Bab III
Sistem Pemilukada Langsung
Bagian dari Buku Menata Ulang Pemilukada, 2015, P2P LIPI
Oleh Sri Nuryanti
Sri Nuryanti adalah Peneliti Puslit Politik LIPI
Pendahuluan
Penyelenggaraan pemilukada langsung sejak tahun 2005, pada kenyataannya mengalami dinamika yang memunculkan pro kontra apakah pemilukada langsung perlu dipertahankan atau tidak. Dari persoalan maraknya penggunaan politik uang, netralitas penyelenggara, biaya mahal sampai potensi munculnya konflik di masyarakat. Hal-hal inilah bagi sebagian orang dipergunakan sebagai alasan untuk memprotes berlangsungnya pemilukada langsung. Namun demikian, banyak yang melupakan bahwa substansi pemilukada langsung pada intinya adalah menghargai hak politik masing-masing individu dan memberikan sistem yang sebenarnya memberikan jaminan atas berlangsungnya pelaksanaan hak politik itu. Banyak yang secara tergesa-gesa menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilukada langsung banyak ketidak manfaatannya sehingga pemilukada langsung dihentikan dan digantikan dengan pemilihan oleh DPRD. Banyak orang tidak pernah mau melihat bahwa untuk memberikan hak politik individu yang paling hakiki, adalah melalui penyelenggaraan pemilukada langsung. Hal ini selaras dengan banyak hal baik dalam praktek demokrasi di Indonesia, seperti misalnya adanya keinginan untuk memberikan jaminan atas hak politik untuk memilih pemimpin dan untuk dipilih menjadi pemimpin secara inklusif
Hal ini sejalan dengan ketentuan pada Deklarasi Hak Asasi Manusia dimana penghargaan terhadap hak politik masing-masing individu sebagai bagian yang harus diperjuangkan secara umum. Sesuai dengan pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa: (3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Lihat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tanggal 10 Desember 1948., memperkuat sistem presidensial
Dalam berbagai literatur dikatakan bahwa Indonesia perlu memperkuat pelaksanaan sistem presidensial dengan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk memilih pemimpinnya. Dengan demikian, pemilihan langsung ini memberi posisi kuat kepada presiden untuk tidak mudah dijatuhkan karena minimnya dukungan politik oleh partai politik. Sejalan dengan logika diatas, pemilihan langsung kepala daerah juga diharapkan selain melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan untuk memilih pemimpinnya, juga untuk memperkuat posisi tawar kepala daerah terhadap keinginan oligarkhis partai politik di parlemen. , memberi ruang penguatan demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan melatih kedewasaan berpolitik masyarakat sehingga tercipta pemilih yang rasional. Oleh sebab itu, pemilukada langsung sebaiknya tetap dipertahankan untuk memberikan penghargaan atas hal-hal tersebut di atas. Untuk hal-hal yang mengurangi bobot penghargaan kita terhadap hak asasi manusia itu, beberapa hal di dalam penyelenggaraan pemilukada perlu dilihat ulang, diubah dan disempurnakan. Pada bab ini, akan dibahas sistem pemilukada dan kemungkinan intervensi atas sistem yang ada.
Proses dinamika pemilukada lapangan tidak bisa dilepaskan dari sistem penyelenggaraan pemilukada yang dibangun sejak keluarnya Undang-Undang no 32 tahun 2004, yang kemudian diubah menjadi UU no 12 tahun 2008. Sistem pemilukada yang dibangun sejak 2005 akan dibahas dari aspek hukum perundangan dan pengaturan lainnya, aspek institutional penyelenggara dan partai politik pengusung calon kepala daerah dan aspek perilaku (behavioral) yang akan mengupas masalah perilaku aktor yang terlibat yaitu penyelenggara, peserta dan pemilih. Untuk itu, pada bagian ini akan menganalisis tiga aspek tersebut dimana seharusnya secara ideal sistem pemilukada yang dibangun menghasilkan sistem yang demokratis, akuntabel dan berkelanjutan. Kerangka sistem demokratis akan memberikan kesempatan yang setara, inklusif dan adil. Sementara itu sistem yang akuntabel, akan dilihat dari proses yang akuntabel secara administratif, transparan dan dapat diukur. Selanjutnya diharapkan sistem yang dibangun menjanjikan adanya mekanisme untuk menghasilkan kepala daerah yang mempunyai program berkelanjutan dengan asumsi bahwa program berkelanjutan ini akan membawa peningkatan dalam hal kesejahteraan masyarakat.
Kerangka kerja sistem pemilukada
Merujuk pada teori sistem sederhana yang dikemukakan oleh David Easton, dapat diketahui bahwa dalam sistem terdapat unsur-unsur sebagaimana dalam diagram berikut ini.
Dalam pandangan teoritisi lain, yang dimaksudkan dengan kerangka kerja sistem secara umum mengacu pada adanya proses... (mengutip paper yg di kirim prof. Purwo)
Dalam memahami kerangka kerja sistem pemilukada, harus dilihat bekerjanya aspek-aspek input, konversi, output, feedback/feed forward dan interaksinya terhadap lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu, input dalam sistem pemilukada akan terdiri dari eksistensi UU pemilukada, bekerjanya aktor-aktor pada tahap awal (penyelenggara, peserta/partai politik dan perseorangan, dan penduduk potensial pemilih). Proses penyelenggaraan pemilukada akan menempati aspek konversi dimana dalam tahap ini akan terjadi interaksi antar aktor dan hasil pemilukada akan menempati aspek output dalam kerangka teori sistem. Prosesual yang terjadi pasca output akan menjadi bahan untuk feedback/feed forward dari kerangka kerja teori system. Oleh karena itu modifikasi kerangka berpikirnya menjadi sebagai berikut:
Dari kerangka kerja sistem pemilukada di atas, analisis berikut akan mendasarkan pada tiga hal utama yaitu aspek hukum dan perundangan pemilukada, aspek institutional yang menyangkut institusi pemerintah, penyelenggara dan institusi partai politik sebagai peserta pemilukada. Sedangkan aspek perilaku akan dianalisis baik perilaku penyelenggara, peserta maupun pemilih.
