Andri Ronaldi 1-3 Judul Baru

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 91

PERENCANAAN EMBUNG

(STUDI KASUS)
PERENCANAN EMBUNG PEKERJAAN BRIGIN CENTER PADANG MENGETAS
PAYAKUMBUH

Oleh :

ANDRI RONALDI
2017210

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI PADANG
MEI, 2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Air merupakan elemen yang sangat mempengaruhi kehidupan di alam. Semua makhluk hidup
sangat memerlukan air dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Siklus hidrologi yang terjadi
menyebabkan jumlah volume air yang ada di dunia ini adalah tetap. Akan tetapi, dipandang dari aspek
ruang dan waktu distribusi air secara alamiah tidaklah ideal. Sebagai contoh, dalam usaha sumber air
baku. Jika tidak ada usaha pengendalian air pada musim hujan, maka akan meyebabkan terjadinya
erosi dan banjir sedang pada musim kemarau akan kekeringan dan kesulitan mendapatkan sumber air
baku. Hal tersebut di atas merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam usaha
pengembangan dan pengendalian sumber daya air. Permasalahan tersebut perlu secepatnya diatasi
Untuk itu diperlukan suatu manajemen yang baik terhadap pengembangan dan pengelolaan
sumber daya air agar potensi bencana yang disebabkan oleh air tersebut dapat dicegah. Pengelolaan
sumber daya air yang baik akan berdampak pada kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup baik
sekarang maupun akan datang. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dengan membuat sistem teknis
seperti penghijauan, perkuatan tebing, bendung, bendungan, embung, dan sebagainya maupun dengan
sistem non teknis seperti membuat perundang-undangan.
Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya di Daerah Kota Payakumbuh dan
aktifitas masyarakat di sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang semakin beragam serta kebutuhan akan
air semakin meningkat menyebabkan persoalan keseimbangan antara kebutuhan air dan ketersediaan air,
menurunnya kualitas air sumur dangkal yang dikonsumsi masyarakat serta kebutuhan akan rekreasi kota.
Hal tersebut merupakan permasalahan yang dihadapi oleh Daerah Kota Payakumbuh. Pemerintah
Daerah Kabupaten Sleman mengambil langkah-langkah untuk menghadapi permasalahan tersebut
dengan mengusahakan mengembalikan fungsi daerah resapan, serta mengembangkan kawasan tesebut
sebagai kawasan rekreasi taman bernuansa air. Dengan melaksanakan hal tersebut diharapkan akan
terbentuk basis keunggulan suatu kawasan (multifield economic effect).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat disimpulkan permasalahan yang akan
ananda teliti dalam tugas akhir ada sebagai berikut :
1. Konservasi sumber daya air dan konservasi lingkungan di DPS Brigin.
2. Menaikkan tinggi muka air tanah.
3. Persediaan air baku untuk Kota Payakumbuh.
4. Mendukung potensi wisata di Daerah Kota Payakumbuh.
5. Meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya sehingga menambah Pendapatan Asli
Daerah.
1.3 Batasan Masalah
Adapun yang menjadi batasan masalah dalam penyusunan tugas akhir ini antara lain:
1. Analisa Hidrologi terdiri dari :
 Analisa curah hujan rata-rata
 Analisa curah hujan rencana
 Analisa debit banjir (Q)
2. Perhitungan Hidrolis embung
3. Perhitungan Dimensi embung
4. Perhitungan Stabilitas embung
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Mendapatkan hasil analisa Hidrologi untuk Embung Brigin Center.
2. Mengetahui debit banjir dengan skala ulang 50 tahun.
3. Mengetahui stabilitas tubuh Embung Brigin Center.

1.5 Manfaat Penelitian


Dengan adanya penelitian ini dapat diperoleh manfaat antara lain :
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembanding dari perencanaan yang telah
dibuat sebelumnya. Dengan banyaknya metode-metode yang dapat digunakan, sehingga mungkin bisa
terjadi perbedaan perhitungan yang juga berakibat berbedanya designnya suatu bangunan. Adanya
pembangunan Embung Brigin di Kota Payakumbuh diharapkan, dapat memenuhi ketersedian air
masyarakat saat musim kemarau. Sehingga masyarakat masih bisa mendapat pasokan air untuk
kebutuhan sehari-hari dan untuk mengairi lahan pertanian.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Umum
Perencanaan embung memerlukan bidang-bidang ilmu pengetahuan lain yang dapat mendukung
untuk memperoleh hasil perencanaan konstruksi embung yang handal dan komprehensif dan
bangunan multiguna. Ilmu geologi, hidrologi, hidrolika dan mekanika tanah merupakan beberapa
ilmu yang akan digunakan dalam perencanaan embung ini yang saling berhubungan.
Dasar teori ini dimaksudkan untuk memaparkan secara singkat mengenai dasar-dasar teori
perencanaan embung yang akan digunakan dalam perhitungan konstruksi dan bangunan pelengkapnya.
Dalam perhitungan dan perencanaan embung, ada beberapa acuan yang harus dipertimbangkan untuk
mengambil suatu keputusan. Untuk melengkapi perencanaan embung ini, maka digunakan beberapa
standar antara lain : Tata Cara Penghitungan Struktur Beton SK SNI T-15-1991-03, Penentuan
Beban Gempa pada Bangunan Pengairan, 1999/2000, Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Juli
1999, Peraturan Muatan Indonesia 1970 serta beberapa standar lainnya.

2.2 Analisis Hidrologi


Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan
dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi rekayasa. Secara luas hidrologi meliputi
pula berbagai bentuk air termasuk transformasi antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di
atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan
penyimpan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini.
Curah hujan pada suatu daerah merupakan faktor yang menentukan besarnya debit banjir yang
terjadi pada daerah yang menerimanya. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan
karakteristik hidrologi dan meteorologi daerah aliran sungai. Tujuannya adalah untuk mengetahui
karakteristik hujan, debit air yang ekstrim maupun yang wajar yang akan digunakan sebagai dasar
analisis selanjutnya dalam pelaksanaan detail desain.

2.2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan,
menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut. Komponen
masukan dalam DAS adalah curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan muatan
sedimen (Suripin, 2004). Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua
perencanaan hidrologi tersusun dari DAS-DAS kecil, dan DAS kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS
yang lebih kecil lagi sehingga dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam
seperti punggung bukit- bukit atau gunung, maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana air
hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet).

2.2.2 Curah Hujan Rencana


2.2.2.1 Curah Hujan Area
Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam perencanaan
pembuatan embung. Ketetapan dalam memilih lokasi dan peralatan baik curah hujan maupun
debit merupakan faktor yang menentukan kualitas data yang diperoleh. Analisis data hujan
dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan dan analisis statistik yang
diperhitungkan dalam perhitungan debit banjir rencana. Data curah hujan yang dipakai untuk
perhitungan debit banjir adalah hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai pada waktu yang
sama. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan area dan
dinyatakan dalam mm (Sosrodarsono, 2003). Curah hujan area ini harus diperkirakan dari
beberapa titik pengamatan curah hujan. Berikut metode perhitungan curah hujan area dari
pengamatan curah hujan di beberapa titik :
a. Metode Rata-Rata Aljabar

Metode perhitungan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmetic mean)


pengukuran curah hujan di stasiun hujan di dalam area tersebut dengan mengasumsikan
bahwa semua stasiun hujan mempunyai pengaruh yang setara. Metode ini akan
memberikan hasil yang dapat dipercaya jika topografi rata atau datar, stasiun hujan banyak
dan tersebar secara merata di area tersebut serta hasil penakaran masing-masing stasiun
hujan tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh stasiun hujan diseluruh area.

