Andri Ronaldi 1-3 Judul Baru
Andri Ronaldi 1-3 Judul Baru
Andri Ronaldi 1-3 Judul Baru
(STUDI KASUS)
PERENCANAN EMBUNG PEKERJAAN BRIGIN CENTER PADANG MENGETAS
PAYAKUMBUH
Oleh :
ANDRI RONALDI
2017210
Dimana:
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
n = Banyak stasiun hujan
b. Metode Poligon Thiessen
Dimana :
C = Koefisien Thiessen
= Luas daerah pengaruh dari stasiun pengamatan i
= Luas total DAS )
Dimana :
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
= Luas daerah pengaruh dari setiap stasiun hujan
= Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
N = Banyaknya stasiun hujan
Jika stasiun hujannya relatif lebih padat dan memungkinkan untuk membuat garis
Isohyet maka metode ini akan menghasilkan hasil yang lebih teliti. Peta Isohyet harus
mencantumkan sungai-sungai utamanya, garis-garis kontur dan mempertimbangkan
topografi, arah angin, dan lain-lain di daerah bersangkutan. Jadi untuk membuat peta Isohyet
yang baik, diperlukan pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang cukup (Sosrodarsono,
2003).
koefisien kurtosis (Ck).Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan
harian rata-rata maksimum 20 tahun terakhir.
Nilai rata-rata
∑
................................................................(2.5)
Dimana :
X = Nilai rata-rata curah hujan
= Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
N = Jumlah data curah hujan
Standar deviasi
Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila
penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan besar, akan tetapi
apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan kecil.
Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995) :
∑ { ̅}
√ (2.6)
Dimana :
= Standar deviasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata curah hujan
= Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
n = Jumlah data curah hujan
Koefisien Variasi
̅
Dimana :
Sv = Koefisien variasi curah hujan
= Standar deviasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata curah hujan
Koefisien Kemencengan
Koefisien kemencengan (coefficient of skewness) adalah suatu nilai yang
menunjukkan derajat ketidak simetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi. Jika
dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995) :
Untuk populsi : ………………………………….(2.8)
∑ ……………………………………..(2.10)
∑ ̅ …………………………….(2.11)
Dimana :
= Koefisien kemencengan curah hujan
= Standar diviasi dari populasi curah hujan
= Standar deviasi dari sampel curah hujan
= Nilai rata-rata dari data populasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata dari data sampel curah hujan
= Curah hujan ke i
= Jumlah data curah hujan
α = Parameter kemencengan
Koefisien kurtosis
Koefisien kurtosis adalah suatu nilai yang menunjukkan keruncingan dari bentuk
kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal yang
mempunyai Ck = 3 yang dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam yang dinamakan
leptokurtik, sedangkan Ck > 3 berpuncak datar dinamakan platikurtik.
Koefisien Kurtosis biasanya digunakan untuk menentukan keruncingan kurva distribusi, dan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
..........................................(2.12)
Dimana :
= Koefisien Kurtosis
MA(4) = Momen ke-4 terhadap nilai rata-rata
= Standar deviasi
∑ ̅
...................................(2.13)
Dimana :
= koefisien kurtosis curah hujan
n = jumlah data curah hujan
= curah hujan ke i
̅ = nilai rata-rata dari data sampel
= nilai frekuensi variat ke i
= standar deviasi
Cs ≈ 0
Normal
Ck ≈ 3
Cs ≤ 1,1396
Gumbel Tipe I
Ck ≤ 5,4002
Cs ≈ 3Cv + Cv3
Log normal
Cv ≈ 0
(Sumber : Sutiono. Dkk)
Sebaran Gumbel Tipe I
Digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. Untuk
menghitung curah hujan rencana dengan metode sebaran Gumbel Tipe I digunakan
persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999):
̅ ................................(2.15)
∑ ̅
√ ...............................................(2.16)
Y = -1n * +....................................(2.17)
Dimana :
= Nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun
̅ = Nilai rata-rata
S = Standar deviasi (Simpang baku)
= Nilai reduksi variat (reduced variate) dari variabel yang diharapkan terjadi pada
periode ulang T tahun. Tabel 2.4
= Nilai rata-rata dari reduksi variabt (reduce mean) nilainya tergantung dari
jumlah data n(n). Tabel 2.2
= Deviasi standar dari reduksi variant (reduced standart deviation) nilainya
tergantung dari jumlah data (n). Tabel 2.3
Tabel 2.2 Reduced mean (Yn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0.5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600
Tabel 2.3 Reduced Standard Deviation (Sn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0315 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50 1,1607 1,1923 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930
80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001
90 1,2007 1,2013 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2046 1,2049 1,2055 1,2060
100 1,2065
Tabel 2.4 Reduced Variate (YT) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
…………………………………(2.19)
…………………………………(2.20)
…………………………………(2.21)
Untuk mencari Nilai koefisien kurtois (Ck) maka diperlukan persamaan berikut:
…………………………………(2.22)
Cv= ...................................(2.23)
Dimana :
Cv = Koefisien Variasi
Sd = Standar Deviasi
Tabel 2.5 Harga K untuk Metode Sebaran Log Pearson III
Periode Ulang Tahun
Koefisien
2 5 10 25 50 100 200 1000
Kemencengan
Peluang (%)
(Cs)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 2,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 2,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 2,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 2,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 2,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -0,050 0,824 1,309 2,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0.2 -0,033 0,830 1,301 2,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,292 2,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 2,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 2,761 2,000 2,252 2,482 3,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1, 880 2,016 2,275
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280
-1,8 0,282 0,799 0,945 0,035 1,069 1,089 1,097 1,130
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
Digunakan dalam analisis hidrologi, misal dalam analisis frekuensi curah hujan, analisis
statistik dari distribusi rata-rata curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan dan
sebagainya. Sebaran normal atau kurva normal disebut pula sebaran Gauss. Probability
Density Function dari sebaran normal adalah :
* +
............................................(2.24)
√
Dimana :
= Nilai logaritmik dari X atau log (X)
= 3,14156
E = 2,71828
X = Variabel acak kontinu
= Rata-rata nilai X
= Standar deviasi nilai X
Untuk analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik dan σ . Bentuk kurvanya
simetris terhadap X = dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati
(berasimtot) sumbu datar X, dimulai dari X = + 3σ dan X-3σ . Nilai mean = modus =
median. Nilai X mempunyai batas - <X<+ .
Tabel 2.6 menunjukkan wilayah luas di bawah kurva normal, yang merupakan luas dari
bentuk kumulatif (cumulative form) dan sebaran normal.