Faktor Hukum dan Pengaturan Pemilukada
Hukum dan pengaturan teknis penyelenggaraan Pemilukada
Dalam menyelenggarakan pemilukada, yang dirujuk adalah regulasi-regulasi di bawah ini.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (3) dan (4), pasal 22 E.
Undang-undang ini mengamanatkan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal itu mengandung makna bahwa setiap prosesi penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh suatu komisi khusus yang bertugas menyelenggarakan pemilhan umum. Keluarnya ketentuan ini kemudian diikuti dengan keluarnya UU khusus yang mengatur mengenai eksistensi penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu.
Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perpu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32/2004.
Undang-Undang Nomor 22/ 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Peraturan Pemerintah Nomor 6/2006 jo. No. 17/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Inpres RI Nomor 7/2005 tentang Dukungan Pemerintah untuk Kelancaran Pelaksanaan Pilkada.
Peraturan-Peraturan KPU
Permendagri No. 9/2005 tentang Pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Permendagri No. 44/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pengaturan pemilukada yang awalnya dilaksanakan oleh DPRD, berubah dilaksanakan secara langsung, dengan kombinasi pembiayaan pemilukada oleh APBD, maka pemilukada sesuai dengan ketentuan UU dan pengaturan lainnya terletak pada dua kaki: pemda dan KPU. Pada Pemda karena penyelenggaraan pemilukada mempunyai ketergantungan yang luar biasa kepada keputusan pemda khususnya terkait dengan penyediaan anggaran pemilukada. Masa dimulainya tahapan pun sebenarnya sangat tergantung kepada Sidang Paripurna DPRD dimana pada saat itu, DPRD mengeluarkan surat mengenai Masa Akhir Jabatan Kepala Daerah. Di beberapa daerah, soal ini memunculkan polemik tersendiri seperti misalnya pemilukada Kab. Mesuji, Prov. Lampung dimana sampai akhir penyelenggaraan pemilukada tidak pernah dikeluarkan keputusan Sidang Paripurna DPRD Kab. Mesuji mengenai Masa Akhir Jabatan Kepala Daerah. Oleh sebab itu, pemda mempunyai peran yang signifikan dalam penyelenggaraan pemilukada yaitu terkait penyediaan anggaran pemilukada dan dukungan SKPD untuk membantu penyelenggaraan pemilukada. Sedangkan, organ penyelenggara pemilukada ‘dilakukan oleh KPUD’ . Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 57 ayat (1) Undang-undang 32/2004 dimana dalam pelaksanaan tugasnya harus menyampaikan laporan pertanggung jawaban pekerjaannya kepada DPRD. Namun dengan dikabulkannya permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005, maka pasal 57 ayat (1) tersebut dicabut. Dengan keluarnya ketentuan pada undang-undang 22 tahun 2007 dimana sifat kewenangan KPU adalah hirarkhis, maka dalam penyelenggaraan pemilukada, KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak lagi harus bertanggung jawab kepada DPRD. Pada masa sebelum dicabutnya ketentuan pada pasal 57 ayat (1) UU 32/2004, posisi KPU hanya ‘sekedar dipinjam’ untuk menjadi panitia yang menyelenggarakan pemilukada. Ketentuan ini membuat fenomena penyelenggaraan pemilukada pada masa 2005-2007 tidak melibatkan KPU RI sebagai penyelenggara pemilukada.
Sementara itu, dilihat dari sudut pandang bahwa pemilukada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemilu, maka sebenarnya ranah pengaturan dan penyelenggaraannya dilakukan oleh KPU. Sesuai dengan ketentuan pada UU no.22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu, maka didapati ketentuan bahwa dalam hal penyelenggaraan pemilukada, KPU RI berfungsi untuk melakukan supervisi. Di berbagai daerah yang menyelenggarakan pemilukada, posisi KPU RI ini kadang dipertanyakan sampai sejauhmana ketentuan supervisi itu.
Menyangkut pengaturan antara yang diatur dengan UU 32/204 dengan UU yang keluar belakangan, maka sebaiknya Pasal 132 UU 22/2007 : UU 32/2004 yang mengatur penyelenggara pemilu sepanjang telah diatur UU 22/2007, maka ketentuan dalam UU 32/2004 dicabut dan dinyatakan tak berlaku
Sistem Akuntabilitas Kepala Daerah
Sistem Penyelenggaraan Pemilukada
Dalam setiap siklus pemilukada, sebuah prosesi pemilukada akan merujuk pada siklus besar kepemiluan sebagaimana yang diteorisasikan oleh International IDEA dan AEC sebagai berikut:
Sumber: International IDEA-AEC on Electoral Cycle
Secara umum dapat dijelaskan bahwa ada tiga fase utama dalam suatu siklus kepemiluan yaitu pada masa sebelum tahapan, masa tahapan dan masa pasca tahapan.
Pada masa sebelum tahapan, dapat diketahui bahwa unsurnya terdiri dari: perencanaan, pelatihan, sosialisasi informasi dan pendaftaran.
Dalam penyelenggaraan pemilukada, harus melalui serangkaian tahapan yang pengaturannya sudah dicantumkan dalam ketentuan undang-undang dan pengaturan turunannya. Pada UU 32/2004 dikatakan bahwa tahapan pemilukada dimulai dari... (lihat pasal-pasalnya)
Penentuan Masa akhir jabatan sebagai tanda dimulainya tahapan pemilukada.
Sebagaimana telah sedikit disinggung di depan, bahwa sidang paripurna DPRD untuk mengeluarkan keputusan mengenai masa akhir jabatan kepala daerah, merupakan penanda dimulainya tahapan pemilukada..
Pembentukan badan pelaksana (KPPS)
Tahapan Penetapan Daftar Pemilih.
