File
File
File
BAB 2
LANDASAN TEORI
tukar mata uang yang dilakukan oleh bank sentral disebut dengan revaluasi.
Sedangkan, penyesuaian ke bawah atau penurunan nilai tukar mata uang yang
dilakukan oleh bank sentral disebut dengan devaluasi.
nilai tukar mata nilai tukar mata uang nominal x harga barang domestik
uang riil =
harga barang luar negeri
Dengan demikian, nilai tukar mata uang riil bergantung pada tingkat harga barang
dalam mata uang domestik serta nilai tukar mata uang domestik tersebut terhadap
mata uang asing. Jika nilai tukar mata uang riil dari mata uang domestik tinggi,
maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih murah dan harga barang-
barang di dalam negeri relatif lebih mahal. Sebaliknya, jika nilai tukar mata uang
riil dari mata uang domestik rendah, maka harga barang-barang di luar negeri
relatif lebih mahal dan harga barang-barang di dalam negeri relatif lebih murah.
1971, serta setelah terjadinya serangkaian krisis nilai tukar mata uang di beberapa
negara, baik di negara maju maupun negara berkembang, hingga tahun 1973. Hal ini
kemudian melahirkan suatu konsep dalam ekonomi yang disebut dengan Impossible
Trinity. Konsep Impossible Trinity menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat secara
simultan mencapai tiga sasaran kebijakan moneter, yaitu stabilitas nilai tukar
(exchange rate stability), independensi kebijakan moneter (monetary independence),
dan integrasi kepada pasar keuangan dunia (full financial integration). Oleh karena
itu, suatu negara harus menentukan sistem dan kebijakan nilai tukar mata uangnya
yang sesuai untuk dapat mencapai sasaran kebijakan moneter yang dipilihnya.
Berdasarkan kebijakan tingkat pengendalian nilai tukar mata uang yang
diterapkan suatu negara, sistem nilai tukar mata uang secara umum dapat digolongkan
menjadi empat kategori, yaitu (Madura, 2008):
a. Sistem nilai tukar mata uang tetap (fixed exchange rate system)
Dalam sistem nilai tukar mata uang tetap, nilai tukar mata uang akan diatur oleh
otoritas moneter untuk selalu konstan atau dapat berfluktuasi namun hanya dalam
suatu batas yang kecil. Dalam hal ini, otoritas moneter memelihara nilai tukar
mata uang domestik terhadap mata uang asing pada nilai tertentu dengan cara
membeli atau menjual mata uang asing untuk mata uang domestik pada harga
yang tetap.
Dengan sistem ini, dunia usaha akan diuntungkan oleh karena resiko fluktuasi
nilai tukar mata uang dapat dikurangi, sehingga hal ini dapat meningkatkan
aktivitas perdagangan dan investasi internasional. Namun demikian, dengan
sistem ini tetap terdapat resiko dimana pemerintah dapat melakukan perubahan
nilai tukar mata uang yang diberlakukan dengan melakukan devaluasi atau
revaluasi, terutama saat nilai tukar mata uang tersebut di pasar mengalami
perubahan yang besar. Dengan hal ini, secara makro, negara dan dunia usaha akan
menjadi lebih sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi yang terjadi di negara
lain.
b. Sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas (free floating exchange rate
system)
Dalam sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas, nilai tukar mata uang
ditentukan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Berbeda
dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, dengan sistem nilai tukar mata uang
mengambang bebas fluktuasi nilai mata uang dibiarkan sehingga nilainya sangat
Dalam hal pemilihan sistem nilai tukar mata uang yang sesuai dengan
perekonomian suatu negara, Goeltom dan Zulferdi (1998) menjelaskan beberapa
pertimbangan yang dapat digunakan dalam pemilihan sistem nilai tukar mata uang
dala suatu negara, antara lain:
pembayaran yang kuat disebabkan oleh besarnya penerimaan dari sektor migas
yang meningkatkan cadangan devisa. Hal ini juga didukung oleh tingginya harga
minyak mentah dunia dimana saat itu disebut-sebut sebagai masa keemasan
minyak.
c. Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali (managed floating exchange
rate)
Sistem nilai tukar mata uang ini diterapkan sejak November 1978 sampai dengan
Agustus 1997. Pada periode ini nilai rupiah tidak hanya dikaitkan dengan dolar
Amerika Serikat namun juga beberapa mata uang asing lainnya. Pada masa ini
telah terjadi tiga kali devaluasi, yaitu pada bulan November 1978, Maret 1983,
dan September 1986. Setelah devaluasi tahun 1986, nilai rupiah diperbolehkan
terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk mempertahankan nilai tukar riil yang
lebih baik. Pada masa ini sistem nilai tukar mata uang dibagi menjadi tiga periode
waktu, yaitu:
c.1. Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali I (managed floating
exchange rate I) periode tahun 1978 – 1986
Pada periode ini terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak terlalu
besar, yaitu berkisar antara Rp.625,38 hingga Rp.1.644,10. Pada periode ini
didominasi oleh ketidakpastian manajemen Bank Indonesia dibandingkan
ketidakpastian floating itu sendiri karena pada masa ini perekonomian belum
terlalu berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan nilai nominal rupiah yang
relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi di tahun-tahun terakhir saat
terjadi devaluasi.
c.2. Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali II (managed floating
exchange rate II) periode tahun 1987 – 1992
Pada periode ini juga rupiah mengalami devaluasi, yaitu sekitar Rp.1.644,10
hingga Rp.2.053,40. Namun pada masa ini unsur floating mata uang lebih
mendominasi daripada manajemen Bank Indonesia dalam melakukan
intervensi. Strategi ini dimaksudkan untuk menjada daya saing produk
ekspor melalui pergerakan nilai mata uang dalam kisaran yang sempit.
c.3. Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali dengan crawling band
system (managed floating exchange rate with crawling band system) periode
tahun 1992 – 1997
Pada periode ini floating semakin diperlakukan dalam kisaran yang lebih
lebar, yaitu sekitar Rp.2.053,40 hingga Rp.2.791,30. Pada bulan September
1992, Bank Indonesia menetapkan rentang intervensi Rp.10,00 dengan batas
bawah Rp.2.035,00 dan batas atas Rp.2.045,00. Kemudian pada bulan Juli
1997, Bank Indonesia memperlebar rentang intervensi sebesar Rp.304,00
dengan batas bawah Rp.2.378,00 dan batas atas Rp.2.682,00. Dengan
demikian, Bank Indonesia telah melakukan pelebaran band intervention
secara bertahap yang kemudian menghapus band intervention tersebut pada
akhir periode ini sehingga nilai rupiah menjadi lebih floating.
d. Sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas (free floating exchange rate)
periode tahun 1998 – sekarang
Sistem ini diberlakukan sejak tahun 1998 hingga sekarang. Pada periode ini,
intervensi Bank Indonesia di pasar valuta asing semata-mata hanya untuk menjaga
kestabilan nilai tukar rupiah yang nilainya lebih banyak ditentukan oleh
mekanisme pasar. Pada awal penerapannya, sistem nilai tukar mata uang ini
menimbulkan gejolak yang berlebihan (overshooting), dimana nilai tukar rupiah
berfluktuasi amat cepat. Banyak faktor yang akhirnya menyebabkan nilai tukar
rupiah merosot tajam, mulai dari aksi ambil untung (profit taking) oleh para
pelaku pasar uang serta tingginya permintaan dolar Amerika Serikat oleh
perusahaan domestik untuk membayar hutang-hutang luar negeri mereka yang
telah jatuh tempo.
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut, International Monetary Fund
(IMF) kemudian masuk ke Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah
Indonesia untuk memulihkan kondisi perekonomian Indonesia yang bergejolak
yang selain disebabkan oleh Krisis Asia yang terjadi pada tahun 1998 juga oleh
kondisi sosial politik dalam negeri yang tidak menentu. Namun demikian,
kerjasama dengan IMF ini tidak langsung membuahkan hasil, kondisi
perekonomian makin tidak terkendali dimana rupiah semakin merosot hingga ke
level Rp.16.000,00 per dolar Amerika Serkat. Hal ini membuat meningkatnya
derajat ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia saat itu.
spekulator dapat memanfaatkan hal ini untuk mengambil posisi yang berakibat
langsung pada perubahan nilai tukar mata uang.
2.2.1. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-
menerus (Rahardja, 2008). Dari definisi ini, terdapat tiga kompnen yang harus
dipenuhi agar suatu kondisi dapat dikatakan telah terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga,
bersifat umum dan berlangsung terus-menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang
saja tidak dapat dikatakan sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan harga ini terus meluas
kepada barang-barang lainnya.
