MASA DEPAN SARJANA HUKUM KITA
Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH. MH1
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh
Yang terhormat Ketua dan segenap anggota senat Akademika STIH
IBLAM, Ketua STIH IBLAM, Ketua Yayasan LPIHM IBLAM, Kepala LLDIKTI
Wilayah III Jakarta, para Wisudawan/Wati serta para undangan dan hadirin
sekalian.
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, maka izinkan
saya menghaturkan terima kasih dalam Sidang Senat Terbuka dengan Agenda
Wisuda Sarjana dan Magister ke XXVI yang terhormat ini diundang untuk dapat
menyampaikan orasi ilmiah dihadapan para hadirin yang saya hormati sekalian.
Orasi Ilmiah yang hendak saya sampaikan berjudul “Masa Depan Sarjana Hukum
Kita”.
Masa depan merupakan sesuatu yang menarik dipertanyakan dikarenakan
dapat melahirkan dua pertanyaan yang penting yaitu, apakah kita dapat
memandang masa depan dengan optimis, atau justru pesimis. Suatu sikap yang
optimis akan disadari apabila mengetahui bahwa kekuatan kita jauh lebih kuat
daripada tantangan yang dihadapi, sedangkan sebaliknya, kita akan bersikap
pesimis ketika diketahui bahwa ternyata kemampuan yang kita miliki ternyata
belum cukup untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Terlepas dari
apapun kesimpulannya nanti, pemetaan terhadap tantangan masa depan menjadi
1
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
1
hal yang penting karena akan terus mendorong kita untuk memiliki tekad
memperkuat kapasitas diri kita.
Orasi ilmiah saya ini dimaksudkan untuk mampu menjawab bagaimana
dengan masa depan sarjana hukum kita?. Pertanyaan utama tersebut akan mampu
dijawab apabila kita mampu menjawab dua pertanyaan pendahuluan yaitu,
tantangan apa yang akan dihadapi sarjanan hukum kita ke depan? dan Hal-hal apa
sajakah yang perlu diantisipasi bagi para sarjana hukum kita?. Dengan demikian
beberapa pertanyaan tersebut merupakan pijakan bagi saya menguraikan orasi
ilmiah ini.
Para hadirin dan para Wisudawan/wati yang saya hormati.
Apabila merunut waktu, usia pendidikan hukum di Indonesia telah berjalan
lebih dari satu abad.2 Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen tercatat
merupakan bentuk pertama lembaga pendidikan hukum di Indonesia yang
berkedudukan yang setara dengan pendidikan menengah. Sekolah ini didirikan
dengan maksudkan untuk mendidik pegawai pemerintah Hindia Belanda agar
memahami
dan
memiliki
ketrampilan
berhukum.3
Pada
tahun
1922,
Opledingsschool berubah nama menjadi Rechtsschool. Lembaga pendidikan hukum
ini bertahan sampai dengan 18 Mei 1928, kemudian dibubarkan. Sebelumnya,
lembaga pendidikan ini telah tidak menerima siswa baru sejak tahun 1925. Sebagai
gantinya, pada tanggal 28 Oktober 1924 lembaga pendidikan tinggi hukum
2
Dari sisi historis, pendidikan hukum di Hindia Belanda dimulai pada tanggal 26 Juni
1909 dengan didirikannya opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen. [Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Gra ndo Persada, 1995, hlm. 145]
3
Diundangkan menurut Stb.No. 93/1909 Sedangkan pendidikan tinggi hukum itu sendiri
baru diselenggarakan mulai tahun 1924, berdasarkan Hooger Onderwijs-Ordonnantie (Ordonansi
Pendidikan Tinggi), Stb. No. 457/1924
2
didirikan
dengan
nama
Rechtshoogesschool.4
Sekalipun
pada
mulanya