Pada tahapan penetapan daftar pemilih ini, KPU menggunakan data pemilih pemilu terakhir. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 70 ayat (1) UU 34/2004 . Sementara itu, daftar pemilih yang berasal dari Daftar Pemilih pemilu terakhir di daerah itu, ditambahkan dengan daftar pemilih tambahan yaitu yang ditambahkan dari daftar penduduk yang memenuhi syarat. Syarat sebagaimana dimaksudkan dalam hal ini adalah memenuhi ketentuan umur yaitu 17 tahun atau sudah/pernah kawin. Dalam hal tatacara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPUD.
Lihat Pasal 74 atay (6) UU 32/2004.
Dengan merujuk pada ketentuan ini, terdapat bermacam ketidak sesuaian dalam hal-hal berikut:
Ranah pembuatan tatacara pelaksanaan pendaftaran pemilih dibebankan kepada KPUD, sehingga KPUD berkecenderungan untuk membuat tatacara pelaksanaan pendaftaran pemilih yang beragam.
Untuk membuat petunjuk pelaksanaan pendaftaran pemilih ini, dengan menyadari bahwa kemampuan sumber daya manusia di KPUD tidak seragam, tentunya produk yang dihasilkan juga beragam.
Karena pasal ini tidak menyebutkan peran serta KPU pada tingkat Pusat dimana setelah terbitnya UU tentang penyelenggara pemilu bersifat hierarkhis, maka pada masa awal setelah UU ini dikeluarkan, KPU Pusat tidak mempunyai kewenangan memberikan aturan yang seragam.
Dalam hal independensi, KPUD pada masa awal ini diberi kewenangan yang sangat leluasa untuk menyusun tatacara pelaksanaan pendaftaran pemilih yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan data pemilu KPU. UU 32/2004 tidak ‘mengunci’ kewenangan KPU dalam pasalnya. Namun demikian, hal itu tidak berlangsung lama. Semenjak keluarnya UU 22/2007 tentang penyelenggara pemilu, hubungan antara KPU Pusat dengan KPU di daerah bersifat hierarkhis. Terlebih lagi, sejak keluarnya UU 10/2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD untuk pemilu 2009, telah mengunci tatacara pembuatan daftar pemilih dalam pasal-pasalnya. Perumusan pasal-pasal ini, tidak mendasarkan diri pada kebutuhan data pemilih pemilu oleh KPU. Hal ini yang kemudian memunculkan masalah di berbagai pemilu.
Tahap Pencalonan
Dalam tahapan pencalonan, yang berperan adalah partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung pasangan calon, atau perseorangan yang memunculkan calon perseorangan dengan memberikan bukti dukungan sejumlah tertentu. Pada tahapan pencalonan ini yang banyak memunculkan masalah adalah:
- adanya dukungan ganda dari partai politik. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah adanya satu partai yang mendukung pasangan calon lebih dari satu pasangan calon. Misalnya kasus dukungan ganda dari Partai Amanat Nasional pada dua pasangan calon pada pemilukada Gorontalo, 2010
Lihat kronologis permasalahan pada pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur di Gorontalo 2011.
- partai politik pengusung tidak mempunyai legalitas hukum. Penentuan legal formal partai politik adalah dengan merujuk pada surat Kementrian Hukum dan HAM. Pada Pemilukada provinsi NTT 2009, PPDI mempunyai permasalahan menyangkut status hukum ini.
Lihat surat-surat terkait status hukum PPDI 2007 dengan Ketua Umum, Drs. H. Endung Sutrisno, MBA dan kepengurusan PPDI tahun 2008 dengan Ketua Umum H. Mentik Budiwiyono, data KPU RI 2007-2008
- partai politik pengusung sedang mempunyai masalah kepemimpinan ganda. Partai dengan kepemimpinan ganda misalnya yang dialami oleh PPRN pada tahun 2010 dimana terjadi ‘perebutan kursi Ketua Umum PPRN’ antara Sabar Sitorus dengan Amelia Yani. PPRN yang tokoh partainya adalah keluarga Sitorus, dengan pembinanya D.L Sitorus, berseteru dengan Amelia Yani yang merupakan anak pahlawan Jendral. Ahmad Yani, yang kepemimpinannya di PPRN awal mulanya ‘ditunjuk’ untuk merepresentasikan bahwa PPRN adalah partai terbuka, tetapi belakangan menjadi ‘bumerang’, dengan menggugat status kepemimpinan PPRN.
Lihat surat-surat yang masuk ke KPU terkait dengan perselisihan PPRN ini pada tahun 2010
- dukungan dan verifikasi dukungan calon perseorangan. Dalam hal ini di beberapa pemilukada, soal jumlah dukungan dan verifikasi dukungan calon perseorangan mengalami permasalahan teknis. Seperti misalnya di wilayah yang kondisi geografisnya sulit dijangkau, atau yang mobilitas penduduknya tinggi atau di wilayah yang anggaran verifikasinya kecil.
Lihat contoh kasus pada verifikasi calon perseorangan di Kab. Sabu Raijua tahun 2010 dan di Kota Kupang tahun 2012 di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Dengan menyadari bahwa pada tahapan pencalonan ini sering menimbulkan masalah, pembenahan diperlukan secara substantif maupun teknis pada masa tahapan ini.
