PENDAHULUAN
Di dalam bab sebelumnya kita telah menyelidiki tentang perilaku seorang muslim dalam konsumsi, produksi, kepemilikan, alokasi harta, transaksi dan distribusi. Dalam bab ini akan dibahas perilaku pasar atau seorang penjual muslim, harga pasar, dan monopoli perdagangan. Keputusan perilaku pasar atau produsen akan berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan pembelian barang-barang dan jasa.
Ketika membicarakan tentang perilaku penjual maka akan terbentuk efisiensi pasar, artinya akan terjadi harmonisasi pasar. Mereka secara bersama akan bertindak secara etika (akhlak) yang baik dalam menyusun penawaran produk, dan ikut bertanggung jawab di dalam persekutuan dengan penawaran dari sisi tiap-tiap pasar untuk menentukan tingkat harga dan hasil dari masing-masing pasar produk.
PERILAKU PASAR
Menurut Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu fatawa", perilaku atau etika yang harus diperhatikan bagi seorang penjual atau merupakan prinsip-prinsip pasar yang efisien, antara lain:
Dilarang Menipu
Segala praktek kecurangan, termasuk penipuan dilarang dalam Islam. Hal ini sesuai hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Muslim di mana Rasulullah SAW pernah melewati sebuah wadah berisi makanan, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalamnya, ternyata jari-jari beliau menyentuh sesuatu yang basah. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ini, wahai pemilik makanan? Pemilik makanan menjawab, “Terkena air hujan, wahai Rasulullah”. Beliau mengatakan, ”Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar dapat dilihat orang lain. Barang siapa yang mencurangi kami, maka ia bukan golongan kami”. (H.R. Muslim).
Praktek kecurangan tersebut antara lain menyembunyikan barang cacat, mengurangi timbangan, ukuran dan sebagainya. Jika penjual bertindak curang terhadap timbangannya, ukuran, jenis, dan nilai maka pengaruhnya terhadap pembeli adalah: daya beli pembeli berkurang dan meningkatkan nilai jual barang yang dibeli bila ia jual kembali.
Akad-Akad Illegal
Termasuk pula kemungkaran yang dilarang Allah dan RasulNya dalam perilaku pasar ialah akad-akad yang diharamkan. Akad-akad tersebut antara lain:
Akad yang mengandung riba, riba dapat berupa riba nasi’ah, riba fadhl
Akad yang mengandung perjudian,
Jual-beli yang mengandung gharar (dengan tipu daya), misalnya menjual anak hewan yang masih berada dalam kandungan,
Mulamasah, yaitu jual beli zaman jahiliyah yaitu dengan cara meraba-raba barang dagangan.
Munabazah, yaitu jual beli dengan cara melempar barang dagangan dengan kerikil, di mana kerikil jatuh maka dagangan yang kejatuhan kerikil harus dibeli.
Jual beli najsy, yaitu meninggikan barang dagangan yang dilakukan orang yang tidak ingin membelinya, menjual air susu yang sengaja belum diperah (hingga tampak banyak) dan segala macam pemalsuan.
Tsuna’niyah atau tsulatsiyyah, jika tujuan semuanya adalah mengambil dirham dengan dirham yang lebih banyak darinya sampai masa tertentu. Sedangkan tsuna’niyah ialah apa yang terjadi antara dua hal. Misalnya menggabung antara utang dan jual beli, sewa menyewa, sebagaimana sabda Nabi SAW: “tidak halal utang sekaligus jual-beli, tidak boleh ada dua syarat dalam jual beli, tidak boleh mengambil keuntungan sesuatu yang tidak dijamin, dan tidak boleh menjual apa yang bukan milikmu” (H.R. Tirmizi). Tsulatsiyyah, misalnya: dua orang yang mengangkat di antara keduanya “muhalil” (seorang penghalal) riba, darinya “pemakan riba” membeli barang, kemudian ia mengembalikannya kepada pemiliknya dengan mengurangi beberapa rupiah sebagai imbalan bagi muhalil.
Mencegat Barang Sebelum Sampai di Pasar
Produsen dilarang mencegat pedagang di pinggir kota, demi mendapatkan keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari satu kota terhadap harga yang berlaku di kota lain. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: "Janganlah kamu cegat (jemput kafilah sebelum sampai di kota). Barang siapa dicegat lalu dibeli daripadanya sesuatu, maka apabila yang empunya barang itu datang ke pasar, ia berhak khiyar (hak menentukan jadi atau batalnya penjualan)” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).