penyelenggaraan pendidikan hukum lebih berorientasi pada hal-hal yang
pragmatis, namun demikian sejarah telah mencatat bahwa lulusan pendidikan
hukum dan pendidikan tinggi hukum ini tidak hanya memiliki pemahaman dan
kemahiran berhukum, tetapi juga mampu memberikan konstribusi pemikiran dan
melahirkan semangat nasionalisme, terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka
yang telah belajar hukum ini, baik pada Rechtsschool/Rechtshoogesschool maupun
yang berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi hukum di Belanda, telah
menjadi peletak Indonesia sebagai Negara merdeka yang berkarakterkan negara
(hukum) modern.5
Setelah lebih dari satu abad, pendidikan tinggi hukum (Indonesia) berjalan
dengan problematika keilmuan yang memunculkan berbagai spekulasi penilaian
yang berbeda-beda. Disatu sisi, menilai bahwa pendidikan tinggi hukum telah
berusaha untuk menjawab berbagai tantangan zaman yang terus berkembang
sehingga melahirkan corak pendidikan tinggi hukum yang sedikit banyak berbeda
dibandingkan dengan pendidikan hukum yang konvensional, dan ini dianggap
sebagai keniscayaan (conditio sine qua non).6 Sementara kelompok yang lain
menilai bahwa perkembangan pendidikan tinggi hukum telah melacurkan diri
4
Gubernur Jenderal D. Fock pada tanggal 9 Oktober 1924 menetapkan Reglement van de
Rechtshoogeschool (Reglemen Sekolah Tinggi Hukum), Stb. No. 457/1924 dan dinyatakan berlaku
efektif pada saat dibukanya Rechtshoogesschool (disingkat RHS)
5
Dalam pandangan Max Weber, salah satu ciri negara modern dari perspektif hukum
adalah sifat saling mengada. Artinya, hukum modern hanya bias dilahirkan oleh Negara modern.
Sebaliknya, Negara modern hanya dapat bertahan dan dipertahankan dengan berinstrumentkan
hukum modern. [David M. Trubek, Max Weber on Law and the Rise of Capitalism, Faculty
Scholarship Series. 4001, 1972), hlm 221]
6
Sejatinya, perkembangan ilmu hukum sendiri tidaklah bersifat statis, demikian juga
perkembangan paradigm hukum. Reaksi terhadap positivism hukum dengan corak pemikiran
sociological jurisprudence, legal realism, critical legal studies dengan berbagai variannya, serta
lahirnya legal postmodernism, menandakan dinamika pemikiran hukum yang tidak pernah
stagnan diantara ahli hukum. Demikian juga, munculnya paradigma post positivism, critical
paradigm, dan constructivism paradigm, merupakan bukti lain dari perkembangan ilmu hukum.
[Norman K. Dezin, Yvanna S. Lincoln Handbook of Qualitative Research, (London: Sage
Publications, 1996) hlm 22-23]
3
menjadi pendidikan sosial, dengan pendekatan dan metode ilmu-ilmu sosial, dan
oleh karenanya perlu dilakukan reorientasi.7 Apabila merujuk evaluasi yang
dilakukan oleh berbagai Guru Besar Ilmu Hukum, ternyata tujuan pendidikan
hukum tidak otonom, Tujuan dari pendidikan hukum sangat bergantung pada
apa yang dikehendaki oleh suatu pemerintahan ataupun kondisi yang spesi k
berlaku di Indonesia.8 Namun demikian bila dilihat dari lulusan yang dihasilkan
oleh fakultas hukum, berbagai tujuan pendidikan hukum tidak berpengaruh
secara signi kan. Terlepas berbagai beberapa pandangan tersebut, pendidikan
tinggi hukum memiliki peran yang penting dalam pencapaian tujuan negara.
Saat ini, pendidikan tinggi hukum yang diasosiasikan sebagai fakultas
hukum merupakan salah satu fakultas yang paling banyak didirikan di Indonesia.