Rahardja (2008) memaparkan terdapat beberapa indikator makroekonomi yang
dapat digunakan untuk mengetahui laju inflasi selama satu periode tertentu, yaitu
antara lain:
a. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumen Price Index (CPI) adalah angka
indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli
konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung
harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu
periode tertentu. Di Indonesia, perhitungan IHK dilakukan dengan
mempertimbangkan sekitar ratusan komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, perhitungan IHK dilakukan dengan melihat
perkembangan regional yaitu dengan memperhitungkan tingkat inflasi kota-kota
besar terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia.
b. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan
Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. IHPB menunjukkan tingkat harga
yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.
c. Indeks Harga Implisit (IHI)
Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju inflasi
yang terbatas karena kedua indikator tersebut hanya melingkupi beberapa ratus
jenis barang dan jasa di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataannya,
jenis barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah
perekonomian dapat mencapai ribuan, puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu
jenis. Selain itu, kegiatan ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja,
melainkan di seluruh pelosok wilayah. Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang
paling mewakili keadaan sebenarnya, para ekonom meggunakan Indeks Harga
Implisit (IHI) atau disebut juga GDP Deflator.
umum maupun bank sentral, serta uang kertas dan uang logam milik pemerintah tidak
dihitung sebagai uang beredar.
Menurut Rahardja (2008) perkembangan jumlah uang beredar mencerminkan atau
seiring dengan perkembangan ekonomi. Biasanya bila perekonomian bertumbuh dan
berkembang, jumlah uang beredar juga bertambah, namun komposisinya berubah.
Bila perekonomian makin maju, porsi penggunaan uang kartal makin sedikit,
digantikan dengan uang giral. Biasanya juga bila perekonomian makin meningkat,
komposisi M1 dalam peredaran uang makin kecil digantikan dengan porsi uang kuasi
yang makin besar.
2.3. Bank
a. Bank konvensional
b. Bank syariah
Perbedaan mendasar antara kedua jenis bank ini adalah bank syariah mengelola
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dimana salah satunya adalah
dengan tidak menerapkan sistem bunga, namun berdasarkan bagi hasil sesuai dengan
ajaran agama Islam yang mengharamkan riba (bunga).
Berdasarkan perizinan untuk melakukan transaksi dalam mata uang asing, bank dapat
dibedakan menjadi:
a. Bank devisa
Bank devisa adalah bank yang memiliki perizinan untuk dapat melakukan
transaksi dalam mata uang asing.
b. Bank non devisa
Bank non devisa adalah bank yang tidak memiliki perizinan untuk dapat
melakukan transaksi dalam mata uang asing dan hanya menggunakan satu jenis
mata uang (rupiah) dalam transaksi perbankan.
CP), Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Reksadana,
Obligasi, dsb.
- Obligasi Pemerintah
Pos ini meliputi semua obligasi terbitan pemerintah (Obligasi Negara) yang
dimiliki bank baik dalam rangka rekapitalisasi perbankan maupun penjualan
melalui lelang. Obligasi Negara tersebut dibedakan menurut tujuan
kepemilikannya yaitu: Dipergadangkan, Tersedia Untuk Dijual, dan Dimiliki
Hingga Jatuh Tempo.
- Surat Yang Dibeli Dengan Janji Dapat Dijual Kempali (Reverse Repo)
Pos ini meliputi transaksi jual beli surat berharga dimana bank berjanji
menjual kembali surat berharga yang dibeli tersebut kepada penjual sesuai
dengan jangka waktu yang diperjanjikan (reverse repo). Transaksi ini terdiri
dari rupiah dan valuta asing.
- Tagihan Derivatif
Pos ini meliputi transaksi yang berupa tagihan yang timbul dari transaksi
derivatif.
- Kredit Yang Diberikan
Pos ini terdiri dari saldo (outstanding) kredit yang diberikan oleh bank kepada
debitur baik kepada pihak terkait maupun tidak terkait dengan bank dalam
rupiah dan valuta asing. Kredit dapat diberikan dengan perjanjian kredit
maupun tanpa perjanjian kredit.
- Tagihan Akseptasi
Pos ini berasal dari tagihan akseptasi kepada pihak lain.
- Penyertaan
Pos ini merupakan penyertaan dana kepada bank lain dan lembaga keuangan
bukan bank.
