SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi tugas UTS
Disusun Oleh :
HILDA AINURROBITHOH ( 2391014003 )
NANDIA EQILA HANI ( 2391014022 )
Dosen Pengampu :
Mochammad Fahd Akbar, S.Hi, M.H.
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufiq, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Hukum Pidana”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Dan juga tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Mochammad Fahd Akbar, S.HI, M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana yang telah memberikan tugas ini.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yaitu membuat makalah dengan judul yang telah disebutkan. Sebagai bahan penyusun makalah ini diambil berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari media buku maupun jurnal.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini pun masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharap segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk memperbaiki makalah yang kami buat diwaktu yang akan datang. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat memenuhi tugas dengan baik.
Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang membacanya dan juga dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca
Jombang, 15 Oktober 2024
Penyusun Makalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
BAB II PEMBAHASAN
Sumber-Sumber Hukum Pidana 2
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan 10
b. Saran 10
DAFTAR PUSTAKA 11
LAMPIRAN 12
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber hukum merupakan dasar atau landasan yang memberikan legitimasi (keabsahan) terhadap adanya aturan atau ketentuan hukum. Maka sumber-sumber hukum pidana tentunya memuat dasar-dasar penegakan hukum. Sumber-sumber hukum pidana memberikan landasan bagi aturan-aturan yang memiliki kekuatan mengikat serta mengandung sanksi bagi pelanggarnya.
Di Indonesia, sumber hukum pidana terbagi menjadi dua yakni, sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis.
KUHP merupakan salah satu sumber hukum utamanya, namun KUHP sebagai warisan kolonial memiliki keterbatasan dalam mencakup seluruh aspek pidana yang berkembang, sehingga diperlukan peraturan khusus yang berlaku di luar KUHP.
Keberagaman sumber hukum pidana ini tidak hanya mengakomodasi dinamika sosial dan budaya masyarakat Indonesia, tetapi juga mengikuti perkembangan global. Sehingga dalam menghadapi tantangan globalisasi, pemahaman mengenai sumber-sumber hukum pidana menjadi sesuatu yang penting bagi mahasiswa dan praktisi hukum untuk memperkuat sistem hukum nasional serta menjaga keadilan dalam masyarakat yang terus berkembang.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka penulis dapat memberitahukan rumusan masalah sebagai berikut :
Apa saja yang termasuk dalam sumber-sumber hukum pidana?
Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka penulis dapat memberitahukan tujuan penulisan sebagai berikut :
Untuk mengetahui apa saja sumber-sumber hukum pidana.
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu diharapkan untuk menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa terkait sumber-sumber hukum pidana sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk membantu penulisan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber – Sumber Hukum Pidana
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang pelanggarannya akan menimbulkan sanksi yang nyata dan berat.
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2018), hlm 46. Sumber hukum juga dapat diartikan sebagai asal usul atau tempat mencari dan menemukan hukum.
A Djoko Sumaryanto, Buku Ajar Hukum Pidana, (Surabaya: UBHARA Press, 2019), hlm. 20
Dalam sistem hukum pidana, sumber hukum terbagi menjadi dua, yakni hukum tertulis dan tidak tertulis.
Hukum tertulis terbagi menjadi dua, yaitu ;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
Kitab Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang biasa dikenal dengan Wetboek van Criminalrecht voor Nederlandsch Indie dan diterbitkan melalui Berita Resmi (staatsblad). Hukum pidana merupakan sumber utama hukum pidana.
Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Ketentuan Hukum Pidana (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946).
Peraturan ini membentuk landasan hukum transformasi Wetbook KUHP Hindia Belanda menjadi Wetbook Larangan KUHP (WvS) atau dikenal juga dengan sebutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan Pasal 17 Nomor 1 UU Tahun 1946, KUHP mula-mula hanya diterapkan di Pulau Jawa dan Madura. Selanjutnya penerapan KUHP di seluruh Indonesia terjadi pada tanggal 20 Februari 1958, bertepatan dengan diundangkannya UU No.73 Tahun 1958 Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Indonesia mengenai Kejahatan”. Regulasi yang menyatakan telah diberlakukan di seluruh wilayah RI, KUHP terbagi menjadi tiga bagian:
Jilid I mengenai Ketentuan Umum (Pasal 1 s/d 103 KUHP);
Jilid 2 mengenai Tindak Pidana (Pasal 104 s/d 488 KUHP).
