhi kesempurnaan proses ekstraksi jaheantara lain, penyiapan bahan sebelum ektraksi, ukuran partikel, pelarut, metode yang digunakan, dan kondisi operasi selama proses ekstraksi berlangsung. Minyak atsiri jahe dapat diperoleh cara penyulingan. Bahan baku yang digunakan berasal dari jahe kering yang diambil dari jahe segar berumur 9 bulan. Proses penyulingan jahe ini membutuhkan waktu 8 jam dengan rendemen minyak sekitar 3-4,5%. Minyak atsiri dalam jahe terdiri dari zingiberol, zingiberan, α-β phellandren, methyl heptenon, cineol, citral, borneol, linalool, asetat, dan haprilat, selain itu juga mengandung phenol mungkin chavicol, seskuiterpen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, sineol,sitral, dan felandren. Sifat putaran optik minyak atsiri jahe Indonesia selalu menunjukkan angka positif, sementara standar internasional mensyaratkan angka putaran optik negatif. Hasil olahan jahe segar dapat berupa bumbu masak, makanan (cookies dan permen), minuman fungsional (wedang jahe, jahe instan, sirup), dan obat tradisional (jamu). Sedangkan hasil olahan jahe kering dapat berupa bubuk, oleoresin, dan minyak atsiri. DAFTAR PUSTAKA Admin, 2012. Komponen Bioaktif Rimpang Jahe: http://mipa-farmasi.blogspot.com/2012/03/komponen-bioaktif-rimpang-jahe.html (diakses pada 24 Mei 2014). Asosiasi Petani dan Produsen Jahe Indonesia. Kandungan Minyak Atsiri Jahe Segar dan Jahe Kering. http://jaheindonesia.com/ (diakses pada 5 Juni 2014). Bermawie, N. 2003. Pengenalan Varietas Unggul dan Nomor Harapan Tanaman Rempah dan Obat. Badan Diklat Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Bogor. Bermawie, N. dan S. Purwiyanti. 2014. Botani, Sistematika dan Keragaman Kultivar Jahe. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Considine, D.M., and G. D. Considine. 1982. Foods and Food Encyclopedia.Van Nastrand Reinhold Company, New York. Depkes, 1989. Vedemekum bahan Obat alami : 78 - 83. Gamse, T. 2002. Liquid-Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction‖, Institute of Thermal Process and Environmental Engineering, Graz University of Technology, hal. 2-24. Harmono dan A. Andoko. 2005. Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe. Agromedia Pustaka, Jakarta. Heath. 1981. Source Book of Flavors.An Avi Book Published by Van Nastrand Reinhold, New York. Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pusat Sinar Harapan, Jakarta. Ma’mun. 2006. Karakteristik Beberapa Minyak Atsiri Famili Zingiberaceae dalam Perdagangan. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 91 – 98. Paimin, F. B. dan Murhananto. 2008. Seri Agribisnis Budi Daya Pengolahan Perdagangan JaheCetakan XVII. Penebar Swadaya, Jakarta. Purwiyanti, S. 2012. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Berdasarkan Penanda Morfologi dan Penanda RAPD. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rukmana, R. 2000. Usaha Tani JaheCetakan ke-8. Kanisius, Yogyakarta. Hasanah, Maharani, Sukarman, Devi Rusmin. Tanpa Tahun. Teknologi Produksi Benih Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hernani dan Winarni. 2009. Kandungan Bahan Aktif Jahe Dan Pemanfaatannya Dalam Bidang Kesehatan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian: Bogor . Info Kuliner. 2012. Bumbu Masak Rempah, Daun, dan Bunga. http://infokuliner.pendidikanriau.com/2012/03/bumbu-masak-rempah-daun-bungadan-buah.html (diakses pada 24 Mei 2014). Oktora, Rosevicka Dwi, Aylianawati, Yohanes Sudaryanto. 2007. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe. Widya Teknik Vol. 6, No. 2, 2007 (131-141). Ramadhan, Eka. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage pada Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale Rose) Secara Batch. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. Sari, H. C., S. Darmanti dan E. D. Hastuti. 2006. Pertumbuhan Tanaman Jahe Emprit(Zingiber Officinale Var. Rubrum) pada Media Tanam Pasir dengan Salinitas yang Berbeda. Buletin Anatomi dan Fisiologi. Vol. XIV (2) : 19-29. Sediawan, W.B. 2000. Berbagai Teknologi Proses Pemisahan, Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Bakar Nuklir, vol.5, hal. 10-11. Sukarman, Rusmin, dan Melati. 2010. Viabilitas Benih Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Pada Cara Budidaya Dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik: http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya-jahe/sukarman-dkk-2/ (diakses pada 4 Juni 2014). Tajibu. 2012. Diversifikasi  Produk  Jahe  Merah  Di  Kabupaten  Halmahera  Barat Untuk  Kesejahteraan  Masyarakat. http://belongstoj2000.wordpress.com/2013/04/29/makalah-diversifikasi-produk-jahe-merah-di-kabupaten-halmahera-barat-untuk-kesejahteraan-masyarakat/ (diakses pada 24 Mei 2014) Tentang Jahe, 2012. Produk Olahan Jahe. http://tentangjahe.blogspot.com/2012/09/produk-olahan-jahe.html (diakses pada 24 Mei 2014). Wahyuni, S., D.H. Xu, N. Bermawie, H. Tsunematsu dan T. Ban. 2004. Skrining ISSR Primer sebagai Studi Pendahuluan Kekerabatan Antar Jahe Merah, Jahe Emprit dan Jahe Besar. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 15 :33-42. Warintek. 2014. Jahe. (On-line). http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/jahe.pdf. (diakses 30 Mei 2014). Yuliani, Sri dan Sari Intan Kailaku. 2009. Pengembangan Produk Jahe dalam Berbagai Jenis Industri. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 5 2009. Yuliani, S., Hernani dan Anggraeni, 1991. Aspek pasca panen jahe. Edisi Khusus Littro. VII (1): 30 - 37. Yulianto, F. K. dan Parjanto. 2010. Analisis Kromosom Jahe (Zingiber officinale var. officinale). Agrosains. Vol 12 (2) : 60-65. TUGAS TERSTRUKTUR TEKNOLOGI REMPAH-REMPAH DAN MINYAK ATSIRI “VARIETAS, BUDIDAYA, PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN, SERTA PROSES EKSTRAKSI DAN APLIKASI OLAHAN JAHE” Disusun Oleh: Mira Pertiwi A1M011041 Arfini Hidayanti A1M011051 Titin Septiani A1M011053 Nisa Amanda A1M011060 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2014