Apabila kualitas demokrasi pemilukada akan dilihat hubungannya antara sistem yang dibangun, proses yang dilalui dalam penyelenggaraan pemilukada dengan hasil pemilukada, maka ketiga hal ini menjadi unsur yang sangat krusial harus diperhatikan. Dalam hal proses penyelenggaraan pemilukada, tahapan pencalonan menjadi tahapan yang sangat menentukan terjaringnya calon pemimpin daerah yang mempunyai kualitas kepemimpinan dan kemampuan managerial yang tinggi untuk mengarahkan perkembangan daerah menuju ke pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu, hal yang belum ada dalam sistem pemilukada yang dibangun selama ini maupun proses penyelenggaraan pemilukada selama ini adalah adanya sistem yang menjamin munculnya calon yang berkualitas dan memenuhi syarat pada waktu proses penyelenggaraan pemilukadanya. Selama ini syarat pendidikan yang minimal hanya SMA dikritik tidak mampu memberikan garansi atas berlangsungnya kepemimpinan yang baik di daerah. Tantangan pembangunan dan pengembangan daerah ke depan, perlu diimbangi oleh bekal kemampuan yang tidak cukup hanya diperoleh dibangku SMA. Oleh karena itu, studi ini mengusulkan peningkatan syarat minimal calon kepala daerah tidak hanya SMA tetapi minimal lulusan sarjana (S 1). Hal itupun dirasa tidak memberikan garansi pada kemampuan managerial yang diperlukan oleh seorang kepala daerah. Sehingga, studi ini mengusulkan adanya syarat penambahan berupa penguasaan keahlian managerial yang dibuktikan dengan serifikat kursus atau pelatihan.
Lihat wawancara dengan narasumber pada penelitian tahun 2013 di Bengkulu dan wawancara dengan narasumber penelitian lapangan di Sulawesi Utara, Juni 2014.
Persyaratan lain yang diusulkan oleh studi ini adalah terkait penguasaan daerah dan dikenal oleh masyarakat yang dibuktikan dengan dilampirkannya naskah akademik dan naskah program yang akan dituangkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) apabila yang bersangkutan nantinya terpilih dengan mengacu pada RPJP Daerah dan kontinyuitas dari RPJMD terdahulu. Dengan demikian, sedari awal, para calon harus menunjukkan pemahamannya mengenai daerah dimana yang bersangkutan bila terpilih akan memimpin dan hal tersebut dipaparkan sebagai bagian dari visi-misi yang tidak terpisahkan dari proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tahap Kampanye
Tahapan kampanye secara ideal dimaksudkan untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program kerja yang nantinya akan dilaksanakan. Oleh karena itu ketentuan bahwa masa kampanye lebih ditekankan pada kampanye dialogis, perlu ditekankan pada terkomunikasikannya visi-misi dan program calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam prakteknya, pada masa kampanye selalu marak kegiatan yang melibatkan masa, kegiatan yang memerlukan banyak uang apalagi sekarang marak penggunaan “serangan fajar”, uang kaget, “NPWP” (Nomer Piro, Wani Piro/Nomor berapa, berani bayar berapa). Hal itu bukan sekedar jargon tetapi dalam kenyataan memang seperti menjadi bagian dari prosesi pemilu maupun pemilukada.
Hari tenang
Biasanya pada hari tenang, isu yang muncul berkaitan dengan kasak kusuk praktek “money politics” ini. Hari tenang yang berlaku tiga hari menjelang dilaksanakannya pemungutan suara, sebenarnya diharapkan sebagai hari persiapan secara teknis di lapangan. Namun, yang sering terjadi adanya mobilisasi sumber daya dan sumber dana yang luar biasa masif pada hari-hari menjelang pemungutan suara itu.
Pemungutan dan Penghitungan suara
Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara, biasanya yang muncul adalah isu serangan fajar, isu pembelian suara dan isu ‘masuk angin’ (ketidak profesionalan penyelenggara). Hanya di daerah yang mempunyai eskalasi konflik tinggi saja, yang dilihat dari sisi keamanan, mengkhawatirkan.
Lihat misalnya penyelenggaraan pemilukada di Kotawaringin Barat dan Flores Timur sesuai dengan Laporan Penelitian Pemilukada tahun 2012, P2P LIPI, 2012
Penentuan paslon terpilih
Pada tahapan penentuan pasangan calon terpilih, di beberapa daerah yang dari awal prosesnya menunjukkan dinamika dan eskalasi konflik antar pendukung, biasanya lebih diantisipasi oleh kepolisian.
Lihat misalnya tahapan penentuan pasangan calon terpilih pada pemilukada Mesuji tahun 2010 yang merupakan bagian laporan penelitian pemilukada tingkat kabupaten/kota tahun 2012, P2P LIPI, 2012
Pelantikan
Tahapan pelantikan rata-rata berjalan damai dan lancar. Pelantikan yang diperkirakan tidak lancar atau diperkirakan akan mengundang konflik antar masyarakat pendukung, biasanya Menteri Dalam Negeri mengambil kebijakan untuk melakukan pelantikan di Jakarta.
Lihat misalnya pelantikan gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2005, pelantikan gubernur Maluku Utara tahun 2008
Hukum dan pengaturan penyelesaian sengketa pemilukada
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ketidak tegasan pengaturan bahwa pemilukada menjadi bagian dari urusan kepemiluan. Oleh sebab itu, sistem penyelesaian sengketa kepemiluan seyogyanya dijadikan sejalur dengan ranah kepemiluan ini. Dalam prakteknya, apabila dalam penyelenggaraan pemilukada ada gugatan, maka rata-rata gugatan dimasukkan ke semua jalur baik jalur pengadilan melalui pengadilan negeri, PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), maupun ke Mahkamah Konstitusi maupun pengaduan dan pelaporan kepada pihak kepolisian, Kejaksaan, Bawaslu maupun DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Yang menjadi masalah adalah soal waktu penyelesaian sengketa yang terkadang sangat lama, kecuali untuk sengketa yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
Faktor Institusional
Pemerintah
Pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilukada. Pemerintah mempunyai kewajiban antara lain 1) Menyediakan pendanaan penyelenggaraan pemilukada, 2) Menyediakan data potensial pemilih untuk pemilu dan Data Agregat Kependuduan per Kecamatan (DAK2), 3) Menyediakan bantuan kesekretariatan khususnya di Kecamatan dan Desa yang bertugas menjadi hal pendukung administrasi kegiatan pemilu ditingkat kecamatan dan desa atau kelurahan.
