PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
Ahmed Machfudh
Sekolah Tinggi Agama Islam ALHIKMAH Jakarta
Abstract
Besides the efforts to enhance the knowledge of science and
technology as well as work ethic and competitiveness, the efforts
to establish the character and identity of nation are implemented
through the development of religion in the form of providing
education in order to realize an independent Indonesian society
that is advanced, noble, dignified, and civilized. The development
in the field of religion cannot be separated from the development
of education, especially religious education and education in
Islamic school (madrasah) and other religious public educational
institutions. The development of the nation’s character is
directed to be part of efforts to achieve the vision of the national
development as it is stated in the Long Term Development
Plan of 2005-2025 namely to make Indonesia as a developed,
independent, and fair nation as the foundation for the next stage
of development toward fair and prosperous society in the NKRI
(a unitary state of Indonesia) based on the Pancasila and the
Constitution of the Republic of Indonesia 1945.
Keywords : education, character education, religious education, and
the nation’s character.
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 137
Ahmed Machfudh
Abstrak:
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping
peningkatan penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos kerja dan daya
saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk
penyelenggaraan pendidikan guna mewujudkan masyarakat
Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia, bermartabat,
dan beradab. Pembangunan bidang agama tidak dapat dilepaskan
dari pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan agama,
pendidikan keagamaan, dan pendidikan pada madrasah serta
lembaga pendidikan umum lainnya yang berciri khas keagamaan.
Pembangunan karakter bangsa diarahkan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan
nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Tahun 2005-2025, yaitu mewujudkan Indonesia
sebagai bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan
bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil
sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil makmur dalam NKRI beradasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Kata kunci: Pendidikan, pendidikan karakter, pendidikan agama,
karakter bangsa
138 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
Masyarakat bangsa akan memiliki akhlak luhur bila unsur terkecilnya
yaitu setiap individu berperilaku dengan akhlak yang terpuji. Jika
akhlak terpuji sirna dalam masyarakat niscaya hancurlah masyarakat
tersebut. [Ahmad Syauqi Bek]
A. PENDAHULUAN
B
angsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat
menjunjung tinggi norma dan nilai agama serta keluhuran
adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Namun kini
sikap luhur tersebut jarang (untuk tidak mengatakan tidak) nampak
dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia kini dikenal
sebagai masyarakat yang tengah mengalami ”krisis sosial budaya”
atau ”krisis peradaban” yang sangat memprihatinkan. Fenomena
korupsi, penyalahgunaan narkoba, perjudian, pembunuhan,
kenakalan remaja, pornografi dan pornoaksi, pergaulan bebas, dan
berbagai konflik sosial merupakan sejumlah contoh realitas krisis
dimaksud yang terjadi di tengah kehidupan bangsa Indonesia.
Pada tataran sosial teologis dapat dirasakan bersama
bahwa kualitas keberagamaan sebagian masyarakat masih
memprihatinkan. Berdasarkan refleksi terhadap realitas kehidupan
keberagamaankeseharianmasyarakatdisatupihakdanpengamalan
terhadap realitas sosial yang terjadi di lain pihak, ternyata kualitas
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan agama masyarakat
Indonesia cenderung masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
faktor penyerapan dan penghayatan negatif terhadap nilai-nilai
modernitas oleh masyarakat. Pemujaan terhadap akal pikiran,
persepsi berlebihan terhadap kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pola hidup yang berorientasi pada hedonisme, dan
nilai kepraktisan yang diusung oleh modernisme mengakibatkan
pertumbuhan orientasi, persepsi, sikap, dan gaya hidup yang
mengabaikan nilai-nilai agama.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa di bidang pendidikan
dan kebudayaan tampak pembangunan fasilitas pendidikan
secara masif, penyediaan sarana prasarana pendidikan dan
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 139
Ahmed Machfudh
keikutsertaan masyarakat yang luas di dalam proses pendidikan
bangsa. Namun masih terdapat persoalan yang sangat serius,
khususnya pendidikan yang belum berhasil menanamkan karakter
bangsa karena telah mengabaikan budi pekerti yang memberi
dasar bagi pertumbuhan peserta didik menjadi manusia yang
memiliki karakter dan kemandirian. Fenomena yang terjadi adalah
orientasi pendidikan pada perolehan kelulusan formal, belum pada
penguasaan substansi atau kompetensi, pemecahan masalah, dan
kepedulian sosial. Bahkan ada satuan pendidikan yang memberikan
nilai ”murah” kepada peserta didiknya dalam ujian akhir agar
terkesan bahwa satuan pendidikan tersebut mendapat peringkat
nomor atas lantaran seluruh peserta didik lulus, atau paling tidak
masyarakat ”dipaksa” mengakui kebanggaan semu yang diraihnya.
Kondisi seperti itu bertolak belakang dengan keadaan satu dekade
sebelumnya, ketika seringkali seorang kepala sekolah diancam oleh
peserta didik yang tidak lulus dalam ujian akhir.
Perkembangan kebudayaan nampak lebih berorientasi kepada
materialisme dan sekularisme. Pada saat yang sama, aspek
spiritualisme dan akal sehat dilupakan. Akibatnya, kehidupan
pemimpin dan masyarakat kehilangan kedalaman makna,
kemuliaan akhlak, kepedulian kepada sesama, serta kepekaan
nurani. Hal ini yang mengakibatkan masyarakat berperilaku
munafik, kolutif, dekaden, dan koruptif.