Tabel 2.6 Wilayah Luas Di bawah Kurva Normal
1 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09
-3,4 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0002
-3,3 0,0005 0,0005 0,0005 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0003
-3,2 0,0007 0,0007 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0005 0,0005 0,0005
-3,1 0,0010 0,0009 0,0009 0,0009 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0007 0,0007
-3,0 0,0013 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 0,0011 0,0011 0,0011 0,0010 0,0010
-2,9 0,0019 0,0018 0,0017 0,0017 0,0016 0,0016 0,0015 0,0015 0,0014 0,0014
-2,8 0,0026 0,0025 0,0024 0,0023 0,0022 0,0022 0,0021 0,0021 0,0020 0,0019
-2,7 0,0036 0,0034 0,0033 0,0032 0,0030 0,0030 0,0029 0,0028 0,0027 0,0026
-2,6 0,0047 0,0045 0,0044 0,0043 0,0040 0,0040 0,0039 0,0038 0,0037 0,0036
-2,5 0,0062 0,0060 0,0059 0,0057 0,0055 0,0054 0,0052 0,0051 0,0049 0,0048
-2,4 0,0082 0,0080 0,0078 0,0075 0,0073 0,0071 0,0069 0,0068 0,0066 0,0064
-2,3 0,0107 0,0104 0,0102 0,0099 0,0096 0,0094 0,0094 0,0089 0,0087 0,0084
-2,2 0,0139 0,0136 0,0132 0,0129 0,0125 0,0122 0,01119 0,0116 0,0113 0,0110
-2,1 0,0179 0,0174 0,0170 0,0166 0,0162 0,0158 0,0154 0,0150 0,0146 0,0143
-2,0 0,0228 0,0222 0,0217 0,0212 0,0207 0,0202 0,0197 0,0192 0,0188 0,0183
-1,9 0,0287 0,0281 0,0274 0,0268 0,0262 0,0256 0,0250 0,0244 0,0239 0,0233
-1,8 0,0359 0,0352 0,0344 0,0336 0,0329 0,0322 0,0314 0,0307 0,0301 0,0294
-1,7 0,0446 0,0436 0,0427 0,0418 0,0409 0,0401 0,0392 0,0384 0,0375 0,0367
-1,6 0,0548 0,0537 0,0526 0,0516 0,0505 0,0495 0,0485 0,0475 0,0465 0,0455
-1,5 0,0668 0,0655 0,0643 0,0630 0,0618 0,0606 0,0594 0,0582 0,0571 0,0559
-1,4 0,0808 0,0793 0,0778 0,0764 0,0749 0,0735 0,0722 0,0708 0,0694 0,0681
-1,3 0,0968 0,0951 0,0934 0,0918 0,0901 0,0885 0,0869 0,0853 0,0838 0,0823
-1,2 0,1151 0,1131 0,1112 0,01093 0,1075 0,1056 0,1038 0,1020 0,1003 0,0985
-1,1 0,1357 0,1335 0,1314 0,1292 0,1271 0,1251 0,1230 0,1210 0,1190 0,1170
-1,0 0,1587 0,1562 0,1539 0,1515 0,1492 0,1469 0,1446 0,1423 0,1401 0,1379
-0,9 0,1841 0,1814 0,1788 0,1762 0,1736 0,711 0,1685 0,1660 0,1635 0,1611
-0,8 0,2119 0,2090 0,2061 0,2033 0,2005 0,1977 0,1949 0,1922 0,1894 0,1867
-0,7 0,2420 0,2389 0,2358 0,2327 0,2296 0,2266 0,2236 0,2206 0,2177 0,2148
-0,6 0,2743 0,2709 0,2676 0,2643 0,2611 0,2578 0,2546 0,2514 0,2483 0,2451
-0,5 0,3085 0,3050 0,3015 0,2981 0,2946 0,2912 0,2877 0,2843 0,2810 0,2776
-0,4 0,3446 0,3409 0,3372 0,3336 0,3300 0,3264 0,3228 0,3192 0,3156 0,3121
-0,3 0,3821 0,3783 0,3745 0,3707 0,3669 0,3632 0,3594 0,3557 0,3520 0,3483
-0,2 0,4207 0,4168 0,4129 0,4090 0,4052 0,4013 0,3974 0,3936 0,3897 0,3859
-0,1 0,4602 0,4562 0,4522 0,4483 0,4443 0,4404 0,4364 0,4325 0,4286 0,4247
0,0 0,5000 0,4960 0,4920 0,4880 0,4840 0,4801 0,4761 0,4721 0,4681 0,4641
0,0 0,5000 0,50470 0,5080 0,5120 0,5160 0,5199 0,5239 0,5279 0,5319 0,5359
0,1 0,5398 0,5438 0,5478 0,5517 0,5557 0,5596 0,5636 0,5675 0,5714 0,5753
0,2 0,5793 0,5832 0,5871 0,5910 0,5948 0,5987 0,6026 0,6064 0,6103 0,6141
0,3 0,6179 0,6217 0,6255 0,6293 0,6331 0,6368 0,6406 0,6443 0,6480 0,6517
0,4 0,6554 0,6591 0,6628 0,6664 0,6700 0,6736 0,6772 0,6808 0,6844 0,6879
0,5 0,6915 0,6950 0,6985 0,7019 0,7054 0,7088 0,7123 0,7157 0,7190 0,7224
0,6 0,7257 0,7291 0,7324 0,7357 0,7389 0,7422 0,7454 0,7486 0,7517 0,7549
0,7 0,7580 0,7611 0,7642 0,7673 0,7704 0,7734 0,7764 0,7794 0,7823 0,7852
0,8 0,7881 0,7910 0,7939 0,7967 0,7995 0,8023 0,8051 0,8078 0,8106 0,8133
0,9 0,8159 0,8186 0,8212 0,8238 0,8264 0,8289 0,8315 0,8340 0,8365 0,8389
1,0 0,8413 0,8438 0,8461 0,8485 0,8505 0,8531 0,8554 0,8577 0,8599 0,8621
1,1 0,8643 0,8665 0,8686 0,8708 0,8729 0,8749 0,8770 0,8790 0,8810 0,8830
1,2 0,8849 0,8869 0,8888 0,8907 0,8925 0,8944 0,8962 0,8980 0,8997 0,9015
1,3 0,9032 0,9049 0,9066 0,9082 0,9099 0,9115 0,9131 0,9147 0,9162 0,9177
1,4 0,9192 0,9207 0,9222 0,9236 0,9251 0,9265 0,9278 0,9292 0,9306 0,9319
1,5 0,9332 0,9345 0,9357 0,9370 0,9382 0,9394 0,9406 0,9418 0,9429 0,9441
1,6 0,9452 0,9463 0,9474 0,9484 0,9495 0,9505 0,9515 0,9525 0,9535 0,9545
1,7 0,9554 0,9564 0,9573 0,9582 0,9591 0,9599 0,9608 0,9616 0,9625 0,9633
1,8 0,9541 0,9649 0,9656 0,9664 0,9671 0,9678 0,9686 0,9693 0,9699 0,9706
1,9 0,9713 0,9719 0,9726 0,9732 0,9738 0,9744 0,9750 0,9756 0,9761 0,9767
2,0 0,9772 0,9778 0,9783 0,9788 0,9793 0,9798 0,9803 0,9808 0,9812 0,9817
2,1 0,9821 0,9826 0,9830 0,9834 0,9838 0,9842 0,9846 0,9850 0,9854 0,9857
2,2 0,9861 0,9864 0,9868 0,9871 0,9875 0,9878 0,9891 0,9884 0,9887 0,9890
2,3 0,9893 0,9896 0,9896 0,9901 0,999904 0,999906 0,9909 0,9911 0,9913 0,9916
2,4 0,9918 0,9920 0,9922 0,9925 0,9927 0,9929 0,9931 0,9932 0,9934 0,9936
2,5 0,9938 0,9940 0,9941 0,9943 0,9945 0,9946 0,9948 0,9949 0,9951 0,9952
2,6 0,9953 0,9955 0,9956 0,9957 0,9959 0,9960 0,9961 0,9962 0,9963 0,9964
2,7 0,9965 0,9966 0,9967 0,9968 0,9969 0,9970 0,9971 0,9972 0,9973 0,9974
2,8 0,9974 0,9975 0,9976 0,9977 0,9977 0,9978 0,9979 0,9979 0,9980 0,9981
2,9 0,9981 0,9982 0,9982 0,9983 0,9984 0,9984 0,9985 0,9985 0,9986 0,9986
3,0 0,9987 0,9987 0,9987 0,9988 0,9988 0,9989 0,9989 0,9989 0,9990 0,9990
3,1 0,9990 0,9991 0,9991 0,9991 0,9992 0,9992 0,9992 0,9992 0,9993 0,9993
3,2 0,9993 0,9993 0,9994 0,9994 0,9994 0,9994 0,9994 0,9995 0,9995 0,9995
3,3 0,9995 0,9995 0,9995 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9997
3,4 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9998
(Sumber :Soewarno,1995)
Tabel 2.7 Penentuan Nilai K pada Sebaran Normal
Periode Ulang
Peluang k
T (tahun)
1,001 0,999 -3,05
1,005 0,995 -2,58
1,010 0,990 -2,33
1,050 0,950 -1,64
1,110 0,900 -1,28
1,250 0,800 -0,84
1,330 0,750 -0,67
1,430 0,700 -0,52
1,670 0,600 -0,25
2,000 0,500 0
2,500 0,400 0,25
3,330 0,300 0,52
4,000 0,250 0,67
5,000 0,200 0,84
10,000 0,100 1,28
20,000 0,050 1,64
50,000 0,200 2,05
100,000 0,010 2,33
200,000 0,005 2,58
500,000 0,002 2,88
1000,000 0,001 3,09
(Sumber :Soewarno,1995)
Sebaran Log Normal
Sebaran log normal merupakan hasil transformasi dari sebaran normal, yaitu
dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X. Sebaran log-Pearson
III akan menjadi sebaran log normal apabila nilai koefisien kemencengan Cs = 0,00.