Hingga tahun 2018 telah ada 330 pendidikan tinggi hukum yang terdiri dari 306
fakultas dan 24 sekolah tinggi. Menurut perhitungan, jika masing-masing setiap
tahun meluluskan 100 orang, maka dalam setiap tahun ada 13.000 sarjana hukum
di Indonesia.9 Jumlah sesungguhnya saat ini tentu lebih besar lagi karena
penerimaan mahasiswa baru setiap tahun cenderung mengalami peningkatan,
dikarenakan faktanya ada fakultas hukum yang menerima 700-an mahasiswa
baru. maka, sebagai produsen Sarjana Hukum, tentu ukuran paling relevan
terhadap keberhasilan pendidikan tinggi hukum adalah apakah lulusan itu
memiliki peran positif bagi perkembangan bidang hukum.
7
Dari sekian banyak ilmuwan, yang gelisah dengan arus perkembangan ilmu hukum
yang demikian adalah Peter Mahmud Marzuki. Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, secara
panjang lebar menguraikan argumentasinya tentang arah pendidikan hukum yang telah
terkontaminasi dengan ilmu sosial padahal (diargumentasikan) ilmu hukum adalah ilmu yang
memiliki karakter sebagai sui generis. [Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2009), hlm. 1-39]. Sejajar dengan itu, argument Marzuki juga diamini oleh
Titon [Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari Prananingrum, Pendidikan
Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, (Fakultas Hukum UKSW,
Salatiga, 2009), hlm. 7-36]
8
Hikmahanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, (Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol 35 No. I, Januari- Maret 2005), hlm 2
9
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia dengan
Arah Pembangunan, Makalah disampaikan pada ulang tahun ke-15 Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan, tanpa tahun.
4
Oleh karena itu tidak salah jika ada gugatan terhadap eksistensi dan peran
pendidikan tinggi hukum jika melihat kondisi hukum di Indonesia yang belum
banyak berubah, apalagi dihadapkan dengan hadirnya Revolusi Industri 4.0 atau
The Fourth Industrial Revolution (4IR) yang tidak dapat dipungkiri merupakan
konsep yang secara luas kerap diperbincangkan.10 Pembicaraan secara mendunia
oleh berbagai kalangan khususnya para ekonom mengambil suatu kesimpulan
terkini menyambut bergulirnya 4IR ditenggarai akan mendorong perubahan
besar terhadap masa depan pendidikan khususnya dalam mempercepat
peningkatan kemampuan berinovasi.11
Para hadirin dan para Wisudawan/wati yang saya hormati.
Berdasarkan gambaran-gambaran di muka, maka tantangan yang dihadapi
masa mendatang adalah iklim kompetitif sarjana hukum yang jauh lebih tinggi di
bandingkan dari dekade-dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh tiga hal
yaitu, pertama, pergerakan peran materi hukum sebagai sarana stimulus
(liberalization), kedua, tendensi penurunan biaya jasa hukum konvensional (the
more for less problem) dan ketiga, perkembangan sarana yang mendukung sistem
sosial yang berkarakter hyper-koneksitas (the hyper connectivity society).
10
Indikator yang sering digunakan oleh publik untuk menilai kondisi hukum di
Indonesia adalah berbagai survey yang menghasilkan indeks korupsi dan membuat ranking
lembaga-lembaga negara. Tahun 2013, survey Transparansi Internasional menunjukkan skor
indeks korupsi Indonesia adalah 32 (nilai tertinggi 100) dan menempati peringkat 144 dari 177
negara. Sementara itu KPK mengeluarkan hasil survey yang menilai lembaga terkorup adalah
kepolisian, DPR, dan pengadilan. Pada tahun 2012 Fitra mengeluarkan hasil analisis terhadap
hasil Audit BPK yang menunjukkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang paling berpotensi
korupsi dan merugikan keuangan negara hingga Rp.5,4 triliun. Pada tahun 2013 Indonesian Legal
Rountable merilis hasil penelitian yang menunjukkan skor persepsi negara hukum Indonesia
hanya 4,53 dari skala 1 - 10, serta skor independensi kekuasaan kehakiman hanya 4,72.
