Akibat Negatif Pemberian Jagung Tercemar Jamur Bagi Ternak
Akibat Negatif Pemberian Jagung Tercemar Jamur Bagi Ternak
Akibat Negatif Pemberian Jagung Tercemar Jamur Bagi Ternak
ABSTRAK
Secara umum bahan baku pakan mempunyai sifat cepat rusak, apalagi Indonesia merupakan negara tropis
dengan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi. Selama penyimpanan jagung sering tercemar dan rusak oleh serangga
dan jamur. Jamur yang sering ditemukan antara lain Aspergillus spp., Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp.,
Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma sp. Jamur-jamur tersebut menghasilkan mikotoksin seperti jamur
Aspergillus sp menghasilkan Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes
dan jamur Fusarium graminearum menghasilkan Zearalenone. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi
dengan gejala ikutan yang lain, Fumosin menyebabkan kebengkakan pada paru-paru, Zearalenone dapat menyebabkan
kemandulan, Trichothecenes menyebabkan aborsi (keguguran), imunosupresi bahkan kematian, dan Rubratoksin bersifat
racun bagi organ hati. Untuk mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang spesifik,
karena kebanyakan yang diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengeringan dan
penyimpanan jagung dengan baik. Untuk menghindari jamur, kadar air pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya
tidak lebih dari 14%. Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan pada ternak, Pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan standardisasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI)
serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar
Nasional, PP dan Keppres tersebut memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan Sistem Standarisasi Nasional (SSN) yang
telah di canangkan pada tahun 1994. Standar Mutu Nasional yang diacu antara lain mengenai batas toleransi Aflatoksin.
Batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan non ruminansia berkisar antara 20 50 ppb dan antara 100 200 ppb
untuk pakan konsentrat ruminansia.
Kata Kunci : Jagung, jamur, mikotoksin, ternak
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas pokok kedua setelah beras. Selain merupakan bahan pangan,
jagung juga merupakan bahan baku pakan yang penting. Selama penyimpanan, jagung dapat
terserang oleh serangga, mikro-organisme dan tikus, namun serangga dan cendawan / jamur
merupakan penyebab kerusakan utama. Selain melukai biji, serangga biasanya sekaligus
menyebarkan jamur dengan cara membawa spora jamur pada permukaan tubuhnya. Selain itu,
aktivitas metabolisme serangga dapat menyebabkan kenaikan kadar air substrat yang selanjutnya
memacu pertumbuhan cendawan (Mus, et al., 2002). Pencemaran jagung dapat terjadi pada saat
penyimpanan, juga dapat pula terjadi karena jamur menyerang tanaman di lapangan. Dilaporkan
pula bahwa sampel biji jagung di lapangan, rumah petani, dan gudang penyimpanan, ada tujuh
spesies jamur yang ditemukan, yaitu : Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium
sp., Rhizopus sp., Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut
yang dominan adalah Aspergillus spp (Mus, et al., 2002).
Kerugian akibat pencemaran jamur dan aflaktoksin merupakan masalah yang utama karena
pangan dan pakan serta komponennya banyak dirusak secara fisik dan kimiawi. Kerusakan fisik
terjadi oleh pertumbuhan dan populasi jamur sehingga warna, bentuk dan bau bahan tersebut
berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya mikotoksin dari jamur tersebut.
Peluang pencemaran ini cukup besar karena iklim tropis di Indonesia sangat mendukung
(Rachmawati, et al., 2004). Mikotoksin yang terdapat pada biji-bijian (seperti jagung) dapat
muncul ketika kondisi lingkungan menguntungkan, dengan kisaran suhu antara 4C sampai dengan
40C (suhu optimumnya adalah 25C sampai dengan 32C) serta pada kadar air (optimum 18%)
dan kelembaban tertentu (optimum pada kelembaban relative 85% atau lebih) (Suparto, 2004).
Tabel 1. Kadar Aflatoxin (ppb) pada Jagung dari beberapa wilayah di Indonesia dan Jagung Impor, 2003-2004.
No
Sumber jagung
1
2
3
4
5
6
Jawa Timur
Lampung
Makasar
Cina
Thailand
India
2-214
2-36
218-517
1-7
43-82
4-8
Sumber : Data analisis periode Oktober 2003- Maret 2004 oleh PT Sinta Prima Feedmill, Jakarta (dalam Yanuartin. C, 2004).
b. Okratoksin
Okratoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus ochraceous dan beberapa spesies dari
Penicillium. Babi yang mengkonsumsi pakan yang mengandung 200 ppb Okratoksin selama tiga
bulan, akan menderita penyakit ginjal, penurunan berat badan, penurunan efisiensi pakan, dan
peningkatan angka kematian Jones (1987) dalam Jacques (1988).