- Pendapatan Yang Masih Akan Diterima
Pos ini antara lain meliputi pendapatan bunga yang akan diterima.
- Biaya Dibayar Dimuka
Pos ini memuat beban yang telah dibayar di muka.
- Uang Muka Pajak
Pos ini memuat pajak yang dibayar di muka.
- Aktiva Pajak Tangguhan
Pos ini memuat pajak tangguhan.
- Aktiva Tetap
Pos ini meliputi nilai tanah, gedung, dan inventaris yang dimiliki bank.
- Aktiva Sewa Guna Usaha
Pos ini meliputi aktiva yang diperoleh atas sewa guna usaha.
- Agunan Yang Diambil Alih
Pos ini meliputi agunan yang diambil alih oleh bank.
- Aktiva Lain-Lain
Yang dimasukkan dalam pos ini adalah: emas dan mata uang emas,
commemorative coin, margin deposit, setoran jaminan dalam rangka transaksi
perdagangan, cek perjalanan (travellers’ check) yang dibeli/diambil alih,
aktiva mubarah, tagihan inkaso, talangan dalam rangka program pemerintah,
dana pelunasan obligasi, goodwill, hasil offsetting kredit antar kantor pasiva
dan antar kantor aktiva.
Pasiva:
- Giro
Pos ini meliputi semua saldo giro dalam rupiah dan valuta asing milik
masyarakat dalam bentuk giro yang dapat ditarik sewaktu-waktu, giro dalam
rangka kustodian, giro yang diblokir dalam rangka escrow account dan setoran
jaminan.
- Kewajiban Segera Lainnya
Pos ini meliputi kewajiban kepada pemerintah yang belum dipindahbukukan,
bunga simpanan berjangka yang telah jatuh tempo dan transfer.
- Tabungan
Pos ini meliputi semua saldo dalam bentuk tabungan yang dapat ditarik
sewaktu-waktu dan tabungan berjangka.
- Simpanan Berjangka
Pos ini meliputi simpanan berjangka dalam rupiah dan valuta asing yang
dimiliki oleh pihak terkait dengan bank dan pihak lain yaitu Deposit On Call
dan Deposito Berjangka lainnya.
- Sertifikat Deposito
Pos ini berisi sertifikat deposito yang diterbitkan bank dalam rupiah dan valuta
asing.
- Simpanan Dari Bank Lain
Pos ini meliputi semua kewajiban ke bank lain dalam bentuk Giro, Interbank
Call Money, Tabungan, Deposit On Call, Deposito Berjangka, Sertifikat
Deposito.
- Surat Berharga Yang Dijual Dengan Janji Dibeli Kembali (Repo)
Pos ini meliputi transaksi jual beli surat berharga dimana bank berjanji
membeli kembali surat berharga yang dijualnya tersebut dari pembeli sesuai
dengan jangka waktu yang diperjanjikan (reverse repo). Transaksi ini terdiri
dari rupiah dan valuta asing.
- Kewajiban Derivatif
Pos ini meliputi semua transaksi derivatif yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban.
- Kewajiban Akseptasi
Pos ini berisi kewajiban yang timbul dari akseptasi bank.
- Surat Berharga Yang Diterbitkan
Pos ini meliputi semua kewajiban yang antara lain berasal dari penerbitan
surat berharga oleh bank dalam rupiah atau valuta asing. Surat Berharga yang
diterbitkan antara lain berupa Promes, Wesel, Surat Berharga Komersial
(Commercial Paper / CP), Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes
(FRN), Reksadana, Obligasi, Cek Perjalanan (Travellers’ Check), dsb.
- Pinjaman Yang Diterima
Pos ini berisi kewajiban baik kepada Bank Indonesia berupa Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek, Kredit Likuiditas BI dalam rangka KUK, Pinjaman
Two Step Loan, Fasilitas Diskonto, Surat Berharga Pasar Uang, Talangan
Utang dan Perdagangan Luar Negeri dan kepada pihak lainnya dengan bank
maupun pihak lain dalam rupiah dan valuta asing.
- Estimasi Kerugian Komitmen Dan Kontijensi
Pos ini berisi penyisihan penghapusan untuk transaksi rekening administratif.
- Kewajiban Sewa Guna Usaha
Pos ini berisi kewajiban yang berasal dari sewa guna usaha (leasing).