Pemerintah daerah dalam pemilukada berkewajiban menyediakan pendanaan pemilukada. Sebagaimana ketentuan pada UU 32/2004 yang menyatakan bahwa pembiayaan pemilukada diperoleh dari APBD, maka secara otomatis hal ini memunculkan konsekuensi pembagian ‘peran’ yang sarat dengan dinamika. Bila ketentuan Undang-undang itu dimengerti secara harfiah, maka seharusnya tidak ada politisasi anggaran di daerah yang hendak menyelenggarakan pemilukada. Pada kenyataannya di berbagai daerah telah terjadi tarik ulur luar biasa dalam hal penyediaan anggaran ini. Baik dengan dalih bahwa anggaran yang disediakan tidak mencukupi bila harus dikeluarkan pada tahun pernyelenggaraan pemilukada sehingga pembiayaan untuk putaran kedua dianggarkan pada tahun berikutnya, seperti yang terjadi pada penyelenggaraan pemilukada Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, atau Kab. Lombok Barat, Provinsi NTB, ataupun karena politisasi anggaran pemilukada seperti di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, dan Kab. Flores Timur, Provinsi NTT.
Oleh karena itu, dalam berbagai pertemuan, diwacanakan dua alternatif pembiayaan. Pertama, pembiayaan tetap dibebankan kepada daerah dengan mempertimbangkan kondisi pemilahan daerah berdasar IPM maupun berdasarkan kemampuan daerah. Kedua, pembiayaan pemilukada dibebankan kepada APBN.
Pada temuan studi tahun ke dua dapat disampaikan kembali bahwa penyelenggaraan pemilukada perlu mempertimbangkan aspek kemampuan daerah yang dilihat dari IGI dan IPM. Ukuran-ukuran ini akan berkaitan satu dengan yang lain dan sekaligus menghasilkan kondisi riil kemampuan daerah dan menghargai kemampuan daerah yang memang tidak seragam.
Dari studi tahun ke dua dapat diketahui bahwa berdasarkan IPM dan IGI, maka ditemukan kesimpulan yang masuk akal sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut ini. (insert tabel kesimpulan th ke 2).
Namun demikian, selalu saja ada pro dan kontra terhadap pendekatan di atas. Sebagian akan berargumen bahwa pemilu itu layak berbiaya mahal karena selain untuk menghargai kedaulatan rakyat, juga prosesi pemilu ditujukan untuk menghasilkan pemimpin di daerah tersebut. Biaya mahal dianggap sebagai hal wajar yang memang harus dialokasikan. Sebaliknya, sebagian yang tidak menyetujui biaya mahal penyelenggaraan pemilukada, akan mengemukakan argumen bahwa biaya mahal demokrasi lokal itu sebaiknya dikonversi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyata atau diwujudkan untuk membiayai pendidikan, atau kesehatan (kutip pemberitaan koran atau statement seseorang terkait hal ini).
Oleh karena itu, perlu betul-betul dicarikan solusi untuk membuat penyelenggaraan pemilukada berbiaya murah. Munculah ide penggabungan dan penyelenggaraan pemilukada yang serentak ( kutip pengaturan soal penyelengg pemilukada bersama, pengaturan 90 hr jeda,sampai ide penggunaan e votingllihat simulasi e voting BPPT di Aceh, Banten maupun pengajuan penyeleggaraan e voting di jembrana gagal, juga kota pekanbaru (tel daeng)
Penyelenggara Pemilukada: Sudahkah memadai?
Pada masa awal penyelenggaraan pemilukada pada tahun 2005 sampai 2012, penyelenggara pemilukada diawasi oleh Panwasda/Panwaslu Kada sampai pada tingkat Panwas Lapangan. (Lihat ketentuan organ penyelenggara pemilukada)
Pada masa itu, penegakan kode etik penyelenggara pemilu dilakukan secara internal yaitu dengan membentuk Dewan Kehormatan yang melakukan penyidikan dan sidang terkait dugaan pelanggaran oleh penyelenggara pemilukada. Namun demikian, sejak keluarnya UU pemilu no.15 tahun 2012 dimana dalam pasal.... disebutkan bahwa ...untuk menegakkan kode etik, dibentuklah DKPP, maka pengawasan pelanggaran tahapan kepemiluan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi/Panwaslukada, sementara untuk penegakan kode etik dilakukan oleh DKPP.
Partai Politik dan Pemilukada
Partai politik sebenarnya mempunyai fungsi yang sangat krusial dalam mengusung bakal calon yang mempunyai kualitas kepemimpinan yang bagus dan mampu mengembangkan program pembangunan daerah berkelanjutan. Seharusnya partai politik memfungsikan diri menjadi saringan munculnya para kandidat itu. Namun demikian, selama ini partai politik banyak ditengarai sebagai sekedar ‘perahu’ saja. Diduga kuat, ketika pemilukada partai politik yang berpeluang mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berarti sebuah kesempatan untuk menangguk uang ‘sewa perahu’.
Faktor perilaku/behavioral
Partai Politik dalam Memilih Calon Berkualitas
Dalam prosesi pemilukada, soal sumber daya manusia juga memegang peranan penting. Dalam masyarakat yang mempunyai ukuran IPM yang tinggi, yang berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan, maka bisa diyakinkan bahwa kualitas sumber daya manusianya lebih berkualitas ketimbang daerah yang mempunyai IPM rendah.
Penyelenggara: masih banyak yang “Masuk Angin”
Perilaku penyelenggara pemilukada juga patut dilihat dalam konteks kinerja profesionalitas, independensi dan berintegritas
Budaya Masyarakat Berpemilukada: Subyektif versus Partisipatif
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilukada, soal budaya masyarakat menjadi hal yang signifikan dalam menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Ada perbedaan signifikan antara masyarakat yang sudah berbudaya partisipatif dengan masyarakat yang masih mempraktekkan budaya subyektif. Untuk masyrakat yang sudah berbudaya partisipatif, keterlibatan mereka dalam proses politik merupakan kegiatan voluntarily atau suka rela dan bisa jadi mendasarkan pada pemikiran-pemikiran rasional. Sementara masyarakat yang berbudaya subyektif, masih mudah dimobilisasi karena orientasi rasionalitasnya bukan berdasarkan program atau pemikiran substantif tetapi berdasarkan ikatan-ikatan emosional. (teorinya....)
