15E10188-Desy Sari-BAB I - A

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap individu yang telah dewasa tentu memiliki banyak keinginan dan

harapan, salah satunya adalah menikah. Menikah merupakan salah satu tahapan

yang sangat penting bagi sebagian individu karena dengan menikah seseorang

dapat memiliki teman hidup, memperoleh cinta dan menjadi orang tua serta

membentuk keluarga. Menurut Atwater (dalam Saputra, Hartati, & Aviani, 2014)

kepuasan perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan akan

kepuasan dan kesenangan dalam suatu perkawinan.

Sama halnya dengan Atwater (dalam Saputra,dkk, 2014), Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2002) juga menyatakan hal yang sama kepuasan hanya

ditujukan kepada jasmani, yaitu puas adalah merasa senang (lega, gembira,

kenyang dan sebagainya, karena sudah terpenuhi hasrat hatinya). Kepuasan

adalah perihal yang bersifat puas, kesenangan, kelegaan dan sebagai berikut,

yang dikejar meskipun dengan segala pengorbanan, keinginan ini hanya ditujukan

kepada jasmani.

Begitu juga dengan Olson, Defrain dan Skogran (dalam Mukhlis, 2015)

juga menyatakan hal yang sama tentang kepusasan perkawinan namun kepuasan

perkawinan ini bersifat subjektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan

bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap perkawinannya secara menyeluruh.

Suatu perkawinan tidak hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi

juga menyatukan dua keluarga yang tentunya akan menjadi satu keluarga baru.

Seiring berjalannya waktu akan terjadi dua kemungkinan dalam suatu perkawinan.

Dua kemungkinan tersebut adalah merasa puas akan perkawinannya dan terus

1
2

melanjutkannya hingga ajal memisahkan. Selain merasa puas, ada juga suami istri

yang tidak puas akan perkawinannya bahkan berakhir dengan perceraian.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik angka perkawinan dan

perceraian pada tahun 2012, 2013, 2014 dan 2015 yang ada diseluruh Indonesia

adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1 Angka Perkawinan dan Perceraian menurut Badan Pusat Statistik
2012 2013 2014 2015
Perkawinan 2.289.648 2.210.046 2.110.776 1.958.394
Perceraian 346.480 324.347 344.237 347.256

Berdasarkan data diatas, dapat dilihat angka perceraian mengalami

penurunan pada saat tahun 2013 sedangkan tahun 2014 dan 2015 mengalami

kenaikan sementara jumlah perkawinannya berkurang. Hal ini dapat juga dimaknai

sebagai kenaikan angka pada ketidakpuasan perkawinan.

Menurut Duvall dan Miller (dalam Srisusanti & Zulkaida , 2013) ada dua

faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu faktor sebelum perkawinan

dan faktor setelah perkawinan. Faktor sebelum perkawinan yaitu, kebahagiaan

orangtua, kebahagiaan masa kanak-kanak, lamanya masa perkenalan, usia saat

melakukan perkawinan, restu orangtua, kehamilan sebelum perkawinan, dan

alasan perkawinan. Faktor setelah perkawinan yaitu hubungan interpersonal, anak,

kehidupan seksual, komunikasi, kesamaan minat, kesesuaian peran dan harapan,

partisipasi keagamaan, keuangan, hubungan dengan mertua dan ipar,

kemampuan menghadapi konflik, kekuasaan dan sikap terhadap perkawinan.

Faktor yang paling penting dari kedua faktor tersebut adalah faktor setelah

perkawinan karena faktor sebelum perkawinan tidak dapat diubah lagi (pasangan

harus saling menerima semua kondisi yang telah ada). Faktor setelah perkawinan

masih bisa diubah sehingga individu dapat memperbaiki faktor-faktor setelah

perkawinan agar kepuasan perkawinan dapat tercapai.


3

Hubungan menantu dengan mertuanya merupakan permasalahan yang

sering terjadi dalam suatu perkawinan. Mertua dan menantu pada awal

perkawinan masih merupakan dua pihak yang saling asing satu sama lain.

Hubungan mereka merupakan suatu ikatan yang intim karena dengan adanya

perkawinan, mereka memulai hubungan keluarga sebagai orang tua dan anak.

Tidak semua hubungan mertua dan menantu selalu baik, ada beberapa

kasus yang memperlihatkan bahwa hubungan mertua dan menantu kurang baik

sehingga menyebabkan suatu permasalahan di dalam perkawinan tersebut.

Ketidakharmonisan hubungan mertua dan menantu dapat menyebabkan

rendahnya kepuasan perkawinan.

Kasus konflik pada menantu dan mertua juga terjadi di Sumatra Selatan

seperti yang diberitakan oleh Aco (2018) bahwa telah terjadi pembunuhan mertua

yang dilakukan oleh menantu yang dikarenakan mertua memaksa anak dan

menantunya bercerai. Kasat Reskrim Polres Banyuasin AKP Dwisatya

mengatakan, pembunuhan itu dilakukan tersangka AA dikarenakan tidak terima

dengan desakan dari korban yang meminta istrinya untuk bercerai. Tersangka

yang tidak mengetahui alasan korban meminta istrinya bercerai, sehingga

tersangka mencoba menemui korban di rumah mereka di Kelurahan Satrio,

Kecamatan Banyuasin III, Banyuasin, Sumsel. “Pelaku sempat menanyakan

kepada korban alasan kenapa mereka harus cerai. Tetapi korban tidak menjawab,

sehingga membuat pelaku marah,” kata Dwisatya saat dikonfirmasi.