Bila pencegatan dilakukan masyarakat kota terhadap masyarakat desa akan menimbulkan kesenjangan pendapatan antara penduduk desa dan kota.
Daya beli masyarakat desa akan berkurang terhadap produksi masyarakat kota. Akhirnya masyarakat desa akan mengalami perlambatan peningkatan kesejahteraan ekonomi dibandingkan penduduk kota.
Dilarang Menimbun Barang
Penimbun adalah orang yang sengaja membeli bahan makanan yang dibutuhkan manusia, lalu ia menahannya dan bermaksud untuk mendongkrak harga jualnya terhadap mereka. Hal semacam ini merupakan bentuk kezhaliman. Segala bentuk penimbunan dilarang dalam Islam, karena menyebabkan terjadinya kelangkaan barang di pasar, sehingga harga-harga mengalami kenaikan. Rasulullah SAW bersabda, “Ia yang menimbun adalah orang yang berdosa” (H.R Muslim dalam sahihnya). Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, di mana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga. Perilaku ini mempunyai pengaruh negatif dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang (Al Haritsi, 2008).
Demikian juga kenaikan harga barang yang tak berkaitan secara langsung dengan barang-barang yang ditimbun, mengakibatkan harga barang lain juga akan naik. Sehingga tingkat konsumsi masyarakat akan menurun, dan pada gilirannya akan mengurangi tingkat produksi (Ibnu Oudamah, 1997). Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Umar r.a bahwa beliau pernah keluar ke masjid, kemudian di tengah jalan beliau melihat bahan makanan yang berserakan untuk dijemur. “Makanan apa ini?” tanya Umar. “Makanan yang sudah kami kumpulkan”, jawab mereka. “Semoga Allah memberkahi makanan ini dan juga pengepulnya”, kata Umar mendoakannya. Kemudian Amirul Mukminin diberitahu bahwa makanan itu hendak ditimbun. ’’Wahai Amirul Mukminin, ia hendaknya menimbun bahan makanan tersebut”, tutur salah seorang dari mereka kepada Umar. ’’Siapa penimbunnya?” tanya Umar kepada mereka. ’’Farukh, seorang bekas budak Utsman dan si Fulan bekas budak Umar,” jawab mereka. Akhirnya Umar mengirim utusan untuk menemui dan memangil mereka, untuk menghadap Umar. ”Apa yang mendorong kalian menimbun bahan makanan umat Islam?” tanya Umar kepada mereka. Jawab mereka, ’’Wahai Amirul Mukminin, kami membeli dengan modal kami sendiri kemudian kami jual . Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ’’Barang siapa menimbun bahan makanan umat Islam yang akan menjadikan umat Islam sengsara, maka Allah akan membuatnya bangkrut atau terserang penyakit kusta”, tutur Umar kepada mereka. ’’Wahai Amirul Mukminin, saya berjanji kepada Allah dan juga kepada tuan, bahwa kami tidak akan mengulanginya lagi untuk selamanya”, kata Farukh menyesali perbuatannya. Sementara bekas budak Umar tidak mau bertobat dari perbuatannya. ’’Sesungguhnya kami membeli dengan modal kami sendiri, dan kami akan menjualnya,” tutur bekas budak Umar itu tanpa menyesal. Abu Yahya (perawi hadits ini) berkata,” Aku melihat bekas budak Umar akhirnya terserang penyakit kusta.”
Monopoli Perdagangan
Monopoli perdagangan adalah penjual membuat komitmen agar yang menjual bahan makanan atau lainnya hanya kepada orang-orang tertentu yang sudah dikenal. Barang-barang itu tidak dijual selain kepada mereka, kemudian mereka menjualnya, seandainya ada orang lain menjualnya, maka dilarang. Ini bisa merupakan kezhaliman terhadap tugas dan wewenang penjual yang dilarang dalam Islam.
HARGA KESEIMBANGAN DALAM ISLAM
Masalah harga atau lebih tepatnya harga keseimbangan sangat menentukan keseimbangan perekonomian, sehingga hal ini pun telah dibahas dalam ekonomika Islam. Dalam konsep ekonomi Islam, yang paling prinsip adalah harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini terjadi bila antara penjual dan pembeli bersikap saling merelakan (ba’ena an-tarodim minkum). Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan kepentingannya atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan harga tersebut dari penjual.