Berbagai perkembangan yang terjadi meliputi aspek politik,
hukum, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan menunjukkan
kontradiksi yang cukup memprihatinkan. Kemajuan-kemajuan
yang dicapai ternyata disertai penggerusan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan tanpa suatu upaya
sadar dan sungguh-sungguh untuk mengembalikan nilai-nilai
luhur tersebut sebagai tenaga pendorong pencapaian kemajuan
dalam setiap segi kehidupan oleh segenap komponen bangsa.
Sebagai salah satu komponen bangsa yang memiliki komitmen
terhadap nasib bangsa, kita tidak boleh mendiamkan keadaan
tersebut terjadi berlarut-larut. Kita memiliki tanggungjawab
untuk mendorong pelaksanaan langkah-langkah nyata agar proses
140 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
penggerusan itu berhenti dengan cara menjadikan agama sebagai
sumber utama moralitas, etik, dan spiritualitas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat bangsa
yang kehilangan pijakan moral, etik, dan spiritual sesungguhnya
adalah masyarakat yang rapuh dan akan mengalami disorientasi.
Oleh karena itu kualitas keberagamaan kita haruslah didasari
dengan moral dan akhlak yang mulia. Tugas untuk membangun
moral bangsa sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah,
tetapi tanggung jawab masing-masing dari kita semua sebagai
warga masyarakat. Karena itu sejak April 2010 pemerintah mulai
memikirkan untuk melakukan revitalisasi pendidikan karakter
bangsa. Berbagai kementerian dan lembaga dilibatkan untuk
menyusun gagasan pendidikan karakter bangsa yang diharapkan
dapat membuahkan ide dan modus cemerlang guna mengusung
moral bangsa ke arah yang lebih baik dalam menjaga eksistensi
bangsa Indonesia. Suatu bangsa atau institusi akan dapat langgeng
ketika memiliki moralitas dan kredibilitas yang tinggi. Seorang
penyair Mesir yang peduli akan pendidikan akhlak, Ahmad Syauqi
Bek memberikan petuah,1
Artinya:
Sesungguhnya eksistensi suatu bangsa ditentukan oleh moralitas dan
akhlak mulia. Jika moralitas menjadi panglima maka jayalah bangsa.
Sebaliknya jika moralitas rendah, maka tunggulah kehancurannya.
Barometer akhlak mulia bagi individu, keluarga, masyarakat,
maupun negara sekurang-kurangnya terlihat dari perwujudan
kasih sayang, kebersamaan, perhatian, saling menghormati, dan
kejujuran. Kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara
yang tidak terbangun kasih sayang, kebersamaan, perhatian, saling
menghormati, dan kejujuran dalam sistem hidupnya hanya tinggal
menunggu kehancuran. Akhlak mulia adalah landasan yang paling
mendasar dalam membangun kebudayaan dan peradaban umat
1
Al-Syanqi y Muhammad Amin, A wa’ al-Bayān, (Dār Alim al-Kutub, t.t.), vol. 8 h.
436
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 141
Ahmed Machfudh
manusia. Akhlak mulia yang hilang dalam sistem kehidupan umat
manusiaberartikehilanganharapanbagiperwujudankesejahteraan,
baik lahir maupun batin. Karena sebaik-baik manusia adalah orang
yang memiliki keunggulan akhlak mulia.
Aristoteles (Bahasa Yunani:
Aristotélēs, 384 SM322 SM) seorang filosof Yunani menjelaskan bahwa kenakalan
atau akhlak tercela dapat diubah dengan cara pendidikan menuju
kebaikan, meskipun tidak mutlak. Menurut Abu Ali Ahmad bin
Muhammad bin Ya’kub Ibnu Miskawayh (wafat 421 H.), seorang
tokoh filsafat akhlak, ketika mengomentari pernyataan Aristoteles
tersebut menyatakan bahwa setiap akhlak pada dasarnya memang
dapat diubah.2 Karena itu diperlukan pendidikan, terutama sejak
masa kanak-kanak atau sejak usia masih muda.3 Memang diakui
oleh Ibnu Miskawayh bahwa terkadang akhlak sulit diubah karena
memang sudah menjadi watak seseorang. Kesulitan pengubahan
watak yang demikian beliau ibaratkan seperti mengubah ”perilaku”
api yang cenderung ke atas menjadi ke bawah, atau ”perilaku” batu
yang cenderung ke bawah diubah menjadi ke atas.4
Mengapa pendidikan akhlak yang merupakan dasar utama
dalam pendidikan karakter bangsa diperlukan sejak dini yaitu masa
kanak-kanak?. Hal ini dapat dipahami bahwa kebiasaan anak adalah
meniru apa saja yang dilihat atau didengar. Mereka melakukannya
secara mudah tanpa dengan susah payah, tanpa paksaan, dan tanpa
dipikirkan, tidak seperti orang dewasa atau orang tua. Dengan
demikian pembentukan akhlak akan lebih mudah, karena akhlak
adalah kondisi kejiwaan yang menyebabkan perbuatan-perbuatan
keluar dengan mudah, tanpa susah payah, dan tanpa paksaan.5
Kementerian Agama sebagai lembaga pemerintah yang diberi
amanatdalambidangkeagamaanbersama-samadenganmasyarakat
2
Ibn Miskawayh, Tahżībul Akhlāq, Digital e-book dari http://www.alwarraq.com, h.