Metode log normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan
persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan
persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995):
....................................................(2.25)
Dimana :
= Besarnya curah hujan dengan periode ulang T tahun.
= Curah hujan rata-rata (mm)
S = Standar deviasi data hujan harian maksimum
Kt = Standar Variable untuk periode ulang t tahun yang besarnya diberikan
pada tabel 2.8
Tabel 2.8 Standard Variable (Kt) untuk Metode Sebaran Log Normal
T
(Tahun) Kt T (Tahun) Kt T (Tahun) Kt
Dimana :
= harga Chi-Square terhitung
Oi = jumlah data yang teramati terdapat pada sub kelompok ke-i
Ei = jumlah data yang secara teoritis terdapat pada sub kelompok ke-i
G = jumlah sub kelompok
Prosedur merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai sama atau lebih
besar dari pada nilai Chi-Square yang sebenarnya ( . Suatu distribusi dapat dibatalkan
selaras jika nilai hitung kritis. Nilai kritis dapat dilihat pada tabel 2.8 dari hasil
pengamatan yang didapat daicari penyimpangannya dengan Chi-Square kritis paling kecil.
Untuk suatu nilai tertentu (Level of significant) yang sering diambil adalah 5%.
7. Tentukan derajat kebebasan dk= G-R-1 (nilai R=2, untuk distribusi normal dan
binominal, dan nilai R=1, untuk distribusi poisson)(Soewoerno,1995)
α Derajat keprcayan
dk 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
0,995
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
...................................(2.28)
X2 → P’(X2)
Xm → P’(Xm)
Xn → P’(Xn)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
D = maksimum [ P(Xm) – P`(Xm)]
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorof test), tentukan harga D0 (Tabel
2.10).
Tabel 2.10 Nilai D0 kritis untuk uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof
5.
Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam)
R = tinggi hujan (mm)
T = lamanya hujan (jam)
2.2.5 Hujan Berpeluang Maksimum (Probable Maximum Precipitation, PMP)
PMP didefinisikan sebagai tinggi terbesar hujan dengan durasi tertentu yang secara
meteorologis dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun, tanpa
adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologis jangka panjang.(C.D Soemarto,
1995). Secara teoritis dapat didefinisikan sebagai ketebalan hujan maksimum untuk lama waktu
tertentu yang secara fisik mungkin terjadi dalam suatu wilayah aliran dalam kurun waktu
tertentu (American Meteoroligical Society, 1959). Ada 2 metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk memperkirakan besarnya PMP (Chay Asdak, 1995), yaitu :
Dimana :
PMP = Probable Maximum Precipitation
Km = faktor pengali terhadap standar deviasi
Xn = nilai tengah (mean) data hujan maksimum tahunan
Sn = standar deviasi data hujan maksimum tahunan
Km = faktor pengali terhadap standar deviasi
Besarnya parameter Km biasanya ditentukan 20, namun dilapangan umumnya bervariasi
tergantung nilai tengah data hujan maksimum tahunan (Xn) dan lama waktu hujan. Keuntungan
teknik ini mudah dalam pemakaiannya dan didasarkan pada pencatatan data hujan di lapangan,
sedangkan kekurangannya adalah teknik PMP memerlukan data hujan
yang berjangka panjang dan besarnya Km juga ditentukan oleh faktor lain selain nilai
tengah data hujan tahunan maksimum dan lama waktunya hujan. Besarnya PMP untuk
perencanaan embung adalah PMP/3, sedangkan untuk perencanaan DAM sama dengan besarnya
PMP.
Dimana :
dE = selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi terbatas
.Eto = evapotranspirasi potensial.
Etl = evapotranspirasi terbatas.
M = prosentase lahan yang tidak ditutupi vegetasi.
= 10 - 40 % untuk lahan yang tererosi.
= 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah.
c. Keseimbangan Air pada Permukaan Tanah
Rumus mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah.
S = Rs – Etl ........................................................................................... (2.33)
SMC(n) = SMC(n-1) + IS(n) ........................................................................... (2.34)
WS = S – IS............................................................................................... (2.35)
Dimana :
S = kandungan air tanah.
Rs = curah hujan bulanan.
Etl = evapotranspirasi terbatas.
IS = tampungan awal / soil storage (mm)
IS (n) = tampungan awal / soil storage moisture (mm) di ambil antara 50- 250 mm.
SMC(n) = kelembaman tanah bulan ke-n.
SMC(n-1) = kelembaman tanah bulan ke-
(n-1) WS= water suplus / volume air bersih.
d. Limpasan (run off) dan tampungan air tanah (ground water storage)
V (n) = k.V (n-1) + 0,5 (l-k).I(n) ................................................................. (2.36)
dVn = V (n) – V (n-1) ............................................................................... (2.37)
Dimana :
V (n) = volume air bulan ke-n
V (n-1) = volume air tanah bulan ke-(n-1)
k = faktor resesi aliran tanah diambil antara 0 –
0,1 I = koefisien infiltrasi diambil antara 0 – 1,0
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi lambat seperti kondisi geologi lapisan bawah
yang lulus air. Koefisien infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan
lahan. Lahan porus mempunyai infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan tanah lempung berat.
Lahan yang terjal menyebabkan air tidak sempat berinfiltrasi ke dalam tanah sehingga
koefisien infiltrasi akan kecil.
e. Aliran Sungai
Aliran dasar = infiltasi – perubahan volume air dalam tanah.
B (n) = I – dV (n) ..............................................................................................(2.38)
Aliran permukaan = volume air lebih – infiltrasi.