Dimana:
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
n = Banyak stasiun hujan
b. Metode Poligon Thiessen

Metode perhitungan berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Metode ini


memberikan proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis- garis
sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua stasiun hujan terdekat. Metode ini
didasarkan pada asumsi bahwa variasi hujan antara stasiun hujan yang satu dengan lainnya
adalah linear dan stasiun hujannya dianggap dapat mewakili kawasan terdekat (Suripin,
2004). Metode ini cocok jika stasiun hujan tidak tersebar merata dan jumlahnya terbatas
dibanding luasnya. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang
mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobot atau koefisien Thiessen. Untuk
pemilihan stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan
dibangun. Besarnya koefisien Thiessen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(CD.Soemarto, 1999) :

Dimana :
C = Koefisien Thiessen
= Luas daerah pengaruh dari stasiun pengamatan i
= Luas total DAS )

Langkah-langkah metode Thiessen sebagai berikut :


1. Lokasi stasiun hujan di plot pada peta DAS. Antar stasiun dibuat garis lurus
penghubung.
2. Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa,
sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan
mempunyai jarak terdekat dengan stasiun yang ada di dalamnya dibandingkan dengan
jarak terhadap stasiun lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada stasiun tersebut dianggap
representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.
3. Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter dan luas total DAS
(A) dapat diketahui dengan menjumlahkan luas poligon.
4. Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan rumus :
...............................(2.3)

Dimana :
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
= Luas daerah pengaruh dari setiap stasiun hujan
= Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
N = Banyaknya stasiun hujan

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen

c. Metode Rata-Rata Isohyet


Metode perhitungan dengan memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap stasiun
hujan dengan kata lain asumsi metode Thiessen yang menganggap bahwa tiap- tiap stasiun
hujan mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi. Metode ini
cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur (Suripin, 2004).
Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1. Plot data kedalaman air hujan untuk tiap stasiun hujan pada peta.
2. Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik-titik yang mempunyai
kedalaman air hujan yang sama. Interval Isohyet yang umum dipakai adalah 10 mm.
3. Hitung luas area antara dua garis Isohyet yang berdekatan dengan menggunakan
planimeter. Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua Isohyet
yang berdekatan.
4. Hitung hujan rata-rata DAS dengan rumus :
Dimana :
R = Curah hujan rata-rata (mm)
= Curah hujan digaris Isohyet (mm)
= Luas bagian yang dibatasi oleh Isohyet-Isohyet (

Jika stasiun hujannya relatif lebih padat dan memungkinkan untuk membuat garis
Isohyet maka metode ini akan menghasilkan hasil yang lebih teliti. Peta Isohyet harus
mencantumkan sungai-sungai utamanya, garis-garis kontur dan mempertimbangkan
topografi, arah angin, dan lain-lain di daerah bersangkutan. Jadi untuk membuat peta Isohyet
yang baik, diperlukan pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang cukup (Sosrodarsono,
2003).

Gambar 2.2 Metode Isohyet

2.2.2.2 Curah Hujan Maksimum Harian Rata-Rata


Metode/cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan hujan maksimum harian rata- rata
DAS adalah sebagai berikut :
a. Tentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu di salah satu pos hujan.
b. Cari besarnya curah hujan pada tanggal-bulan-tahun yang sama untuk pos hujan
yang lain.
c. Hitung hujan DAS dengan salah satu cara yang dipilih.
d. Tentukan hujan maksimum harian (seperti langkah 1) pada tahun yang sama untuk
pos hujan yang lain.
e. Ulangi langkah 2 dan 3 setiap tahun.
Dari hasil rata-rata yang diperoleh (sesuai dengan jumlah pos hujan) dipilih yang
tertinggi setiap tahun. Data hujan yang terpilih setiap tahun merupakan hujan maksimum
harian DAS untuk tahun yang bersangkutan (Suripin, 2004).
2.2.3 Perhitungan Curah Hujan Rencana
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramalkan besarnya hujan dengan periode
ulang tertentu (Soewarno, 1995). Berdasarkan curah hujan rencana dapat dicari besarnya intesitas hujan
(analisis frekuensi) yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Analisis frekuensi ini dilakukan
dengan menggunakan sebaran kemungkinan teori probability distribution dan yang biasa digunakan
adalah sebaran Gumbel tipe I, sebaran Log Pearson tipe III, sebaran Normal dan sebaran Log
Normal. Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana dilakukan secara
berurutan sebagai berikut :
a. Parameter statistik
Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter nilai
rata-rata ( X ), standar deviasi ( S d ), koefisien variasi (Cv), koefisien kemiringan (Cs) dan

koefisien kurtosis (Ck).Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan
harian rata-rata maksimum 20 tahun terakhir.

Nilai rata-rata

................................................................(2.5)
Dimana :
X = Nilai rata-rata curah hujan
= Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
N = Jumlah data curah hujan
 Standar deviasi

Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila
penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan besar, akan tetapi
apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan kecil.
Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995) :

∑ { ̅}
√ (2.6)

Dimana :
= Standar deviasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata curah hujan
= Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
n = Jumlah data curah hujan

 Koefisien Variasi

Koefisien variasi (coefficient of variation) adalah nilai perbandingan antara standar


deviasi dengan nilai rata-rata dari suatu sebaran. Koefisien variasi dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Soewarno, 1995) :

̅
Dimana :
Sv = Koefisien variasi curah hujan
= Standar deviasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata curah hujan
 Koefisien Kemencengan
Koefisien kemencengan (coefficient of skewness) adalah suatu nilai yang
menunjukkan derajat ketidak simetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi. Jika
dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995) :
Untuk populsi : ………………………………….(2.8)

Untuk populsi : ………………………………….(2.9)

∑ ……………………………………..(2.10)

∑ ̅ …………………………….(2.11)

Dimana :
= Koefisien kemencengan curah hujan
= Standar diviasi dari populasi curah hujan
= Standar deviasi dari sampel curah hujan
= Nilai rata-rata dari data populasi curah hujan
̅ = Nilai rata-rata dari data sampel curah hujan
= Curah hujan ke i
= Jumlah data curah hujan
α = Parameter kemencengan
 Koefisien kurtosis
Koefisien kurtosis adalah suatu nilai yang menunjukkan keruncingan dari bentuk
kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal yang
mempunyai Ck = 3 yang dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam yang dinamakan
leptokurtik, sedangkan Ck > 3 berpuncak datar dinamakan platikurtik.

Gambar 2.3 Koefisien Kurtosis

Koefisien Kurtosis biasanya digunakan untuk menentukan keruncingan kurva distribusi, dan
dapat dirumuskan sebagai berikut :

..........................................(2.12)

Dimana :
= Koefisien Kurtosis
MA(4) = Momen ke-4 terhadap nilai rata-rata
= Standar deviasi

Dan untuk data yang belum dikelompokan

∑ ̅
...................................(2.13)

Dan untuk data yang sudah dikelompokkan


∑ ̅
.............................(2.14)

Dimana :
= koefisien kurtosis curah hujan
n = jumlah data curah hujan
= curah hujan ke i
̅ = nilai rata-rata dari data sampel
= nilai frekuensi variat ke i
= standar deviasi

b. Pemilihan Jenis Sebaran


Masing-masing sebaran memiliki sifat-sifat khas sehingga harus diuji kesesuaiannya
dengan sifat statistik masing-masing sebaran tersebut Pemilihan sebaran yang tidak benar
dapat mengundang kesalahan perkiraan yang cukup besar. Pengambilan sebaran secara
sembarang tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan. Penentuan jenis
sebaran yang akan digunakan untuk analisis frekuensi dapat dipakai beberapa cara sebagai
berikut.
 Tabel pedoman pemilihan sebaran
 Sebaran Gumel Tipe I
 Sebaran Log Pearson Tipe III
 Sebaran
 Sebaran Log Normal
Tabel 2.1. Pedoman Pemilihan Sebaran

Jenis Sebaran Syarat

Cs ≈ 0
Normal
Ck ≈ 3
Cs ≤ 1,1396
Gumbel Tipe I
Ck ≤ 5,4002

Log Pearson Tipe Cs ≠ 0


III Ck ≈1,5Cs2+3

Cs ≈ 3Cv + Cv3
Log normal
Cv ≈ 0
(Sumber : Sutiono. Dkk)
 Sebaran Gumbel Tipe I
Digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. Untuk
menghitung curah hujan rencana dengan metode sebaran Gumbel Tipe I digunakan
persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999):

̅ ................................(2.15)
∑ ̅
√ ...............................................(2.16)

Hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dihitung dengan rumus :


Untuk T ≥ 20, maka : Y = In T

Y = -1n * +....................................(2.17)

Dimana :
= Nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun
̅ = Nilai rata-rata
S = Standar deviasi (Simpang baku)
= Nilai reduksi variat (reduced variate) dari variabel yang diharapkan terjadi pada
periode ulang T tahun. Tabel 2.4
= Nilai rata-rata dari reduksi variabt (reduce mean) nilainya tergantung dari
jumlah data n(n). Tabel 2.2
= Deviasi standar dari reduksi variant (reduced standart deviation) nilainya
tergantung dari jumlah data (n). Tabel 2.3
Tabel 2.2 Reduced mean (Yn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0.5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600
Tabel 2.3 Reduced Standard Deviation (Sn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0315 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50 1,1607 1,1923 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930
80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001
90 1,2007 1,2013 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2046 1,2049 1,2055 1,2060
100 1,2065

Tabel 2.4 Reduced Variate (YT) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1

Periode Ulang (Tahun) Reduced Variate


2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
20 2,9606
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
200 5,2960
500 6,2140
1000 6,9190
5000 8,5390
10000 9,9210
(Sumber : CD.Soemarto,1999)
 Sebaran Log-Pearson Tipe III
Digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir)
dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk sebaran Log-Pearson tipe
III merupakan hasil transformasi dari sebaran Pearson tipe III dengan menggantikan
variat menjadi nilai logaritmik. Metode Log-Pearson tipe III apabila digambarkan pada
kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat
dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut (CD.Soemarto,
1999):
Y = ̅ +K.S…………………………………(2.18)
Dimana :
Y = Nilai logaritma dari X atau log (X)
X = Data curah hujan
̅ = Rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y
S = Deviasi standar nilai Y
K = Karakteristik distribusi peluang Log-Pearson tipe III
Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus :

…………………………………(2.19)

Menghitung harga standar deviasinya (Sd) dengan rumus berikut

…………………………………(2.20)

Untuk menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus :

…………………………………(2.21)

Untuk mencari Nilai koefisien kurtois (Ck) maka diperlukan persamaan berikut:

…………………………………(2.22)

Menghitung koefisien variasi (Cv) dengan rumus :

Cv= ...................................(2.23)

Dimana :
Cv = Koefisien Variasi
Sd = Standar Deviasi
Tabel 2.5 Harga K untuk Metode Sebaran Log Pearson III
Periode Ulang Tahun
Koefisien
2 5 10 25 50 100 200 1000
Kemencengan
Peluang (%)
(Cs)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 2,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 2,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 2,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 2,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 2,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -0,050 0,824 1,309 2,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0.2 -0,033 0,830 1,301 2,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,292 2,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 2,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 2,761 2,000 2,252 2,482 3,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1, 880 2,016 2,275
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280
-1,8 0,282 0,799 0,945 0,035 1,069 1,089 1,097 1,130
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668

(Sumber :CD. Soemarto,1999)


 Sebaran Normal

Digunakan dalam analisis hidrologi, misal dalam analisis frekuensi curah hujan, analisis
statistik dari distribusi rata-rata curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan dan
sebagainya. Sebaran normal atau kurva normal disebut pula sebaran Gauss. Probability
Density Function dari sebaran normal adalah :

* +
............................................(2.24)

Dimana :
= Nilai logaritmik dari X atau log (X)
= 3,14156
E = 2,71828
X = Variabel acak kontinu
= Rata-rata nilai X
= Standar deviasi nilai X
Untuk analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik dan σ . Bentuk kurvanya
simetris terhadap X = dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati
(berasimtot) sumbu datar X, dimulai dari X = + 3σ dan X-3σ . Nilai mean = modus =
median. Nilai X mempunyai batas -  <X<+  .

Tabel 2.6 menunjukkan wilayah luas di bawah kurva normal, yang merupakan luas dari
bentuk kumulatif (cumulative form) dan sebaran normal.
Tabel 2.6 Wilayah Luas Di bawah Kurva Normal
1 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09
-3,4 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0002
-3,3 0,0005 0,0005 0,0005 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0003
-3,2 0,0007 0,0007 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0005 0,0005 0,0005
-3,1 0,0010 0,0009 0,0009 0,0009 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0007 0,0007
-3,0 0,0013 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 0,0011 0,0011 0,0011 0,0010 0,0010
-2,9 0,0019 0,0018 0,0017 0,0017 0,0016 0,0016 0,0015 0,0015 0,0014 0,0014
-2,8 0,0026 0,0025 0,0024 0,0023 0,0022 0,0022 0,0021 0,0021 0,0020 0,0019
-2,7 0,0036 0,0034 0,0033 0,0032 0,0030 0,0030 0,0029 0,0028 0,0027 0,0026
-2,6 0,0047 0,0045 0,0044 0,0043 0,0040 0,0040 0,0039 0,0038 0,0037 0,0036
-2,5 0,0062 0,0060 0,0059 0,0057 0,0055 0,0054 0,0052 0,0051 0,0049 0,0048
-2,4 0,0082 0,0080 0,0078 0,0075 0,0073 0,0071 0,0069 0,0068 0,0066 0,0064
-2,3 0,0107 0,0104 0,0102 0,0099 0,0096 0,0094 0,0094 0,0089 0,0087 0,0084
-2,2 0,0139 0,0136 0,0132 0,0129 0,0125 0,0122 0,01119 0,0116 0,0113 0,0110
-2,1 0,0179 0,0174 0,0170 0,0166 0,0162 0,0158 0,0154 0,0150 0,0146 0,0143
-2,0 0,0228 0,0222 0,0217 0,0212 0,0207 0,0202 0,0197 0,0192 0,0188 0,0183
-1,9 0,0287 0,0281 0,0274 0,0268 0,0262 0,0256 0,0250 0,0244 0,0239 0,0233
-1,8 0,0359 0,0352 0,0344 0,0336 0,0329 0,0322 0,0314 0,0307 0,0301 0,0294
-1,7 0,0446 0,0436 0,0427 0,0418 0,0409 0,0401 0,0392 0,0384 0,0375 0,0367
-1,6 0,0548 0,0537 0,0526 0,0516 0,0505 0,0495 0,0485 0,0475 0,0465 0,0455
-1,5 0,0668 0,0655 0,0643 0,0630 0,0618 0,0606 0,0594 0,0582 0,0571 0,0559
-1,4 0,0808 0,0793 0,0778 0,0764 0,0749 0,0735 0,0722 0,0708 0,0694 0,0681
-1,3 0,0968 0,0951 0,0934 0,0918 0,0901 0,0885 0,0869 0,0853 0,0838 0,0823
-1,2 0,1151 0,1131 0,1112 0,01093 0,1075 0,1056 0,1038 0,1020 0,1003 0,0985
-1,1 0,1357 0,1335 0,1314 0,1292 0,1271 0,1251 0,1230 0,1210 0,1190 0,1170
-1,0 0,1587 0,1562 0,1539 0,1515 0,1492 0,1469 0,1446 0,1423 0,1401 0,1379
-0,9 0,1841 0,1814 0,1788 0,1762 0,1736 0,711 0,1685 0,1660 0,1635 0,1611
-0,8 0,2119 0,2090 0,2061 0,2033 0,2005 0,1977 0,1949 0,1922 0,1894 0,1867
-0,7 0,2420 0,2389 0,2358 0,2327 0,2296 0,2266 0,2236 0,2206 0,2177 0,2148
-0,6 0,2743 0,2709 0,2676 0,2643 0,2611 0,2578 0,2546 0,2514 0,2483 0,2451
-0,5 0,3085 0,3050 0,3015 0,2981 0,2946 0,2912 0,2877 0,2843 0,2810 0,2776
-0,4 0,3446 0,3409 0,3372 0,3336 0,3300 0,3264 0,3228 0,3192 0,3156 0,3121
-0,3 0,3821 0,3783 0,3745 0,3707 0,3669 0,3632 0,3594 0,3557 0,3520 0,3483
-0,2 0,4207 0,4168 0,4129 0,4090 0,4052 0,4013 0,3974 0,3936 0,3897 0,3859
-0,1 0,4602 0,4562 0,4522 0,4483 0,4443 0,4404 0,4364 0,4325 0,4286 0,4247
0,0 0,5000 0,4960 0,4920 0,4880 0,4840 0,4801 0,4761 0,4721 0,4681 0,4641
0,0 0,5000 0,50470 0,5080 0,5120 0,5160 0,5199 0,5239 0,5279 0,5319 0,5359
0,1 0,5398 0,5438 0,5478 0,5517 0,5557 0,5596 0,5636 0,5675 0,5714 0,5753
0,2 0,5793 0,5832 0,5871 0,5910 0,5948 0,5987 0,6026 0,6064 0,6103 0,6141
0,3 0,6179 0,6217 0,6255 0,6293 0,6331 0,6368 0,6406 0,6443 0,6480 0,6517
0,4 0,6554 0,6591 0,6628 0,6664 0,6700 0,6736 0,6772 0,6808 0,6844 0,6879
0,5 0,6915 0,6950 0,6985 0,7019 0,7054 0,7088 0,7123 0,7157 0,7190 0,7224
0,6 0,7257 0,7291 0,7324 0,7357 0,7389 0,7422 0,7454 0,7486 0,7517 0,7549
0,7 0,7580 0,7611 0,7642 0,7673 0,7704 0,7734 0,7764 0,7794 0,7823 0,7852
0,8 0,7881 0,7910 0,7939 0,7967 0,7995 0,8023 0,8051 0,8078 0,8106 0,8133
0,9 0,8159 0,8186 0,8212 0,8238 0,8264 0,8289 0,8315 0,8340 0,8365 0,8389
1,0 0,8413 0,8438 0,8461 0,8485 0,8505 0,8531 0,8554 0,8577 0,8599 0,8621
1,1 0,8643 0,8665 0,8686 0,8708 0,8729 0,8749 0,8770 0,8790 0,8810 0,8830
1,2 0,8849 0,8869 0,8888 0,8907 0,8925 0,8944 0,8962 0,8980 0,8997 0,9015
1,3 0,9032 0,9049 0,9066 0,9082 0,9099 0,9115 0,9131 0,9147 0,9162 0,9177
1,4 0,9192 0,9207 0,9222 0,9236 0,9251 0,9265 0,9278 0,9292 0,9306 0,9319
1,5 0,9332 0,9345 0,9357 0,9370 0,9382 0,9394 0,9406 0,9418 0,9429 0,9441
1,6 0,9452 0,9463 0,9474 0,9484 0,9495 0,9505 0,9515 0,9525 0,9535 0,9545
1,7 0,9554 0,9564 0,9573 0,9582 0,9591 0,9599 0,9608 0,9616 0,9625 0,9633
1,8 0,9541 0,9649 0,9656 0,9664 0,9671 0,9678 0,9686 0,9693 0,9699 0,9706
1,9 0,9713 0,9719 0,9726 0,9732 0,9738 0,9744 0,9750 0,9756 0,9761 0,9767
2,0 0,9772 0,9778 0,9783 0,9788 0,9793 0,9798 0,9803 0,9808 0,9812 0,9817
2,1 0,9821 0,9826 0,9830 0,9834 0,9838 0,9842 0,9846 0,9850 0,9854 0,9857
2,2 0,9861 0,9864 0,9868 0,9871 0,9875 0,9878 0,9891 0,9884 0,9887 0,9890
2,3 0,9893 0,9896 0,9896 0,9901 0,999904 0,999906 0,9909 0,9911 0,9913 0,9916
2,4 0,9918 0,9920 0,9922 0,9925 0,9927 0,9929 0,9931 0,9932 0,9934 0,9936
2,5 0,9938 0,9940 0,9941 0,9943 0,9945 0,9946 0,9948 0,9949 0,9951 0,9952
2,6 0,9953 0,9955 0,9956 0,9957 0,9959 0,9960 0,9961 0,9962 0,9963 0,9964
2,7 0,9965 0,9966 0,9967 0,9968 0,9969 0,9970 0,9971 0,9972 0,9973 0,9974
2,8 0,9974 0,9975 0,9976 0,9977 0,9977 0,9978 0,9979 0,9979 0,9980 0,9981
2,9 0,9981 0,9982 0,9982 0,9983 0,9984 0,9984 0,9985 0,9985 0,9986 0,9986
3,0 0,9987 0,9987 0,9987 0,9988 0,9988 0,9989 0,9989 0,9989 0,9990 0,9990
3,1 0,9990 0,9991 0,9991 0,9991 0,9992 0,9992 0,9992 0,9992 0,9993 0,9993
3,2 0,9993 0,9993 0,9994 0,9994 0,9994 0,9994 0,9994 0,9995 0,9995 0,9995
3,3 0,9995 0,9995 0,9995 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9996 0,9997
3,4 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997 0,9998
(Sumber :Soewarno,1995)
Tabel 2.7 Penentuan Nilai K pada Sebaran Normal
Periode Ulang
Peluang k
T (tahun)
1,001 0,999 -3,05
1,005 0,995 -2,58
1,010 0,990 -2,33
1,050 0,950 -1,64
1,110 0,900 -1,28
1,250 0,800 -0,84
1,330 0,750 -0,67
1,430 0,700 -0,52
1,670 0,600 -0,25
2,000 0,500 0
2,500 0,400 0,25
3,330 0,300 0,52
4,000 0,250 0,67
5,000 0,200 0,84
10,000 0,100 1,28
20,000 0,050 1,64
50,000 0,200 2,05
100,000 0,010 2,33
200,000 0,005 2,58
500,000 0,002 2,88
1000,000 0,001 3,09
(Sumber :Soewarno,1995)
 Sebaran Log Normal
Sebaran log normal merupakan hasil transformasi dari sebaran normal, yaitu
dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X. Sebaran log-Pearson
III akan menjadi sebaran log normal apabila nilai koefisien kemencengan Cs = 0,00.
Metode log normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan
persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan
persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995):
....................................................(2.25)
Dimana :
= Besarnya curah hujan dengan periode ulang T tahun.
= Curah hujan rata-rata (mm)
S = Standar deviasi data hujan harian maksimum
Kt = Standar Variable untuk periode ulang t tahun yang besarnya diberikan
pada tabel 2.8
Tabel 2.8 Standard Variable (Kt) untuk Metode Sebaran Log Normal