[Muchamad Ali Safaat, Standarisasi Pendidikan Tinggi Hukum, Makalah pada Konferensi
Nasional Pendidikan Tinggi Hukum yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Trunojo, 31 Oktober 2014. hlm 3]
11
World Economic Forum, “Realizing Human Potential in the Fourth Industrial Revolution –
An Agenda for Leaders to Shape the Future of Education, Gender and Work” (paper, World Economic
Forum, Geneva, 2017).
5
Terhadap sumber tantangan yang pertama itu dilahirkan dari segi
perkembangan materi hukum kita. Di masa depan akan ada kecenderungan
mereformulasi bentuk materi hukum yang mampu mengorientasikan dirikan
kepada misi (mission-driven).12 Pandangan ini akan semakin menjadi arah
perencanaan materi hukum ke depan disebabkan sistem sosial yang juga semakin
bergerak kearah hyper-connecivity, yaitu sistem sosial yang berorientasi pada misi
dan inovasi. Sedangkan paradigma klasik yang meletakan materi hukum sebagai
patron-patron dalam bertindak (rule-driven) menjadi jauh ditinggalkan.13 Sehingga
isu tentang rasionalisasi regulasi akan terus berkembang hingga menemukan titik
kesimbangan antara regulasi yang dianggap sebagai sarana membatasi berjalan
seimbang dengan regulasi sebagai sarana stimulasi (pembebasan).
Terhadap sumber tantangan yang kedua, sesungguhnya merupakan dari
segi sumber daya manusia kita. Jumlah sarjana hukum yang meningkat setiap
tahunnya jelas akan meningkatkan daya saing antar para sarjana hukum. di
tambah dalam perkembangan satu dekade belakangan, Teknologi mulai
memainkan peran yang lebih dalam pemberian jasa (legal service) kepada para
pihak yang membutuhkan. Peran teknologi yang demikian masif mengakibatkan
preferensi pengguna jasa hukum akan beralih kepada produk-produk jasa hukum
berbasiskan teknologi dikarenakan sebagian kini peran sarjana hukum mulai
tergantikan.14 Kemampuan penulusuran literatur dan sumber hukum yang pada
2-3 dekade lalu hanya dimiliki para sarjana hukum, namun masa kini telah
digantikan pada berbagai sistem informasi dokumen hukum yang membuat
pengguna jasa hukum mendapatkan informasi tersebut tanpa membutuhkan
seorang sarjana hukum lagi. Sarjana hukum hanya diperlukan ketika literatur
12
Susskind, Richard. Tomorrow's lawyers: An introduction to your future. Oxford
University Press, 2023.
13
Brescia, Raymond H., Walter McCarthy, Ashley McDonald, Kellan Potts, and
Cassandra Rivais. "Embracing disruption: How technological change in the delivery of legal
services can improve access to justice." Alb. L. Rev. 78 (2014): 553.
14
Appelbaum, Richard P. "The future of law in a global economy." In Commercial Law in
East Asia, pp. 3-24. Routledge, 2017.
6
dan/atau sumber hukum telah ditemukan perlu untuk mendapatkan penjelasan
mengenai normanya. Namun bahkan terkini, berbagai penjelasan tersebut
bahkan sudah tersedia di berbagai sistem informasi yang menyediakan hal
tersebut. Kondisi melahirkan apa yang di kemukakan Richard Susskind bahwa di
masa depan, biaya jasa hukum akan semakin kompetitif apabila tidak mau
menyebut murah. Kondisi inilah yang biasa disebut sebagai the more for less
problem, yaitu situasi dimana tuntutan adanya pemberian jasa hukum yang
memiliki ruang lingkup yang luas dengan harga yang lebih murah.15 Hal ini
disebabkanya perkembangan materi hukum yang semakin memiliki konekti tas
dan perubahan kebijakan seperti pergeseran red light legal policy ke green light legal
policy. Pergeseran ini mengakibatkan biaya jasa hukum menjadi semakin murah
yang juga berakibat adanya kompetisi kreati tas sarjana hukum dimasa
mendatang untukm tidak hanya bergerak di bidang jasa, namun juga produk
hukum semakin berkembang dewasa ini.
