Teaching Documents by Cristina Eghenter
Praktik konservasi oleh masyarakat adat dan lokal merupakan bentuk relasi masyarakat dengan kawa... more Praktik konservasi oleh masyarakat adat dan lokal merupakan bentuk relasi masyarakat dengan kawasan tertentu yang mendasarkan pada kearifan lokal maupun kesepakatan-kesepakatan untuk melestarikan dan mengelola secara lestarisumber-sumber kehidupannya seperti tanah, air, hutan, padang penggembalaan, dan bentang alam dari laut hingga pegunungan. Kawasan tersebut adalah bagian dari wilayah adat dimana tata kelola secara holistik mencakup aspek fisik, sosial budaya dan kesejarahan keberadaan komunitas dalam menjaga jatidiri dan ruang hidup secara berkelanjutan. Praktik konservasi yang sering disebut dengan istilah Indigenous Peoples’ and Community Conserved Territories and Areas (ICCAs). Istilah ini dalam draft RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem disebut dengan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).
Pengakuan hutan adat oleh Pemerintah melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan oleh Presiden kepada 9 komunitas adat pada akhir tahun 2016 di Istana Negara menjadi momentum penting sejak dibacakannnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 (MK-35). Salah satu kriteria penting dalam proses verifikasi hutan adat mengenai profil komunitas (keberadaan) dan kearifan lokal. AKKM adalah bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan hutan dan sumberdaya alam lainnya. Ada 3 (tiga) hutan adat yang diakui Pemerintah memiliki AKKM dan terdokumentasi oleh WGII, yaitu di wilayah Ammatoa Kajang (Bulukumba), Wanaposangke (Morowali Utara) dan Kasepuhan Karang (Lebak).
Papers by Cristina Eghenter
Journal of Social Issues in Southeast Asia, 2005
... Resource management and traditional knowledge 2. Biodiversity and traditional knowledge: Rice... more ... Resource management and traditional knowledge 2. Biodiversity and traditional knowledge: Rice varieties among the Leppo' Ké of Apau Ping 35 by Indah Setyawati 3 Making a swidden: Social and technological aspects of Leppo' Ké agricultural practices 49 ...
Moussons. Recherche en sciences humaines sur l’Asie du Sud-Est, Dec 1, 2006
Les contenus de la revue Moussons sont mis à disposition selon les termes de la Licence Creative ... more Les contenus de la revue Moussons sont mis à disposition selon les termes de la Licence Creative Commons Attribution-Pas d'Utilisation Commerciale-Pas de Modification 4.0 International.
Berghahn Books, Dec 31, 2022
Borneo Research Bulletin, 2008
In the Heart of Borneo, the highlands at the border between Malaysia and Indonesia, indigenous pe... more In the Heart of Borneo, the highlands at the border between Malaysia and Indonesia, indigenous peoples have come together to establish a cultural forum of the peoples of the highlands of Borneo, Forum Mesyarakat Adat Borneo (FORMADAT), a trans'boundary, grass-root initiative to create and maintain a network of communication and information to help steer development in the highlands in ways that are sustainable and suitable to the needs and aspirations of local people in both Malaysia and Indonesia. The highlands comprise the Upper Padas area in Sabah; Bario, often known as the Kelabit highlands, Ba Kelalan and Long Semado in Sarawak; and the Krayan area in East Kalimantan. The highlands include among the largest surviving intact forested and traditionally farmed catchment area on the island of Borneo. They are also home to rich assemblage of megalithic monuments witness of a history of long settlement in the area. The main ethnic groups inhabiting the area are the Lun Dayeh, Kelabit, Lun Bawang, and Sa'ban. They comprise approximately 15,000 people. Culturally and linguistically, the groups are closely related, speakers of the Apad Wat language. At the first workshop held in Ba Kelalan on 19 September 2003, participants discussed the possibility of establishing a forum to forge stronger links amongst communities on both sides of the border on strategies of common interest beneficial to all parties. The FORMADAT vision outlines the essence of its mandate to foster historical, cultural and family bonds across the international border, and strengthen traditional ways in order to shape and build together a sustainable future for their ancestral land in the highlands of Borneo.