T
(Tahun) Kt T (Tahun) Kt T (Tahun) Kt

1 -1.86 20 1.89 90 3.34


2 -0.22 25 2.10 100 3.45
3 0.17 30 2.27 110 3.53
4 0.44 35 2.41 120 3.62
5 0.64 40 2.54 130 3.70
6 0.81 45 2.65 140 3.77
7 0.95 50 2.75 150 3.84
8 1.06 55 2.86 160 3.91
9 1.17 60 2.93 170 3.97
10 1.26 65 3.02 180 4.03
11 1.35 70 3.08 190 4.09
12 1.43 75 3.60 200 4.14
13 1.50 80 3.21 221 4.24
14 1.57 85 3.28 240 4.33
15 1.63 90 3.33 260 4.42
( Sumber : CD.Soemarto,1999
c. Uji Kecocokan Sebaran
Uji sebaran dilakukan dengan uji kecocokan distribusi yang dimaksudkan untuk
menentukan apakah persamaan sebaran peluang yang telah dipilih dapat menggambarkan
atau mewakili dari sebaran statistik sampel data yang dianalisis tersebut (Soemarto, 1999).
Ada dua jenis uji kecocokan (Goodness of fit test) yaitu uji kecocokan Chi-Square dan
Smirnov-Kolmogorof. Umumnya pengujian dilaksanakan dengan cara mengambarkan data
pada kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus, atau
dengan membandingkan kurva frekuensi dari data pengamatan terhadap kurva frekuensi
teoritisnya (Soewarno, 1995).

d. Uji Kecocokan Chi-Square


Uji kecocokan Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan sebaran
peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang
dianalisis didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas dan
ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut atau
dengan membandingkan nilai Chi-Square ( χ 2 ) dengan nilai Chi-Square kritis ( χ 2 cr). Uji
kecocokan Chi-Square menggunakan rumus (Soewarno, 1995)
∑ …………………………………(2.26)

Dimana :
= harga Chi-Square terhitung
Oi = jumlah data yang teramati terdapat pada sub kelompok ke-i
Ei = jumlah data yang secara teoritis terdapat pada sub kelompok ke-i
G = jumlah sub kelompok

Prosedur merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai sama atau lebih
besar dari pada nilai Chi-Square yang sebenarnya ( . Suatu distribusi dapat dibatalkan
selaras jika nilai hitung kritis. Nilai kritis dapat dilihat pada tabel 2.8 dari hasil
pengamatan yang didapat daicari penyimpangannya dengan Chi-Square kritis paling kecil.
Untuk suatu nilai tertentu (Level of significant) yang sering diambil adalah 5%.

Prosedur uji kecocokan Chi-Square adalah :


1. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya).
2. Kelompokkan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal terdapat lima
buah data pengamatan.
3. Hitung jumlah pengamatan yang teramati di dalam tiap-tiap sub-group (Oi).
4. Hitung jumlah atau banyaknya data yang secara teoritis ada di tiap-tiap sub-group
(Ei).
5. Tiap-tiap sub-group hitung nilai :

6. Jumlah seluruh G sub-group nilai ∑ untuk menentukan nilai Chi-square hitung.

7. Tentukan derajat kebebasan dk= G-R-1 (nilai R=2, untuk distribusi normal dan
binominal, dan nilai R=1, untuk distribusi poisson)(Soewoerno,1995)

Derajat kebebasan yang digunakan pada perhitungan ini adalah dengan


rumus sebagai berikut :
Dk = n – 3 ...............................................................................................(2.27)
Dimana :
Dk = derajat
n = banyak data
Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :
 Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat
diterima.
 Apabila peluang lebih kecil dari 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan tidak dapat diterima.
 Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal
perlu penambahan data.
Tabel 2.9 Nilai χ 2 kritis untuk uji kecocokan Chi-Square

α Derajat keprcayan
dk 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
0,995
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750

6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548

7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278


8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589

10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188


11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757

12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300

13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819


14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801

16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267


17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718

18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156

19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582


20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,41 34,170 37,566 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401

22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796


23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,683 44,181

24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558

25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928


26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645

28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993


29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336

30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672

e. Uji Kecocokan Smirnov-Kolmogorof


Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof dilakukan dengan membandingkan
probabilitas untuk tiap-tiap variabel dari distribusi empiris dan teoritis didapat
perbedaan (∆). Perbedaan maksimum yang dihitung (∆ maks) dibandingkan dengan
perbedaan kritis (∆cr) untuk suatu derajat nyata dan banyaknya variat tertentu, maka
sebaran sesuai jika (∆maks)< (∆cr).
Rumus yang dipakai (Soewarno, 1995)

...................................(2.28)

Prosedur uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof adalah :


1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya nilai masing-
masing data tersebut :
X1 →
P(X1) X2
→ P(X2)
Xm →
P(Xm) Xn
→ P(Xn)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data
(persamaan distribusinya) :
X1 → P’(X1)

X2 → P’(X2)

Xm → P’(Xm)

Xn → P’(Xn)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
D = maksimum [ P(Xm) – P`(Xm)]
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorof test), tentukan harga D0 (Tabel
2.10).
Tabel 2.10 Nilai D0 kritis untuk uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof
5.

