Konfrontasi Munira dari ‘Labirin’ Halmahera:
Membaca Antologi Puisi WDG
Oleh: Hamdani Rais
(Alumni Antropologi Unkhair dan tengah belajar Antropologi di UGM)
Pada suatu waktu, di beranda malam yang getir namun penuh pesona. Yogyakarta
mempertautkan kami dengan segudang wacana. Saya mengobrol dengan beberapa kawan di sudut
kedai kopi. Dalam percakapan itu, tersiar kabar dari Wahyuddin D. Gafur, bahwa ia ingin
menerbitkan buku antologi puisi. Saya terkejut, sekaligus kagum terhadap sikap, keberanian dan
kesetiannya secara literer pada dunia kesusastraan lokal di Maluku Utara. Saya bertanya kepada
Wahyuddin D. Gafur, perihal latar belakang dari puisi-puisi yang ia tulis, dengan santai ia
menjawab ingin mengabadikan sosok perempuan yang memberinya asupan energi pada
kehidupan, sehingga ia terguggah untuk menjinakkan subjek perempuan tersebut dengan kata.
Singkat cerita setelah percakapan itu, saya kemudian disodorkan buku puisi tersebut.
Ketika membaca puisi yang ditulis dan disajikan oleh Wahyuddin D. Gafur—selanjutnya saya
menyebut WDG—rasanya saya seperti memasuki suatu arena pengetahuan lokal dengan cara
yang terlalu sumir. Begitulah sifat sebuah puisi. Dari sini, kemudian muncul pertanyaan dalam
benak dan pikiran saya. Mengapa harus Munira? Apakah Munira merepresentasikan marwah
keperempuanan lokal, dan tampil dalam fragmen realitas budaya di Maluku Utara melalui puisipuisi WDG? Dua pertanyaan ini akan saya gunakan sebagai cara untuk membaca puisi yang
berlatar lokal yang ditulis WDG.
Pertanyaan di atas, mensyaratkan dua kata kunci, yang pertama adalah perempuan dan yang
kedua realitas sosio-budaya. Konsep perempuan itu sendiri tidak saja terbatas sebagai oposisi
biner dalam (gender equality) akan tetapi juga sebagai subjek yang memiliki jangkauan agensi.
Sedangkan realitas sosial budaya adalah struktur yang memungkinkan seseorang bertindak atas
perintah atau resep kebudayaan dominan.
Munira adalah subjek aktif yang berupaya melakukan sebuah konfrontasi. Dalam bayangan
WDG yang hendak dikemas dalam budaya patriarki yang terlalu purba dalam sistem kekerabatan
kita. Subyek Munira hadir sebagai sosok perempuan yang memiliki otonomi pada dirinya. WDG
mencoba meletakan Munira sebagai sosok yang melakukan konfrontasi atau dengan kata lain
sebuah gerakan menaik (vertikal), untuk keluar dari jebakan kultural. Akan tetapi, pada saat yang
sama struktur sosial tidak memungkinkan Munira berdiri di ‘pinggiran’. Meminjam bahasa
Anthony Giddens, seorang Individu tidak dapat bergerak secara sendiri dan terpisah tanpa ada
dorongan struktur sosial atau resep kebudayaan (Giddens, 2010). Munira sebagai individu yang
otonom, mencoba memanfaatkan kapasitas agensinya untuk memberi harapan pada kehidupan
yang ia inginkan demi cita-cita dan cintanya.
Apakah Munira selalu merepresentasikan marwah keperempuanan lokal, dan tampil dalam
fragmen realitas budaya di Maluku Utara. Saya pikir bisa iya, bisa tidak. Munira berada di antara
fragmen realitas tersebut. Sebab struktur sosial masyarakat di Maluku utara masih memberi
peluang pada setiap individu untuk berkembang dan menemukan jalannya sendiri baik laki-laki
maupun perempuan. Gender, tidak menjadi mekanisme pembatas untuk mengekang sebuah
pencapaian historis.
Membaca Puisi Munira di Antara Teks dan Konteks
Saya merujuk pada catatan yang diulas oleh (Ahimsa-putra 2012, 31:32) yang mengikuti
pandangan dari seorang bengawan Antropologi Struktural Levi-Strauss, yang secara implisit
menganggap teks naratif bahkan piranti puitik, sejajar atau mirip dengan kalimat, berdasar atas
dua hal. Pertama, teks tersebut adalah satu kesatuan yang bermakna (Meaningful whole) yang
dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran seorang pengarang, seperti
halnya sebuah kalimat yang memperlihatkan atau mengejawantahkan pembicara. Kedua, teks
sebuah puisi memberi bukti bahwa ia diartikulasikan dari bagian-bagian dan dari realitas yang
diproses melalui teks dan konteks.
Dengan demikian, dalam pembacaan saya, antologi puisi Munira merepresentasikan
beragam tema. Untuk itu, saya akan memilih puisi yang saya anggap memungkinkan saya
memandang sejumlah persoalan kultural yang terkuak dalam larik-larik puisi tersebut. Simak saja
puisi yang bertajuk “Togal” (hal.98) berikut:
bersama angin
mari bernyanyi dalam derita
sebelum pelita-pelita mati di jalan menuju surga
betapa jahat lautan itu—perahu-perahu nelayan
hancur ditinggal roh ikan-ikan;
serpih-serpih penyesalan
betapa indah teluk itu—
bayi-bayi lahir tanpa suara
bersama gunung
mari bernyanyi dalam derita
sebelum orang tua-tua berjalan pulang
menyisakan kitab dan sabda
betapa indah kalimat itu—
ajali fo tuda-tuda
(Ajal ke mana-mana kita bawa …)
sone fo waro ua
(Kapan mati, kita tak tahu…)
Demikianlah, “bersama angin mari bernyanyi dalam derita…”, larik puisi ini memberikan
suatu jalan lain; bahwa orang boleh bernyanyi dalam derita sebagai cara memulihkan luka.