- Beban Yang Masih Harus Dibayar
Pos ini meliputi semua kewajiban kepada bank dan pihak lain berupa beban
bunga yang masih harus dibayar.
- Taksiran Pajak Penghasilan
Pos ini berisi kewajiban pajak penghasilan bank berdasarkan perkiraan.
- Beban Bunga
Pos ini meliputi semua beban yang dibayarkan bank berupa beban bunga
dalam rupiah dan valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk. Dalam pos ini juga dimasukkan komisi dan provisi yang
dibayarkan bank dalam bentuk komisi / provisi pinjaman. Beban operasional
bank berupa beban bunga dibayarkan antara lain kepada Bank Indonesia,
kepada bank lain berupa Giro, Interbank Call Money, Simpanan Berjangka,
Pinjaman yang Diterima, Tabungan, dll, serta kepada pihak ketiga bukan bank
berupa Giro, Simpanan Berjangka, Pinjaman yang Diterima, Tabungan, Surat
Berharga, dll
- Pendapatan Operasional Lainnya
Pos ini berisi pendapatan operasional lainnya baik dari penduduk maupun
bukan penduduk yang terdiri dari pendapatan provisi, pendapatan transaksi
valuta asing, dan pendapatan kenaikan nilai surat berharga.
- Beban / Pendapatan Penghapusan Aktiva Produktif
Pos ini berisi penyusutan / amortisasi / penghapusan yang dilakukan bank
terhadap aktiva produktif bank yaitu kredit yang diberikan, surat berharga,
penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi dan transaksi derivatif,
penyertaan, dll.
- Beban Estimasi Kerugian Komitmen Dan Kontinjensi
Pos ini berisi penyusutan / amortisasi / penghapusan atas transaksi rekening
administratif.
- Beban Operasional Lainnya
Pos ini berisi semua pengeluaran yang dilakukan bank untuk mendukung
kegiatan operasionalnya yaitu berupa beban administrasi dan umum, beban
personalia, beban penurunan nilai surat berharga, beban transaksi valuta asing,
beban lainnya.
Pendapatan dan Beban Non Operasional:
- Pendapatan Non Operasional
Pos ini berisi pendapatan yang diterima bank dari aktivitas non operasional
seperti sewa, keutungan penjualan aktiva tetap dan inventaris, selisih kurs,
hasil offsetting kredit rekening antar kantor dan bunga antar kantor, dll.
- Beban Non Operasional
Pos ini berisi beban non operasional seperti kerugian penjualan aktiva tetap
dan inventaris, denda / sanksi, selisih kurs, hasil offsetting debit rekening antar
kantor, dll.
- Pendapatan / Beban Luar Biasa
c. Daftar Komitmen dan Kontinjensi
Komitmen dan kontijensi pada dasarnya adalah kegiatan usaha bank yang bersifat
adminitratif yang terdiri dari tagihan dan kewajiban komitmen serta tagihan dan
kewajiban kontijensi.
Komitmen:
- Tagihan Komitmen
Pos ini berisi fasilitas pinjaman yang diterima bank dalam rupiah dan valuta
asing yang belum digunakan. Fasilitas pinjaman yang belum ditarik terdiri dari
pinjaman kepada Bank Indonesia, bank dalam negeri, bank luar negeri, dll.
- Kewajiban Komitmen
Pos ini terdiri dari fasilitas kredit kepada nasabah dalam rupiah dan valuta
asing yang belum ditarik yaitu oleh BUMN dan bank lain, serta Irrevocable
L/C yang masih berjalan dalam rangka impor dan ekspor yang terdiri dari
dalam negeri dan luar negeri.
Kontijensi:
- Tagihan Kontijensi
Pos ini berisi tagihan kontijensi dalam rupiah dan valuta asing yang terdiri dari
garansi yang diterima, pendapatan bunga dalam penyelesaian, dll.
- Kewajiban Kontijensi
Pos ini berisi kewajiban kontijensi dalam rupiah dan valuta asing yang terdiri
dari garansi yang diberikan seperti shipping guarantee, risk sharing, dan stand
by L/C, serta Revocable L/C yang masih berjalan dalam rangka impor dan
ekspor yang terdiri dari dalam negeri dan luar negeri.
d. Kualitas Aktiva Produktif
Dalam ketentuan kualitas aktiva bank umum, aset yang dinilai kualitasnya
mencakup aktiva produktif dan aktiva non produktif. Aktiva produktif mencakup
Kredit, Surat Berharga, Penempatan Dana Antar Bank, Tagihan Akseptasi,
Reverse Repurchase Agreement atau Reverse Repo, Tagihan Derivatif, Penyertaan
Modal, Transaksi Rekening Administratif, dan bentuk penyediaan dana lainnya.