Dalam sejarah Islam masalah penentuan harga dibebaskan berdasarkan persetujuan khalayak masyarakat. Rasulullah SAW sangat menghargai harga yang terjadi, karena mekanisme pasar yang bebas dan menyuruh masyarakat muslim untuk mematuhi peraturan ini. Beliau menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat harga di Madinah pada saat itu tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni dan wajar, yang tidak dipaksa atau tekanan pihak tertentu (tekanan monopolistik dan monopsonistik), maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Khalifah Umar bin Khattab juga melarang mematok harga karena
Rasulullah SAW melarang mematok harga. Diriwayatkan oleh Ashhaabus Sunan, dari Anas r.a„ ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, harga semakin melambung tinggi, maka hendaknya Tuan mematok harga untuk kami.” Maka Rasulullah menjawabnya, "Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menentukan harga, Yang Menggenggam dengan tidak memberi, Yang Memberi, Yang mengaruniai rezeki. Sesungguhnya aku berharap agar Allah yang memberi (patokan), dan bukan salah seorang di antara kalian yang memintaku agar aku berbuat zalim baik terhadap darah (nyawa) maupun harta benda”.
Demikian juga penentuan tarif oleh negara juga tidak dibenarkan menurut pandangan Islam, namun pasar harus dihilangkan dari berbagai distorsi (penyimpangan pasar) seperti monopoli, oligopoli, kartel, konglomerasi dan sebagainya. Untuk semua kebutuhan, tidak boleh ada penentuan tarif, dan tidak boleh ada distorsi pasar. Angkutan umum, baik darat, laut dan udara tidak boleh ditetapkan tarifnya namun tidak boleh ada distorsi pasar. Demikian juga semua barang dan jasa baik bersifat pokok, maupun sekunder tidak boleh ditentukan tarif dan tidak boleh ada distorsi pasar. Harga harus tetap merupakan kerelaan kedua belah pihak baik dia bernilai sama dengan barangnya ataupun kesepakatan itu di bawah nilainya ataupun berada di atas nilai sebenarnya.
Akan tetapi apabila para pedagang sudah menaikkan harga di atas batas kewajaran, mereka itu telah berbuat zalim dan sangat membahayakan umat manusia, maka seorang penguasa (pemerintah) harus campur tangan dalam menangani persoalan tersebut dengan cara menetapkan harga standar. Dengan maksud untuk melindungi hak-hak orang lain, mencegah terjadinya penimbunan barang dan menghindari dari kecurangan para pedagang. Inilah yang pernah dilakukan Umar bin Khattab.
Abdurrazaq meriwayatkan dalam al-Mushnaf, Ib.nu Hazm dalam al-Muhalla dan Malik dalam al Muwatha ’bahwa Umar pernah lewat di depan Hathib bin Abi Baltha’ah yang sedang berada di pasar al Mushalla. Di depan pedagang ini terdapat dua karung anggur kering. “Bagaimana engkau menjualnya wahai Hathib? tanya Umar kepada Hathib.” Dua nya seharga satu dirham, jawab Hathib. Maka Umar berkata, ’’Sungguh telah tiba serombongan unta yang datang dari Thaif dengan membawa anggur kering. Anda telah mematok harga standar dan mereka mengikutinya. Kalian (para pedagang) telah membeli dari rumah-rumah penduduk kami, kalian menghancurkan kami, sementara pasar ini pasar kami, tapi kalian telah memenggal leher kami, kalian menjualnya semau kalian? Juallah satu sha-nya (empat mud) dengan harga satu dirham, kalau tidak janganlah berdagang di pasar kami. Berjalanlah di muka bumi ini dengan mengais barang dagangan sebagaimana tengkulak (al jaalib) yang tidak punya kios di pasar, kemudian juallah sesuai cara kalian sendiri”, tutur Umar (Al Haritsi, 2008).
Dalam hal ini Umar bin Khattab selaku pemegang kekuasaan tertinggi ikut campur tangan dalam menangani masalah harga pasar, dengan menentukan harga wajar yang tidak merugikan para pedagang dan tidak pula memberatkan para konsumen. Sedangkan membubungnya harga pada masa peperangan atau pada saat terjadinya krisis politik disebabkan oleh pasokan barang tersebut di pasaran yang tidak mencukupi, atau adanya penimbunan barang dan kelangkaan barang tersebut. Apabila tidak adanya barang tersebut karena penimbunan, maka pemerintah berhak menahan pelaku penimbunan tersebut. Sedangkan kalau akibat kelangkaan barang, maka pemerintah diharuskan mengadakan pengadaan barang yang langka tersebut. Pada masa Umar bin Khattab pernah terjadi masa paceklik yang terjadi hanya di Hijaz. sebagai akibatnya, bahan makanan sangat langka. Karena itu pula, harga makanan membumbung tinggi. Untuk mengatasinya, khalifah Umar bin Khatab tidak mematok harga tertentu untuk makanan, serta mengirim dan mensuplai makanan dari Mesir dan dari Syam ke Hijaz, sehingga berakhirlah kondisi krisis tersebut.