Jilid 3 mengenai Pelanggaran (Pasal 489 s/d 569 KUHP)
Peraturan Perundang-Undangan Khusus
KUHP Belanda memang tidak dapat dianggap sebagai sistem hukum pidana yang utuh atau lengkap karena beberapa pasalnya telah dihapus atau dibatalkan, sehingga tidak berlaku lagi. Penghapusan beberapa ketentuan dalam KUHP Belanda menyebabkan kekosongan hukum yang kemudian diisi oleh peraturan baru di luar KUHP. Namun, meskipun merupakan produk perundang-undangan nasional, banyak dari peraturan ini masih mengikuti prinsip atau spirit Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda). Dengan kata lain, walaupun substansi hukumnya telah diadaptasi sesuai kebutuhan nasional, esensinya masih merefleksikan jiwa kolonial karena akar sejarahnya yang berasal dari masa kolonial Belanda.
Peraturan tersebut bisa dianggap sebagai produk hukum yang nasional dalam arti bahwa pembuatannya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun masih memiliki pengaruh kolonial karena banyak konsep dasarnya yang diwariskan dari Wetboek van Strafrecht. Oleh karena itu, meskipun secara formil bersifat nasional, secara materiil masih terdapat unsur-unsur kolonial yang melekat..
Randy Pradityo, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia:Suatu Tinjauan Singkat, Jurnal Legislasi indonesia, Vol. 14 Nomor 02, Juni 2017, hlm 139.
Ada undang-undang lain selain KUHP yang berlaku, itu semua merupakan peraturan khusus yang juga mengendalikan tindakan tertentu. Contohnya meliputi:
- Undang-Undang No.3 Thn 1997 mengenai Pengadilan Anak telah dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012 ini disahkan pada 30 Juli 2012 dan mulai disahkan dua tahun kemudian, yakni pada 30 Juli 2014, sesuai dengan ketetapan Pasal 108 dari undang-undang tersebut yang menetapkan tenggang waktu dua tahun sejak pengundangan.
- UU No. 5 Thn 1997 mengenai Psikotropika.
- UU No. 31 Thn. 1999 mengenai Pemberantasan Tipikor, yang kemudian diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001.
- UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan Kejahatan Bisnis.
Nafi’ Mubarok, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sidoarjo: Kanzun Books, 2020), hlm. 19
- UU No. 8 Thn 2010 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
- UU No. 23 Thn 2004 yang mengatur mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Ibid.,hlm. 20
- UU No. 35 Thn 2009 mengenai Narkotika.
Didik Endro Purwoleksono, HUKUM PIDANA, (Surabaya: Airlangga University Press (AUP),2014), hlm 12-13.
- UU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan undang-undang lainnya, dsb.
Landasan penerapan undang-undang di luar KUHP ini berdasarkan Pasal 103 KUHP, yang menyelaraskan ketentuan Buku I KUHP dengan undang-undang khusus tersebut
Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tidak tertulis terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Hukum Adat
Dilihat dari sudut pandang hukum Indonesia saat ini (ius constitum) hukum adat dipelajari dari sudut pandang asas, norma, teori dan praktik yang sering disebut sebagai, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dsb.
Asliani Harahap, “Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat”, Jurnal Edutech 4, No. 2, (2018), hlm.1-2.
Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 2, Juli 2013, hlm 226.
Hukum Pidana Adat merupakan suatu sistem aturan yang diterapkan dalam suatu masyarakat untuk mengatur perilaku yang dianggap melanggar norma-norma adat istiadat.
Tri Astuti Handayani dan Andrianto Prabowo, “Analisis Hukum Pidana Adat Dalam Hukum Pidana Nasional”, Jurnal Hukum Ius Publicum, Vol. 5 No. 1, April 2024. Sistem hukum pidana adat memuat aturan-aturan yang berhubungan dengan tata cara berperilaku, pertanggungjawaban sosial, dan penyelesaian konflik di dalam komunitas. Sanksi dalam hukum pidana adat dapat berupa hukuman tradisional, seperti denda, penyucian atau pengucilan dari masyarakat.