Sedangkan, aktiva non produktif mencakup Agunan Yang Diambil Alih, Properti
Terbengkalai, Rekening Antar Kantor, dan Suspense Account.
Bank Indonesia menggolongkan kualitas aktiva produktif ke dalam lima
tingkatan berdasarkan kriteria kualitatif dan kuantitatif. Urutan dari kualitas yang
terbaik yaitu: (1) Lancar (L), (2) Dalam Perhatian Khusus (DPK), (3) Kurang
Lancar (KL), (4) Diragukan (D), dan (5) Macet. Standar kuantitatif yang umum
digunakan adalah kemampuan debitur dalam melakukan pembayaran bunga dan
hutang pokok. Semakin buruk kualitas aktiva produktif maka semakin sedikit
pendapatan bunga oleh bank karena ketentuan akuntansi yang tidak
memperbolehkan pencatatan cadangan bunga secara accrual basis untuk kualitas
aktiva mulai dari urutan kualitas aktiva ke-3 ke bawah. Semakin buruk kualitas
aktiva produktif maka semakin besar pula kewajiban untuk pembetukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP).
e. Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
Bank sebagai lembaga perantara keuangan memiliki tingkat financial leverage
yang tinggi. Resiko-resiko yang tinggi sebagai lembaga perantara keuangan
menghadapkan bank pada kemungkinan kerugian yang dapat mengurangi modal
bank dan akan berakibat pada ketidakmampuan bank untuk menyelesaikan
kewajibannya pada masyarakat sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat
pada sektor perbankan dan pada akhirnya akan dapat memberikan pengaruh buruk
pada perekonomian nasional.
Dalam hal ini modal bank memegang peranan yang penting sebagai penggerak
kegiatan operasional bank, karena besar kecilnya modal yang dimiliki bank akan
berpengaruh pada kemampuan bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.
Modal bank yang besar akan memberikan gambaran mengenai kemampuan bank
yang besar pula dalam menghadapi resiko-resiko yang akan terjadi. Sebaliknya
modal bank yang kecil menggambarkan keterbatasan kemampuan bank dalam
menghadapi resiko-resiko tersebut.
Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai regulator perbankan menetapkan
suatu rasio kecukupan modal yang disebut dengan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM). Rasio ini merupakan rasio perbandingan jumlah modal
dengan jumlah aktiva. Aktiva dalam hal ini adalah dihitung berdasarkan Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang terdiri atas: (1) aktiva neraca yang
diberikan robot sesuai kadar resiko kredit yang melekat pada setiap pos aktiva,
dan (2) beberapa pos dalam daftar kewajiban komitmen dan kontijensi (off-
balance sheet account) yang diberikan robot dan sesuai dengan kadar resiko kredit
yang melekat pada setiap pos setelah terlebih dahulu diperhitungkan dengan bobot
faktor konversi. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.10/15/PBI/2008 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bank Umum wajib
menyediakan modal minimum sebesar 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut
Resiko.
f. Rasio Keuangan
Rasio keuangan dalam laporan keuangan bank sebagaimana dalam laporan
keuangan perusahaan lain digunakan sebagai alat perbandingan kinerja bank
tersebut relatif terhadap kinerja bank lainnya. Rasio-rasio keuangan yang umum
digunakan dalam laboran keuangan bank antara lain:
- Rasio Permodalan, yaitu: Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Aktiva Tetap Terhadap Modal, dll.
- Rasio Aktiva Produktif, yaitu: Aktiva Produktif Bermasalah, Non Performing
Loan (NPL), PPAP Terhadap Aktiva Produktif, Pemenuhan PPAP, dll.
- Rasio Rentabilitas, yaitu: Return On Average Assets (ROAA), Return On
Average Equity (ROAE), Net Interest Margin (NIM), Beban Operasional
Terhadap Pendapatan Operacional (BOPO), dll.
- Rasio Likuditas, yaitu: Loan Deposit Ratio (LDR), dll.