D (ro) = WS – I.................................................................................................. (2.39)
Aliran sungai = aliran permukaan + aliran dasar
Run off = D (ro) + B (n) ............................................................................ (2.40)
Debit = ....................................................................(2.41)
Dimana :
E-Akt = erosi aktual di DAS (ton/ha/tahun)
E-Pot = erosi potensial (ton/ha/th)
C = faktor penutup lahan
P = faktor konservasi tanah
7. pendugaan Laju Sedimen Potensial
Sedimentasi potensial adalah proses pengangkutan sedimen hasil dari proses
erosi potensial untuk diendapkan di jaringan irigasi dan lahan persawahan atau tempat-
tempat tertentu. Tidak semua sedimen yang dihasilkan erosi aktual menjadi sedimen,
hanya sebagian kecil material sedimen yang tererosi di lahan (DAS) mencapai outlet
basin tersebut atau sungai atau saluran terdekat. Perbandingan antara sedimen yang
terukur di outlet dan erosi di lahan biasa disebut nisbah pengangkutan sedimen atau
Sedimen Delivery Ratio (SDR). Sedimen yang dihasilkan erosi aktual pun tidak
semuanya menjadi sedimen, hal ini tergantung dari perbandingan antara volume
sedimen hasil erosi aktual yang mampu mencapai aliran sungai dengan volume
sedimen yang bisa diendapkan dari lahan di atasnya (SDR). Nilai SDR tergantung dari
luas DAS, yang erat hubungannya dengan pola penggunaan lahan. Nilai SDR dihitung
dengan persamaan sebagai berikut
Dimana :
SDR = Rasio pelepasan sedimen, nilainya 0 < SDR < 1
A = Luas DAS (ha)
S = Kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS (%)
n = Koefisien kekasaran Manning
Pendugaan laju sedimentasi potensial yang terjadi di suatu DAS dihitung dengan
persamaan Weischmeier dan Smith, 1958 sebagai berikut :
S-Pot = E-Akt x SDR............................................................................(2.92)
Dimana :
SDR = Sedimen Delivery Ratio
S-Pot = sedimentasi potensial
E-Akt = erosi aktual (erosi yang tejadi
Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat
hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari : memasak, minum, mencuci dan
keperluan rumah tangga lainnya. Satuan yang dipakai liter/orang/hari.
I – O = ∆S............................................................................................................... (2.97)
K = 10%, bila dasar dan dinding kolam embung praktis rapat air (k < 10-5 cm/d)
termasuk penggunaan lapisan buatan (selimut lempung,
geomembran,"rubbersheet" semen tanah).
2.7 Embung
2.7.1 Pemilihan Lokasi Embung
Embung adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung kelebihan air
pada saat debit tinggi dan melepaskannya pada saat dibutuhkan. Embung merupakan salah
satu bagian dari proyek secara keseluruhan maka letaknya juga dipengaruhi oleh bangunan-
bangunan lain seperti bangunan pelimpah, bangunan penyadap, bangunan pengeluaran,
bangunan untuk pembelokan sungai dan lain-lain (Soedibyo, 1993).
Untuk menentukan lokasi dan denah embung harus memperhatikan beberapa faktor yaitu
(Soedibyo, 1993) :
1. Tempat embung merupakan cekungan yang cukup untuk menampung air, terutama pada
lokasi yang keadaan geotekniknya tidak lulus air, sehingga kehilangan airnya hanya sedikit.
2. Lokasinya terletak di daerah manfaat yang memerlukan air sehingga jaringan distribusinya
tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi.
3. Lokasi embung terletak di dekat jalan, sehingga jalan masuk (access road) tidak begitu
panjang dan lebih mudah ditempuh.
Sedangkan faktor yang menentukan didalam pemilihan tipe embung adalah (Soedibyo,
1993) :
1. Tujuan pembangunan proyek
2. Keadaan klimatologi setempat
3. Keadaan hidrologi setempat
4. Keadaan di daerah genangan
5. Keadaan geologi setempat
6. Tersedianya bahan bangunan
7. Hubungan dengan bangunan pelengkap
8. Keperluan untuk pengoperasian embung
9. Keadaan lingkungan setempat
10. Biaya proyek
2.7.2 Tipe Embung
Tipe embung dapat dikelompokkan menjadi empat keadaan yaitu (Soedibyo, 1993) :
1. Tipe Embung Berdasar Tujuan Pembangunannya
Ada dua tipe Embung dengan tujuan tunggal dan embung serbaguna :
(a). Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk kebutuhan
air baku atau irigasi (pengairan) atau perikanan darat atau tujuan lainnya tetapi hanya satu
tujuan saja.
(b). Embung serbaguna (multipurpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya : irigasi
(pengairan), air minum dan PLTA, pariwisata dan irigasi dan lain-lain.
2. Tipe Embung Berdasar Penggunaannya
Ada 3 tipe yang berbeda berdasarkan penggunaannya yaitu :
(a). Embung penampung air (storage dams)
adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa surplus dan dipergunakan
pada masa kekurangan. Termasuk dalam embung penampung air adalah untuk tujuan
rekreasi, perikanan, pengendalian banjir dan lain-lain.
(b). Embung pembelok (diversion dams)
adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya untuk keperluan
mengalirkan air ke dalam sistem aliran menuju ke tempat yang memerlukan.
(c). Embung penahan (detention dams)
adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan mengusahakan seoptimal
mungkin efek aliran banjir yang mendadak. Air ditampung secara berkala atau sementara,
dialirkan melalui pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap ke
daerah sekitarnya.
E
m
Tam
pun
Perhitungan daya dukung batas untuk pondasi dangkal pada kondisi umum :
1. pondasi menerus
………..
2. Pondasi Persegi
( ( )) ………………
Dimana
= Kapasitas daya dukung ijin
= Kapasitas daya dukung maximum
= Faktor keamanan (Safety Factor)
= Faktor kapasitas daya dukung Terzaghi
= Kohesi tanah
= Berat isi tanah
= Dimensi untuk pondasi menerus persegi(m)
Tinggi embung
Tinggi jagaan
( ) ....................
Kriteria 2 :
......................
Dimana :
Hf = tinggi jagaan (m)
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he = tinggi ombak akibat gempa (m)
ha = perkiraan tambahan tinggi akibat penurunan tubuh bendungan (m)
hi = tinggi tambahan (m)
h = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air embung yang terjadi timbulnya
banjir abnormal
Tambahan tinggi akibat gelombang (Hw) dihitung berdasarkan pada kecepatan angin,
jarak seret gelombang (fecth) dan sudut lereng hulu dari bendungan. Digunakan
rumus (Soedibyo, 1993)
....................
√ ...........................
Kenaikan permukaan air embung yang disebabkan oleh ketidaknormalan
operasi pintu bangunan (ha). Sebagai standar biasanya diambil ha = 0,5
m. Angka tambahan tinggi jagaan yang didasarkan pada tipe embung (hi).
Karena limpasan melalui mercu embung urugan sangat berbahaya maka
untuk embung tipe ini angka tambahan tinggi jagaan (hi) ditentukan sebesar
1,0 m (hi = 1,0 m). Apabila didasarkan pada tinggi embung yang
direncanakan, maka standar tinggi jagaan embung urugan adalah sebagai
berikut (Soedibyo, 1993) :
Tabel 2.16 Tinggi jagaan embung urugan
b = 3,6 – 3 ....................................................................................