University Microfilms International eBooks, 1995
Konseruasi dan Peran Masyarakat Sumber kehidupan sebagian besar masyarakat lndonesia tergantung a... more Konseruasi dan Peran Masyarakat Sumber kehidupan sebagian besar masyarakat lndonesia tergantung atas terjaminnya akses dan kontrol mereka terhadap sumberdaya alam, serta kelestarian maupun pemeliharaan lingkungan hidup sekitarnya. Kenyataan ini menyebabkan pentingnya keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, demi menjamin hak mereka atas sumber kehidupan yang layak dan lestari, dan untuk mencapai keadilan sosial. WWF-lndonesia meyakini bahwa tercapainya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari sangat tergantung pada keterlibatan masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya, serta dukungan kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan kawasan konservasi secara adil. Peta citra satelit tahun 2O0O menunjukkan bahwa luas hutan dan lahan rusak di lndonesia melampaui 101 juta heKar. Darijumlah tersebut, seluas 59,62 juta hel<tar merupakan kawasan hutan, yang terdiri dari 10,52 juta hektar hutan lindung, dan 4,69 juta hektar hutan konservasi (Purnama, 2003). Sementara itu, ancaman kerusakan serupa juga terjadi pada sumberdaya laut. Hampir 60% persediaan ikan di laut terancam penangkapan yang berlebihan, dan 50% habitat terumbu karang mengalami kerusakan akibat praktik perikanan yang tidak ramah lingkungan (WWF-lndonesia, Marine Program, 2OO4). Kebanyakan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumber daya alam masuk dalam kategori masyarakat miskin. Kondisi kemiskinan yang telah ada diperparah dengan kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan yang tidak lestari. Secara nasional, sebanyak B0% masyarakat pesisir dikategorikan relatif miskin, berpendidikan rendah dan termarjinalisasi (Deparlemen Kelautan & Perikanan, 2003), Selain itu, sejumlah 10,2 juta jiwa dari 48,B juta jiwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dikategorikan miskin (Renstra Departemen Kehutanan, 2005). Di salah satu lokasiWWF-lndonesia di kawasan hutan Rinjani, Pulau Lombok, 70 % dari 600 ribu jiwa penduduk termasuk kategori miskin. Temuan lebih lanjut di lokasi ini menunjukkan bahwa masyarakat miskin semakin dimarjinalkan oleh kebijakan yang tidak konsisten dan ketidakadilan sosial. Untuk itu, kegiatan konservasi yang dilakukan oleh WWF-lndonesia juga diwujudkan dengan memperkuat masyarakat miskin dan marjinal di sekitar kawasan konservasi dalam mengelola sumber daya alam secara lestari bagi kesejahteraan mereka. Lebih jauh lagi, \AAIVF-Indonesia meyakini bahwa pelestarian keanekaragaman hayati hanya dapat dicapaijika masyarakat berperanserta dalam mengelola sumber daya alam. WWF-lndonesia mengukuhkan program Community Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) sebagai salah satu pilar utama dalam program keqarrya secara nasional. Pada akhir tahun 2003, sekitar 57o/o dana program WWF-lndonesia lebih terserap pada kegiatan pemberdayaan masyarakat dan upaya perbaikan kebijakan, bukan semata-mata kegiatan konservasi saja. Hal ini memperlihatkan bahwa WWF-lndonesia juga menyodorkan upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya dam yang lestari sebagai piliharr rryata yang menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah.
ANU Press eBooks, Jul 1, 2006
Parks, Jul 23, 2018
The Aichi Targets agreed at CBD COP 10 in Nagoya, especially Aichi Target 11, recognised that bio... more The Aichi Targets agreed at CBD COP 10 in Nagoya, especially Aichi Target 11, recognised that biodiversity conservation is also occurring outside government protected areas and that Other Effective Area-based Conservation Measures (OECMs) could significantly contribute to achieving effective and equitable conservation by 2020 and beyond. This paper argues that territories and areas conserved by Indigenous peoples and local communities, or 'ICCAs', are good candidates for OECMs when the customary law, traditional knowledge and local institutions are still strong and valued within the communities themselves. One such example of Indigenous conserved areas is tana' ulen or 'restricted forested land', a tradition found among the Dayak Kenyah people in the interior of Kalimantan, Indonesia. Tana' ulen are areas of primary forest rich in valuable timber and non-timber forest products with high economic value for the communities. They have been strictly managed by limiting access and activities under the rule of the customary councils and the customary chief. The identification of ICCAs like tana' ulen as OECM could provide an appropriate form of recognition and incentive for communities to continue to conserve these areas. The recognition, however, also needs to be matched by adequate and appropriate support, and communities' institutions empowered through access to information, partnerships and skills sharing for effective conservation and sustainable use.
Sojourn, Apr 1, 1999
... sociological and a micro-sociological perspective, between opposing modes of expla-... move. ... more ... sociological and a micro-sociological perspective, between opposing modes of expla-... move. By looking at the different strategies of the groups of migrants over time, it is possible to reconstruct the choice environment of the migrants ...
The strength of this volume, as mentioned in the Introduction, is in its comprehensive focus on t... more The strength of this volume, as mentioned in the Introduction, is in its comprehensive focus on the island of Borneo (both Indonesian and Malaysian sides) as a complex and dynamic case study in natural resource management, devolution, antagonism between central state policy and community rights, and the interrelated economic and social implications at the local level. The idea of natural resource management as a privileged 'locus' of research, analysis, and policy advocacy is certainly not new. Nevertheless, this volume contributes important perspectives and indicates, implicitly or explicitly, some key elements that should be considered by analysts and scholars, practitioners and policy makers, in efforts to promote sustainable management of natural resources in the future.
Co-direction d'ouvrage avec Dr Cristina Eghente
Washington …, 2000
... Autor : Eghenter, C. Aut.Corporativo: Biodiversity Support Program, Washington, DC (EUA). Tít... more ... Autor : Eghenter, C. Aut.Corporativo: Biodiversity Support Program, Washington, DC (EUA). Título :Mapping peoples' forests: the role of mapping in planning community-based management of conservation areas in Indonesia. Serie : Discussion Paper Series. ...