- Rasio Kepatuhan, yaitu: Persentase Pelanggaran Batas Makimum Pemberian
Kredit (BMPK), Persentase Pelampauan BMPK, Giro Wajib Minimum
(GWM), Posisi Devisa Neto (PDN), dll.
Asset Quality, Management Quality, Earnings Ability, and Liquidity, sebagai sistem
rating untuk melakukan proses penilaian kinerja perbankan. Pada tahun 1979,
Keseragaman Sistem Rating Lembaga Keuangan (Uniform Financial Institutions
Rating System) ditetapkan sebagai kerangka penilaian kondisi dan kinerja keuangan
dari masing-masing bank bagi regulator bank federal (Siems dan Barr, 1998). Sejak
saat itu, penggunaan penilaian faktor-faktor CAMEL dalam mengevaluasi tingkat
kesehatan keuangan perbankan semakin luas digunakan.
Di Indonesia, penerapan CAMEL(S) sebagai alat penilaian tingkat kesehatan bank
juga dilakukan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 dan Surat Edaran Bank Indonesia
No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum, bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara
triwulanan. Penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-
faktor CAMELS yang terdiri dari: permodalan (Capital), kualitas aset (Asset quality),
manajemen (Management), profitabilitas (Earnings), likuiditas (Liquidity), dan
sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk). Penilaian terhadap
faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif
setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan
signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti
kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional.
Penjelasan mengenai penilaian faktor-faktor CAMELS sebagai sarana penilaian
kondisi dan kinerja keuangan perbankan adalah sbb.:
a. Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain
dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sbb.:
1) Kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
terhadap ketentuan yang berlaku atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang
dihitung berdasarkan formula sbb.:
Modal
CAR =
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko
2) Komposisi permodalan
Komposisi permodalan yang dihitung berdasarkan formula sbb.:
Laba Ditahan
Retention Rate =
Modal Rata-Rata
Harga Saham
Price Earning Ratio (PER) =
EPS
c. Manajemen (Management)
Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian
terhadap komponen-komponen sbb.:
1) Manajemen umum dimana dinilai dari praktek Good Corporate Governance
antara lain sbb.:
- Struktur dan komposisi pengurus bank;
- Penanganan conflict of interest;
- Independensi pengurus bank;
- Kemampuan untuk membatasi atau mencegah penurunan kualitas good
corporate governance;
- Transparansi informasi dan edukasi nasabah; dan
- Efektifitas kinerja fungsi komite.
2) Penerapan sistem manajemen risiko dinilai berdasarkan 4 (empat) cakupan
yaitu sbb.:
- Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
- Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
- Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
resiko serta sistem informasi manajemen resiko; dan
- Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3) Kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada
Bank Indonesia dan atau pihak lainnya dengan indikator kepatuhan pada Batas
Makimum Pemberian Kredit (BMPK), Posisi Devisa Neto (PDN), Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Customer/KYC Principles), serta kepatuhan
terhadap komitmen dan ketentuan lainnya.
d. Profitabilitas (Earnings)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor profitabilitas antara lain
dilakukan melalui penilaian terhadap komponen- komponen sbb.:
1) Return On Average Assets (ROAA)
Laba Sebelum Pajak
ROAA =
Rata-Rata Total Aset
5) Ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti dengan indikator
pendukung seperti perbandingan pasiva antar bank dengan total dana dan
perbandingan deposan inti dengan dana pihak ketiga.
6) Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities
management/ALMA) dengan indikator pendukung seperti kecukupan
Contigency Funding Plan, kesesuaian kebijakan dengan struktur asset dan
liabilities, kecukupan penetapan dan prosedur limit, serta kecukupan
akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang.
7) Kemampuan bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal,
atau sumber-sumber pendanaan lainnya dengan indikator pendukung seperti
peringkat bank, Persyaratan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), track
record dan ketersedian money market line (credit line), suku bunga PUAB
dibandingkan dengan suku bunga PUAB yang dikenakan pada bank.
8) Stabilitas dana pihak ketiga (DPK) dengan indikator pendukung seperti
pertumbuhan DPK dan pertumbuhan deposan inti.
f. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko
pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sbb.:
1) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga
dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse
movement) suku bunga;
2) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar
dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse
movement) nilai tukar; dan
3) Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar dengan indikator
pendukung seperti pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi Bank
terhadap potensi eksposur resiko pasar, kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit resiko pasar, kecukupan proses identifikasi, pengukuran,