12, diakses pada 10 Desember 2010
3
Muchlis M. Hanafi, et.al., Pendidikan, Pembangunan Karakter, dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihah Mushaf al-Quran, 2010), h. 10
4
Ibn Miskawayh, Tahdżībul Akhlāq, h. 12
5
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaliy, Tazkiyatul
Qalb ‘an al-Akhlāq al-Mażmūmah, saduran Ahmed Machfudh (Jakarta: t.p., 2010), h. 1
142 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
dan tokoh-tokoh agama telah berusaha mengembangkan lembagalembaga dan pendidikan keagamaan. Upaya yang dilakukan yaitu
dengan melaksanakan pendidikan karakter bangsa sehingga
mampu melahirkan manusia berkualitas dan memiliki daya saing
yang andal serta mampu melahirkan tokoh-tokoh yang dapat
membangun moral/karakter bangsa menuju baldatun ayyibatun
wa rabbun ghafūr, yaitu negara yang gemah ripah loh jinawi serta
mendapat ridha Tuhan.
Karakter berasal dari bahasa Inggris character yang salah satu
artinya adalah (n. {U}[of a person, community, race, etc.] mental or
moral nature; mental or moral qualities that make one person, race,
etc. different from others).6 Karakter adalah kumpulan tata nilai
yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku yang akan ditampilkan secara
mantap. Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam
dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar yang menjadi bagian
kepribadian seseorang. Karena karakter harus diwujudkan melalui
nilai-nilai moral yang dipatrikan agar menjadi semacam nilai
intrinsik dalam diri yang akan melandasi sikap dan perilaku, maka
karakter harus dibentuk, ditumbuhkembangkan, dan dibangun.7
Berhasilkah lembaga dan pendidikan keagamaan dalam
pembangunan karakter bangsa? Bagaimana sikap keberagamaan
yang terjadi di masyarakat? Jika kita amati, nampaknya terjadi
disparitas tajam antara personal religiousity sebagai basis
pembangunan akhlak mulia dengan social religiousity sebagai
konsekuensi beragama. Bahkan lebih parah lagi terjadi pemisahan
antara sikap keberagamaan di masjid, gereja, atau rumah-rumah
ibadah dengan tingkah laku di kantor-kantor pemerintahan dan
swasta, di jalan raya, di pasar, di ranah bisnis dan sebagainya.
Padahal jelas bahwa seseorang seharusnya tetap beragama di mana
saja. Agama hanya berlaku saat seseorang berada di masjid atau di
atas sajadah dan rumah ibadah lainnya. Ketika berada di kantor
A.S. Hornby, E.V. Gatenby, and H. Wakefield, The Advanced Learner’s Dictionary of
Current English, (Great Britain, The Oxford University Press, 1973), h. 156
6
7
Soemarsono Soedarsono, “Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Arti dan Peran
Penting Karakter Hasrat untuk Berubah,” dalam Harian Umum Pelita, edisi 20 Juli 2009
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 143
Ahmed Machfudh
atau di tempat lain banyak yang berperilaku seolah-olah ajaran
agama tidak berbekas sama sekali.
Ambil contoh kecil tentang perilaku membuang sampah
sembarangan atau perilaku para pengendara kendaraan bermotor
di jalan yang menyerobot. Mereka mengaku sebagai orang beragama
(Islam). Mereka tahu bahwa agama menganjurkan keindahan
dan kebersihan. Mereka tahu bahwa kriteria seorang muslim
adalah orang yang membuat nyaman muslim lainnya atau tidak
membuat orang muslim lain terancam oleh ketajaman lidahnya
dan perilakunya sesuai hadits Nabi8
Artinya:
Orang muslim adalah yang membuat orang muslim lainnya aman dari
lisan dan tangannya).
Namun mereka masih saja membuat orang lain tidak nyaman.
Oleh karena itu sudah saatnya dilakukan revolusi mental berupa
perubahan mendasar atas pranata, lembaga, dan kebijakan publik
yang berlandaskan kepatutan etika, moral, dan akal sehat dengan
merealisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai agama
dalam perilaku sehari-hari. Berbagai upaya yang dilakukan untuk
membangun karakter bangsa diharapkan dapat membuahkan hasil
optimal dalam mengembalikan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang sangat menjunjung tinggi norma dan nilai agama serta
keluhuran adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
B. PEMBAHASAN
1. Pendidikan Karakter sebagai Isu Strategis
Revitalisasi pembangunan karakter bangsa yang dijadikan
pangkal upaya guna mengembalikan bangsa yang menjunjung
8
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (t.k. : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992), vol. 2, h.
10. Riwayat dari Hasan al-Hulwaniy dan Abd ibn Humaid dari Abu Ashim dari Ibn Juraij
dari Abu az-Zubair dari Jabir ra. Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh al-Bukhariy,
Ahmad, at-Turmudziy, ad-Darimiy, Abu Dawud, Ibn Hibban, al-Bayhaqiy, an-Nasaiy, atThabraniy dan lain-lain dalam shahih, musnad, dan sunan mereka.
144 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
norma dan nilai agama sebagaimana dimaksud di atas didasarkan
atas beberapa kenyataan yang terjadi, seperti: (a)disorientasi
dan nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa
belum dihayati; (b)keterbatasan perangkat kebijakan terpadu
dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila; (c)pergeseran
nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (d)
pemudaran kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; (e)
ancaman disintegrasi bangsa; dan (f)kemandirian bangsa yang
melemah.