Dimana :
b = lebar mercu
H = tinggi embung
Lebar puncak dari embung tipe urugan ditentukan berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut ini.
Bahan timbunan asli (alam) dan jarak minimum garis rembesan melalui
timbunan pada elevasi muka air normal.
Pengaruh tekanan gelombang di bagian permukaan lereng hulu.
Tinggi dan tingkat kepentingan dari konstruksi bendungan
.Kemungkinan puncak bendungan untuk jalan penghubung
Pertimbangan praktis dalam pelaksanaan konstruksi.
Formula yang digunakan untuk menentukan lebar puncak pada bendungan urugan sebagai
berikut (USBR, 1987, p.253) :
...............................
Dimana :
w = lebar puncak bendungan (feet)
z = tinggi bendungan di atas dasar sungai (feet)
Untuk bendungan-bendungan kecil (embung) yang diatasnya akan dimanfaatkan untuk
jalan raya, lebar minimumnya adalah 4 meter. Sementara untuk jalan biasa cukup 2,5
meter. Lebar bendungan kecil dapat digunakan pedoman sebagai berikut Tabel 2.17
Kemiringan rata-rata lereng embung (lereng hulu dan lereng hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui tumit masing-masing
lereng tersebut. Berm lawan dan drainase prisma biasanya dimasukkan dalam
perhitungan penentuan kemiringan lereng, akan tetapi alas kedap air biasanya
diabaikan (Soedibyo, 1993). Kemiringan lereng urugan harus ditentukan sedemikian
rupa agar stabil terhadap longsoran. Hal ini sangat tergantung pada jenis material
urugan yang dipakai, Tabel 2.18. Kestabilan urugan harus diperhitungkan terhadap
frekuensi naik turunnya muka air, rembesan, dan harus tahan terhadap gempa
(Sosrodarsono, 1989).
Tabel 2.18 Kemiringan lereng urugan
Kemiringan
Lereng Vertikal
Material
Material Urugan : Horisontal
Utama
Hulu Hilir
a. Urugan homogen CH 1 : 3 1 : 2,25
CL
SC
GC
GM
SM
b. Urugan majemuk
a. Urugan batu dengan inti Pecahan batu 1 : 1,50 1 : 1,25
lempung atau dinding
diafragma Kerikil-kerakal 1 : 2,50 1 : 1,75
b. Kerikil-kerakal dengan
inti lempung atau dinding
diafragma
(Sumber :(Sosrodarsono, 1989)
7. Penimbunan Ekstra (Extra Banking)
Seluruh jumlah volume konstruksi yang dibuat dalam rangka pembangunan tubuh
embung termasuk semua bangunan pelengkapnya dianggap sebagai volume embung.
Analisis keandalan embung sebagai sumber air menyangkut volume air yang
tersedia, debit pengeluaran untuk kebutuhan air untuk air baku (PDAM),
pangendalian banjir dan debit air untuk keperluan lain-lain selama waktu yang
diperlukan. Analisis keandalan embung diperlukan perhitungan-perhitungan
diantaranya adalah perhitungan kapasitas embung yaitu volume tampungan air
maksimum dihitung berdasarkan elevasi muka air maksimum, kedalaman air dan
luas genangannya. Perkiraan kedalaman air dan luas genangan memerlukan adanya
data elevasi dasar embung yang berupa peta topografi dasar embung. Penggambaran
peta topografi dasar embung didasarkan pada hasil pengukuran topografi.
Perhitungan ini didasarkan pada data peta topografi dengan skala 1:1.000 dan beda
tinggi kontur 1m. Cari luas permukaan embung yang dibatasi garis kontur,
kemudian dicari volume yang dibatasi oleh 2 garis kontur yang berurutan dengan
menggunakan rumus pendekatan volume sebagai berikut (Bangunan Utama KP-02,
1986) :
√ ........................
Dimana :
Vx = Volume pada kontur X (m3)
Z = Beda tinggi antar kontur (m)
Fy = Luas pada kontur Y (km2)
Fx = Luas pada kontur X (km2)
Kemiringan timbunan embung pada dasarnya tergantung pada stabilitas bahan timbunan.
Semakin besar stabilitas bahannya, maka kemiringan timbunan dapat makin terjal. Bahan yang
kurang stabil memerlukan kemiringan yang lebih landai. Sebagai acuan dapat disebutkan bahwa
kemiringan lereng depan (upstream) berkisar antara 1: 2,5 sampai 1 : 3,5 , sedangkan bagian
belakang (downstream) antara 1: 2 sampai 1: 3. Kemiringan lereng yang efisien untuk bagian
hulu maupun bagian hilir masing-masing dapat ditentukan dengan rumus berikut
(Sosrodarsono, 1989) :
* + ................
* + ................
Dimana :
= faktor keamanan (dapat diambil 1.1)m dan n masing-masing kemiringan lereng hulu
dan hilir
K = koefesien gempa dan
Angka aman stabilitas lereng embung di bagian lereng hulu dan hilir dengan variasi beban yang
digunakan, diperhitungkan berdasarkan pada analisis keseimbangan batas (limit
equilibrium analysis). Geometri lereng tubuh embung disesuaikan dengan hasil analisis tersebut,
sehingga diperoleh angka aman ( S f ) yang sama atau lebih besar dari angka aman minimum
yang persyaratkan. Kemiringan lereng baik di sisi hilir maupun di sisi hulu embung harus
cukup stabil baik pada saat konstruksi, pengoperasian yaitu pada saat embung kosong,
embung penuh, saat embung mengalami rapid draw down dan ditinjau saat ada pengaruh
gempa. Sehingga kondisi beban harus diperhitungkan berdasarkan rencana konstruksi,
pengoperasian reservoir, menjaga elevasi muka air normal di dalam reservoir dan kondisi
emergency, flood storage dan rencana melepas air dalam reservoir, antisipasi pengaruh tekanan
air pori dalam tubuh bendungan dan tanah dasar fondasi. Tinjauan stabilitas bendungan
dilakukan dalam berbagai kondisi sebagai berikut :
a. Steady-State Seepage
Stabilitas lereng di bagian hulu di analisis pada kondisi muka air di reservoir yang
menimbulkan terjadinya aliran rembesan melalui tubuh Embung. Elevasi muka air pada
kondisi ini umumnya dinyatakan sebagai elevasi muka air normal (Normal High Water
Level).
b. Operation
Pada kondisi ini, muka air dalam reservoir maksimum (penuh-lebih tinggi dari elevasi muka
air normal). Stabilitas lereng di sebelah hulu dianalisis dengan kondisi muka air tertinggi
dimana dalam masa operasi muka air mengalami turun dengan tiba-tiba (sudden draw
down) dari elevasi dari muka air maksimum (tertinggi) menjadi muka air terendah
(LWL). Angka aman yang digunakan untuk tinjauan stabilitas lereng embung dengan
berbagai kondisi beban dan tegangan geser yang digunakan seperti dalam Tabel 2.19
Secara umum angka aman minimum untuk lereng hilir dan hulu juga dicantumkan pada
Tabel 2.20.
Tabel 2.19 Angka aman minimum dalam tinjauan stabilitas lereng sebagai fungsi dari
tegangan geser. (*)
Tegangan Koef.