Kesimpulan: Intervensi atas sistem
Faktor Perilaku Politik
Intervensi Sistemis
Intervensi Regulatif
Di dalam ketentuan perundang-undangan perlu diatur mengenai hal-hal sebagaimana dalam tabel dibawah ini:
No
Tahapan
Permasalahan
Solusi
1
Pra Tahapan: Keputusan Masa Akhir Jabatan Kepala Daerah
Sesuai dengan ketentuan UU 32/2004 pasal ..dikatakan bahwa penentuan Masa Akhir Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Di beberapa tempat, sidang DPRD ditunda/diulur, tidak dilaksanakan. Hal ini seperti yang terjadi dengan pemilukada Kab. Mesuji dimana DPRD tidak kunjung menyelenggarakan sidang yang salah satu keputusannya menyangkut masa akhir jabatan kepala daerah. Untuk pemilukada Provinsi Lampung, antara DPRD dan KPU Provinsi berselisih paham mengenai dimulainya tahapan pemilukada. Hal ini disebabkan ketentuan pada UU 32/2004 yang mengatur bahwa setahun menjelang pemilu 2009, tidak diadakan pemilukada. Sementara itu, tidak keluar ketentuan lain yang mengatur penyelenggaraan pemilukada pada tahun 2013. Setelah melalui perdebatan panjang, maka akhirnya pemilukada Provinsi Lampung dapat terselenggara bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD 2014
Pemilukada Provinsi Lampung merupakan pemilukada yang penyelenggaraannya bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD 2014.
Dengan berpedooman bahwa Kepala Daerah harus sudah terpilih maksimal satu bulan sebelum masa akhir batan kepala daerah, maka sebaiknya KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak dibebani keharusan untuk menunggu terlaksananya sidang DPRD bisa segera menyampaikan rencana penyelenggaraan pemilukada. Baik KPU, DPRD maupun Kepala Daerah tentunya masing-masing mempunyai informasi atau catatan kapan masa akhir jabatan itu, sehingga kewenangan menentukan kapan dimulainya tahapan pemilukada, ada pada KPU di daerah. Jadi dalam ketentuan UU, perlu perlu ditambahkan satu ayat mengenai ketentuan apabila dalam masa maksimal 8 bulan sebelum masa akhir jabatan tetap tidak ada sidang DPRD, KPU diberi kewenangan untuk segera memulai tahapan pemilukada dan mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk mengadakan pertemuan khusus terkait dengan penyediaan anggaran pemilukada
2
Anggaran penyelenggaraan pemilukada sebaiknya diambilkan dari biaya APBN
Di beberapa daerah, sebelum menyelenggarakan pemilukada, KPU tarik ulur dengan pemda terkait penyediaan anggaran pemilukada.
Apabila dana penyelenggaraan pemilukada disediakan oleh APBN, maka hal ini tidak menjadi lahan politisasi dan tarik ulur antara Pemda dengan KPU sebagai penyelenggara. Apabila usul ini disetujui, maka perlu ada perubahan klausul di undang-undang menyangkut pembiayaan pemilukada yang semula berasal dari APBD diubah menjadi APBN.
3
Pembentukan badan pelaksana pemilukada
Yang seringkali muncul masalah adalah terhambatnya pembentukan badan pelaksana pemilukada karena belum adanya anggaran/belum disetujuinya anggaran/belum ada hibah.
Apabila anggaran diambilkan dari APBN, maka tahapan penyelenggaraan pemilu terkait dengan pembentukan badan pelaksana, tidak mengalami masalah karena pendanaan. Oleh karena itu, solusinya perlu ada perubahan ketentuan Undang-undang bahwa pemilukada diambilkan dari dana APBN.
4
Pembuatan Daftar Pemilih pada Pemilukada
Daftar pemilih pada pemilukada kadang bermasalah apabila tidak ada kerjasama dan sinkronisasi data dari berbagai sumber. Ketentuan UU yang membatasi sumber data hanya dari kementrian dalam negeri mempersempit ruang gerak penyelenggara pemilu untuk mendapatkan data pemilih yang lebih mutakhir, komprehensif dan akurat.
Pembuatan Daftar pemilih tetap diselenggarakan secara terus menerus setelah tahapan suatu pemilu selesai. Dengan demikian, pemutakhiran dilakukan secara terus menerus karena hal ini terkait dengan kebutuhan adanya pemutakhiran data pemilih yang komprehensif, akurat dan terkini. Dalam ketentuan undang-undang perlu ada perubahan pasal yang mengatur mengenai ketentuan pemutakhiran yang dilakukan terus menerus, melakukan penyandingan dan koordinasi data penduduk potensial pemilih dengan data-data yang dianggap berhubungan, seperti misalnya data dari pemerintah daerah, BPS, Kementerian Luar Negeri, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau sumber lain yang dianggap perlu seperti BNP2TKI, LSM ketenaga kerjaan, kelompok disabilitas.
5
Tahap Pencalonan:
Pemenuhan syarat pencalonan
Terkait dengan pemenuhan syarat pencalonan yang biasanya muncul adalah terkait dengan dukungan ganda, status legal formal partai politik, konflik kepemimpinan pada partai politik atau pemenuhan dukungan perseorangan
Dalam ketentuan Undang-undang perlu ditegaskan mengenai ketentuan partai politik yang boleh mencalonkan adalah partai politik yang mempunyai kedudukan hukum yang sah sesuai dengan surat keputusan kementrian Hukum dan Ham yang terakhir. Surat keputusan dari Kemenkumham inilah yang dipakai sebagai alat verifikasi sah tidaknya kepengurusan, termasuk verifikasi atas dukungan ganda dan penentuan sah tidaknya dukungan partai politik. Dalam ketentuan hukum mengenai dukungan perseorangan, sebaiknya ditambahkan klausul yang mengatur mengenai model verifikasi dukungan calon perseorangan yang mudah dan murah pelaksanaannya.