Para ulama dari mazhab terkenal, yaitu Hambali dan Syafi'i, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Oudamah Al-Maqdisi adalah salah seorang ulama bermazhab Hambali menulis bahwa Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk (Abdullah Mustofa al Maraghi, 2001 dalam Sudarsono, 2004). Penduduk boleh menjual barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang mereka sukai. Ibnu Oudamah beralasan dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. yang mengatakan: bahwa ada seorang laki-laki datang lalu berkata, "Wahai Rasulullah SAW tetapkanlah harga ini, maka beliau menjawab: tidak justru biarkanlah saja’’ kemudian beliau didatangi oleh laki-laki yang lain mengatakan, wahai Rasululah SAW, tetapkanlah harga ini, maka beliau menjawab, "tidak tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan".
Ibnu Oudamah mengutip hadits di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenankannya mengatur harga (A.A Islahi, 1997):
Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu diperbolehkan pasti Rasulullah akan melaksanakannya.
Menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (dhalim) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang di dalamnya. Setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun: asal ia sepakat dengan pembeliannya.
Ibnu Qudamah menganalisis penetapan harga dari pandangan ekonomis, yang juga mengindikasikan tidak menguntungkan bentuk pengawasan atas barang. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan/menurunnya pengawasan. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaan, juga akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama akan mendorong produksi dalam negeri mencari pasar luar negeri/menahan produksinya, sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya, akan terjadi kurangnya pengawasan. Tuan rumah akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.
Namun demikian, dalam ekonomi Islam terbentuknya harga keseimbangan pasar (equilibrium price) mempertimbangkan beberapa hal:
Bentuk pasar di dalam ekonomi Islam yang ideal adalah pasar persaingan sempurna
Pasar persaingan sempurna adalah pasar di mana kondisi pasar yang kompetitif dan terbuka mendorong segala sesuatunya menjadi persaingan sehat dan adil, suka sama suka (ba’ena an-tarodim minkum), hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An Nisaa ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".
Semakna dengan suka sama suka adalah sama-sama merelakan keadaan masing-masing diketahui oleh orang lain, berarti produsen dan konsumen mengetahui secara langsung kelebihan dan kelemahan dari barang yang ada di pasar, maka menjadikan semua pihak mendapatkan kepuasan. Bila produsen menjual produknya secara tidak terbuka maka masyarakat akan merasa kurang puas, sehingga konsumen akan memilih produsen yang lain.
Dilarang Melakukan Ikhtar
Dalam ekonomi Islam, siapa pun boleh berbisnis. Namun demikian, dia tidak boleh melakukan ikhtar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Dalam membahas harga pasar, seorang ulama salaf yaitu Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran terhadap harga (dalam Islahi, 1997).
Keinginan masyarakat (Ar-roghbah) atas suatu jenis barang mempunyai sifat berbeda-beda.
Perubahan jumlah barang tergantung pada jumlah para peminta. Jika jumlah suatu jenis barang yang diminta masyarakat meningkat, harga akan naik dan sebaliknya jika jumlah permintaannya menurun.
Hal itu juga akan berpengaruh atas menguatnya/melemahnya tingkat kebutuhan atas barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan.
Harga yang berubah-ubah sesuai dengan (kuantitas pelanggan) siapa saja pertukaran barang itu dilakukan (la-mu’awid).
Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli, jika yang digunakan umum dipakai (naqd ra'ji), harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran.
Disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya (timbal balik) pemilikan oleh kedua pihak yang melakukan transaksi, jika si pembayar mampu melakukan pembayaran dan diharapkan mampu memenuhi janjinya, tujuan dari transaksi itu bisa diwujudkan dengannya.