Nilai-nilai dalam pembangunan karakter bangsa yang
menjadi topik program/kegiatan antara lain: agamis, jujur,
amanah, terpercaya, sabar, tabah, keteladanan, ramah, santun,
saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, tidak anarkis,
tertib, kerja keras, menghormati orang tua-guru-pimpinan,
mau berbagi, empati, toleransi dalam kehidupan beragama,
berjiwa kebangsaan (tidak etnosentris), tidak primordial,
bertanggung jawab, cerdas dan berprestasi, kompetitif (berdaya
saing), bersih dan hemat, peduli, kosmopolit, berani mengambil
resiko, pantang menyerah, rela berkorban, mengutamakan
kepentingan umum, cinta tanah air (patriotisme), serta bangga
menggunakan bahasa dan produk Indonesia. Karakter bangsa
yangdiharapkanberdasarkanfalsafah Pancasilayangdiwujudkan
melalui pembangunan karakter individu warga negara adalah
hasil perpaduan olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa
dan karsa. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan
keimanan dengan aktualisasi karakter antara lain beriman dan
bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung
jawab, berempati, berani ambil risiko, pantang menyerah, rela
berkorban dan berjiwa patriotik. Olah pikir berkenaan dengan
proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan
secara kritis, kreatif dan inovatif, dengan aktualisasi karakter
antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu,
produktif, berorientasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
dan reflektif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi,
kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru
disertai dengan sportivitas dengan aktualisasi karakter antara
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 145
Ahmed Machfudh
lain berupa bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya
tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria,
dan gigih. Sedangkan olah rasa dan karsa berkenaan dengan
kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian,
citra dan penciptaan kebaruan dengan aktualisasi karakter
antara lain berupa kemanusiaan, saling menghargai, gotong
royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis,
peduli, kosmopolit, bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
2. Warisan Nilai Luhur
Kita patut bersyukur ditakdirkan sebagai bangsa Indonesia
yang memiliki keragaman budaya, suku, agama, dan ras.
Warisan budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada
kita menjadi patokan dalam menata kehidupan berbangsa
dan bernegara yaitu Pancasila. Para pendahulu bangsa telah
menetapkan Pancasila sebagai filosofi untuk landasan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi rujukan serta
menjiwai setiap langkah perbuatan baik secara pribadi sebagai
warga bangsa maupun dari sisi kelembagaan dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu Pancasila
harus dihayati dan dipedomani oleh seluruh warga negara dalam
hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
sehingga menjadi identitas atau jatidiri bangsa Indonesia.
Kita perlu membuka kembali dan belajar dari warisan sejarah
bangsa. Sebuah kerajaan besar di Nusantara yang pernah
berkuasa sekitar lima abad memiliki semboyan terkenal dan
diabadikan oleh para pendiri Negara Republik Indonesia yakni
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kita adalah
berbeda-beda tapi tetap satu. Keberagaman itu harus dipandang
sebagai kekayaan khazanah sosiokultural, kekayaan kodrati dan
alamiah sebagai anugerah Tuhan, bukan untuk dipertentangkan
apalagi dipertantangkan yang dapat mengakibatkan bangsa
terpecahbelah. Bagaimanamemasyarakatkankembalisemboyan
ini dan menumbuhkan toleransi terhadap keberagaman yang
146 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
ada dalam masyarakat?. Bila semua warga bangsa tidak dapat
mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia dapat dipastikan
akan menjumpai kesulitan untuk mencapai titik temu. Apalagi
jika semua orang berpijak secara ekstrim pada landasan ideologi
atau agama masing-masing.
Arus globalisasi telah memacu pertukaran arus manusia,
barang, dan informasi tanpa batas. Hal ini berdampak terhadap
penyebarluasan pengaruh budaya dan nilai-nilai termasuk
ideologi dan agama dalam suatu bangsa yang sulit dikendalikan.
Pada gilirannya hal itu dapat mengancam jatidiri bangsa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
teknologi telekomunikasi telah memungkinkan manusia
melakukan komunikasi global tanpa dibatasi oleh ruang dan
waktu. Perkembangan yang terjadi di negara lain dalam waktu
yang singkat dapat diketahui. Kepesatan bidang teknologi
komunikasi tersebut telah membawa perubahan besar di
berbagai sektor kehidupan manusia dan berdampak pada
pergeseran nilai dan perilaku kehidupan masyarakat.
Perubahan pola pikir di bidang ekonomi dan politik telah
melahirkan perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Kondisi tersebut menyebabkan disorientasi yang berdampak
kepada pergeseran penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Hal ini mengakibatkan perkembangan materialisme yang
menonjolkan kedaerahan dan kelompok masing-masing serta
abai memikirkan hal yang dibutuhkan oleh bangsa. Oleh
karena itu pengembangan jatidiri bangsa yang berpijak dari
warisan budaya bangsa berlandaskan pada sendi-sendi agama
yang diyakini masing-masing menjadi pilar penting pemersatu
bangsa. Kondisi ini sangat diperlukan agar tercipta sebuah
negara kesatuan yang utuh, aman, dan damai.
Komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah kesepakatan final yang perlu lebih dipertegas
dalam pembangunan karakter bangsa. Karakter yang dibangun
pada manusia dan bangsa Indonesia adalah karakter yang
memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap NKRI,
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 147
Ahmed Machfudh
bukan sebaliknya yang berkembang tidak terkendali dan
menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu dalam pembangunan
karakterbangsaperludikembangkanpilar-pilarakhlakataumoral
yang diejawantahkan dalam diri seseorang sehingga menjadi
orang yang berkarakter jujur, sabar, rendah hati, tanggung
jawab, dan rasa hormat yang tercermin dalam masyarakat yang
harmonis dan dinamis. Rasa cinta terhadap tanah air atau
patriotisme, sikap demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa.
Kesemuanya harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan bangsa atau nasionalisme.
Warisan nilai-nilai kearifan yang diturunkan dari para
pendahulu antara lain sikap saling bekerja sama antara
penguasa dan rakyat. Penguasa bertanggung jawab dan
menjamin kesejahteraan rakyat. Rakyat bertanggung jawab
menjaga kewibawaan masyarakat. Untuk menjaga kewibawaan
masyarakat perlu ditumbuhkan toleransi sebagai penghargaan
terhadap keberagaman yang ada dalam masyarakat. Masyarakat
Indonesia yang mayoritas Islam juga tetap kokoh pada ajaran
agamanya yaitu taat kepada penguasa sebagaimana disebutkan
dalam al-Quran al-Karim9:
Artinya:
Taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri/penguasa kamu.
Dalam hadits juga disebutkan bahwa taat kepada penguasa
atau pimpinan berarti taat kepada Rasul saw10:
9
Al-Quran al-Karim, Surat an-Nisā, ayat 59
Muhammad Fuad Abdul Baqiy, al-Lu’lul’ wa al-Marjān, (Beyrut: Darul Fikr, 1997),
vol. 1, h. 597
10
148 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
Artinya:
Hadits Riwayat al-Bukhariy dari Abu Hurayrah ra dalam mengulas
firman Allah ’Taatilah Rasul serta ulil amri/penguasa kamu’ bahwa
Rasulullah saw bersabda, ”Barang siapa taatkepada saya berarti taat
kepada Allah dan barang siapa durhaka kepada saya berarti durhaka
kepada Allah. Barang siapa taat kepada pemimpinku berarti taat
kepadaku dan barang siapa durhaka kepada pemimpinku berarti
durhaka kepadaku.)
Namun ketaatan yang dimaksud adalah dalam hal yang
positif. Jika sebaliknya, maka Rasul saw tidak akan mengakui
sebagai umatnya11 sebagaimana tertera dalam hadits:
Artinya:
Dari Amr bin Ali, dari Yahya, dari Sufyan, dari Abi Hashin, dari alSya’biy, dari Ashim al-Adawiy, dari Ka’b bin Ujrah berkata, “Kami
keluar bertujuh bersama Rasul saw, beliau bersabda, “Nanti setelah
aku akan muncul para pemimpin. Barang siapa membenarkan
kedustaannyadanmenolongkedhalimannya,
makaiatidaktermasuk
golonganku dan tak akan sampai ke telagaku. Barang siapa yang
menyangkal kedustaannya dan tak mau membantu kedhalimannya,
maka ia adalah golonganku dan nanti akan sampai ke telagaku.”
3. Pembangunan Bidang Agama
Pembangunan karakter bangsa dapat dikembalikan kepada
pembangunan bidang agama. Karakter, moral, atau akhlak
yang dijiwai dan didasarkan atas ajaran agama merupakan
11
Al-Nasa'i, Sunan al-Nasa'i al-Sughra, digital e-book, vol. 7, h. 180
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 149
Ahmed Machfudh
keniscayaan yang tak terbantahkan. Ada beberapa filosofi yang
dijadikan landasan dalam pembangunan bidang agama, yaitu
(a)agama sebagai sumber nilai spiritual, moral, dan etik bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, (b)penghormatan dan
perlindungan atas hak dan kebebasan beragama sebagai bagian
dari hak asasi warga negara, (c)kerukunan umat beragama dan
tata kelola kehidupan beragama, (d)pengembangan karakter dan
jati diri bangsa, dan (e)penyediaan fasilitasi dan pelayanan bagi
umat beragama berdasarkan prinsip tata kelola kepemerintahan
yang baik.
Sasaran pembangunan bidang agama antara lain adalah (a)
peningkatan kualitas kehidupan beragama agar masyarakat
memiliki karakter yang bagus, (b)peningkatan kerukunan
umat beragama agar masyarakat hidup dalam kedamaian,
(c)peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan guna penguatan akhlak atau budi pekerti, (d)
peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji agar
masyarakat dapat berperilaku positif dalam setiap keadaan
sesuai dengan titel hajinya, dan (e)tata kelola kepemerintahan
yang bersih dan berwibawa sebagai wujud perilaku pengalaman
ajaran agama di lingkungan pemerintah agar tidak berperilaku
koruptif.12 Keberagamaan, ketakwaan, dan akhlak mulia dari
tiap individu, masyarakat, dan seluruh warga negara merupakan
target dan sasaran pembangunan.
Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat
penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengakuan akan
kedudukan dan peran penting agama tercermin dari penetapan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama falsafah
negara, yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai sila-sila
Pancasila lainnya. Oleh sebab itu pembangunan agama bukan
hanya merupakan bagian integral pembangunan nasional,
melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai
keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional. Contoh
12
Departemen Agama RI, Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama, Pendidikan
Agama dan Keagamaan, (Jakarta: Departemen Agama, 2009), h. 2-5
150 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
kecil adalah pembuatan polisi tidur yang selayaknya tidak
dibuat oleh sembarang orang dan di berbagai jalan karena tidak
sesuai dengan ajaran agama seperti ilustrasi berikut. Persoalan
kecelakaan lalu lintas mengundang keprihatinan berbagai
kalangan. Hal itu disebabkan antara lain karena pengendara yang
tidak sopan berlalu lintas dan/atau pengguna jalan lainnya yang
tidak tertib. Akhirnya tidak hanya pihak kepolisian, masyarakat
pun melakukan berbagai upaya guna meminimalisasi bahkan
menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut. Diantara
upaya yang dilakukan mereka adalah membuat rintangan di
jalan berupa polisi tidur. Masyarakat pun menjadi dungu, rambu
kecepatan maksimal tidak pernah dipasang, cukup dihalang
dengan polisi tidur yang membuat komponen kendaraan cepat
rusak. Bolehkah seseorang yang mengaku muslim membuat
atau memasang polisi tidur di jalan? Menurut beberapa referensi
seperti I’ānah a - hālibīn volume III halaman 84, al-Muhażżab
volume II halaman 193, Is’àd ar-Rofìq volume II halaman 133,
dan al-Iqnā’ volume II halaman 320 hal itu tidak diperbolehkan.
Kebolehan membuat polisi tidur jika jalan itu berada di pelosok
(bukan jalan PUD), itupun dengan catatan: (1)para pengguna
jalan tidak merasa terganggu, (2)mendapat ijin resmi dari
Pemerintah yang berwenang, (3)memperoleh kesepakatan dari
warga sekitar, dan (4)dibuat sesuai dengan petunjuk teknis
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 pasal 35 ayat (1)
yaitu tinggi maksimal 10 cm, lebar minimal 60 - 70 cm, diberi
tanda zebra biru-putih.13
Selain memiliki posisi yang sangat penting agama juga
menempati posisi unik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini tercermin dalam suatu rumusan terkenal
tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia.
Indonesia bukanlah negara teokratis, tetapi bukan pula
negara sekular. Rumusan ini berarti bahwa tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham
atau keyakinan agama tertentu, namun nilai-nilai keluhuran,
keutamaan, dan kebaikan yang terkandung dalam agama-agama
13
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Lalu Lintas Jalan
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 151
Ahmed Machfudh
diakui sebagai sumber dan landasan spiritual, moral, dan etik
bagi kehidupan bangsa dan negara.
Pembangunan karakter bangsa diarahkan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan
nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Tahun 2005-2025, yaitu mewujudkan Indonesia
sebagai bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan
bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil
sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil makmur dalam NKRI beradasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dilandasi keinginan menjadikan Indonesia sebagai bangsa
yang maju, unggul, mandiri, bermartabat, beradab, dan
sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu telah diusahakan dan
diselenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat
membentuk manusia Indonesia yang memiliki penguasaan dan
keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki
karakter dan jatidiri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada
keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia.
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di
samping peningkatan penguasaan dan ketrampilan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos kerja
dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama
dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan guna mewujudkan
masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia,
bermartabat, dan beradab. Pembangunan bidang agama tidak
dapat dilepaskan dari pembangunan pendidikan, khususnya
pendidikan agama, pendidikan keagamaan, dan pendidikan pada
madrasah serta lembaga pendidikan umum lainnya yang berciri
khas keagamaan. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
merupakan salah satu program prioritas pembangunan bidang
agama. Penetapan prioritas tersebut didasarkan pada kebutuhan
152 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
berupa (a)ketersediaan layanan pendidikan agama yang
bermutu bagi semua peserta didik pada semua jenis, jenjang, dan
satuan pendidikan, (b)ketersediaan lembaga pendidikan yang
menghasilkan ahli agama yang menguasai dan mengamalkan
ajaran agama secara komprehensif, mendalam, dan profesional,
(c)ketersediaan program pendidikan agama dan lembaga
pendidikan keagamaan yang bermutu bagi masyarakat dalam
rangka mencerdaskan dan meningkatkan kualitas kehidupan
bangsa serta daya saing nasional.
Perlu disadari bahwa agama bukanlah sekadar mengajarkan
tentang hubungan antara pemeluk agama dan Sang Pencipta,
melainkan juga tentang hubungan antar sesama manusia dan
hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab itu pembangunan
bidang agama diarahkan bukan saja untuk meningkatkan
kualitas kesalehan individual umat beragama, tetapi juga
mendorong perwujudan kesalehan sosial dan ekologis, serta
moralitas publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
Sikap toleran dan penghormatan terhadap pandangan dan
keyakinan orang lain, kepedulian terhadap sesama manusia,
serta kerjasama, dan tolong menolong adalah sebagian dari
wujud dari kesalehan sosial. Sementara itu pemanfaatan dan
pendayagunaan sumber daya alam disertai perlindungan dan
pemeliharaan kelestariannya antara lain merupakan bentukbentuk nyata dari kesalehan ekologis. Adapun moralitas publik
dalam kehidupan bernegara antara lain termanifestasi dalam
penyelenggaraan perundang-undangan yang berlaku, serta
terbebas dari perilaku koruptif dan menyimpang.
4. Alasan Revitalisasi Pendidikan Karakter Bangsa (PKB)
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa diperlukan
revitalisasi pendidikan dan pembangunan karakter bangsa.