Kriteria Kondisi Tinjauan Lereng SF min.
geser Gempa
Hulu CU 0% 1,50
I Rapid drawdown
Hulu CU 100% 1,20
Muka air penuh Hulu CU 0% 1,50
II
(banjir) Hulu CU 100% 1,20
Steady State Hilir CU 0% 1,50
III
Seepage Hilir CU 100% 1,20
(*) : Engineering and Design Stability of Earth and Rock-fill Dams, EM 1110-2-1902, 1970,
p. 25. Catatan : CU : Consolidated Undrained Test
Tabel 2.20 Angka aman minimum untuk analisis stabilitas lereng.
Angka Aman Minimum
Keadaan Rancangan /
Lereng hilir Lereng Hulu
Tinjauan
(D/S) (U/S)
1. Saat konstruksi dan akhir 1,25 1,25
konstruksi
2. Saat pengoperasian embung
1,50 1,50
dan saat embung penuh
Dimana :
N = gaya-gaya penahan
= gaya-gaya aktif penyebab runtuhan
Analisis ini dilakukan pada segala kemungkinan bidang permukaan runtuhan dan pada
berbagai keadaan embung di atas. Nilai angka aman hasil perhitungan (SF hitungan)
tersebut di atas harus lebih besar dari nilai angka aman minimum (SF minimum) seperti
tertera pada Tabel 2.19 dan Tabel 2.20. Gaya-gaya yang bekerja pada embung urugan :
1. Berat Tubuh Embung Sendiri
Berat tubuh embung dihitung dalam beberapa kondisi yang tidak menguntungkan yaitu :
a. Pada kondisi lembab segera setelah tubuh pondasi selesai dibangun.
b. Pada kondisi sesudah permukaan embung mencapai elevasi penuh dimana bagian
embung yang terletak disebelah atas garis depresi dalam keadaan jenuh.
c. Pada kondisi dimana terjadi gejala penurunan mendadak (Rapid drow-down)
permukaan air embung, sehingga semua bagian embung yang semula terletak di
sebelah bawah garis depresi tetap dianggap jenuh.
Berat dalam titik jenuh
Gambar 2.13 Berat bahan yang terletak dibawah garis depresi
Gaya-gaya atau beban-beban utama yang bekerja pada embung urugan yang akan
mempengaruhi stabilitas tubuh embung dan pondasi embung tersebut adalah :
a. Berat tubuh embung itu sendiri yang membebani lapisan-lapisan yang lebih bawah
dari tubuh embung dan membebani pondasi.
b. Tekanan hidrostatis yang akan membebani tubuh embung dan pondasinya baik dari
air yang terdapat didalam embung di hulunya maupun dari air didalam sungai di hilirnya.
c. Tekanan air pori yang terkandung diantara butiran dari zone-zone tubuh embung.
d. Gaya seismic yang menimbulkan beban-beban dinamika baik yang bekerja pada tubuh
embung maupun pondasinya.
2. Tekanan Hidrostatis
Pada perhitungan stabilitas embung dengan metode irisan (slice methode) biasanya beban
hidrostatis yang bekerja pada lereng sebelah hulu embung dapat digambarkan dalam tiga
cara pembebanan. Pemilihan cara pembebanan yang cocok untuk suatu perhitungan harus
disesuaikan dengan semua pola gaya–gaya yang bekerja pada embung yang akan diikut
sertakan dalam perhitungan (Sosrodarsono, 1989).
Pada kondisi dimana garis depresi mendekati bentuk horizontal, maka dalam perhitungan
langsung dapat dianggap horizontal dan berat bagian tubuh embung yang terletak dibawah
garis depresi tersebut diperhitungkan sebagai berat bahan yang terletak dalam air. Tetapi
dalam kondisi perhitungan yang berhubungan dengan gempa biasanya berat bagian ini
Gambar 2.15 Skema pembebanan yang disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang
bekerja pada bidang luncur
Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori di embung terhadap lingkaran bidang luncur.
Tekanan air pori dihitung dengan beberapa kondisi yaitu (Soedibyo, 1993):
a. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi tubuh embung baru dibangun.
b. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi embung telah terisi penuh dan
permukaan air sedang menurun secara berangsur-angsur.
c. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi terjadinya penurunan
mendadak permukaan embung hingga mencapai permukaaan terendah, sehingga besarnya
tekanan air pori dalam tubuh embung masih dalam kondisi embung terisi pe
4. Beban Seismis ( Seismic Force )
Beban seismis akan timbul pada saat terjadinya gempa bumi dan penetapan suatu kapasitas
beban seismis secara pasti sangat sukar. Faktor-faktor yang menentukan besarnya beban
seismis pada embung urugan adalah (Sosrodarsono, 1989):
a. Karakteristik, lamanya dan kekuatan gempa yang terjadi.
b. Karakteristik dari pondasi embung.
c. Karakteristik bahan pembentuk tubuh embung.
d. Tipe embung.
Komponen horizontal beban seismis dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Sosrodarsono, 1989) :
M . α = e ( M . g ) ...................................................................................... (2.116)
Dimana :
M = massa tubuh embung (ton)
α = percepatan horizontal (m/s2)
e = intensitas seismic horizontal (0,10-0,25)
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2)
Tabel 2.21 Percepatan gempa horizontal
Jenis Pondasi
Intensitas Seismis Gal
Batuan Tanah
Luar biasa 7 400 0,20 g 0,25 g
Sangat Kuat 6 400-200 0,15 g 0,20 g
Kuat 5 200-100 0,12 g 0,15 g
Sedang 4 100 0,10 g 0,12 g
(ket : 1 gal = 1cm/det2) ( Sumber:Sosrodarsono, 1989)
5. Stabilitas Lereng Embung Urugan Menggunakan Metode Irisan Bidang Luncur
Bundar
Metode analisis stabilitas lereng untuk embung tipe tanah urugan (earth fill type dam) dan
timbunan batu (rock fill type dam) didasarkan pada bidang longsor bentuk lingkaran.
Faktor keamanan dari kemungkinan terjadinya longsoran dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus keseimbangan sebagai berikut (Soedibyo, 1993) :
∑{ }
∑
…………….
∑ ∑{ }
∑
………………
Dimana :
Fs = faktor keamanan
N = beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur
(= γ .A.cosα )
T = beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur
(= γ .A.sin α )
U = tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
Ne = komponen vertikal beban seismic yang bekerja pada setiap irisan bidang
luncur (=e.γ .A.sin α )
Te = komponen tangensial beban seismic yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
(= e.γ .A.cosα )
ϕ = sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur.