6
Tahap Pencalonan: Pemenuhan Syarat Calon
Dalam hal pemenuhan syarat calon kepala daerah biasanya yang paling potensial memunculkan masalah adalah terkait dengan : pemenuhan syarat pendidikan minimal dimana dalam ketentuan UU 32/2004 hanya menyatakan bahwa pendidikan minimal setingkat sma; soal ketentuan tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana minimal 5 tahun karena di beberapa pemilukada banyak yang sedang tersangkut perkara hukum tetap mendaftar sebagai calon; terkait verifikasi atas persyaratan bahwa calon mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat; terkait penyerahan daftar kekayaan pribadi dan bersedia diumumkan; dan terkait dengan posisi incumbent yang mencalonkan diri kembali. Di masa awal setelah dikeluarkannya UU 32/2004 pernah diusulkan untuk tidak diperbolehkannya incumbent kembali mencalonkan diri, namun kemudian hal itu ditolak oleh MK dengan alasan menghalangi hak konstitusional warga negara. Namun dikemudian hari, beberapa pemilukada bermasalah karena calon kepala daerah atau wakil kepala daerahnya yang sedang berperkara hukum, tidak bisa lepas dari jeratan hukum, tidak lama setelah terpilih.
Lihat contoh kasus pemilukada Prov. Bengkulu dengan kasus diberhentikannya Agusrin Najamudin, gubernur terpilih pada pemilukada Bengkulu tahun 2010 karena yang bersangkutan tersangkut perkara APBD pada masa pemerintahannya sebagai Gubernur Bengkulu terdahulu. Bisa juga dilihat kasus wakil bupati terpilih pada pemilukada Mesuji tahun 2010 dimana yang bersangkutan dilantik di penjara Menggala (Tulang Bawang) karena tersangkut perkara pidana. Lihat laporan penelitian tim Pemilukada LIPI tahun 2012 dan 2013.
Dengan menyadari bahwa tantangan ke depan dalam memipin suatu daerah tidak cukup hanya berbekal pendidikan setingkat SMA, maka diusulkan perubahan syarat minimal pendidikan menjadi minimal setingkat sarjana dan mempunyai ketrampilan dibidang tatakelola atau managemen yang dibuktikan dengan sertifikat atau keterangan lain. Dalam kaitannya dengan permasalahan hukum calon kepala daerah di beberapa pemilukada, diusulkan agar calon yang sedang berperkara hukum, meskipun belum berkekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan mencalon. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya calon yang tidak jadi dilantik apabila terpilih atau seteah dilantik, tidak lama kemudian yang bersangkutan harus diganti karena harus menjalani pidana. Diusulkan penegasan di dalam ketentuan undang-undang mengenai syarat calon yang diharuskan mengenal daerah dan dikenal masyarakat, ditambahkan klausula yang berupa disampaikannya naskah akademis dan naskah usulan program RPJMD apabila nantinya terpilih. Mengenai ketentuan pelaporan kekayaan, perlu penegasan bahwa pelaporan kekayaan tersebut dilampiri dengan ditandatanganinya pakta integritas dan pernyataan siap diaudit apabila diperlukan untuk pengawasan penggunaan anggaran negara. Terkait dengan incumbent yang mencalonkan diri kembali, sebaiknya diatur secara tegas mekanisme untuk tidak dimanfaatkannya birokrasi dan fasilitas negara untuk keperluan itu. Misalnya ditambahkan klausul bahwa setelah yang bersangkutan mendaftarkan diri, yang bersangkutan tidak boleh menghadiri atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan.
7
Kampanye
Yang sering terjadi dalam masa kampanye adalah penggunaan fasilitas negara dan pengerahan birokrasi daerah oleh incumbent yang mencalonkan diri kembali dan penggunaan politik uang kepada masyarakat pemilih secara luas. Di beberapa daerah muncul berbagai peristilahan untuk menyebut masalah politik uang ini. Misalnya NPWP yang merupakan singkatan dari Nomor Piro Wani Piro (Nomor berapa, berani bayar berapa),
Dalam hal pengaturan mengenai kampanye, perlu ada penegasan mengenai mekanisme yang tidak memberi peluang penggunaan fasilitasi daerah/negara oleh incumbent misalnya setelah yang bersangkutan mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tidak terlibat dalam kegiatan daerah dalam bentuk apapun. Kemudian perlu muncul klausul di undang-undang yang mengatur tentang batas frekuensi maksimal misalnya hanya satu kali (1 x) bagi individu dan institusi untuk memberikan sumbangan kepada calon atau tim sukses pasangan calon dan pembatasan maksimal penggunaan dana kampanye misalnya untuk keperluan atribut, mobilitas, iklan, tim sukses, dll.
8
Pemungutan dan Penghitungan Suara
Permasalahan dalam pemungutan dan penghitungan suara secara manual mungkin tidak terlalu memunculkan masalah. Di beberapa daerah ada keinginan untuk menjajagi kemungkinan digunakannya e voting dan atau e counting technology sebagaimana yang pernah dimunculkan oleh keinginan penyelenggaraan pemilukada dengan e voting di Kabupaten Jembrana pada pemilu 2010 dan Kota Pekanbaru pada pemilukada 2011
Di dalam ketentuan undang-undang perlu dimunculkan payung hukum untuk penggunaan teknologi informasi yang dimungkinkan untuk mendukung penyelenggaraan pemilukada sekaligus perlakuannya dihadapan hukum.
9
Penyelesaian sengketa pemilukada
Dalam ketentuan undang-undang 32/2004 masih diatur mengenai jalur hukum penyelesaian sengketa pemilukada yaitu Pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai Mahkamah Agung, PTUN dan Mahkamah Konstitusi. Berbagai peluang ini apabila dilihat dari kacamata penjaminan rasa keadilan, mungkin sifatnya positif. Tetapi bila dihubungkan dengan waktu penyelesaiannya yang kadang tidak dibatasi harinya, membuat permasalahan sengketa pemilukada menjadi berlarut-larut meskipun kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih sudah dilantik.