Jumlah data α derajat kepercayaan


N
0,20 0,10 0,05 0,01

5 0,45 0,51 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

15 0,27 0,30 0,34 0,40

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

30 0,19 0,22 0,24 0,29

35 0,18 0,20 0,23 0,27

40 0,17 0,19 0,21 0,25

45 0,16 0,18 0,20 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

n>50 1,07/n 1,22/n 1,36/n 1,63/n


( Sumber : Soewarno,1995)
Dimana α = derajat kepercayaan

2.2.4 intensitas curah hujan


Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum
hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin
besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Analisis intesitas curah hujan ini
dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau.
Rumus-rumus yang dapat dipakai :
I

Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam)
R = tinggi hujan (mm)
T = lamanya hujan (jam)
2.2.5 Hujan Berpeluang Maksimum (Probable Maximum Precipitation, PMP)
PMP didefinisikan sebagai tinggi terbesar hujan dengan durasi tertentu yang secara
meteorologis dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun, tanpa
adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologis jangka panjang.(C.D Soemarto,
1995). Secara teoritis dapat didefinisikan sebagai ketebalan hujan maksimum untuk lama waktu
tertentu yang secara fisik mungkin terjadi dalam suatu wilayah aliran dalam kurun waktu
tertentu (American Meteoroligical Society, 1959). Ada 2 metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk memperkirakan besarnya PMP (Chay Asdak, 1995), yaitu :

a. Cara Maksimisasi dan Transposisi Kejadian Hujan


Teknik maksimisasi melibatkan prakiraan batas maksimum konsentrasi kelembaman di udara
yang mengalir ke dalam atmosfer di atas suatu DAS. Pada batas maksimum tersebut, hembusan
angin akan membawa serta udara lembab ke atmosfer di atas DAS yang bersangkutan dan batas
maksimum fraksi dari aliran uap air yang akan menjadi hujan. Perkiraan besarnya PMP di
daerah dengan tipe hujan orografik terbatas biasanya dilakukan dengan cara maksimisasi dan
transposisi hujan yang sesungguhnya. Sementara di daerah dengan pengaruh hujan orografik
kuat, kejadian hujan yang dihasilkan dari simulasi model lebih banyak dimanfaatkan untuk
prosedur maksimisasi untuk kejadian hujan jangka panjang yang meliputi wilayah luas.
(Weisner, 1970)

b. Cara Analisis Statistika untuk kejadian hujan ekstrim


Hersfield mengajukan rumus yang didasarkan atas persamaan frekuensi umum,
dikembangkan oleh Chow (1951) dalam Ward dan Robinson (1990). Rumus ini mengaitkan
antara besarnya PMP untuk lama waktu hujan tertentu terhadap nilai tengah (Xn) dan standar
deviasi (Sn).
PMP Xn Km.Sn............................................................................................ (2.29)

Dimana :
PMP = Probable Maximum Precipitation
Km = faktor pengali terhadap standar deviasi
Xn = nilai tengah (mean) data hujan maksimum tahunan
Sn = standar deviasi data hujan maksimum tahunan
Km = faktor pengali terhadap standar deviasi
Besarnya parameter Km biasanya ditentukan 20, namun dilapangan umumnya bervariasi
tergantung nilai tengah data hujan maksimum tahunan (Xn) dan lama waktu hujan. Keuntungan
teknik ini mudah dalam pemakaiannya dan didasarkan pada pencatatan data hujan di lapangan,
sedangkan kekurangannya adalah teknik PMP memerlukan data hujan

yang berjangka panjang dan besarnya Km juga ditentukan oleh faktor lain selain nilai
tengah data hujan tahunan maksimum dan lama waktunya hujan. Besarnya PMP untuk
perencanaan embung adalah PMP/3, sedangkan untuk perencanaan DAM sama dengan besarnya
PMP.

2.2.6 Banjir Berpeluang Maksimum (Probable Maximum Precipitation, PMF)


Besaran debit maksimum yang masih dipikirkan yang ditimbulkan oleh semua faktor
meteorologis yang terburuk akibatnya debit yang diperoleh menjadi sangat besar dan
berarti bangunan menjadi sangat mahal. Oleh sebab itu cara ini umumnya hanya untuk
digunakan pada bagian bangunan yang sangat penting dan kegagalan fungsional ini dapat
mengakibatkan hal-hal yang sangat membahayakan, misal pada bangunan pelimpah
(spillway) pada sebuah embung. Apabila data debit tidak tersedia maka probable
Maximum Precipitation (PMP) dapat didekati dengan memasukkan data tersebut kedalam
model. Konsep ini muncul diawali oleh ketidakyakinan analisis bahwa suatu rancangan yang
didasarkan pada suatu analisis frekuensi akan betul-betul aman, meskipun hasil analisis
frekuensi selama ini dianggap yang terbaik dibandingkan dengan besaran lain yang
diturunkan dari model, akan tetapi keselamatan manusia ikut tersangkut, maka analisis
tersebut dipandang belum mencukupi. Apapun alasannya keselamatan manusia harus
diletakkan urutan ke atas. (Sri Harto, 1993)

2.2.7 Debit Banjir Rencana


Untuk mencari debit banjir rencana dapat digunakan beberapa metode diantaranya hubungan
empiris antara curah hujan dengan limpasan. Dengan beberapa metode :
 Metode Der Weduwen
 Metode Haspers
 Metode FSR Jawa dan Sumatera
 Hidrograf satuan sintetik GAMA I
 Model HEC-HMS
Tabel 2.11 Growth Faktor (GF)
Periode Luas DAS (Km2)
Ulang <160 300 600 900 1200 >1500
5 1.26 1.27 1.24 1.22 1.19 1.17
10 1.56 1.54 1.48 1.44 1.41 1.37
20 1.88 1.88 1.75 1.70 1.64 1.59
50 2.35 2.30 2.18 2.10 2.03 1.95
100 2.75 2.72 2.57 2.47 2.67 2.27
200 3.27 3.20 3.01 2.89 2.78 2.66
500 4.01 3.92 3.70 3.56 3.41 3.27
1000 4.68 4.58 4.32 4.16 4.01 3.85
(Sumber : Joesron Loebis,1987)
2.2.8 Analisis Debit Andalan
Debit andalan merupakan debit minimal yang sudah ditentukan yang dapat dipakai untuk
memenuhi kebutuhan air. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr.
F.J Mock berdasarkan data cuarah hujan bulanan, jumlah hari hujan, evapotranspirasi dan
karakteristik hidrologi daerah pengaliran. Prinsip perhitungan ini adalah bahwa hujan yang jatuh
diatas tanah (presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan
hilang menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah (infiltrasi).
Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan
akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow. Perhitungan debit andalan meliputi :
a. Data Curah Hujan
R20 = curah hujan bulanan
N = jumlah hari hujan
b. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi terbatas dihitung dari evapotranpirasi potensial Metode Penman, dE/Eto
= (m/20) x (18-n) ............................................................................... (2.30)
dE = (m/20) x (18-n) x Eto ...................................................................... (2.31)
Etl = Eto – dE .......................................................................................... (2.32)

Dimana :
dE = selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi terbatas
.Eto = evapotranspirasi potensial.
Etl = evapotranspirasi terbatas.
M = prosentase lahan yang tidak ditutupi vegetasi.
= 10 - 40 % untuk lahan yang tererosi.
= 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah.
c. Keseimbangan Air pada Permukaan Tanah
Rumus mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah.
S = Rs – Etl ........................................................................................... (2.33)
SMC(n) = SMC(n-1) + IS(n) ........................................................................... (2.34)
WS = S – IS............................................................................................... (2.35)
Dimana :
S = kandungan air tanah.
Rs = curah hujan bulanan.
Etl = evapotranspirasi terbatas.
IS = tampungan awal / soil storage (mm)
IS (n) = tampungan awal / soil storage moisture (mm) di ambil antara 50- 250 mm.
SMC(n) = kelembaman tanah bulan ke-n.
SMC(n-1) = kelembaman tanah bulan ke-
(n-1) WS= water suplus / volume air bersih.
d. Limpasan (run off) dan tampungan air tanah (ground water storage)
V (n) = k.V (n-1) + 0,5 (l-k).I(n) ................................................................. (2.36)
dVn = V (n) – V (n-1) ............................................................................... (2.37)
Dimana :
V (n) = volume air bulan ke-n
V (n-1) = volume air tanah bulan ke-(n-1)
k = faktor resesi aliran tanah diambil antara 0 –
0,1 I = koefisien infiltrasi diambil antara 0 – 1,0
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi lambat seperti kondisi geologi lapisan bawah
yang lulus air. Koefisien infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan
lahan. Lahan porus mempunyai infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan tanah lempung berat.
Lahan yang terjal menyebabkan air tidak sempat berinfiltrasi ke dalam tanah sehingga
koefisien infiltrasi akan kecil.
e. Aliran Sungai
Aliran dasar = infiltasi – perubahan volume air dalam tanah.
B (n) = I – dV (n) ..............................................................................................(2.38)
Aliran permukaan = volume air lebih – infiltrasi.
D (ro) = WS – I.................................................................................................. (2.39)
Aliran sungai = aliran permukaan + aliran dasar
Run off = D (ro) + B (n) ............................................................................ (2.40)