Adapun beberapa kasus nyata yang terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat.

Berdasarkan hasil wawancara pada subjek berinisial NE, subjek tinggal terpisah

dari mertua. Walaupun tinggal terpisah, subjek mengaku sering terjadi adu mulut

dan beda pendapat dengan mertuanya. Konflik yang timbul tidak memberikan
4

dampak yang besar, subjek mengaku sebisa mungkin mengalah dan menuruti

kemauan mertuanya meskipun terkadang juga tetap berpegang teguh pada

pendapatnya. NE merasa puas akan kehidupan perkawinannya karena secara

ekonomi tercukupi, hubungan dengan suami, anak dan mertua serta ipar juga baik.

Berbeda dengan NE, subjek PA yang tinggal bersama mertua, subjek

mengaku pernah mengalami konflik karena suatu hal sehingga subjek, suami dan

anak harus pindah kerumah orang tuanya. Subjek mengaku belum puas akan

kehidupan perkawinannya karena masih belum bisa hidup mandiri, masih

menumpang di rumah orang tua dan untuk ekonomi juga masih dibantu orang tua,

selain itu hubungan dengan mertua juga tidak terlalu baik.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, kedua subjek yang tinggal

terpisah dari keluarga besar (nuclear family) dan yang tinggal bersama keluarga

besar (extended family) sama – sama pernah mengalami konflik. Subjek NE

mengaku puas akan kehidupan perkawinannya namun subjek PA mengaku tidak

puas dengan kehidupan perkawinannya.

Dari tingginya angka perceraian tiap tahunnya serta adanya beberapa

kasus yang terjadi antar mertua dan menantu menunjukkan banyaknya pasangan

suami istri yang tidak merasa puas akan perkawinannya. Selain itu juga, peneliti

sering menjumpai kejadian – kejadian yang menunjukkan adanya

ketidakharmonisan dalam suatu hubungan yaitu hubungan antar menantu dan

mertua di kota peneliti, Ketapang, Kalimantan Barat. Kejadian yang tidak harmonis

tersebut berupa adanya adu mulut antar menantu dan mertua, tidak tegur sapa

walaupun satu rumah dan saling menjelekkan satu sama lain.

Berdasarkan penelitian Surya (2013), hasil penelitian menunjukkan tidak

ada perbedaan kepuasan perkawinan dari pasangan suami istri yang tinggal
5

dengan mertua dan pasangan suami istri yang tinggal sendiri. Berbeda dengan

penelitian Surya (2013) , Saputra, Hartati & Aviani, (2014) menunjukkan adanya

perbedaan kepuasan perkawinan dari pasangan suami istri yang tinggal dengan

mertua dan pasangan suami istri yang tinggal sendiri, yaitu kepuasan perkawinan

pasangan suami istri yang tinggal sendiri lebih tinggi dari pada pasangan suami

istri yang tinggal dengan mertua. Dari dua hasil penelitian ini maka dapat

dinyatakan bahwa kepuasan perkawinan pada keluarga yang tinggal bersama

mertua maupun tinggal mandiri belumlah jelas hasilnya, maka layak untuk

dilakukan penelitian lagi.

Menurut penelitian Srisusanti dan Zulkaida (2013) ada beberapa faktor

yang memengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu : Faktor hubungan interpersonal,

komunikasi dengan pasangan, kehidupan seksual, kesamaan minat, partisipasi

keagamaan, kekuasaan dan sikap terhadap perkawinan, hubungan dengan

mertua dan ipar, serta hubungan dengan anak , kemampuan menghadapi konflik

dan masalah keuangan.

Kitzmann (dalam Wibowo, 2017) menyatakan ketidakpuasan perkawinan

akan menyebabkan keadaan di dalam perkawinan menjadi terganggu dan

mengakibatkan dampak negatif seperti perceraian, KDRT (kekerasan dalam

rumah tangga), perselingkuhan dan sebagainya. Efek negatif dari adanya

ketidakpuasan bukan hanya menimpa perempuan, tetapi juga berakibat buruk

kepada anak yaitu dapat mengganggu perkembangan anak. Anak akan

mengalami masalah psikologis, emosional, perilaku, masalah sosial dan akademik.

Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada

Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pasangan Suami Istri antar Bentuk Keluarga

Nuclear Family dan Extended Family.


6

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris perbedaan

kepuasan perkawinan pada pasangan suami istri antar bentuk keluarga (nuclear

family dan extended family).

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu kepada

pengembangan psikologi sosial khususnya tentang kepuasan perkawinan pada

pasangan suami istri yang tinggal bersama keluarga besar (extended family) dan

pasangan suami istri yang tinggal sendiri (nuclear family).

1.3.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan

pengetahuan tentang kepuasan perkawinan kepada pembaca khususnya yang

sudah menikah. Selain itu, peneliti berharap dapat memberikan suatu gambaran

tentang kehidupan perkawinan sehingga dapat memberikan suatu solusi atau

bahan pertimbangan kepada pembaca ketika mengalami suatu ketidakpuasan di

dalam perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai