Jurnal Tugas Fiqih Mawaris

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

PERANAN RELIGIUSITAS DAN FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG

MEMPENGARUHI KEPUASAN PERKAWINAN PADA SUAMI ISTRI

Lefa Kharisma Afrillia1, Farah Inas Ziyan2,Khoirul Umam3


Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam
Negeri KH. Abdurrahman Wahid, Pekalongan.
[email protected], [email protected],[email protected]

ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor
psikologis yang mempengaruhi kepuasan perkawinan pada suami istri. Kepuasan
perkawinan merupakan salah satu indikator penting dalam hubungan suami istri yang
harmonis dan berkelanjutan. Faktor-faktor psikologis yang diidentifikasi dalam
penelitian ini meliputi yang pertama yaitu religiusitas selain itu juga komunikasi
efektif, kepercayaan, partisipasi keagamaan, serta kemampuan dalam mengelola
konflik. Penelitian ini menggunakan metode library research dengan pendekatan
kualitatif untuk memahami faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kepuasan
perkawinan pada suami istri. Library research, atau studi pustaka, memungkinkan
peneliti mengumpulkan dan menganalisis informasi dari berbagai sumber tertulis
yang relevan untuk mengidentifikasi teori dan temuan sebelumnya yang mendukung
topik yang dikaji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang baik dan
keintiman emosional memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan perkawinan.
Selain itu, kemampuan pasangan dalam mengelola konflik secara konstruktif juga
memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan hubungan. Penelitian ini
menyarankan pentingnya pengembangan keterampilan komunikasi dan pengelolaan
emosi untuk meningkatkan kepuasan dalam hubungan perkawinan.
Kata Kunci : kepuasan perkawinan, komunikasi, kepercayaan, keintiman
emosional, pengelolaan konflik.

ABSTRAK
This study aims to identify and analyze psychological factors that affect marital
satisfaction in husband and wife. Marital satisfaction is one of the important
indicators in a harmonious and sustainable marital relationship. The psychological
factors identified in this study include effective communication, trust, emotional
intimacy, and the ability to manage conflict. This study uses a library research
method with a qualitative approach to understand psychological factors that affect
marital satisfaction in husband and wife. Library research, or literature study, allows
researchers to collect and analyze information from a variety of relevant written
sources to identify previous theories and findings that support the topic under review.
The results of the study showed that good communication and emotional intimacy had
a significant influence on marital satisfaction. In addition, the ability to Couples in
managing conflicts constructively also play an important role in maintaining the
harmony of the relationship. This study suggests the importance of developing
communication skills and managing emotions to increase satisfaction in marital
relationships.
Keywords: marital satisfaction, communication, trust, emotional intimacy, conflict
management.

PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosisal, manusia senantiasa melakukan interaksi dengan
sesama manusia lainya. Menurut Duvall dan Miller (1985) perkawinan merupakan
salah satu bentuk interaksi antar manusia. Perkawinan dapat dilihat sebagai suatu
hubungan ‘dyadic’ atau berpasangan antara pria dan wanita.
Selain itu, dengan perkawinan juga akan membentuk suatu hubungan yang baru
karena perkawinan bukan hanya menyatukan seorang wanita dan seorang laki-laki
tetapi juga bersatunya dua keluarga sekaligus, yaitu keluarga kedua pasangan tersebut
(Goode, 1991). Setiap individu yang memasuki kehidupan pernikahan akan
membawa kebutuhan, harapan, serta keinginannya masing-masing. Suami maupun
istri akan mendambakan kehidupan pernikahan yang bahagia dan puas serta
berharap dapat memenuhinya dalam institusi pernikahan (Nihayah, Adriani &
Wahyuni, 2013). Pada kenyataannya tidak semua pasangan dapat mencapai
kepuasan dalam pernikahan. Adanya hambatan pemenuhan kebutuhan satu atau
lebih anggota keluarga akan menimbulkan ketidakpuasan (Ardhianita & Andayani,
2005). Penelitian yang dilakukan oleh Afni dan Indrijati (2011) menjelaskan bahwa
dua dari tiga subjek merasakan ketidakpuasan pernikahan karena tidak
terpenuhinya aspek material, seksual, dan psikologis dalam rumah tangga. Selain
itu, Glenn (dalam Halford, Lizzio, Wilson & Occhipinti, 2007) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa kepuasan dalam hubungan pada pasangan suami
istri umumnya meningkat saat pernikahan, akan tetapi hal tersebut akan menurun dan
sekitar 3-4 persen terjadi perceraian pada saat pernikahan memasuki usia 10 tahun.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat penceraian yang tinggi, hal ini
terbukti dengan data yang terctat di pegadilan agama dan pengadlan negri, Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 28 Februari 2024, jumlah
perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. (kompasiana,
2024) adapun faktor perceraian disebabkan oleh banyak hal, mulai dari
ketidakharmonisan sampai dengan persoalan ekonomi yang merupakan faktor
penyebab terbanyak. Terjadinya perceraian tersebut menunjukan ketidakpuasan
pernikahan yang rendah dalam keluarga. Padahal kepuasan pernikahan, keluarga yang
sakinah mawadah dan warohmah merupakan hal yang perting yang sebaiknya dimiliki
oleh setiap pasangan, karena keluarga merupakan pilar utama dan merupakan
lingkungan pertama dan utama dalam membentuk generasi yang bekualitas. Kepuasan
pernikahan diartikan sebagai bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi
kualitas pernikahan mereka, yang merupakan gambaran yang subyektif yang
dirasakan oleh pasangan tersebut, apakah individu merasa baik, bahagia, ataupun puas
dengan pernikahan yang dijalaninya.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, salah satunya
adalah religiusitas. Religiusitas dianggap memiliki peran dalam kepuasan pernikahan,
karena religiusitas seseorang dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam
menjalani kehidupan pernikahan. Jane (2006) juga menyatakan bahwa kepercayaan
terhadap agama memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kepuasan pernikahan
jangka panjang. Filsinger & Wilson (1984) juga menambahkan bahwa agama
membuat hidup atau perkawinan menjadi lebih diterima dan pasangan menjadi lebih
puas. Komitmen terhadap agama dapat membentuk struktur keluarga yang sehat
(Jane, 2006). Selain itu, untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, setiap pasangan
harus mendapatkan kepuasan dalam hal agama. Hal ini disebabkan karena pernikahan
merupakan sebuah proses adaptasi, agamalah yang memfasilitasi dan menjadi sumber
kekuatan dalam suatu hubungan.
Pendapat di atas didukung oleh hasil penelitian Dudley & Kosinski (1990) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dan
kepuasan pernikahan. Adapun prediksi terkuat untuk kepuasan pernikahan adalah
ibadah keluarga, kesesuaian dengan pasangan pada religiusitas, dan kedatangan ke
tempat ibadah. Oluwole & Adebayo (2008) juga menemukan hubungan yang
signifikan antara religiusitas dengan kepuasan pernikahan. Beberapa studi juga telah
banyak menyebutkan bahwa adanya hubungan yang positif antara religiusitas dengan
kepuasan pernikahan (Babchuk et.al, 1967; Schrum, 1980, dalam Filsinger
& Wilson, 1984).
Islam sebagai salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, sangat
menekankan tentang bagaimana seorang muslim seharusnya menjalankan rumah
tangga atau pernikahan. Tidak sedikit Firman Allah dalam Al-Quran yang
menyatakan tentang pernikahan, demikian juga dalam sabda Rasulullah saw. Hal ini
menunjukkan betapa sakral dan penting suatu pernikahan dalam pandangan agama
Islam.
Faktor lain yang kami anggap turut berperan dalam mempengaruhi kepuasan
pernikahan adalah faktor demografi. Dalam penelitian ini, faktor demografi
difokuskan pada perbedaaan jenis kelamin dan juga usia pernikahan. Duval & Miller
(1985) mengungkapkan bahwa usia pernikahan juga turut mempengaruhi kepuasan
pernikahan, dimana tingkat kepuasan akan tinggi di awal pernikahan, kemudian
menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak
mandiri. Selain faktor demografi faktor lain yang mepengaruhi yaitu kurangnya
komunikasi yang efektif, kurangnya kepercayaan, serta kurangnya kemampuan dalam
mengelola konflik.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka perlu diketahui
bagaimana peranan religiuitas dan faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan naik
turunnya kepuasan perkawinan dalam hubungan suami istri.

METODE
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif eksploratif. Penelitian
eksploratif bertujuan untuk memahami secara mendalam konsep kepuasan
perkawinan dan faktor psikologis yang berperan dalam membentuk hubungan
perkawinan yang harmonis. Library research dilakukan untuk mengumpulkan data
dari berbagai sumber pustaka seperti buku, jurnal ilmiah, artikel, dan laporan
penelitian sebelumnya. Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa smber yang
relefan seperti Buku-buku teori yang membahas psikologi keluarga, perkawinan, dan
kepuasan perkawinan, Jurnal ilmiah yang telah diterbitkan dalam lingkup psikologi
keluarga, hubungan interpersonal, dan psikologi perkawinan, Artikel dan
tesis/disertasi yang relevan dengan topik kepuasan perkawinan dan faktor-faktor
psikologis yang memengaruhinya serta Laporan penelitian terdahulu yang mengkaji
isu serupa dan dapat memperkaya analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui
pencarian literatur menggunakan kata kunci yang relevan dengan topik penelitian,
seperti "kepuasan perkawinan," "komunikasi suami istri," "keintiman emosional,"
"kepercayaan dalam hubungan perkawinan," dan "pengelolaan konflik." Data yang
terkumpul dari berbagai literatur dianalisis menggunakan teknik analisis isi, tahapan
analisis ini mencakup koding, klasifikasi dan sintesis. ntuk menjamin keabsahan hasil
penelitian, dilakukan triangulasi sumber dengan cara membandingkan temuan dari
berbagai sumber literatur yang berbeda. Selain itu, validasi dilakukan dengan
menggunakan validasi teoritis, yaitu memastikan kesesuaian temuan dengan teori-
teori yang diakui di bidang psikologi keluarga. Penelitian ini memperhatikan kaidah
etika ilmiah, seperti menjaga integritas akademik dan menghindari plagiarisme. Setiap
sumber yang digunakan dikutip sesuai dengan standar ilmiah, dan seluruh literatur
yang dianalisis akan dicantumkan dalam daftar referensi.

PEMBAHASAN
A. Definisi Pernikahan
Istilah perkawinan dan pernikahan sering disamaartikan. Sesungguhnya kedua
istilah itu memiliki arti dan penggunaan yang berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007), kawin artinya melakukan hubungan kelamin atau berkelamin (untuk
hewan). Perkawinan artinya keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan
kelamin antara jantan dan betina. Sedangkan pernikahan artinya ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa
istilah perkawinan dapat diberlakukan baik untuk manusia maupun hewan, sedangkan
istilah pernikahan hanya berlaku untuk manusia.
Dalam kamus APA Dictionary of Psychology (VandenBos, 2007) dijelaskan
bahwa perkawinan (marriage) adalah institusi sosial dimana dua (atau lebih) orang,
biasanya laki-laki dan perempuan berkomitmen untuk menjalin relasi sosial dimana
hubungan seksual intercourse dilegalkan dan secara legal bertanggung jawab satu
dengan yang lain dan juga terhadap keturunannya. Dalam tulisan ini selanjutnya
digunakan istilah perkawinan yang memiliki arti lebih luas meliputi baik hubungan
biologis, sosial, dan legal.
Menurut Walgito (2010), perkawinan adalah bersatunya dua orang se- bagai
suami-istri. Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak (Kertamuda,
2009). Perkawinan merupakan komitmen emosional dan legal dari dua orang yang
berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagi tugas, dan sumber-sumber ekonomi
(Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011). Perkawinan juga tak lain adalah sebuah
komitmen yang serius antar pasangan dan adanya pesta perkawinan mengandung arti
bahwa secara sosial pasangan tersebut diakui telah resmi menjadi suami-istri
(Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012).
Sedangkan pengertian pernikahan menurut Islam adalah suatu akad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan, dalam rangka
mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi ketentraman dan kasih
sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT (Zurinal & Aminuddin, 2008).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan bersatunya
dua individu dalam ikatan yang sah dalam rangka membentuk sebuah
keluarga bahagia.

B. Tujuan pernikahan
Pernikahan adalah salah satu media untuk mengembangkan keturunan dan
penyaluran insting untuk melakukan relasi seksual. Untuk itu Allah telah memberikan
aturan-aturan dan batasan-batasan untuk menjamin agar pernikahan itu bias dicapai
oleh setiap orang.Al-Qur’an menunjukkan bahwa cara riil dan nature untuk meraih
kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah melalui hubungan suami-istri yang baik
sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah lewat apa yang telah difirmankan-
Nya dan juga apa yang telah dilakukan oleh rasul-Nya, yaitu Adam dan Siti Hawa.
Melalui tatanan hukum yang tersistematis dengan baik, maka kedamaian dalam
pernikahan dapat tercapai dan terjamin secara nyata, karena dalam diri manusia
terdapat insting untuk menyukai lawan jenis. Prinsip utama dari kehidupan
pernikahan adalah manusia harus hidup secara berpasang-pasangan yaitu seorang
lakilaki dan seorang perempuan harus menikah dan hidup bersama dalam sebuah
ikatan pernikahan yang bahagia.(Haifaa A. Jawad, 2002:103a)

C. Kepuasan pernikahan
Kepuasan perkawinan adalah konsep multidimensional yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk faktor psikologis dan religiusitas. Pada pasangan suami
istri, faktor-faktor ini berinteraksi dalam membentuk persepsi terhadap kualitas
hubungan, yang pada gilirannya mempengaruhi kepuasan perkawinan. Dalam konteks
ini, religiusitas dan faktor-faktor psikologis seperti komunikasi, kepercayaan,
keintiman emosional, dan pengelolaan konflik memainkan peran penting dalam
menjaga dan meningkatkan kualitas hubungan suami istri.
1. Peranan Religiusitas dalam Kepuasan Perkawinan
Religiusitas, yang mencakup keyakinan, praktik, dan nilai-nilai keagamaan,
memiliki peran penting dalam hubungan suami istri. Penelitian menunjukkan
bahwa pasangan yang memiliki tingkat religiusitas tinggi cenderung memiliki
kepuasan perkawinan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:
 Panduan moral dan etika: Religiusitas memberikan panduan moral yang kuat
dalam kehidupan sehari-hari pasangan, termasuk dalam mengelola hubungan
perkawinan. Prinsip-prinsip agama sering mendorong nilai-nilai seperti
kesetiaan, pengampunan, pengorbanan, dan komitmen, yang semuanya
merupakan fondasi penting dalam menjaga hubungan perkawinan yang sehat.
 Dukungan emosional dan spiritual: Pasangan yang religius cenderung
mencari dukungan dari keyakinan mereka ketika menghadapi tantangan
dalam pernikahan. Religiusitas dapat memberikan sumber kekuatan
emosional dan spiritual yang membantu pasangan mengatasi konflik dan
masalah yang mereka hadapi.
 Aktivitas keagamaan bersama: Pasangan yang terlibat dalam aktivitas
keagamaan bersama, seperti berdoa atau menghadiri ibadah, sering
melaporkan ikatan emosional yang lebih kuat. Aktivitas semacam ini dapat
memperkuat komunikasi emosional dan menciptakan rasa kebersamaan yang
mendalam.
Namun, tingkat religiusitas yang berbeda di antara pasangan dapat menjadi
sumber ketegangan jika tidak dikelola dengan baik. Ketidakcocokan dalam nilai-
nilai atau praktik keagamaan dapat menyebabkan ketidakpuasan, terutama jika
salah satu pasangan merasa bahwa keyakinan mereka diabaikan atau tidak
dihargai.
2. Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan
Selain religiusitas, berbagai faktor psikologis berkontribusi pada kepuasan
perkawinan. Faktor-faktor ini melibatkan aspek emosional, kognitif, dan perilaku
yang mempengaruhi cara pasangan berinteraksi dan memandang satu sama lain.
a. Komunikasi
Komunikasi yang efektif adalah salah satu faktor psikologis yang paling
penting dalam menentukan kepuasan perkawinan. Suami istri yang mampu
berkomunikasi dengan baik cenderung lebih mampu memahami kebutuhan dan
perasaan satu sama lain. Komunikasi yang buruk, di sisi lain, sering kali menjadi
sumber utama konflik dan ketidakpuasan dalam hubungan.
 Komunikasi verbal dan nonverbal: Dalam perkawinan, baik komunikasi
verbal (kata-kata) maupun nonverbal (bahasa tubuh, ekspresi wajah)
berperan dalam membangun atau merusak hubungan. Ketidakmampuan
untuk mengekspresikan perasaan atau memahami isyarat nonverbal
pasangan dapat menyebabkan perasaan terabaikan atau disalahpahami.
 Mendengarkan aktif: Keterampilan mendengarkan aktif, di mana salah
satu pasangan benar-benar fokus pada apa yang dikatakan pasangannya
tanpa interupsi, sangat penting untuk mengatasi masalah komunikasi
dan memperkuat hubungan.
b. Kepercayaan
Kepercayaan adalah fondasi dasar dari setiap hubungan yang sukses.
Tanpa adanya kepercayaan, hubungan suami istri akan dipenuhi dengan
kecurigaan, kecemasan, dan ketidakpastian. Kepercayaan dalam perkawinan
meliputi keyakinan bahwa pasangan akan setia, jujur, dan dapat diandalkan.
 Penghianatan atau perselingkuhan: Salah satu penyebab utama
hancurnya kepercayaan dalam perkawinan adalah perselingkuhan atau
penghianatan emosional. Ketika kepercayaan rusak, butuh waktu dan
usaha besar untuk memulihkannya, dan ini sering kali menjadi
tantangan besar dalam mencapai kembali kepuasan perkawinan.
 Transparansi dan keterbukaan: Untuk membangun dan mempertahankan
kepercayaan, transparansi dan keterbukaan dalam hubungan sangat
penting. Pasangan harus merasa nyaman untuk berbagi pikiran dan
perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau ditolak.
c. Keintiman Emosional
Keintiman emosional adalah dimensi penting dalam perkawinan yang
melibatkan rasa kedekatan, rasa saling memahami, dan rasa terhubung secara
emosional dengan pasangan. Pasangan yang memiliki keintiman emosional yang
tinggi cenderung memiliki hubungan yang lebih puas dan bahagia.
 Empati dan perhatian: Keintiman emosional berkembang ketika
pasangan mampu merasakan empati terhadap satu sama lain dan
memberikan perhatian pada kebutuhan emosional pasangannya. Ini
menciptakan perasaan saling dihargai dan dipahami, yang penting dalam
mempertahankan kepuasan dalam perkawinan.
 Keterlibatan dalam aktivitas bersama: Melakukan aktivitas yang
memperkuat ikatan emosional, seperti berkegiatan bersama atau sekadar
meluangkan waktu untuk berbicara, dapat meningkatkan keintiman
emosional dalam hubungan.
d. Pengelolaan Konflik
Tidak ada perkawinan yang bebas dari konflik, namun cara pasangan
mengelola konflik sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Pasangan yang
mampu menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat cenderung lebih puas
dengan hubungan mereka dibandingkan dengan pasangan yang sering berkonflik
secara destruktif.
 Pendekatan kolaboratif: Konflik yang diselesaikan melalui pendekatan
kolaboratif, di mana kedua pasangan mencari solusi yang saling
menguntungkan, lebih mungkin menghasilkan hasil yang positif. Ini
mencakup keterampilan berkomunikasi, mendengarkan, dan
berkompromi.
 Penghindaran konflik: Sebaliknya, penghindaran konflik dapat
menyebabkan penumpukan perasaan negatif yang pada akhirnya meledak
menjadi masalah yang lebih besar, menurunkan kepuasan perkawinan.
3. Interaksi antara Religiusitas dan Faktor Psikologis
Religiusitas dapat memperkuat faktor-faktor psikologis dalam perkawinan
dengan cara mempromosikan nilai-nilai yang mendukung komunikasi yang baik,
kepercayaan, dan pengelolaan konflik. Misalnya, pasangan yang berbagi nilai-
nilai keagamaan yang kuat sering kali lebih mampu mengatasi masalah
perkawinan dengan sikap saling memaafkan dan pengertian, didorong oleh ajaran
moral yang mereka anut.
Sebaliknya, ketidaksesuaian religiusitas antara suami dan istri dapat
memperburuk masalah psikologis dalam hubungan. Konflik nilai atau perbedaan
dalam cara menjalankan keyakinan dapat menciptakan ketegangan yang
berdampak negatif pada aspek komunikasi, keintiman emosional, dan
kepercayaan.
4. Faktor yang mempengaruhi hubungan suami istri diawal pernikahan
Berupaya untuk saling mengenal antara pasangan suami istri merupakan
langkah pertama harus saling berinteraksi antara satu sama lain dan Saling
memperkuat merupakan dasar untuk saling bertukar pikiran dan saling memahami
Tanpa upaya tersebut, kehidupan rumah tangga tidak akan dapat berlangsung
harmonis Selain itu, kedua pasangan tersebut Juga harus mengenal orang orang
terdekat masing masing baik yang mahram maupun yang bukan mahram itu
semua membutuhkan pemahaman dan keahlian tersendiri yang akan dapat
menambah kesuksesan bagi kehidupan suami Tidak terpenuhinya hal tersebut
akan menimbulkan mudharal bagi kehidupan pasangan suami istri tersebut
Kandungan pada pembahasan ini akan kami jelaskan dalam dua pokok
pembahasan
a. Saling mengenal antara pasangan suami istri
b. Mengenal orang-orang terdekat masing-masing pasangan
Setiap pasangan yang kehidupan rumah tangganya sukses selalu berusaha
mengenal pasangannya dengan baik. Pada kehidupan generasi kaum salalush
shalin telah dicontohkan.
Maka dari itu kita harus memiliki sikap saling mengenal pasangan masing-
masing. Karna dengan mengenal satu sama lain mempermudah kita untuk
menghadapi rumah tangga, permasalahan antara suami dan istri pun menyangkut
masalah-masalah yang muncul terhadap keluarga. Maka dari itu perlunya
mengenal satu sama lain, mengetahui sifat asli baik buruknya. Akan tetapi yang
namanya suami istri tidak dipantaskan membuka aib satu sama lain kepada orang
lain ataupun keluarga. Maka perlunya komunikasi antara suami dan istri.
Jadi pengaruh hubungan suami istri diawal pernikahan terkadang kurang
memahami perasaan satu sama lain dan kurangnya komunikasi, terkadang diawal
pernikahan masih ada sifat cemburu, karna baru awal menjadi pasangan suami
istri yang sah dalam agama, apalagi ketika awal pernikahan masih banyak yang
memiliki masalah dalam rumah tangga, mereka memilih untuk bercerita kepada
orang tua masing-masing. Padahal jika dikatakan dalam agama “lebih baik
dibicarakan secara kekeluargaan sendiri,tidak perlu membawa orang lain untuk
terjerumus masalah rumah tangga kita”. Maka perbanyaklah komunikasi anatara
suami istri.

D. Hak dan kewajiban dalam pernikahan


Islam memandang pernikahan sebagai bagian yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat. Pernikahan dilihat sebagai sarana untuk memenuhi tujuan
Ilahi, karena melalui pernikahan tercipta hubungan yang luas dan kompleks antara
manusia, yang saling terikat. Hubungan ini menjadi dasar bagi banyak nilai moral
seperti kewajiban memiliki keturunan, mencintai, mendukung, menghibur,
membimbing, mendidik, menolong, dan menemani. Selain itu, pernikahan
mengandung tanggung jawab serta rasa saling memiliki dan harapan timbal balik
antara pasangan. Maka dari itu pernikahan juga membentuk ikatan sosial antara
keluarga, yang menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dijalankan secara
seimbang.
1. Hak dan kewajiban suami istri
Hak dan kewajiban suami istri pada dasarnya setara, sehingga hubungan antara
suami dan istri dalam keluarga didasarkan pada prinsip keseimbangan dan kesetaraan
(at-tawazun wat-takafu') di antara keduanya. Istri memiliki 'hak' yang harus dipenuhi
oleh suami, demikian pula suami memiliki 'hak' yang harus dipenuhi oleh istri, yang
keduanya dilaksanakan dengan cara yang baik (ma'ruf). Hak dan kewajiban antara
suami dan istri ini umumnya terbagi menjadi empat bagian: kewajiban suami yang
menjadi hak istri, kewajiban istri yang menjadi hak suami, hak bersama antara suami
dan istri, serta kewajiban bersama antara suami dan istri. Setelah kelahiran seorang
anak, muncul hak dan kewajiban baru, yaitu hak dan kewajiban antara anak dan orang
tua.
2. Kewajiban suami
Al-Qur’an menyebutkan bahwa suami berperan sebagai pelindung bagi istri,
sehingga para ulama menetapkannya sebagai kepala keluarga. Tugas suami ini
didasari oleh dua hal: secara alami karena kekuatan fisik yang umumnya lebih besar
dari perempuan, dan secara sosial karena suami bertanggung jawab memberi nafkah.
Kewajiban suami terbagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan harta seperti
mahar dan nafkah, serta kewajiban non-harta seperti memperlakukan istri dengan
baik, memenuhi kebutuhan biologisnya, menjaga nama baik, dan memberikan rasa
aman serta kasih sayang. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang
harmonis, penuh cinta dan kasih sayang.
3. Kewajiban istri
Kewajiban istri terhadap suami tidak berbentuk materi, melainkan non-materi,
seperti taat dan patuh kepada suami. Menurut Amir Syarifuddin, kewajiban tersebut
meliputi: memberikan rasa tenang dan cinta, memperlakukan suami dengan baik,
menjaga diri dan harta suami, menjauhi hal-hal yang tidak disukai suami, serta
menghindari penampilan dan suara yang tidak menyenangkan. Ketaatan istri berarti
mengikuti perintah suami selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu,
istri harus menjalankan fungsi reproduksi dengan baik, sementara hak untuk
menentukan keturunan adalah hak bersama suami dan istri yang dapat dibicarakan
bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Afni, N., & Indrijati, H. (2011). Pemenuhan aspek-aspek kepuasan perkawinan


pada istri yang menggugat cerai suami. Insan, 13(3), 176-184.
Ardhianita, I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan pernikahan ditinjau dari
berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, 32(2), 101-111
Azwar, S. 2005. Tes prestasi: fungsi pengembangan pengukuran prestasi belajar.
Edisi ke-2. Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta.
Duvall, E.M. & Miller, B.C. 1985. Marriage and family development. Harper and
Row: New York.
Goode, W. 1991. Sosiologi keluarga. Bumi Aksara: Jakarta.

Herfianti, F. 2005. Inventori kepuasan perkawinan. Tesis. (Tidak diterbitkan).


Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Jakarta.
Irfan. 2024. Tingginya angka perceraian. http://www.republika.com
Jane. (1999). Improving your marital satisfaction. Diambil pada tanggal 11
September 2024 dari http://www.drjane.com
Kompasiana. (2024). Inilah penyebab perceraian tertinggi di Indonesia. Diambil
pada tanggal 11 September 2024 dari http://edukasi.kompasiana.com
Kamal, T. 2006. Psikologi suami istri. Mitra Pustaka: Yogyakarta.
Nihayah, Z., Adriani, Y & Wahyuni, Z.I. (2013). Conference proceedings of
AICIS XII: Peran religiusitas dan faktor-faktor psikologis terhadap kepuasan
pernikahan.
Wardhani, N. A. K. (2012). Self disclosure dan kepuasan perkawinan pada usia
awal perkawinan. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 1(1)

Anda mungkin juga menyukai