Debit = ....................................................................(2.41)

2.2.9 Analisis Sedimen


a. Tinjauan Umum
Pendekatan terbaik untuk menghitung laju sedimentasi adalah dengan pengukuran
sedimen transpor (transport sediment) di lokasi tapak embung. Namun karena pekerjaan
tersebut belum pernah dilakukan, maka estimasi sedimentasi dilakukan pendekatan secara
empiris. Perkiraan laju sedimentasi dalam studi ini dimaksudkan untuk memperoleh angka
sedimentasi dalam satuan m3/tahun, guna memberikan perkiraan angka yang lebih pasti
untuk penentuan ruang sedimen.
b. Laju Erosi dan Sediment Yield Metode USLE
memperkirakan laju sedimentasi digunakan metode Wischmeier dan Smith. Metode
ini akan menghasilkan perkiraan besarnya erosi gross. Untuk menetapkan besarnya sedimen
yang sampai di lokasi embung, erosi gross akan dikalikan dengan ratio pelepasan sedimen
(sediment delivery ratio). Metode ini atau lebih dikenal metode USLE (universal soil losses
equation) yang telah diteliti lebih lanjut jenis tanah dan kondisi di indonesia oleh Balai
Penelitian Tanah Bogor. Perhitungan perkiraan laju sedimentasi meliputi :
1. Erosivitas Hujan
Penyebab utama erosi tanah adalah pengaruh pukulan air hujan pada tanah. Hujan
menyebabkan erosi tanah melalui dua jalan, yaitu pelepasan butiran tanah oleh
pukulan air hujan pada permukaan tanah dan kontribusi hujan terhadap aliran. Pada
metode USLE, prakiraan besarnya erosi dalam kurun waktu per tahun (tahunan), dan
dengan demikian, angka rata-rata R dihitung dari data curah hujan tahunan sebanyak
mungkin.
2. Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah (K) merupakan tingkat rembesan suatu tanah yang tererosi
akibat curah hujan. Tanah yang mudah tererosi pada saat dipukul oleh butir-butir hujan
mempunyai erodibilitas tinggi dan dapat dipelajari hanya kalau terjadi erosi. Erodibilitas
dari berbagai macam tanah hanya dapat diukur dan dibandingkan pada saat terjadi hujan.
Besarnya erodibilitas tergantung pada topografi, kemiringan lereng, kemiringan permukaan
tanah, kecepatan penggerusan (scour velocity), besarnya gangguan oleh manusia dan juga
ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas
infiltrasi, dan kandungan organik dan kimia tanah. Tanah yang mempunyai erodibilitas
tinggi akan tererosi lebih cepat dibandingkan dengan tanah yang mempunyai erodibilitas
rendah, dengan intensitas hujan yang sama. Juga tanah yang mudah dipisahkan (dispersive)
akan tererosi lebih cepat daripada tanah yang terikat (flocculated). Erodibilitas tanah dapat
dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik tanah sebagai berikut :
a. Tekstur tanah yang meliputi :
 fraksi debu (ukuran 2 – 50 µ m)
 fraksi pasir sangat halus (50 – 100 µm)
 fraksi pasir (100 – 2000 µ m)
b. Kadar bahan organik yang dinyatakan dalam %.
c. Permeabilitas yang dinyatakan sebagai
berikut :
 sangat lambat (< 0,12 cm/jam)
 lambat (0,125 – 0,5 cm/jam)
 agak lambat (0,5 – 2,0 cm/jam)
 sedang (2,0 – 6,25 cm/jam)
 agak cepat (6,25 – 12,25 cm/jam)
 cepat (> 12,5 cm/jam)
d. Struktur dinyatakan sebagai berikut :
 granular sangat halus : tanah liat berdebu
 granular halus : tanah liat berpasir
 granular sedang : lempun berdebu
 granular kasar : lempun berpasir
3. Faktor Panjang Dan Kemiringan Lereng
Proses erosi dapat terjadi pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari 2 %. Derajat
kemiringan lereng sangat penting, karena kecepatan air dan kemampuan untuk
memecah/melepas dan mengangkut partikel-partikel tanah tersebut akan bertambah
besar secara eksponensial dari sudut kemiringan lereng. Secara matematis dapat
ditulis : Kehilangan tanah = c. Sk
Dimana :
C = konsatanta
K = konsatanta
S = kemiringan lereng (%)
Sudah ada kondisi tanah yang sudah dibajak tetapi tidak ditanami, eksponen K
berkisar antara 1,1 s/d 1,2. Menurut Weischmer menyatakan bahawa nilai faktor LS
dapat dihitung.
4. Faktor Penutup Lahan (C)
Faktor C merupakan faktor yang menunjukan keseluruhan pengaruh dari faktor
vegetasi, seresah, kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya
tanah yang hilang (erosi). Faktor ini mengukur kombinasi pengaruh tanaman dan
pengelolaannya. Besar nilai C pada penelitian ini diambil dengan melakukan
perhitungan prosentase luas dari tiap jenis pengelolaan tanaman yang ada pada tiap
sub DAS. Nilai C yang diambil adalah nilai C rata - rata dari berbagi jenis
pengelolaan tanaman dalam satu sub DAS, dikaitkan dengan prosentase luasannya.
Untuk suatu sub DAS yang memiliki komposisi tata guna lahan/ vegetasi tanaman
yang cenderung homogen, maka nilai C dari tata guna lahan/ vegetasi yang dominan
tersebut akan diambil sebagai nilai C rata – rata.
5. Pendugaan Laju Erosi Potensial (E-Pot)
Erosi potensial adalah erosi maksimum yang mungkin terjadi di suatu tempat dengan
keadaan permukaan tanah gundul sempurna, sehingga terjadinya proses erosi hanya
disebabkan oleh faktor alam (tanpa keterlibatan manusia, tumbuhan, dan sebagainya),
yaitu iklim, khususnya curah hujan, sifat-sifat internal tanah dan keadaan topografi
tanah. Pendugaan erosi potensial dapat dihitung dengan pendekatan rumus berikut :
E-Pot = R x K x LS x A ........................................................................ (2.42)
Dimana :
E-Pot = erosi potensial (ton/tahun)
R = indeks erosivitas hujan
K = erodibilitas tanah
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
A = luas daerah aliran sungai (ha)
6. pendugaan Laju Erosi Aktual (E-Akt)
Erosi aktual terjadi karena adanya campur tangan manusia dalam kegiatannya sehari-
hari, misalnya pengolahan tanah untuk pertanian dan adanya unsur-unsur penutup
tanah. Penutupan permukaan tanah gundul dengan tanaman akan memperkecil
terjadinya erosi, sehingga dapat dikatakan bahwa laju erosi aktual selalu lebih kecil
dari pada laju erosi potensial. Ini berarti bahwa adanya keterlibatan manusia akan
memperkecil laju erosi potensial. Dapat dikatakan bahwa erosi aktual adalah hasil
ganda antara erosi potensial dengan pola penggunaan lahan tertentu, sehingga dapat
dihitung dengan rumus berikut:
E-Akt = E - Pot x C x P................................................................,,,,,(2.90)

Dimana :
E-Akt = erosi aktual di DAS (ton/ha/tahun)
E-Pot = erosi potensial (ton/ha/th)
C = faktor penutup lahan
P = faktor konservasi tanah
7. pendugaan Laju Sedimen Potensial
Sedimentasi potensial adalah proses pengangkutan sedimen hasil dari proses
erosi potensial untuk diendapkan di jaringan irigasi dan lahan persawahan atau tempat-
tempat tertentu. Tidak semua sedimen yang dihasilkan erosi aktual menjadi sedimen,
hanya sebagian kecil material sedimen yang tererosi di lahan (DAS) mencapai outlet
basin tersebut atau sungai atau saluran terdekat. Perbandingan antara sedimen yang
terukur di outlet dan erosi di lahan biasa disebut nisbah pengangkutan sedimen atau
Sedimen Delivery Ratio (SDR). Sedimen yang dihasilkan erosi aktual pun tidak
semuanya menjadi sedimen, hal ini tergantung dari perbandingan antara volume
sedimen hasil erosi aktual yang mampu mencapai aliran sungai dengan volume
sedimen yang bisa diendapkan dari lahan di atasnya (SDR). Nilai SDR tergantung dari
luas DAS, yang erat hubungannya dengan pola penggunaan lahan. Nilai SDR dihitung
dengan persamaan sebagai berikut
Dimana :
SDR = Rasio pelepasan sedimen, nilainya 0 < SDR < 1
A = Luas DAS (ha)
S = Kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS (%)
n = Koefisien kekasaran Manning
Pendugaan laju sedimentasi potensial yang terjadi di suatu DAS dihitung dengan
persamaan Weischmeier dan Smith, 1958 sebagai berikut :
S-Pot = E-Akt x SDR............................................................................(2.92)
Dimana :
SDR = Sedimen Delivery Ratio
S-Pot = sedimentasi potensial
E-Akt = erosi aktual (erosi yang tejadi