Hampir sama halnya dengan babi, gejala pada unggas serupa yaitu mengalami penurunan
berat badan, penurunan efisiensi pakan, kerusakan ginjal, hati, penurunan produksi telur, penurunan
kualitas karkas, anemia serta muncul permasalahan pada kaki bahkan kematian (Jones, 1987 dalam
Jacques, 1988). Kombinasi infeksi antara aflatoksin dengan Okratoksin dilaporkan memperkuat
hambatan terhadap perkembangan daya tahan tubuh terhadap penyakit pada unggas (Buck, et al.,
1976 dalam Jacques, 1988).
Pada sapi bunting, okratoksin menyebabkan abortus, sedangkan pada pedet menyebabkan
kerusakan ginjal. Toksin ini juga bersifat immunosupresif dan karsinogenik (penyebab kanker)
(Spainhour dan Posey, 1992).
c. Fumosins
Fumosin diproduksi oleh jamur Fusarium moniliforme. Toksin ini sering dikaitkan dengan
kejadian penyakit moldy corn poisoning atau penyakit Equine leuco encephalomalacia (ELEM)
pada kuda dan Porcine pulmonary edema hydrothorax syndrome atau kebengkakan pada paru-paru
pada babi) (Spainhour dan Posey, 1992).
d. Zearalenone
Merupakan metabolite estrogenic yang diproduksi oleh Fusarium graminearum atau
Fusarium roseum. Pakan babi yang mengandung zearalenone dengan konsentrasi 0,66-5,6 ppm
dilaporkan dapat menyebabkan gangguan reproduksi (Young et al., 1986 dalam Jacques, 1988).
Pada konsentrasi kurang dari 1 ppm dapat menginduksi kejadian feminimisasi (kebetinaan bagi
hewan jantan) ; dan pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan gangguan konsepsi,
ovulasi, implantasi (perlekatan embrio pada uterus), perkembangan fetus dan kelangsungan hidup
ternak yang baru lahir. Masalah mikotoksin ini sering ditemukan pada industri peternakan babi
(Spainhour dan Posey, 1992).
Gejala klinis akibat toksin ini tergantung pada umur babi. Babi dara pada saat pre pubertas
menunjukkan gejala hiperestrogenisme (gejala kelebihan hormon estrogen) apabila terpapar pada
dosis rendah. Gejala yang terlihat berupa pembengkakan vulva, perkembangan mammae, kadangkadang terjadi prolapsus vagina dan rektum pada kasus yang berat. Pada percobaan terhadap babi
bunting dengan pemberian 38 ppm mengakibatkan penurunan jumlah fetus yang hidup 38-43 hari
setelah perkawinan ; dan dengan pemberian 64 ppm menyebabkan semua embrio mati. Berbeda
halnya dengan babi dara, babi dewasa membutuhkan kadar zearalenone yang lebih besar untuk
dapat menyebabkan gangguan reproduksi seperti : bunting semu, melahirkan anak yang lemah,
abortus, dan an estrus (tidak menunjukkan gejala birahi) (Diekman dan Long, 1984 dalam Jacques,
1988).
Pengaruh zearalenone pada babi pejantan terhadap perkembangan seksual dan libidonya
masih dipertanyakan. Ada yang melaporkan bahwa zearalenone tidak berpengaruh terhadap libido
pejantan dewasa (Ruhr, et al., 1971 dalam Jacques, 1988), namun hasil penelitian terhadap pejantan
pre pubertas dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat testis sehingga
menurunkan konsentrasi hormon testosteron di dalam darahnya, akibatnya terjadi penurunan libido
(Berger et al.,1981 dalam Jacques, 1988).
Informasi tentang pengaruh zearaleone terhadap sapi dan unggas masih sangat sedikit.
Nampaknya kedua ternak ini lebih resisten terhadap zearalenone dibandingkan dengan babi
(Jacques, 1988).
e. Trichothecenes
Toksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium spp. Sama halnya dengan zearalenone, toksin
ini sering dikaitkan dengan pakan dari jagung yang berjamur. Sudah lebih dari 40 jenis toksin
Trichothecenes yang diketahui, akan tetapi yang paling paling toksik yaitu Toksin T 2. Toksin ini
kerjanya menghambat sintesa protein dan dan DNA (Spainhour dan Posey (1992).