C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang luncur
Z = lebar setiap irisan bidang luncur
E = intensitas seismis horisontal
γ = berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
A = luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
α = sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur
V = tekanan air pori
( Sosrodarsono, 1989)
a. Berat irisan ( W ), dihitung berdasarkan hasil perkalian antara luas irisan ( A ) dengan
berat isi bahan pembentuk irisan ( γ ), jadi W=A. γ
b. Beban berat komponen vertikal yang pada dasar irisan ( N ) dapat diperoleh dari hasil
perkalian antara berat irisan ( W ) dengan cosinus sudut rata-rata tumpuan ( α ) pada
dasar irisan yang bersangkutan jadi N = W.cos α
c. Beban dari tekanan hidrostatis yang bekerja pada dasar irisan ( U ) dapat
diperoleh dari hasil perkalian antara panjang dasar irisan (b) dengan tekanan air rata-
d. Berat beban komponen tangensial ( T ) diperoleh dari hasil perkalian antara berat
irisan (W) dengan sinus sudut rata-rata tumpuan dasar irisan tersebut jadi T= Wsinα
e. Kekuatan tahanan kohesi terhadap gejala peluncuran (C) diperoleh dari hasil perkalian
antara angka kohesi bahan (c’) dengan panjang dasar irisan (b) dibagi lagi dengan cosα,
jadi C
3. Kekuatan tahanan geseran terhadap gejala peluncuran irisan adalah kekuatan tahanan
geser yang terjadi pada saat irisan akan meluncur meninggalkan tumpuannya
4. Kemudian jumlahkan semua kekuatan-kekuatan yang menahan ( T ) dan gaya-gaya yang
mendorong ( S ) dari setiap irisan bidang luncur, dimana T dan S dari masing- masing
irisan dinyatakan sebagai T = W Sin α dan S = C+(N-U) tan Ф
5. Faktor keamanan dari bidang luncur tersebut adalah perbandingan antara jumlah gaya
pendorong dan jumlah gaya penahan yang dirumuskan :
∑
Fs = ∑
………… ……………………………………………
Dimana :
Fs = faktor aman
∑S = jumlah gaya pendorong
∑T = jumlah gaya penahan
Gambar 2.17 Skema perhitungan bidang luncur dalam kondisi embung penuh air
Gambar 2.18 Skema perhitungan bidang luncur dalam kondisi penurunan air embung
tiba-tiba
6. Penentuan Lokasi Titik Pusat Bidang Longsor
Untuk memudahkan usaha trial dan error terhadap stabilitas lereng, maka titik-titik
pusat bidang longsor yang berupa busur lingkaran harus ditentukan dahulu melalui suatu
pendekatan. Fellenius memberikan petunjuk-petunjuk untuk menentukan lokasi titik pusat
busur longsor kritis yang melalui tumit suatu lereng pada tanah kohesif (c- soil) seperti
pada tabel berikut : 0
Gambar 2.19 Lokasi pusat busur longsor kritis pada tanah kohesif (c-soil)
On
O3
O2
O1
R O0
B
H
2H A
+X O
K(4.5H , 2H)
+Z
4.5H
Gambar 2.20 Posisi titik pusat busur longsor pada garis O0-K
…………………..
√ …………..
Untuk zone inti kedap air garis depresi digambarkan sebgai kurva dengan persamaan
berikut:
Y =√ ………………………..
Dimana :
Gambar 2.22 Garis depresi pada Embung homogen (sesuai dengan garis parabola)
Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan lereng hulu
embung dan dengan demikian titik Co dipindahkan ke titik C sepanjang ∆a.
Panjang ∆a tergantung dari kemiringan lereng hilir embung, dimana air filtrasi
tersembul keluar yang dapat dihitung dengan rumus berikut (Sosrodarsono,1989) :
a + ∆a = ……………………….
Dimana :
a = jarak ̅̅̅̅ (m)
∆a = jarak ̅̅̅̅̅ (m)
α = sudut kemiringan lereng embung
Untuk memperoleh nilai a dan ∆a dapat dicari berdasarkan nilai α dengan
menggunakan grafik sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989) :
600 <
0.4
0.3
C=∆a/(a+∆a) 0.2
C
0.1
0.0
30’ 60’ 120’ 150’ 180’
8. Gejala Sufosi ( Piping ) dan Sembulan ( Boiling )
Agar gaya-gaya hydrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan menyebabkan
gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan baik tubuh embung maupun
pondasinya, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh dan pondasi embung tersebut pada
tingkat-tingkat tertentu perlu dibatasi. Kecepatan aliran keluar ke atas permukaan lereng
hilir yang komponen vertikalnya dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran-
butiran bahan embung, kecepatannya dirumuskan sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989)
C√ ……………………..
Dimana :
C = kecepatan kritis
w1 = berat butiran bahan dalam air
F = luas permukaan yang menampung aliran filtrasi
γ = berat isi air
Qf = ……………………………………………
Dimana :
Qf = kapasitas aliran filtrasai
Nf = angka pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi
Np = angka oembagi dari garis equipotensial
K = koefisien filtrasi
H = tinggi tekanan air total
L = panjang profil melintang tubuh embung
10. Rembesan Air dalam Tanah
Semua tanah terdiri dari butir-butir dengan ruangan-ruangan yang disebut pori (voids) antara
butir-butir tersebut. Pori-pori ini selalu berhubungan satu dengan yang lain sehingga air
dapat mengalir melalui ruangan pori tersebut. Proses ini disebut rembesan
(seepage).Tidak ada bendungan urugan yang dapat dianggap kedap air, sehingga jumlah
rembesan melalui bendungan dan pondasinya haruslah diperhitungkan. Bila laju turunnya
tekanan akibat rembesan melampaui daya tahan suatu partikel tanah terhadap gerakan,
maka partikel tanah tersebut akan cenderung untuk bergerak. Hasilnya adalah erosi bawah
tanah, yaitu terbuangnya partikel- partikel kecil dari daerah tepat dihilir ”ujung jari”
(toe) bendungan (Ray K Linsley,
Joseph B Franzini, hal 196, thn 1989). Hal tersebut dapat diketahui dengan
pembuatan flownet yang terjadi dalam tubuh dan pondasi embung tersebut.
Ketinggian tegangan suatu titik dinyatakan dengan rumus:
..................................
Dimana :
h = ketinggan tegangan (pressure head)
u = tegangan air
y = ketinggian titik diatas suatu datum tertentu
Menurut (Soedibyo, hal 80,1993 ) banyaknya air yang merembes dan tegangan air pori dapat
dihitung dengan rumus :
O= ....................................
Dimana :
Q = jumlah air merembes
K = koefesien rembesan
H = beda ketinggian air sepanjang flownet
Ne = jumlah equipotensial
Nf = jumlah aliran
U ( )..................................
Dimana :
U = tegangan pori
H = beda tinggi hulu dengan hilir
D = jarak muka air terhadap titik yang ditinjau
Q= √ ………………………………….
Dimana :
Q = debit aliran (m3/s)
Cd = koefisien limpahan
B = lebar efektif ambang (m)
g = percepatan gravitasi (m/s)
h = tinggi energi di atas ambang (m)
Lebar efektif ambang dapat dihitung dengan rumus (Sosrodarsono, 1989) :
Le=L–2(N.Kp+Ka).H ..................................................................................... (2.129)
Dimana :
Le = lebar efektif ambang (m)
L = lebar ambang sebenarnya
(m) N = jumlah pilar
Kp = koefisien konstraksi pilar
Ka = koefisien konstraksi pada dinding samping ambang
H = tinggi energi di atas ambang (m)
Tabel 2.23 Harga-harga koefisien kontraksi pilar (Kp)
No Keterangan Kp
1 Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang
bulat pada jari-jari 0,02
yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar
2 Untuk pilar berujung bulat 0,01
3 Untuk pilar berujung runcing 0,00
Sumber : Joetata dkk (1997)
V < 4 m/det W
Gambar 2.25 Saluran pengarah aliran dan ambang pengatur debit pada sebuah pelimpah
1/2 h2
h2
1/2 h2
Q = 1,704.b.c.(h1 ……………………………….
Dimana :
Q = debit air (m/detik)
b = panjang ambang (m)
h1 = kedalaman air tertinggi sebelah hulu persegi panjang = 0,82.