Dalam ketentuan undang-undang perlu ditambahkan bahwa keputusan final dan mengikat tetap ada pada keputusan Mahkamah Konstitusi, dan sengketa sehubungan dengan penyelenggaraan pemilukada tidak lagi dapat mempengaruhi keputusan pada tahapan pemilukada yang sudah berjalan.
Intervensi Teknis
Dalam intervensi teknis, perlu diputuskan hal-hal teknis penyelenggaraan pemilukada sebagai berikut:
Dalam penentuan jadwal dan tahapan, dimana di satu sisi diatur 6 bulan atau 8 bulan, maka harus ditetapkan bahwa penganggaran pemilukada selama 8 bulan. Hal ini sejalan dengan ketentuan UU 22/2007 dan Permendagri 44/2007
Dalam hal penganggaran penyelenggaraan pemilukada, perlu ditekankan mekanisme baku model penganggaran dan pencairannya.
Merujuk pada ketentuan pasal 2 ayat (4) PP6/2005 tentang pemberitahuan masa akhir jabatan kepala daerah oleh DPRD, perlu ditegaskan mengenai kewajiban DPRD memberitahukan mengenai masa akhir jabatan ini maksimal 5 bulan sebelum jabatan berakhir atau diberikan kewenangan kepada KPU untuk mengambil tindakan memulai tahapan penyelenggaraan pemilukada tanpa perlu menunggu pemberitahuan dari DPRD. Hal ini diperlukan untuk menjamin terpilihnya kepala daerah tepat waktu
Terkait dengan persoalan internal partai politik yang banyak terjadi pada partai politik menyangkut legalitas formal partai politik, maka perlu penegasan bahwa tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan keabsahan kepengurusan dan dukungan oleh partai yang sah mempunyai status hukum selain dengan memberikan lampiran keputusan terakhir dari Kementerian Hukum dan HAM terkait legalitas formal partai politik dimaksud.
Terkait dengan masalah internal partai politik yang berimbas pada pecahnya dukungan kepada pasangan calon kepala daerah dan munculnya keinginan untuk menarik pasangan calon kepala daerah dari proses pemilukada, perlu ada penegasan ketentuan pasal 62 ayat (1) dan (1a) UU No. 12/2008 yaitu pasangan calon dilarang mundur sejak ditetapkan.
Klausul di undang-undang yang mengatur jika ada pasangan calon kepala daerah yang mundur, perlu dihapuskan sehingga tidak memberi peluang upaya coba-coba menarik dukungan atau mundur dari pencalonan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilukada.
Dalam hal pencalonan perseorangan, perlu penegasan pasal 59 ayat (1), (2), (2a) dan (2b) tentang batas minimal dukungan pencalonan. Kapan bukti dukungan yang dilampirkan itu diterima atau ditolak. Apakah sejak pada awal mendaftar kurang dari batas minimal ditolak? Hal ini diperlukan untuk mempermudah pekerjaan verifikasi dukungan yang dilakukan oleh PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara) di tingkat desa sekaligus untuk efisiensi dana verifikasi dukungan.
Dalam hal pemenuhan syarat calon kepala daerah pada tahapan pencalonan perlu dibuat intervensi sebagai berikut:
No
Syarat Calon
Alat Verifikasi
Ada
Tidak
1
Pendidikan minimal S1
Ijazah S1 atau surat keterangan pengganti ijazah yang dikeluarkan oleh universitas/perguruan tinggi dimana yang bersangkutan menempuh pendidikan atau dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Tinggi pada tingkat provinsi dimana universitas/perguruan tinggi berada (minimal 1 buah dokumen)
2
Mempunyai keahlian managerial/tatalaksana penunjang
Sertifikat
Atau surat keterangan yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah selesai mengikuti kursus ketrampilan/keahlian/pelatihan managemen selama minimal 40 jam (minimal 1 buah dokumen)
3
Tidak sedang berperkara hukum atau tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam hukuman pidananya maksimal 5 tahun
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dan surat keterangan dari pengadillan negeri yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak sedang tersangkut kasus hukum, tidak sedang berperkara hukum atau tidak pernah dijatuhi pidana yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun (2 macam dokumen)
4
Mengenal daerah dan dikenal masyarakat
Naskah akademik dan naskah usulan program RPJMD (2 macam dokumen)
5
Pelaporan harta kekayaan
LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), disertai ditanda tanganinya Pakta Integritas di atas materai yang dicatatkan pada notaris sebagai bahan berkekuatan hukum (public notice) dan pernyataan siap diaudit terkait harta kekayaannya manakala diperlukan untuk pengawasan penggunaan anggaran negara (3 macam dokumen)
6
Pencegahan mobilisasi birokrasi dan pemanfaatan fasilitas daerah/negara
Pernyataan bermaterai berisi kesanggupan tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang ditengarai mengandung maksud untuk mobilisasi birokrasi dan atau pemanfaatan fasilitasi pemerintah daerah/negara (1 buah dokumen)
7
Dana Kampanye
Adanya pengumuman terbuka kepada masyarakat melalui media masa yang diatur oleh KPU tentang perolehan dana (setidaknya 1 kali dokumen tayang)
8
Pemanfaatan Teknologi Informatika dalam pemungutan dan penghitungan suara
Pernyataan tidak berkeberatan untuk penggunaan teknologi informatika yang dipergunakan oleh KPU
KPU dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informatika pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara, setelah teknologi informatika yang dipergunakan melalui uji publik. Dalam hal penggunaan teknologi informatika dalam pemungutan dan atau penghitungan suara, harus sepersetujuan peserta pemilukada dan keputusan mengenai penggunaannya diumumkan pada masa awal tahapan.
Kesimpulan