Sekalipun nestapa hampir saja merenggutnya, seturut pemaknaan pada dua bait setelahnya
“sebelum pelita-pelita mati di jalan menuju surga… betapa jahat lautan itu”, larik-larik itu
sesungguhnya bagi saya, berujar tentang harapan hidup yang harus tetap dipupuk pada setiap insan
manusia. Itulah esensi dari jalan untuk setiap insan manusia, agar memiliki daya optimisme yang
harus terus ia jelajahi dalam lanskap bernama kehidupan. Sebab, di sana ada tanggung jawab dan
peluang pada diri setiap orang agar tidak bisa berhenti untuk terus hidup lantaran tak bisa berbuat
banyak terhadap apa yang kita miliki.
Itu semua menjadi bermakna jika kita selalu punya kesadaran pada sesuatu yang Ilahiah,
sebagaimana pada larik puisi tersebut pada kalimat terakhir yang mengutip dalil tifa dalam bahasa
Ternate yang bagi saya, bermakna sangat dalam. Bahwa betapa manusia tidak pernah tahu akan
tiba waktunya untuk pulang/mati, di situlah esensi asali dari kekuasaan Allah. Hal tersebut juga
bermakna bahwa betapa kekuasaan manusia begitu terbatas ketika berhadapan dengan sang maut,
bahkan manusia tidak bisa berkompromi di hadapan sang maut. Imajinasi WDG ini sungguh luar
biasa, ia mampu merefleksikan tegangan antara kenyataan dan harapan manusia. Perenungan
itulah yang hendak ditunjukkan oleh WDG. Puisi berjudul ‘Togal’ di atas mengingatkan saya pada
sastrawan Chairil Anwar berjudul ‘Nisan’ yang saya petik di bawah ini:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Karidhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
…
(Nisan, Oktober 1942, Chairil Anwar)
Bait-bait puisi Chairil di atas sebagaimana yang di ekspresikan oleh WDG—bahwa
kematian adalah bagian dari takdir dan betapa manusia tidak bisa berdaya di hadapan sang maut.
Karena maut tidak akan mau berkompromi dengan manusia. Dalam banyak karya sastra,
khususnya puisi, dalil-dalil juga tembang di seantero Nusantara ini, pemaknaan terhadap kematian
masih bisa kita temukan, dan hal itu memungkinkan kita memiliki kekuatan imajinasi sebagai
alarm atau pengingat akan kematian yang akan datang pada siapa dan kapan saja.
Konfrontasi Munira
Pada labirin cinta yang melahirkannya. Munira seakan memanen kerinduan dengan
melintasi lautan yang ganas untuk kemudian tiba di beranda Gamalama. Sebagaimana perjalanan
yang digambarkan WDG dalam larik-larik puisi yang berjudul “Munira”. Apakah benar lautan
memang ganas? Saya pikir tidak demikian adanya. Kalaupun lautan memang ganas tak mungkin
ada harapan yang ditorehkan oleh nelayan yang tangguh untuk membuang sauh. Sebab
lautan adalah demarkasi yang paling ideal untuk orang membuat batasan tentang kehidupan yang
berorientasi daratan atau berorientasi ke laut. Dan labirin inilah yang sebenarnya habitat mereka,
yang menyebut diri sebagai orang-orang Halmahera. Dan WDG menyublimasi perempuan ke
dalam puisi-puisinya sebagai jalan pintas untuk membakukan perempuan tangguh dengan sifat
‘keibuan’ yang melekat pada diri mereka.
Untuk itu, sebagai sebuah fundamen nilai keperempuanan, saya merasa ini bisa menjadi
kritik dan spirit pada pengarang perempuan kita. Bahwa kebanyakan penyair kita adalah penyair
laki-laki, yang masih intens menulis puisi, ketimbang penyair perempuan. Saya menduga, penyair
perempuan kita tidak suka menerbitkan puisi mungkin karena merasa tidak semestinya
memamerkan perasaan ke khalayak ramai, demikianlah kata (Sapardi Damono,1999:3) bisa
jadi perempuan mengalami kesulitan menyajikan puisi karena gejolak perasaannya yang begitu
rumit. Sebagai upaya bandingan antara penyair kita yang perempuan dan laki-laki, jauh sangat
dominan adalah laki-laki yang punya intensitas menulis puisi. Ketimbang Perempuan. Dalam hal
ini, perempuan lebih banyak menulis karya fiksi dalam bentuk cerpen dan novel. Dalam
perbincangan tentang sastra yang berlatar lokal, memang ada beberapa yang kerap kita jumpai
penulis perempuan, tetapi relitif sedikit, jika tidak mau dikatakan sama sekali tak ada yang
menerbitkan karya sastra berupa puisi. Dan saya kira, karena absennya pengarang puisi
perempuan, WDG seperti hendak memberi gertakan kepada siapa saja yang tertarik menulis puisi.
Dengan menyublim nestapa dengan menjinakkan dalil dan juga kata-kata, WDG berhasil
menampilkan sosok perempuan tangguh dari labirin Halmahera.
Tulisan ini pernah terbit di media: https://www.cermat.co.id/konfrontasi-muniradari-labirin-halmahera-membaca-antologi-puisiwdg/?fbclid=IwAR2LPasTtL_9TUFTzL7OMudc0LAgi8_XWw9VjLCkuggmbQgTOusAcKqw
yok