KELOMPOK 7_ MIKOTOKSIN
KELOMPOK 7_ MIKOTOKSIN
KELOMPOK 7_ MIKOTOKSIN
Oleh
Kelompok 7
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan
oleh jamur. Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin
hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan
fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah
peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar
mikotoksin.Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.
1.2.1 Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus Flavus Toxin. Toksin ini pertama kali
diketahui berasal dari jamur Aspergillus Flavus yang berhasil diisolasi pada tahun
1960. Aspergillus Flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya
memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) sedangkan Aspergillus
Parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2 dimana dibedakan
berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapisan tipis
dibawah sinar UV, yang memberikan warna biru (blue) untuk B, sedangkan warna
hijau (green) untuk yang G Aspergillus Flavus dan Aspergillus Parasiticus ini
tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C
dengan suhu optimum 320-330C dan ph optimum 6.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling
tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga
menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai
karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Alfatoksin berupa kristal yang larut dalam pelarut polar separti kloroform, methanol
dan dimetil sulfoksida. Kristal alfaktosin stabil pada kondisi tanpa cahaya dan pada
suhu sampai lebih dari 1000C, bersifat termotoleran pada sampao 2500C dan peka
terhadap basa (NaOH, NH3). Keefektifan proses penurunan konsentrasi alfatoksin
pada bahan pangan dipengaruhi oleh factor seperti protein, pH, suhu, dan lamaya
pengolahan. Toksisitas alfatoksin dipengaruhi oleh beberapa factor-faktor,
diantaranya lingkugan, rute pemaparan, dosis, lama pemaparan, umur, jenis kelamin,
kondisi kesehatan dan status target.
Jenis mikotoksik ini sering terdapat dalam jagung dan hasil olahannya, biji kacang,
susu, tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga
terdapat pada pasta dan mie instan.Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin
yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu,
residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti,
telur, dan daging ayam. Telah dilaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66
orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom,
tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1
terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400
µg/kg.
1.2.2 Citrinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium Citrinum oleh Thom pada tahun 1931.
Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum,
barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh
berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat
Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus
banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah)
dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu
dicegah.
1.2.3 Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh jamur Fusarium
spp., terutama Fusarium Moniliforme dan Fusarium Proliferatum. Mikotoksin ini
relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari Fusarium Moniliforme pada
tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain Fusarium Moniliforme dan Fusarium
Proliferatum, terdapat pula jamur lain yang juga mampu memproduksi fumonisin,
yaitu Fusarium Nygamai, Fusarium Anthophilum, Fusarium Diamini dan Fusarium
Napiforme. Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu
Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.
Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga
dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah
cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh Fusarium
Proliferatum. Fumonisin pertama kali ditemukan dalam jagung pada pertengahan
tahun 1980-an. Keberadaannya juga terdapat pada komoditas pangan lain seperti
beras dan sorgum namun konsentrasinya lebih rendah dibanding pada jagung.
Batasan fumonisin dalam jagung mentah sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti suhu, kelembaban, stres terhadap kekeringan dan hujan selama periode
sebelum panen dan periode panen, kondisi penyimpanan, dan gangguan serangga.
. Fumonisin juga bersifat fitotoksik, merusak membran sel dan mengurangi sintesis
klorofil. Selain itu fumonisin juga mengganggu biosintesis sphingolipid pada
tanaman dan bersifat patogen pada jagung yang terinfeksi spesies Fusarium.
Fumonisin dapat menyebabkan penyakit sporadis yang fatal pada kuda dan spesies
lain yang dikenal sebagai Eguine Leucoencephalomalacia (ELEM). ELEM
merupakan indikator keberadaan fumonisin.
Hasil otopsi pada hewan percobaan menunjukkan fumonisin menyebabkan udema
pada otak dan peradangan pada organ hati (terjadi fibrosis pada centrilobular (area).
Pada babi, menginduksioedema paru-paru dan hidrotoraks dimana rongga toraks
berisi cairan berwarna kuning. Selain itu terdapat juga masalah dalam pernapasan dan
kematian pada janin.