Terhadap sumber tantangan yang ketiga, sesungguhnya merupakan
tantangan yang didorong oleh perkembangan teknologi dan informasi.
Perkembangan teknologi dan informasi mengakibatkan perkembangan kebiasaan
pemberian
jasa
hukum.
perkembangan
teknologi
dan
arus
informasi
mengakibatkan pemberian jasa hukum ditafsirkan dengan produk teknologi itu
sendiri. Seperti misalnya dahulu banyak sarjana hukum diperlukan untuk
melakukan inventaris dan mengindenti kasi sumber hukum untuk keperluan
bisnis atau pemerintahan, namun kini masalah itu dipecahkan dengan berbagai
sistem informasi hukum yang mampu menemukan aturan yang terkonsolidasi
maupun memetakan sumber hukum berdasarkan isu hukum yang diatur.
Perkembangan teknologi ini jelas memberikan kemudahan dalam studi hukum
ketika seseorang menempuh pendidikan hukum. Namun akan menjadi
15
Knake, Renee Newman. "Democratizing the delivery of legal services." Ohio St. LJ 73
(2012): 1.
7
kompetitor ketika terjun dalam profesi hukum.16 Pada akhirnya tantangan ini
akan melahirkan berkembangnya produk-produk teknologi yang berfungsi
sebagai pemberi jasa hukum. Namun, dibalik itu semua kemampuan sarjana
hukum menciptakan hal yang demikian ini akan mengakibatkan tumbuhnya
berbagai pekerjaan baru seperti misalnya legal knowledge engineer, legal technologist,
legal process analysist, legal data scientist, legal risk manager atau Praktisi Online
Dispute Resolution (ODR).
Para hadirin dan para Wisudawan/wati yang saya hormati.
Beberapa
tantangan
sebagaimana
diuraikan di muka jelas akan
mempengaruhi cara berhukum para sarjana hukum kita. Istilah berhukum yang
saya maksud disini adalah bagaimana membuat dan menegakkan hukum.
Pembuatan dan penegakkan hukum di masa depan akan mengalami paradigma
jauh lebih “industrialis”. Paradigma ini akan membawa aspek positif yaitu
dekolonialisasi materi-materi dan prosedur-prosedur hukum namun disisi lain
juga bisa berimbas kepada desakralisasi prinsip-prinsip rule of law menjadi rule by
law.
Para sarjana hukum kita di masa mendatang perlu memiliki kemampuan
intrapersonal dan interpersonal yang mumpuni. Dua kemampuan tersebut adalah
kemampuan beradaptasi dan kemampuan berkolaborasi. Kemampuan beradaptasi
bukanlah kemampuan yang sporadis, melainkan dengan perencanaan. Setiap
sarjana hukum kita harus mampu mengenali dan memetakan persoalan-persoalan
di masyarakat sehingga dapat memetakan dan merencanakan bagaimana seorang
sarjana hukum bersikap, berkarir, dan menciptakan inovasi dalam karirnya.
Kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan penguasaan teknologi,
informasi dan bahasa asing. Penguasaan terhadap ketiganya akan memudahkan
untuk menuju kemampuan berikutnya yaitu berkolaborasi. Saat ini kolaborasi
16
Ibnu Sina Chandranegara, Masa Depan Pendidikan hukum & Pendidikan Hukum di
Masa Depan, dalam Ibnu Sina Chandranegara dan Lut i Marfungah (eds), Hukum Indonesia di
Masa Depan, Jakarta: Radjawali Press, 2021
8
adalah salah satu cara yang signi kan dalam meningkatkan derajat kemampuan
akademik dan praktis, jenjang karir, jaringan (networking), dan peningkatan nilai.