Ditinjau dari segi filosofis, PKB diperlukan karena kebutuhan
asasi dalam proses berbangsa yang secara ideologis merupakan
upaya pengejawantahan ideologi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Secara normatif PKB adalah wujud
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 153
Ahmed Machfudh
nyata langkah mencapai tujuan negara karena secara historis
hal tersebut merupakan dinamika inti proses kebangsaan yang
terjadi tanpa henti. Sedangkan dari segi sosiokultural PKB
merupakan keharusan dari bangsa yang multikultural.
Jika kita tinjau kondisi masyarakat bangsa Indonesia,
nampaknya telah terjadi pergeseran nilai etika dan nilai
budaya yang antara lain disebabkan oleh berbagai faktor
seperti kesenjangan sosial ekonomi dan politik, ketidakadilan
hukum, pergaulan bebas dan pornografi, tindak kekerasan
dan kerusuhan, korupsi di semua sektor kehidupan, tindakan
anarkis dan tidak santun, abai terhadap prinsip musyawarah,
serta kearifan lokal, toleransi, dan gotong royong yang berubah
menjadi hegemoni kelompok yang saling menyalahkan.
Fenomena keseharian menunjukkan perilaku masyarakat
belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah
Pancasila seperti budaya instant dan konsumtif. Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh keajegan perhatian terhadap
pembangunan karakter bangsa yang belum terjaga dengan
baik, sehingga hasilnya belum optimal. Karena itu diperlukan
revitalisasi PKB.
Beberapa rujukan yang dapat dipergunakan untuk menyusun
kebijakan dalam PKB adalah (a)Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025, (b)Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan
Nasional Tahun 2010, (c)arahan Presiden RI dalam Sidang
Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010, (d)
arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tampak Siring,
Bali tanggal 19-20 April 2010, dan (e)arahan Presiden RI pada
Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara
tanggal 11 Mei 2010.
Tujuan PKB adalah mengembangkan karakter bangsa
agar mampu mewujudkan nilai luhur Pancasila melalui
pengembangan potensi dasar agar berhati, berpikiran, dan
154 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
berperilaku baik, perbaikan terhadap perilaku yang kurang baik,
dan penguatan perilaku yang sudah baik, serta penyaringan
budaya yang kurang sesuai dengan nilai luhur Pancasila. Ruang
lingkupnyaadalahkeluarga, satuanpendidikan, masyarakatsipil,
masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan dunia industri,
serta media massa. Intinya adalah membangun generasi yang
jujur, cerdas, tangguh, dan peduli. Karakter yang diharapkan
adalah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 20052025 yaitu tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya,
dan berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan
Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
5. Strategi PKB
Ada lima strategi yang diperlukan dalam pembangunan
karakter bangsa, yaitu sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan,
pembudayaan, dan kerjasama. Sosialisasi dimaksudkan
sebagai upaya penyadaran semua pemangku kepentingan akan
kepentingan karakter bangsa. Media massa perlu berperanserta
dalam sosialisasi. Strategi melalui pendidikan diselenggarakan
melalui pendidikan formal (satuan pendidikan), nonformal
(kegiatan keagamaan, kursus, pramuka dan lain-lain), informal
(keluarga, masyarakat, dan tempat kerja), dan forum pertemuan
seperti kepemudaan. Pemberdayaan karakter bangsa dilakukan
terhadap semua pemangku kepentingan yaitu orang tua, satuan
pendidikan, organisasi massa, dan sebagainya agar berperan
aktif dalam pendidikan karakter. Perilaku berkarakter dibina
dan dikuatkan dengan penanaman nilai kehidupan agar menjadi
budaya. Sedangkan strategi terakhir adalah kerjasama, yaitu
membangun kerjasama yang sinergis antara semua pemangku
kepentingan.
Bagaimana strategi PKB melalui pendidikan diselenggarakan?
Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam ajaran agama, Pancasila,
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 155
Ahmed Machfudh
teori pendidikan, psikologi, nilai sosial budaya, serta pengalaman
terbaik dan praktik nyata dimasukkan dalam lingkup satuan
pendidikan, keluarga, dan masyarakat baik melalui intervensi
maupunhabituasi. Prosestersebutmerupakanpembudayaandan
pemberdayaan yang didukung dengan kebijakan, sumberdaya,
sarana dan prasarana, kebersamaan, dan komitmen para
pemangku kepentingan. Hasil akhir yang diharapkan adalah
perilaku berkarakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter di madrasah
atau sekolah? Kegiatan keseharian di madrasah dan sekolah
harus dijadikan sebagai laboratorium yaitu penerapan akhlak
mulia dan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini melibatkan seluruh
komponen sekolah, sehingga tanggung jawab pembentukan
moraldanakhlakmuliabukanhanyaolehgurupendidikanagama
saja. Dalam kegiatan belajar mengajar, akhlak mulia dan nilai
luhur tersebut diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran,
sehingga semua guru bertanggung jawab atas pendidikan
karakter anak didiknya. Pembiasaan dalam keseharian di satuan
pendidikan berarti penerapan akhlak mulia dan nilai luhur tidak
hanyasaatkegiatanbelajarmengajarsaja. Bahkandalamkegiatan
ekstra kurikuler pun akhlak mulia dan nilai luhur dimaksud
harus diintegrasikan seperti dalam kegiatan pramuka, olahraga,
karya tulis, dan lain sebagainya. Jika perilaku keseharian di
madrasah atau sekolah sudah terlaksana, maka perlu dijaga agar
penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah selaras
dengan yang dilakukan di satuan pendidikan.