Sebetulnya tidak ada bukti mengenai efek fumonisin terhadap kesehatan manusia.
Namun diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi jagung yang tinggi di
beberapa daerah didunia dengan terjadinya kanker esofagus. Tetapi perlu dilakukan
studi epidemi yang lebih dalam mengenai peranan Fusarium Moniliforme dan
metabolitnya (fumonisin) terhadap kanker esofagus yang banyak terjadi di Transkei
Cina dan Italia Utara, karena pada studi-studi ini kontrol yang digunakan masih
kurang, sehingga belum dapat disimpulkan sepenuhnya.
1.2.4 Patulin
Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari 2 bulan berefek
karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi. Pada studi jangka
panjang dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak terjadi. Patulin juga bersifat
immunotoksik dan neurotoksik. IARC (1986) menyimpulkan tidak ada evaluasi yang
dibuat mengenai karsinogenitas patulin pada manusia dan tidak ada hasil percobaan
terhadap hewan yang mendukung. Berdasarkan studi jangka panjang mengenai
karsinogenitas pada tikus dan mencit, JECFA menetapkan PTWI sebesar 7 µg/kg BB.
Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif, toksisitas jangka
panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1 mg/kg BB/hari tidak
memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus jantan. Namun patulin
yang diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai NOEL 43 µg/kg
BB/hari.
Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan memberikan hasil
sensitif jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini menghasilkan PTWI yang
berubah menjadi PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin tidak terakumulasi dalam
tubuh. Berdasarkan pada nilai NOEL 43 µg/kg BB/hari dan nilai safety factor 100,
nilai PMTDI yang didapat ialah 0,4 µg/kg BB. Patulin dapat menyebabkan
hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran
pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya yang kuat dengan kelompok sulfidril;
patulin dapat menghambat enzim yang terlibat dalam replikasi DNA sehingga proses
sintesis DNA terganggu. Patulin dalam dosis tinggi berefek karsinogen. Patulin juga
bersifat immunotoksik dan neurotoksik.
1.2.5 Ochratoxin
Ochratoxin dihasilkan oleh jamur dari genus Aspergillus, Fusarium, and Penicillium
dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia, babi, ayam,
kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin
yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari adalah
ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang lainnya. Pada suatu
penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A dapat
ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya.Pada
anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif
lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar.Infeksi ochratoxin A juga
dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran pernapasan. Okratoksin
A mempunyai nomor CAS 303-47-9 berupa senyawa berbentuk kristal tidak
berwarna dengan titik leleh 168 °C dan larut dalam kloroform, metanol, asetonitril,
natrium bikarbonat cair.
Jenis mikotoksik ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari jamur Aspergillus
ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk,
juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain Aspergillus
ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum yang terdapat pada
biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa
bagian utara. Penicillium viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan
suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. Aspergillus ochraceus tumbuh pada
suhu antara 8 – 370C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu
Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). Okratoksin A
adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
1.2.6 Trichothecenes
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah
golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat
menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua
bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive). Pembersihan
serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi
senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan
varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps purpurea, penghasil
ergot alkaloid. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue
toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh,
dan fertilitas menurun.
1.2.8 Zearalenone
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh jamur dari genus
Fusarium seperti Fusarium graminearum dan Fusarium culmorum dan banyak
mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk
tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan
pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi. Salah satu
mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah
berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2004. Gizi dalam daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. SNI. Jakarta
Pilliang, W.G. 1995. Nutrisi Vitamin Volume II. Penerbit IPB. Bogor.
Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. Jakarta: SNI.
Ariana, Yana. 2013. Dampak Mikotoksin terhadap kesehatan dan produktivitas
hewan serta solusi penanggulangannya. Jakarta: novindo.
Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan
hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Bogor:
Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi
Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. 21-24 Juli 1994.
Hal: 269-275.
Maryam, Romsyah. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium yang perlu
diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57.