2.3 Anilisis Kebutuhan Air Baku


2.3.1 Standar Kebutuhan Air Baku
`Kebutuhan air baku disini dititik beratkan pada penyediaan air baku untuk diolah
menjadi air bersih. Standar kebutuhan air ada 2 (dua) macam yaitu : (Ditjen Cipta
Karya, 2000).

a. Standar Kebutuhan Air Baku

Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat
hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari : memasak, minum, mencuci dan
keperluan rumah tangga lainnya. Satuan yang dipakai liter/orang/hari.

b. Standar Kebutuhan Air Non Domestik


Standar kebutuhan air non domestik adalah kebutuhan air bersih diluar keperluan
rumah tangga, antara lain :
1. Pengguna komersil dan industri
Yaitu pengguna air oleh badan-badan komersil dan industri.
2. Pengguna umum
Yaitu pengguna air untuk bangunan-bangunan pemerintah, rumah sakit dan tempat-
tempat, ibadah.
Kebutuhan air non domestik untuk kota dapat dibagi dalam beberapa kategori antara
lain :
(Ditjen Cipta Karya, 2000)
Kota kategori I (metro)
Kota kategori II (kota besar)
Kota kategori III (kota sedang)
Kota kategori IV (kota kecil)
Kota kategori V (desa)
Tabel 2.12 Kategori Kebutuhan Air Non Domestik
KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH JIWA
500.000 100.000 20.000
>1.000.000 S/D S/D S/D <20.000
1.000.000 500.000 100.000
No URAIAN
METRO BESAR SEDANG KECIL DESA
Konsumsi unit sambungan rumah (SR)
1 190 170 130 100 80
l/o/h
2 Konsumsi unit hidran umum (HU) l/o/h 30 30 30 30 30
3 Konsumsi unit non domestic l/o/h (%) 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30
4 Kehilangan air (%) 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30
5 Factor hari maksimum 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
6 Factor jam puncak 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
7 Jumlah per SR 5 5 5 5 5
8 Jumlah jiwa per HU 100 100 100 100 100
Sisa tekan di penyediaan distribusi
9 10 10 10 10 10
(mka)
10 Jam operasi 24 24 24 24 24
11 Volume reservoir (%max day demand) 20 20 20 20 20
50:50 50:50
12 SR:HR S/D S/D 80:20 70:30 70:30
80:20 80:20
13 Cakupan pelayanan(%) *)90 90 90 90 **)70

*) 60 % perpipanan, 30 % non perpipanan (sumber : Ditjen Cipta Karya, tahun 2000)


**) 25 % perpipanan, 45 % non perpipanan
Kebutuhan air bersih non domestik untuk kategori I sampai dengan V dan
beberapa sektor lain adalah sebagai berikut:
Tabel 2.13 Kebutuhan air non domestik kota kategori I,II,II dan IV
No SEKTOR NILAI SATUAN
1 Sekolah 10 Liter/murid/hari
2 Rumah sakit 200 Liter/bed/hari
3 Puskesmas 2000 Liter/hari
4 Masjid 3000 Liter/hari
5 Kantor 10 Liter/pegawai/hari
6 Pasar 12000 Liter/hektar/hari
7 Hotel 150 Liter/bed/hari
8 Rumah makan 100 Liter/tempat duduk/hari
9 Kompleks militer 60 Liter/orang/hari
10 Kawasan industri 0,2-0,8 Liter/detik/hari
11 Kawasan pariwisata 0,1-0,3 Liter/detik/hari

Tabel 2.14 Kebutuhan air bersih kategori V


No SEKTOR NILAI SATUAN
1 Sekolah 5 Liter/murid/hari
2 Rumah sakit 200 Liter/bed/hari
3 Puskesmas 1200 Liter/hari
4 Hotel/losmen 90 Liter/hari
5 Komersial/industri 10 Liter/hari

Tabel 2.15 Kebutuhan air bersih domestik kategori lain


No SEKTOR NILAI SATUAN
1 Lapangan terbang 10 Liter/det
2 Pelabuhan 50 Liter/det
3 Stasiun KA-Terminal bus 1200 Liter/det
4 Kawasan industri 0,75 Liter/det/Ha

2.3.2 Proyeksi Kebutuhan Air Bersih


Proyeksi kebutuhan air bersih dapat ditentukan dengan memperhatikan pertumbuhan
penduduk untuk diproyeksikan terhadap kebutuhan air bersih sampai dengan lima puluh
tahun mendatang atau tergantung dari proyeksi yang dikehendaki (Soemarto, 1999).
Adapun yang berkaitan dengan proyeksi kebutuhan tersebut adalah:
a. Angka Pertumbuhan Penduduk

Angka pertumbuhan penduduk dihitung dengan prosentase memakai rumus:


b. Proyeksi Jumkah Penduduk
Dari angka pertumbuhan penduduk diatas dalan persen digunakan untuk
memproyeksikan jumlah penduduk sampai dengan lima puluh tahun mendatang.
Meskipun dalan kenyataannya tidak selalu tepat, tetapi perkiraan ini dapat dijadikan
dasar perhitungan volume kebutuhan air di masa mendatang. Ada beberapa metode
yang digunakan untuk memproyeksikan jumlah penduduk antara lain yaitu:
2.4 Neraca Air
Perhitungan neraca air dilakukan untuk mengecek apakah air yang tersedia cukur
memadai untuk memenuhi kebutuhan air baku atau tidak. Perhitungan neraca air ini
pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan mengenai ketersediaan air sebagai air baku
yang nantinya akan diolah. Ada tiga unsur pokok dalam perhitungan neraca air yaitu:
 Kebutuha Air
 Tersedianya Air
 Neraca Air
2.5 Penelusuran Banjir
Penelusuran banjir dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik Indrogral. Outflow/keluaran, yang
sangat diperlukan dalam pengendalian banjir. Perubahan hidrograf banjir antara inflow (I) dan
outflow (0) karena adanya faktor tampungan atau adanya penampang sungai yang tidak seragam
atau akibat adanya meander sungai. Jadi penelusuran banjir ada dua, untuk mengetahui perubahan
inflow dan outflow pada waduk dan inflow pada suatu titik dengan suatu titik di tempat lain pada
sungai.Perubahan inflow dan outflow akibat adanya tampungan. Maka pada suatu waduk terdapat inflow
banjir (I) akibat adanya banjir dan outflow (0) apabila muka air waduk naik, di atas spillway (terdapat
limpasan).
I > O tampungan waduk naik Elevasi muka air waduk naik.
I < 0 tampungan waduk turun Elevasi muka waduk turun.
Pada penelusuran banjir berlaku persamaan kontinuitas :

I – O = ∆S............................................................................................................... (2.97)