Mulyati Pawennei dan dan Abdul Qahar, “Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Melalui Kearifan Lokal (hukum Adat) Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Journal of Lex Generalis (JLS)3, No. 2 (2022): 143. Dengan demikian hukum pidana adat menjadi alat untuk memperkuat solidaritas sosial dan menjaga norma-norma moral di dalam masyarakat.
Lidya Suryani Widayati, “Pemenuhan Kewajiban Adat Sebagai Pidana Tambahan Dalam RUU KUHP”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 20, No. 3 (2013): 362-385.
Di beberapa daerah tertentu, terdapat undang-undang yang belum diatur dalam hukum pidana, namun tetap berlaku hukum adat (hukum pidana adat). Hukum adat masih diakui berdasarkan Undang-Undang Darurat No.1 Thn 1951 Pasal 5 ayat 3 sub b. Pasal tersebut menyebutkan bahwa tindakan yang menurut hukum harus dipertimbangkan sebagai tindak pidana, tetapi tidak ada ketentuan yang serupa dalam perkara perdata di KUHP, diancam melalui pidana penjara maksimal tiga bulan dan/atau denda maksimal lima ratus rupiah. Ini merupakan pidana alternatif apabila hukuman yang biasa tidak ditaati oleh terpidana, dan jika ganti rugi yang diputuskan hakim dianggap setara dengan kesalahan yang dilakukan oleh terpidana.
Selain itu, perbuatan yang menurut hukum dianggap tindak pidana dan dapat diajukan banding dalam perkara perdata, akan dikenakan pidana yang sama dengan ancaman pidana yang paling terkait dengan tindak pidana tersebut.
Pengakuan terhadap hukum adat sebagai hukum tidak tertulis ditegaskan dalam ketentuan umum, khususnya melalui:
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (amandemen kedua) menyatakan bahwa negara menganggap serta menghargai hukum adat dan hak-hak tradisional masyarakat adat, asalkan hukum tersebut masih ada, mengikuti perkembangan masyarakat, dan selaras dengan prinsip NKRI, yang pengaturannya ditetapkan melalui hukum;
Menurut M. Misbahul Mujib, eksistensi hukum adat saat ini sangat dipengaruhi oleh hukum tertulis, seperti konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. Secara historis, hal ini merupakan wujud penerimaan terhadap susunan hukum kolonial dalam aturan asli Indonesia. Pemerintah Belanda menerapkan dasar konkordansi (kesesuaian) pada undang-undang yang diberlakukan di Indonesia, di mana hukum adat diakui keberadaannya jika memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kriteria hukum.
M. Misbahul mujib, “Eksistensi Delik Adat dalam Kontesyasi Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 2 No. 2, Desember 2013, hlm. 494.
Vincentius Patria Setyawan, “Prospek Pemberlakuan Delik Adat Dalam hukum Pidana Nasional (RUU KUHP)”, Jurnal Hukum Justitia et Pax, Vol. 35 No. 2 (desember, 2019), hlm. 235.
Yurisprudensi
Yurisprudensi sebagai sumber hukum menempatkan dirinya pada posisi yang sangat menonjol dengan mengisi celah kosong yang tidak dapat dijangkau oleh peraturan hukum melalui peraturan perundang-undangan.
Yagie Sagita Putra, “Penerapan Prinsip Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana Dipandang Dari A spek Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Pidana”, Jurnal UBELLAJ, Vol. 01 No. 01 (April, 2017), hlm. 22. Yurisprudensi memiliki pengertian sebuah putusan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan berupa hakim dengan melakukan rechtsvinding (penemuan hukum).
Pengakuan terhadap hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis dijelaskan dalam ketentuan umum. Khususnya, hal ini terlihat dalam konsep yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim yang dijadikan acuan oleh hakim lain dalam perkara sejenis. Menurut Prof. Subekti, Yurisprudensi adalah keputusan yang diambil oleh hakim atau pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang permanen, yang disahkan oleh Mahkamah Agung. Pernyataan Prof. Subekti menunjukkan bahwa tidak semua keputusan pengadilan dapat diklasifikasikan sebagai yurisprudensi,, sesuai dengan penelitian BPHN pada tahun 1995:
Ibid., hlm.11
Keputusan yang berkaitan dengan perkara hukum yang tidak mempunyai peraturan yang jelas;
Beputusan tersebut berkekuatan hukum permanen;
Digunakan berkali-kali sebagai dasar penyelesaian perkara yang sama.