Apabila hal di atas terlaksana, maka kemajuan di berbagai
bidang kehidupan masyarakat yang meliputi bidang sosial
budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, politik, pertahananan dan keamanan, hukum
dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan
sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup tidak akan tercemari oleh perilaku
menyimpang.
156 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
Pendidikan Karakter Bangsa
C. PENUTUP
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pemerintah merumuskan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Rumusan
tersebut terdengar sangat ideal. Namun dalam pelaksanaannya
terlihat jauh dari yang dicita-citakan. Mencerdaskan kehidupan
bangsa bukanlah sekadar upaya mengasah kecerdasan otak,
namun merupakan upaya mencerdaskan agar bangsa dapat hidup
bermartabat, berbudi luhur, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki
tanggung-jawab sosial. Jadi, pendidikan di Indonesia dilaksanakan
dengan maksud tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan
dan ketrampilan saja, namun juga mengembangkan nilai-nilai
luhur yang melekat pada diri yang didasarkan pada keimanan
dan ketakwaan yang secara nyata harus dapat dilihat dalam
langkah solidaritas kemanusiaan. Dengan kata lain, pendidikan
harus berfungsi sebagai sarana untuk transfer and production of
knowledge, values, and social solidarity atau sebagai alat penyalur dan
pengembang ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur, dan solidaritas
sosial.
Pendidikan bukanlah berfungsi sebagai proses transfer ilmu
pengetahuan semata, namun juga sebagai transfer dan stimulator
pengembangan nilai-nilai luhur seperti nilai-nilai jujur, adil,
demokratis, disiplin, terbuka, dan toleran. Oleh karena itu peran
guru dituntut tidak saja mumpuni dalam pengetahuan dan pandai
dalam mengajar, tetapi juga dapat menjadi teladan dan acuan dari
nilai-nilai luhur yang akan ditularkan pada anak didik. Transfer
nilai-nilai luhur kepada anak didik agar dijadikan pegangan hidup
tidak cukup hanya ditularkan dengan anjuran atau perintah, namun
yang lebih penting adalah keteladanan. Integritas guru menjadi
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 157
Ahmed Machfudh
penting karena nilai-nilai luhur yang harus ditransfer guru dan
didorong untuk dikembangkan kepada anak didik mustahil akan
mudah dicerna bila guru yang mengajarkan berperilaku kontradiktif
dengan apa yang diajarkannya. Oleh karena itu laboratorium
agama, yaitu membuat situasi keseharian di madrasah atau sekolah
melalui aplikasi ajaran agama dan akhlak mulia perlu dilaksanakan.
Penegakan nilai-nilai luhur akan sulit dilakukan oleh orang per
orang. Karena itu yang dapat dikembangkan adalah membangun
aturan-aturan pengendali perilaku (dapat berupa tata tertib
ataupunkodeetik) yangdisusunsecarajelasdandisepakatibersama.
Tata tertib ataupun kode etik yang diterapkan harus dijalankan
secara konsisten dan demokratis sehingga upaya sosialisasi dan
penerapan nilai-nilai luhur memiliki dampak kolektif yang baik.
Dengan demikian, lingkungan satuan pendidikan merupakan
pulau-pulau integritas yang menjadi acuan penegakan perilaku
yang didasarkan pada nilai-nilai luhur itu. Dengan nilai-nilai luhur
yang terinternalisasi dalam diri anak didik dalam lingkungan pulaupulau integritas, akan tercipta identitas pikiran, perilaku, dan
kalbu yang memiliki karakter yang jelas dan tegas. Jika pendidikan
karakter berhasil, mungkin hal-hal sepele yang tidak sesuai dengan
ajaran agama seperti orang yang membuat rintangan di jalan
(polisi tidur) dan membuat sebagian besar pengendara kendaraan
merasa kesal dan jengkel tidak ada lagi, dan tidak akan terlihat lagi
orang yang membuang sampah rumah tangga di pinggir jalan saat
melintas dengan sepeda motornya.[]
158 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017
DAFTAR REFERENSI
Al- Quran al-Karim, digital Quran
al-Ghazaliy, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad, Kitab al-Arba’īn fī Ushūl al-Dīn. Beirut: Darul
Kutub al-Alamiyyah
, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad,
Tazkiyatul Qalb ‘an al-Akhlāq al-Mażmūmah, saduran Ahmed
Machfudh, Jakarta: t.p., 2010
Al-Nasaiy, Sunan al-Nasaiy al-Sughra, digital e-book
Amin, al-Syanqithy Muhammad, wa’ al-Bayān. t.k.: Dar Alim alKutub, t.t.
Baqiy, Abdul, Muhammad Fuad, al-Lu’lul’ wa al-Marjān, Beirut:
Darul Fikr, 1997
Departemen Agama RI, Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama,
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: Departemen
Agama, 2009
Hanafi, Muchlis M., et.al., Pendidikan, Pembangunan Karakter,
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lajnah
Pentashihah Mushaf al-Quran, 2010
Ibn Miskawayh, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub, Tahżībul
Akhlāq, Diakses dari www.alwarraq.com
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahīh Muslim, t.k. : Dar al-Kutub al-Ilmiah,
1992
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana
Lalu Lintas Jalan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017 ~ 159
160 ~ HIKMAH, Vol. XIII, No. 2, 2017