T2 merupakan toksin yang poten, dimana pada dosis 16 ppm dilaporkan dapat
menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan terjadinya lesi-lesi pada mulut ayam pedaging. Selain
terhadap ayam, sapi juga peka, dimana pada konsentrasi 0,1 mg/kg berat badan mengakibatkan
kematian setelah 65 hari infeksi (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988). Toksin ini menyebabkan
nekrosis dan haemorhagi (perdarahan) pada saluran pencernaan, menekan proses regenerasi sel
darah pada sumsum tulang dan limfa serta berbagai perubahan pada organ reproduksi. Gejala klinis
yang muncul pada ternak antara lain : penurunan berat badan, penurunan konsumsi dan
penggunaan pakan, muntah-muntah, diare, aborsi, immunosupresi (tertekannya kekebalan tubuh)
dan kematian (Spainhour dan Posey, 1992).
f.
Rubratoksin
Jenis Pakan
1
2
3
4
5
Batas Maksimum
Kandungan Aflaktosin
(ppb)
50
50
40
20
50
Pakan konsentrat ternak ruminansia belum diatur pada SNI, selanjutnya diatur dengan
Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian seperti berikut (Tabel
3).
Tabel 3. Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin (PPB) pada Pakan Ternak Ruminansia berdasarkan Peryaratan
Teknis Minimal (PTM) Pakan Konsentrat Ruminansia.
No
Jenis Pakan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan (PMBP) yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Peternakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan No.
524/TN.250/KPTS/DJP/DEPTAN/1997, disebutkan bahwa jagung sebagai bahan baku pakan,
maksimum mengandung Aflatoksin sebanyak 50 ppb dan Okratoksin maksimum 5 ppb (Suparto,
2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Jamur yang sering ditemukan mencemari biji jagung adalah Aspergillus spp., Diplodia sp.,
Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma sp.
2. Jamur Aspergillus sp menghasilkan
Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp
menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes dan Fusarium graminearum menghasilkan.
Zearalenone.
3. Mikotoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi dengan gejala ikutan yang lain,
kebengkakan pada paru-paru, imunosupresi bahkan kematian.
4. Untuk mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang spesifik,
karena kebanyakan yang diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat dilakukan dengan
cara pengeringan dan penyimpanan jagung dengan baik. Untuk menghindari jamur, kadar air
pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari 14%.
5. Berdasarkan persyaratan bahan baku pakan pada Persyaratan Teknis Minimal (PTM) pakan
yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan
non ruminansia berkisar antara 20 50 ppb dan antara 100 200 ppb untuk pakan konsentrat
ruminansia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, A. 2001. Analisis mikotoksin pada bahan pangan dan pakan. Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Mikotoksin 9 Oktober 2001, di Yogyakarta.
Anonimous, 1997. T2 Toxin. Majalah Ayam Sehat (meningkatkan keterampilan dan keuntungan
peternak). Edisi Mei-Juni 1997. No. 31 Vol. XI. Hal : 15-18.
Jacques, K.A. 1988. Molds : the hidden killer in feeds. Large Animal Veterinarian. July/ August
1988. pp : 43-47.
Muis, A., S. Pakki, dan H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang menyerang
biji/benih jagung di Sulawesi Selatan. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit. Balitjas, 2002.
Phillips, T. 1989. Hidden damage (recognizing and dealing with an aflatoxin problem). Large
Animal Veterinarian. January/February 1989. pp : 6-7.
Rachmawati,S., A. Lee., T.B. Murdiati., dan I. Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik untuk Analisis Aflatoksin B1 Pada Pakan Ternak.
Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 143-160.
Spainhour, C.B and D. Posey. 1992. Mycotoxins : a silent enemy (what are mycotoxins ? How can
your protect your clients livestock ?). Large Animal Veterinarian, November/December
1992. pp : 20-25.
Suparto, D.A. 2004. Situasi Cemaran Mikotoksin pada Pakan di Indonesia dan PerundangUndangannya. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 131-142.
Ward, N.E. 1988. Nutrional solutions to mycotoxicosis. Large Animal Veterinarian July/ August
1988. pp : 15-16.
Wyatt, R.D. 1976. How to minimize problem in your feed. Poultry. Trib., September:24-27
Yadgini, B. and E.M. Reddy. 1976. Aflatoxicosis in poultry. Poult Advis, April:35-40
Yanuartin, C. 2004. Permasalahan Kualitas Pakan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bogor . Hal : 127- 130.