(b.) Ambang bentuk bending pelimpah (Overflow Weir)
Digunakan untuk debit air yang besar. Permukaan bendung berbentuk lengkung
disesuasikan dengan aliran air agar tidak ada air yang lepas dari dasar bendung. Rumus
untuk bendung pelimpah menurut JANCOLD (The Javanese National Committee on Large
Dams) adalah sebagai berikut :
hL
hv1
V1
hd1 hv2
1 h1
l1 V2
hd2
2
l
Gambar 2.29 Skema penampang memanjang saluran peluncur (Gunadharma, 1997)
2.7.6.3 Bagian Yang Berbentuk Terompet Pada Ujung Hilir Saluran Peluncur
Semakin kecil penampang lintang saluran peluncur, maka akan memberikan
keuntungan ditinjau dari segi volume pekerjaan, tetapi akan menimbulkan masalah-
masalah yang lebih besar pada usaha peredam energi yang timbul per-unit lebar aliran
tersebut. Sebaliknya pelebaran penampang lintang saluran akan mengakibatkan
besarnya volume pekerjaan untuk pembuatan saluran peluncur, tetapi peredaman
energi per-unit lebar alirannyan akan lebih ringan (Gunadharma, 1997). Berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka saluran peluncur dibuat melebar
(berbentuk terompet) sebelum dihubungkan dengan peredam energi. Pelebaran
tersebut diperlukan agar aliran super-kritis dengan kecepatan tinggi yang meluncur dari
saluran peluncur dan memasuki bagian ini, sedikit demi sedikit dapat dikurangi akibat
melebarnya aliran dan aliran tersebut menjadi semakin stabil sebelum mengalir masuk ke
dalam peredam energi.
Gambar 2.30 Bagian berbentuk terompet dari saluran peluncur pada bangunan
Q = ..........................
Q = ..........................
= √ ..........................
..........................
√
Dimana :
Q = Debit pelimpah (m3/det)
B = Lebar bendung (m)
Fr = Bilangan Froude
v = Kecepatan awal loncatan (m/dt)
g = Percepatan gravitasi (m²/det)
D1,2 = Tinggi konjugasi
D1 = kedalaman air di awal kolam (m)
D2 = kadalaman air di akhir kolam (m)
Ada beberapa tipe bangunan peredam energi yang pemakaiannya tergantung dari kondisi
hidrolis yang dinyatakan dalam bilangan Froude. Dalam perencanaan dipakai tipe kolam
olakan dan yang paling umum dipergunakan adalah kolam olakan datar.
Macam tipe kolam olakan datar yaitu
a. Kolam Olakan Datar Tipe I
Kolam olakan datar tipe I adalah suatu kolam olakan dengan dasar yang datar dan
terjadinya peredaman energi yang terkandung dalam aliran air dengan benturan secara
langsung aliran tersebut ke atas permukaan dasar kolam. Benturan langsung tersebut
menghasilkan peredaman energi yang cukup tinggi, sehingga perlengkapan-
perlengkapan lainnya guna penyempurnaan peredaman tidak diperlukan lagi pada
kolam olakan tersebut (Gunadharma, 1997). Karena penyempurnaan redamannya
terjadi akibat gesekan-gesekan yang terjadi antara molekul-molekul air di dalam kolam
olakan, sehingga air yang meninggalkan kolam tersebut mengalir memasuki alur
sungai dengan kondisi yang sudah tenang. Akan tetapi kolam olakan menjadi lebih
panjang dan karenanya tipe I ini hanya sesuai untuk mengalirkan debit yang relatif kecil
dengan kapasitas peredaman energi yang kecil pula dan kolam olakannyapun akan
berdimensi kecil. Dan kolam olakan tipe I ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi
yang tidak memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada kolam
olakan tersebut.
Gambar 2.31 Bentuk kolam olakan datar tipe I USBR (Soedibyo, 1993)
D1 0.2 D1
Gambar 2.32 Bentuk kolam olakan datar Tipe II USBR (Soedibyo, 1993)
Kemiringan
L Kemiringan 2 : 1
2:1
Gambar 2.33 Bentuk kolam olakan datar Tipe III USBR (Gunadharma, 1997)
√ ..............................
Dimana :
= kedalaman kritis
q = debit perlebar satuan (m3/det.m)
g = percepatan gravitasi (m2/dt) (=9,81)
Demikian pula dengan batas minimum tinggi air hilir (Tmin). Tmin diberikan pada Gambar
2.37 berikut :
Gambar 2.37 Grafik Untuk Mencari Batas Minimum Tinggi Air Hilir
Untuk nilai diatas 2,4 garis tersebut merupakan batas maksimum untuk menentukan
besarnya nilai Tmin. Sedangkan untuk nilai yang lebih kecil dari 2,4 maka diambil nilai
kedalaman minimum hilir, dengan pertimbangan bahwa nilai yang lebih kecil dari 2,4
adalah diluar jamgkauan percobaan USBR. Besarnya peredam energi ditentukan oleh
perbandingan h2 dan h1 apabila apabila lebih besar dari , maka tidak ada efek peredam
yang bisa diharapkan. Terlepas dari itu, pengalaman telah menunjukan bahwa banyak embung
rusak sebagai akibat dari gerusan local yang terjadi disebelah hilir, terutama akibat degradasi
dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan dalam menentukan kedalaman minimum air hilir
juga berdasarkan degradasi dasar sungai yang akan terjadi dimasa mendatang.
...........................
Dimana :
Lubang penyadap
Kapasitas lubang-lubang penyadap dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
1. Untuk lubang penyadap yang kecil.
Q = C.A. √ ..................................................................................
Dimana :
Q = debit penyadap sebuah lubang (m3/det)
C = koefisien debit, ±0,62
A = luas penampang lubang (m2)
g = gravitasi (9,8 m/det2)
H = tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m)
Q= √ , -…………………………..
Dimana :
B = lebar lubang penyadap (m)
H1 = kedalaman air pada tepi atas lubang (m)
H2 = kedalaman air pada tepi bawah lubang (m)
ha = tinggi tekanan kecapatan didepan lubang penyadap (m)
Q= √ …………………………..
Apabila lubang penyadap yang miring membentuk sudut dengan bidang horizontal,
Maka :
.................................................................
3. Untuk lubang penyadap dengan penampang bulat
Q= √ …………………………..
Dimana :
r = radius lubang penyadap (m)
Rumus tersebut berlaku untuk
Ketinggian lubang penyadap ditentukan oleh perkiraan tinggi sedimen selama umur
ekonomis embung.
2.7.7.2 Bangunan Penyadap Menara (outlet tower)
Bangunan penyadap menara adalah bangunan penyadap yang bagian pengaturnya terdiri
dari suatu menara yang berongga di dalamnya dan pada dinding menara tersebut
terdapat lubang-lubang penyadap yang dilengkapi pintu-pintu. Pada hakekatnya
konstruksinya sangat kompleks serta biayanya pun tinggi. Hal ini di sebabkan oleh hal-hal
penting yang mengakibatkan adanya keterbatasan yaitu :
a. Bangunan penyadap menara merupakan bangunan yang berdiri sendiri, sehingga semua
beban luar yang bekerja pada menara tersebut harus ditampung keseluruhan.
b. Bangunan penyadap menara merupakan bangunan yang berat, sehingga membutuhkan
pondasi yang kokoh dengan kemampuan daya dukung yang besar.
c. Bangunan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan bangunan,
pembuat bangunan penyadap menara kurang menguntungkan apalagi bila menara yang
dibutuhkan cukup tinggi.
Gambar 2.41 Bangunan Penyadap Menara