Kemampuan kolaborasi juga akan meningkatkan daya saing bagi seorang sarjana
hukum kita di masa depan.
Seringkali dalam perkuliahan-perkuliahan saya memberikan suatu situasi
paradoks yang terjadi kekinian dalam profesi hukum kita kini yaitu, seorang
sarjana hukum ketika menjalankan studinya, ia akan di didik untuk bekerja
secara orisinil, berupaya menulis karya ilmiah sesuai dengan kemandirian berpikir
dengan patron metode riset yang telah baku, namun di dalam praktik dunia kerja,
seorang sarjana hukum justru di didik untuk bekerja sesuai batas-batas yang telah
ditentukan apabila tidak mau disebut menjiplak. Hal ini menunjukan bahwa ada
selalu kesenjangan antara bagaimana seharusnya dengan bagaimana senyatanya
khususnya dalam bagaimana praktik hukum. Kondisi ini merupakan kenyataan
yang perlu disadari sebagai tantangan yang harus dihadapi. Namun, bukan berarti
pula kondisi ini menjadikan sikap kita dalam berhukum menjadi skeptis.
Dikarenakan tantangan ini juga menjadikan para sarjana hukum kita menemukan
cara untuk meminimalisir deviasi penerapan hukum dan de sit kesadaran hukum
akibat minimnya pemahaman materi-materi hukum yang terkini mengalami
kovergensi antar sistem hukum lainnya.17
Para hadirin dan para Wisudawan/wati yang saya hormati.
Pada akhir orasi saya ini, saya ingin berpesan kepada para wisudawan dan
wisudawati untuk tetap optimis menghadapi tantangan zaman. Setiap orang ada
zamannya dan setiap zaman ada orangnya. Postulat ini memberikan keyakinan
kepada kita bahwa waktu akan menentukan relevansi kita. Hukum di masa-masa
seperti ini sedang mengalami masa transformasi bentuk-bentuk hukum
menjadikan kita semua harus memiliki kemampuan beradaptasi yang baik dan
17
Ramli, Ahmad M. "Dinamika Konvergensi Hukum Telematika dalam Sistem Hukum
Nasional." Jurnal Legislasi Indonesia 5, no. 4 (2018): 1-11. Ramadhan, Choky. "Konvergensi Civil
Law dan Common Law di Indonesia dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum." Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 30, no. 2 (2018): 213-229.
9
membuka sebesar-besarnya untuk berkolaborasi. Terlepas daripada itu tingkat
kesarjanaan maupun master yang diemban harus tidak menghentikan dahaga
saudara-saudara sekalian menuntut ilmu. Karena ilmu mumpuni yang disertai
budi pekerti yang baik akan menjadikan kita tetap relevan ditengah-tengah
perkembangan zaman.
Teruntuk kepada orang tua, suami/istri, anak/kerabat dari para wisudawan
dan wisudawati saya mengucapkan selamat atas direngkuhkan derajat keilmuan
yang
membanggakan
ini.
Dukungan
yang
tiada
henti
kepada
para
wisudawan/wisudawati selama menempuh studi merupakan faktor yang
menentukan atas pencapaian yang rengkuh. Untuk selanjutnya, Dukungan dari
bapak/ibu keluarga wisudawan/wati setelah prosesi wisuda ini merupakan hal
yang juga sama pentingnya sama seperti saat para wisuda/wati menempuh
studinya, karena tantangan dalam karir yang hendak dibangun akan jauh lebih
berat dibandingkan saat studi ilmu hukum baik pada tingkat sarjana maupun
pada tingkat magisternya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jua kita memulangkan segala
persoalan. Semoga Dia senantiasa memberikan rahmat dan hidayah kepada kita
semua.
Billahi sabilil haq fastabiqul khairaat
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 12 Agustus 2023
Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH. MH
10