Keputusan tersebut mencerminkan rasa keadilan; dan
Keputusan tersebut dikukuhkan oleh MA.
Berdasarkan hasil penelitian BPHN tersebut, keputusan hakim dapat menjadi yurisprudensi, jika memenuhi syarat-syarat materiil dan persyaratan formil, yaitu :
Persyaratan Materiil
~ terdapat kekurangan peraturan
~ keputusan sudah final
~ pendekatan restorative justice digunakan dalam penghakiman hakim yang mengandung nilai-nilai keadilan sertamemberikan kesempatan untuk memperbaiki situasi yang terganggu akibat insiden hukum.
~ putusan hakim yang diambil oleh pihak independen dan peradilan yang tidak memihak.
Persyaratan Formil
Putusan hakim tersebut dijadikan acuan oleh hakim lain dalam menangani serupa,sehingga keputusan tersebut menjadi final dan berfungsi sebagai sumber hukum.
Pratiwi Ayu Sri Daulat, “Kedudukan Yurisprudensi Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal MAGISTRA Law Review, Vol. 03 No.01 (Januari, 2022), hlm 45-46.
Yurisprudensi adalah keputusan pengadilan pada tingkat peradilan tertinggi yang memberikan solusi bagi permasalahan hukum yang muncul dalam praktik. Hakim praperadilan melakukan interogasi terhadap terdakwa berdasarkan dakwaan jaksa. Pada prinsipnya, hakim tidak memiliki wewenang untuk mengubah surat dakwaan, seperti yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984, dan hakim tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman atas tindakan yang tidak tercantum dalam tuntutan yang dibuat oleh Jaksa Agung. Namun, perkembangan terbaru dari Mahkamah Agung RI menunjukkan bahwa terdapat beberapa putusan yang membolehkan tindakan pidana yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam dakwaan selama tindak pidana yang didakwakan memiliki kesamaan dengan tindak pidana tersebut, dan hal ini dijelaskan secara tegas dalam dakwaan.).
Yagie Sagita Putra, “Penerapan Prinsip Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana Dipandang Dari Aspek Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Pidana”, Jurnal UBELLAJ, Vol. 01 No. 01 (April, 2017), hlm. 22.
Sumber Hukum Internasional
Upaya mencari sumber hukum dalam hukum internasional lebih sulit dibandingkan mencari sumber hukum nasional, karena hukum internasional tidak memiliki lembaga-lembaga yang biasanya ada di tingkat nasional seperti, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif. Oleh karena itu hukum internasional dikenal sebagai sistem hukum yang menyebar.
Disarikan dari Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 51
Struktur dasar dari sistem hukum, yang terbagi menjadi dua jenis aturan,yaitu:
Aturan Utama, aturan ini adalah prinsip dan norma yang secara langsung mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu sistem hukum. Aturan utama ini memberikan pedoman yang jelas tentang apa yang diperbolehkan atau dilarang, serta hak-hak yang dimiliki individu atau entitas.
Aturan Sekunder, aturan ini berfungsi untuk menetapkan bagaimana aturan utama ditentukan, diterapkan, dan diubah. Aturan sekunder memberikan kerangka kerja yang memungkinkan evaluasi dan modifikasi terhadap aturan utama, menjadikannya lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan kebutuhan atau konteks.
Sumber hukum internasional yang diakui secara resmi termaktub dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang menjelaskan berbagai jenis sumber tersebut secara tidak langsung sebagai berikut:
Perjanjian Internasional atau traktat
Traktat adalah perjanjian formal yang dibuat antara dua pihak atau lebih, biasanya negara-negara, yang mengikat secara hukum. Traktat berfungsi sebagai alat untuk mengatur berbagai aspek hubungan internasional, seperti perdagangan, pertahanan, lingkungan, dan hak asasi manusia. Beberapa prinsip traktat, menurut John O’Brien :
Traktat terbentuk melalui kesepakatan.