Conservation and Mobile Indigenous Peoples
State, Communities and Forests In Contemporary Borneo
In the Heart of Borneo, the highlands at the border between Malaysia and Indonesia, indigenous pe... more In the Heart of Borneo, the highlands at the border between Malaysia and Indonesia, indigenous peoples have come together to establish a cultural forum of the peoples of the highlands of Borneo, Forum Mesyarakat Adat Borneo (FORMADAT), a trans'boundary, grass-root initiative to create and maintain a network of communication and information to help steer development in the highlands in ways that are sustainable and suitable to the needs and aspirations of local people in both Malaysia and Indonesia. The highlands comprise the Upper Padas area in Sabah; Bario, often known as the Kelabit highlands, Ba Kelalan and Long Semado in Sarawak; and the Krayan area in East Kalimantan. The highlands include among the largest surviving intact forested and traditionally farmed catchment area on the island of Borneo. They are also home to rich assemblage of megalithic monuments witness of a history of long settlement in the area. The main ethnic groups inhabiting the area are the Lun Dayeh, Kelabit, Lun Bawang, and Sa'ban. They comprise approximately 15,000 people. Culturally and linguistically, the groups are closely related, speakers of the Apad Wat language. At the first workshop held in Ba Kelalan on 19 September 2003, participants discussed the possibility of establishing a forum to forge stronger links amongst communities on both sides of the border on strategies of common interest beneficial to all parties. The FORMADAT vision outlines the essence of its mandate to foster historical, cultural and family bonds across the international border, and strengthen traditional ways in order to shape and build together a sustainable future for their ancestral land in the highlands of Borneo.
Co-direction d'ouvrage avec Dr Cristina Eghente
Uploads
Teaching Documents by Cristina Eghenter
Pengakuan hutan adat oleh Pemerintah melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan oleh Presiden kepada 9 komunitas adat pada akhir tahun 2016 di Istana Negara menjadi momentum penting sejak dibacakannnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 (MK-35). Salah satu kriteria penting dalam proses verifikasi hutan adat mengenai profil komunitas (keberadaan) dan kearifan lokal. AKKM adalah bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan hutan dan sumberdaya alam lainnya. Ada 3 (tiga) hutan adat yang diakui Pemerintah memiliki AKKM dan terdokumentasi oleh WGII, yaitu di wilayah Ammatoa Kajang (Bulukumba), Wanaposangke (Morowali Utara) dan Kasepuhan Karang (Lebak).
Papers by Cristina Eghenter
Pengakuan hutan adat oleh Pemerintah melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan oleh Presiden kepada 9 komunitas adat pada akhir tahun 2016 di Istana Negara menjadi momentum penting sejak dibacakannnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 (MK-35). Salah satu kriteria penting dalam proses verifikasi hutan adat mengenai profil komunitas (keberadaan) dan kearifan lokal. AKKM adalah bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan hutan dan sumberdaya alam lainnya. Ada 3 (tiga) hutan adat yang diakui Pemerintah memiliki AKKM dan terdokumentasi oleh WGII, yaitu di wilayah Ammatoa Kajang (Bulukumba), Wanaposangke (Morowali Utara) dan Kasepuhan Karang (Lebak).
Pengakuan hutan adat oleh pemerintah melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan oleh Presiden kepada 9 (sembilan) komunitas adat pada akhir tahun 2016 di Istana Negara menjadi momentum penting sejak dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35).
Salah satu kriteria penting dalam proses verifikasi hutan adat mengenai profil komunitas (keberadaan) dan kearifan lokal. AKKM adalah bentuk kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan hutan dan sumber daya alam lainnya. Ada 3 (tiga) hutan adat yang diakui pemerintah memiliki AKKM dan terdokumentasi oleh WGII, yaitu di wilayah Ammatoa Kajang (Bulukumba), Wanaposangke (Morowali Utara) dan Kasepuhan Karang (Lebak).
Penerbitan Panduan Dokumentasi dan Registrasi AKKM ini diharapkan dapat membantu percepatan dokumentasi AKKM oleh para pihak di seluruh Nusantara. Sehingga dapat membantu pemerintah dalam mencapai target konservasi sebagaimana disepakati bersama dalam Aichi Target the Convention on Biological Diversity (CBD) dan dicantumkan dalam IBSAP 2015-2020, serta dalam melaksanakan amanat Putusan MK-35 untuk Pengakuan Hutan Adat. Selain itu, dokumentasi AKKM ini juga dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan mandat UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di antaranya pengakuan kearifan lokal. Bagi masyarakat adat dan lokal dapat menggunakan panduan ini untuk membantu proses dokumentasi dan registrasi AKKM sehingga dapat dipahami dan dijaga oleh seluruh anggota masyarakat sebagai pengampu AKKM, juga pengakuan dan perlindungan dari pemerintah.
Terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penerbitan panduan ini. Ketidaksempurnaan adalah sifat manusia, oleh karena kritik dan saran sangat penting untuk perbaikan panduan ini.