PENGAWASAN HARGA KESEIMBANGAN
Sebagaimana pembahasan awal, pada dasarnya harga diserahkan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli sebagaimana keterangan di awal. Namun dalam keadaan tertentu, penentuan harga oleh yang berwenang bisa dijalankan. Penentuan di sini bermakna pengaturan atau pengawasan (kontrol) harga supaya terjadi keseimbangan. Sebagaimana yang terjadi pada khalifah Umar yang memiliki perhatian besar dalam mengikuti perkembangan harga dan mengawasinya. Ketika datang utusan kepadanya, maka dia bertanya tentang keadaan mereka dan harga-harga pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa tingkat harga dianggap sebagai indikasi terbesar tingkat mata pencaharian, karena dia mempunyai pengaruh terhadap nilai mata uang. Bahkan naiknya harga merupakan indikasi terbesar Inflasi, di mana ketika terjadi inflasi, harga-harga meningkat secara tajam. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya nilai mata uang. Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang berbahaya yang bisa menghalangi langkah pertumbuhan ekonomi atau memberhentikan sama sekali langkah tersebut (Al Haritsi, 2008).
Pengaturan harga diperlukan bila kondisi pasar tidak menjamin adanya keuntungan di salah satu pihak, jadi sebatas intervensi oleh pemerintah so!ampat. Pemerintah harus mengatur harga, misalnya bila ada kenaikan harga baung di atas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, pemerintah meningkatkan pembelian atas produk produsen tersebut dari pasar. Peran pemerintah tersebut berlaku di saat ada masalah masalah yang ekstrem sehingga pemerintah perlu memantau kondisi pasar setiap saat guna melihat kemungkinan diperlukannya pengaturan harga.
Dalam konsep ekonomi Islam, cara pengendalian harga ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada permintaan dan penawaran, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui intervensi pasar, sedangkan bila penyebabnya adalah distorsi terhadap permintaan dan penawaran, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan harga untuk mengendalikan harga pada keadaan sebelum distorsi. Intervensi pasar menjadi sangat penting dalam menjamin pengadaan barang kebutuhan pokok. Dalam keadaan kekurangan barang kebutuhan pokok, pemerintah dapat membuat aturan supaya pedagang yang menahan barangnya untuk dijual ke pasar.
Bila daya beli masyarakat lemah pemerintah dapat membuat kebijakan supaya produsen meningkatkan output produksi guna meningkatkan jumlah barang kebutuhan pokok di pasar. Dalam hal ini pemerintah juga dapat membentuk lembaga logistik guna menjaga supaya produsen dan konsumen tidak dirugikan oleh naik turunnya harga. Dalam keadaan nilai uang yang tak berubah, kenaikan harga/penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Harga suatu barang dapat saja dinaikkan, namun bila tidak terjangkau harganya oleh masyarakat, harga barang tersebut akan turun kembali. Intervensi pasar tidak selalu diartikan pemerintah menambah jumlah ketersediaan barang.
Sedangkan menurut Karim (2001) kebolehan intervensi harga antara lain karena:
intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat,
apabila kondisi menyebabkan perlunya intervensi harga, karena jika tidak dilakukan intervensi harga, penjual menaikkan harga dengan cara ikhtikar/ghaban faa hisy,
pembeli biasanya mewakili masyarakat kelompok masyarakat yang lebih kecil. Artinya investigasi harga harus dilakukan secara proporsional dengan melihat kenyataan tersebut.
Rangkuman
Prinsip-prinsip pasar efisien antara lain: 1) tidak menipu, 2) tidak ada akad-akad ilegal, 3) mencegat barang sebelum sampai di pasar, 4) dilarang menimbun barang, 5) tidak ada monopoli perdagangan.
Akad-akad yang diharamkan tersebut antara lain: 1) akad yang mengandung riba, 2) akad yang mengandung perjudian, 3) jual-beli yang mengandung gharar (dengan tipu daya), 4) mulamasah, 5) munabazah, 6) najsy serta tsuna’niyah atau tsulatsiyyah.
Dalam konsep ekonomi Islam, yang Peking prinsip adalah harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran.keseimbangan ini terjadi apabila penjual dan pembeli bersikap saling merelakan (ba’ena an-ttarodim minum). Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan kepentingannya atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan harga tersebut dari penjual.
Pada dasarnya harga diserahkan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli sebagaimana keterangan di awal Namun,dalam keadaan tertentu penentuan harga oleh yang berwenang bisa dijalankan dalam arti sebatas “pengawasan harga”. Pengaturan harga diperlukan bila kondisi pasar tidak menjamin adanya keuntungan di salah satu pihak, jadi sebatas intervensi oleh pemerintah setempat.