Negara yang memberikan persetujuan terikat untuk melaksanakan ketentuan perjanjian terhadap pihak lain.
Jika suatu traktat mengkodifikasi kebiasaan, negara-negara yang terlibat terikat oleh traktat tersebut berdasarkan prinsip umum.
Negara yang bukan peserta tetap terikat jika kewajiban dalam traktat timbul dari kebiasaan.
Traktat multilateral umumnya disusun oleh Komisi Hukum Internasional dengan tujuan untuk mengembangkan hukum internasional yang inovatif, termasuk penyesuaian hukum kebiasaan.
Hukum kebiasaan internasional
Kebiasaan dianggap sebagai sumber asli dari hukum internasional dan merupakan sumber hukum tertua, meskipun kini tidak lagi memiliki kecondongan seperti pada masa sebelumnya. Untuk menilai apakah suatu praktik telah menjadi kebiasaan, terdapat empat level pengujian, yaitu:
Durasi
Durasi harus menunjukkan konsistensi dan kebiasaan, meskipun tidak diperlukan waktu yang lama untuk terbentuknya suatu kebiasaan, seperti yang sudah diakui oleh Pengadilan Internasional.
Kesamaan dan Konsistensi Praktik
Praktik tidak perlu sepenuhnya seragam, tetapi harus menunjukkan kesamaan dalam hal yang substansial.
Keumuman Praktik
Praktik harus dilakukan secara umum dan konsisten. Tidak diperlukan keuniversalan, namun penting untuk melihat sejauh mana negara-negara menolak atau menerima praktik-praktik negara lain.
Opinio Juris
Praktik dilakukan bukan semata karena motif lain, melainkan didorong oleh keyakinan bahwa praktik tersebut wajib dilakukan sebagai kewajiban hukum.
Kebiasaan internasional bisa diakui sebagai norma hukum internasional jika memenuhi dua syarat:
Terdapat bukti perilaku atau praktik yang dilakukan secara umum oleh negara-negara (evidence of material act).
Kebiasaan tersebut diakui oleh negara-negara atau masyarakat internasional sebagai kewajiban hukum yang dikenal sebagai praktik umum (kenegaraan) atau keyakinan hukum.
Prinsip-prinsip umum tentang hukum
Prinsip-prinsip hukum umum merupakan kumpulan aturan yang diakui oleh berbagai negara dan memiliki kesamaan secara universal, meskipun tetap ada perbedaan karakteristik di antara negara-negara tersebut. Pernyataan terhadap prinsip-prinsip ini bertujuan agar mencegah ketidakpastian atau kekosongan hukum (open-ended) yang tidak jelas. Kaidah-kaidah umum ini memungkinkan pengadilan untuk menerapkan keadilan yang bersifat abstrak (abstract justice).
Pputusan-Putusan Hakim dan karya-karya para ahli
Dalam keputusan pengadilan, pasal 38 menyatakan bahwa keputusan tersebut hanya dianggap sebagai alat tambahan yang mengikat pihak-pihak yang telah memberikan kepastian konfirmasi. Meskipun demikian, putusan dari pengadilan internasional, pengadilan ad-hoc, pengadilan regional, pengadilan nasional, dan arbitrase sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional. Karena keputusan-keputusan ini membantu memperkuat argumen mengenai keberadaan atau validitas (kebenaran) suatu norma hukum. Walaupun pendapat lain menyatakan bahwa keputusan-keputusan tersebut bukan hukum positif, namun wibawa dan pengaruhnya yang luas sering kali menyebabkan keputusan tersebut berkembang menjadi norma hukum positif.
Sumber hukum internasional yang lain mencakup keputusan organ-organ organisasi internasional, prinsip keadilan, serta norma etika dan panduan moral. Prinsip keadilan termasuk dalam prinsip hukum umum, akan tetapi penerapannya terbatas pada keadaan mendesak, yaitu ketika hukum umum digunakan untuk mencapai keadilan. Secara teoritis, fungsi keadilan terbagi menjadi tiga:
Keadilan dapat digunakan agar menyesuaikan aturan hukum dengan kebenaran spesifik dalam kasus individual.
Keadilan bertujuan untuk memenuhi kekurangan hukum.
Keadilan digunakan sebagai dasar untuk mengesampingkan hukum yang dianggap tidak adil.
.Nilai-nilai ini berfungsi untuk memberi jiwa pada norma-norma hukum dan norma-norma lainnya yang berlaku serta mengikat masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis, yang mencakup beragam aturan untuk menjamin penegakan hukum dan keadilan dalam masyarakat. Hukum tertulis meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi dasar utama hukum pidana dan diperkuat oleh Undang-Undang Khusus yang mengatur delik tertentu di luar KUHP, Undang-Undang mengandung berbagai peraturan yang muncul untuk menangani jenis kejahatan khusus yang tidak sepenuhnya tercakup dalam KUHP. Sementara itu, hukum tidak tertulis mencakup hukum adat, yurisprudensi, dan sumber hukum internasional. Hukum adat diterima sebagai bagian dari hukum pidana yang hidup dalam masyarakat dan mempertahankan norma-norma tradisional. Yurisprudensi berperan untuk mengisi kekosongan hukum melalui keputusan pengadilan terdahulu serta menjadi acuan bagi perkara serupa. Sementara itu, sumber hukum internasional meliputi, perjanjian umum (traktat), kebiasan umum, prinsip-prinsip umum dan keputusan-keputusan hakim dan para ahli. Melalui berbagai sumber hukum pidana tersebut, negara Indonesia berusaha untuk menciptakan keadilan dan stabilitas sosial yang lentur terhadap perkembangan nasional dan internasional.
Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat menambah pengetahuan dan dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami meminta maaf apabila ada kesalahan dalam pengejaan dan kalimat yang kurang jelas. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk pengembangan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kamil, A., & Fauzan, M. (2004). Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media.
Kansil, C. (2018). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mubarok, N. (2020). Buku Ajar Hukum Pidana. Sidoarjo: Kanzun Books.
Purwoleksono, D. E. (2014). HUKUM PIDANA. Surabaya: Airlangga University Press (AUP).
Sofyan, A., & Azisa, N. (2016). BUKU AJAR HUKUM PIDANA. Makassar: Pustaka Pena Press.
Sumaryanto, A. D. (2019). Buku Ajar Hukum Pidana. Surabaya: UBHARA Press.
Thontowi, J., & Iskandar, P. (2006). HUKUM INTERNASIONAL KONTEMPORER. Bandung: Refika Aditama.
Jurnal
Daulat, P. A. (2022). Kedudukan Yurisprudensi Dalam Sistem Peradilan Pidana. MAGISTRA Law Review, Vol. 03 No. 01, 53.
Handayani, T. A., & Prabowo, A. (2024). ANALISIS HUKUM PIDANA ADAT DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL. Jurnal Hukum Ius Publicum Vol. 5 No. 1, 90-91.
Harahap, A. (2018). Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum adat. Jurnal Edutech 4, No. 2, 1-2.
Mujib, M. M. (2013). Eksistensi Delik Adat dalam Kontestasi hukum Pidana Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 2 No. 2, 494.
Mulyadi, L. (2013). EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 2, 226.
Pawennei, M., & Qahar, A. (2022). Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Melalui Kearifan lokal (Hukum Adat) Dalam Sistem Hukum Indonesia). Journal of Lex Generalis (JLS) 3, No. 2, 143.
Pradityo, R. (2017). Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Singkat. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 Nomor 02, 139.
Putra, Y. S. (2017). PENERAPAN PRINSIP ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA PIDANA DIPANDANG DARI ASPEK PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN PERKARA PIDANA. UBELLAJ, Vol. 01 No. 01, 28.
Setyawan, V. P. (2019). PROSPEK PEMBERLAKUAN DELIK ADAT DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL (RUU-KUHP). JURNAL HUKUM JUSTITIA ET PAX VOL. 35, NO. 2, 235.
Widayati, L. S. (2013). Pemenuhan Kewajiban Adat Sebagai Pidana Tambahan Dalam RUU KUHP. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 20 No. 3, 362-385.
LAMPIRAN
3