AS = Perubahan tampungan air di embung


Persamaan kontinuitas pada periode ∆t = t1 – t2 adalah :
2.5.1 Penelusuran Banjir Melalui Pelimpah
Penelusuran banjir melalui pelimpah bertujuan untuk mengetahui dimensi pelimpah
(lebar dan tinggi pelimpah). Dan debit banjir yang digunakan dalam perhitungan flood routing
metode step by step adalah Q50 tahun. Prinsip dari perhitungan ini adalah dengan menetapkan
salah satu parameter hitung apakah B (lebar pelimpah) atau H (tinggi pelimpah). Jika B
ditentukan maka variabel H harus di trial sehingga mendapatkan tinggi limpasan air banjir
maksimum yang cukup dan efisien. Tingi spillway didapatkan dari elevasi muka air limpasan
maksimum – tinggi jagaan rencana. Perhitungan ini terhenti ketika elevasi muka air limpasan
sudah mengalami penurunan dan volume kumulatif mulai berkurang dari volume kumulatif
sebelumnya atau ∆V negatif yang artinya Q outflow > Q inflow. Prosedur perhitungan flood
routing spillway sebagai berikut ;
a. Memasukkan data jam ke-n (jam)
b. Selisih waktu (∆t) dalam detik
c. Q inflow = Q 50 tahun banjir rencana (m3/dt).
d. Q inflow rerata = (Q inflow n + Q inflow (n-1))/2 dalam m3/dt.
e. Volume inflow = Q inflow rerata x ∆t (m3/dt).
f. Asumsi muka air hulu dengan cara men-trial dan dimulai dari elevasi spillway
coba-coba (m).
g. H = tinggi muka air hulu – tinggi elevasi spillway.
h. Q outflow = ⅔ x B x √ ⅔g x H 3/2 (m3/dt).
i. Q outflow rerata = ( Q output n + Q output (n-1))/2 dalam m3/dt.
j. Volume outflow = Q outflow rerata x ∆t (m3/dt).
k. ∆V = selisih volume (Q inflow rerata – Q outflow rerata).
l. Volume kumulatif yaitu volume tampungan tiap tinggi muka air limpasan yang
terjadi. V kum = V n + V (n+1) dalam m3.
m. Elevasi muka air limpasan, harus sama dengan elevasi muka air coba-coba.
2.6 Perhitungan Volume Tampungan Embung
Kapasitas tampung yang diperlukan untuk sebuah embung adalah :
Vn = Vu + Ve + Vi + Vs.................................................................................... (2.99)
Dimana :
Vn = volume tampungan embung total (m3)
Vu = volume hidup untuk melayani berbagai kebutuhan (m3)
Ve = volume penguapan dari kolam embung (m3)
Vi = jumlah resapan melalui dasar, dinding, dan tubuh embung (m3)
Vs = ruangan yang disediakan untuk sedimen (m3)
2.6.1 Volume Tampungan Hidup Untuk Melayani Kebutuhan
Penentuan volume tampungan embung dapat digambarkan pada mass curve kapasitas
tampungan. Volume tampungan merupakan selisih maksimum yang terjadi antara
komulatif kebutuhan terhadap kumulatif inflow.
2.6.2 Volume Air Oleh Penguapan
Untuk mengetahui besarnya volume penguapan yang terjadi pada muka embung
dihitung dengan rumus :
Ve = Ea x S x Ag x d ............................................................................... (2.100)
Dimana :
Ve = volume air yang menguap tiap bulan (m3)
Ea = evaporasi hasil perhitungan (mm/hari)
S = penyinaran matahari hasii pengamatan (%)
Ag = luas permukaan kolam embung pada setengah tinggi tubuh embung (m2)
d = jumlah hari dalam satu bulan
Untuk memperoleh nilai evaporasi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Ea = 0,35(ea – ed) (1 – 0,01V)...................................................................(2.101)
Dimana :
ea = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata harian (mm/Hg)
ed = tekanan uap sebenarnya (mm/Hg)
V = kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permuk.aan tanah
2.6.3 Volume Resapan Embung
Besarnya volume kehilangan air akibat resapan melalui dasar, dinding dan tubuh
embung tergantung dari sifat lulus air material dasar dan dinding kolam. Sedangkan sifat
ini tergantung pada jenis butiran tanah atau struktur batu pembentuk dasar dan dinding
kolam.
Perhitungan resapan air ini megggunakan Rumus praktis untuk menentukan
besarnya volume resapan air kolam embung, sebagai berikut :
Vi = K .Vu .................................................................................................. (2.102)
Dimana

Vi = jumlah resapan tahunan (m3)


Vu = volume hidup untuk melayani berbagai kebutuhan (m3)
K = faktor yang nilainya tergantung dari sifat lulus air material dasar dan dinding kolam
embung.

K = 10%, bila dasar dan dinding kolam embung praktis rapat air (k < 10-5 cm/d)
termasuk penggunaan lapisan buatan (selimut lempung,
geomembran,"rubbersheet" semen tanah).

2.7 Embung
2.7.1 Pemilihan Lokasi Embung

Embung adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung kelebihan air
pada saat debit tinggi dan melepaskannya pada saat dibutuhkan. Embung merupakan salah
satu bagian dari proyek secara keseluruhan maka letaknya juga dipengaruhi oleh bangunan-
bangunan lain seperti bangunan pelimpah, bangunan penyadap, bangunan pengeluaran,
bangunan untuk pembelokan sungai dan lain-lain (Soedibyo, 1993).

Untuk menentukan lokasi dan denah embung harus memperhatikan beberapa faktor yaitu

(Soedibyo, 1993) :

1. Tempat embung merupakan cekungan yang cukup untuk menampung air, terutama pada
lokasi yang keadaan geotekniknya tidak lulus air, sehingga kehilangan airnya hanya sedikit.
2. Lokasinya terletak di daerah manfaat yang memerlukan air sehingga jaringan distribusinya
tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi.
3. Lokasi embung terletak di dekat jalan, sehingga jalan masuk (access road) tidak begitu
panjang dan lebih mudah ditempuh.
Sedangkan faktor yang menentukan didalam pemilihan tipe embung adalah (Soedibyo,
1993) :
1. Tujuan pembangunan proyek
2. Keadaan klimatologi setempat
3. Keadaan hidrologi setempat
4. Keadaan di daerah genangan
5. Keadaan geologi setempat
6. Tersedianya bahan bangunan
7. Hubungan dengan bangunan pelengkap
8. Keperluan untuk pengoperasian embung
9. Keadaan lingkungan setempat
10. Biaya proyek
2.7.2 Tipe Embung
Tipe embung dapat dikelompokkan menjadi empat keadaan yaitu (Soedibyo, 1993) :
1. Tipe Embung Berdasar Tujuan Pembangunannya
Ada dua tipe Embung dengan tujuan tunggal dan embung serbaguna :
(a). Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk kebutuhan
air baku atau irigasi (pengairan) atau perikanan darat atau tujuan lainnya tetapi hanya satu
tujuan saja.
(b). Embung serbaguna (multipurpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya : irigasi
(pengairan), air minum dan PLTA, pariwisata dan irigasi dan lain-lain.
2. Tipe Embung Berdasar Penggunaannya
Ada 3 tipe yang berbeda berdasarkan penggunaannya yaitu :
(a). Embung penampung air (storage dams)
adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa surplus dan dipergunakan
pada masa kekurangan. Termasuk dalam embung penampung air adalah untuk tujuan
rekreasi, perikanan, pengendalian banjir dan lain-lain.
(b). Embung pembelok (diversion dams)

adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya untuk keperluan
mengalirkan air ke dalam sistem aliran menuju ke tempat yang memerlukan.
(c). Embung penahan (detention dams)
adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan mengusahakan seoptimal
mungkin efek aliran banjir yang mendadak. Air ditampung secara berkala atau sementara,
dialirkan melalui pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap ke
daerah sekitarnya.

3. Tipe Embung Berdasar Letaknya Terhadap Aliran Air


Ada dua tipe yaitu embung yaitu embung pada aliran (on stream) dan embung di luar
aliran air (off stream) yaitu :
(a). Embung pada aliran air (on stream)
adalah embung yang dibangun untuk menampung air, misalnya pada bangunan
pelimpah (spillway).
Gambar 2.7 Embung on stream
(b). Embung di luar aliran air (off stream)
adalah embung yang umumnya tidak dilengkapi spillway, karena biasanya air dibendung
terlebih dahulu di on stream-nya baru disuplesi ke tampungan. Kedua tipe ini biasanya
dibangun berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.

E
m
Tam
pun

Gambar 2.8 Embung off stream


4. Tipe Embung Berdasarkan Material Pembentuknya
Ada 2 tipe embung urungan, embung beton dan embung lainnya :
(a). Embung Urungan (Fill Dams, Embankment Dams)
Embung urugan adalah embung yang dibangun dari penggalian bahan (material) tanpa
tambahan bahan lain bersifat campuran secara kimia jadi bahan pembentuk embung asli.
Embung ini dibagi menjadi dua yaitu embung urugan serba sama (homogeneous dams)
adalah embung apabila bahan yang membentuk tubuh embung tersebut terdiri dari tanah
sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butirannya) hampir seragam. Yang kedua adalah
embung zonal adalah embung apabila timbunan terdiri dari batuan dengan gradasi
(susunan ukuran butiran) yang berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu
Gambar 2.9 Embung Urungan
(b). Embung Beton ( Concrete Dam )
Embung beton adalah embung yang dibuat dari konstruksi beton baik dengan tulangan
maupun tidak. Kemiringan permukaan hulu dan hilir tidak sama pada umumnya bagian
hilir lebih landai dan bagian hulu mendekati vertikal dan bentuknya lebih ramping. Embung
ini masih dibagi lagi menjadi embung beton berdasar berat sendiri stabilitas tergantung pada
massanya, embung beton dengan penyangga (buttress dam) permukaan hulu menerus dan
dihilirnya pada jarak tertentu ditahan, embung beton berbentuk lengkung dan embung beton
kombinasi.
Gambar 2.10 Tipe-tipe embung beton
2.7.3 Rencana Teknis Pondasi
Keadaan geologi pada pondasi embung sangat mempengaruhi pemilihan tipe
embung, oleh karena itu penelitian dan penyelidikan geologi perlu dilaksanakan dengan
baik. Pondasi suatu embung harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan penting yaitu (Soedibyo,
1993) :
1. Mempunyai daya dukung yang mampu menahan bahan dari tubuh embung dalam
berbagai kondisi.
2. Mempunyai kemampuan penghambat aliran filtrasi yang memadai sesuai dengan
fungsinya sebagai penahan air.
3. Mempunyai ketahanan terhadap gejala-gejala sufosi (piping) dan sembulan (boiling)
yang disebabkan oleh aliran filtrasi yang melalui lapisan-lapisan pondasi tersebut.
Sesuai dengan jenis batuan yang membentuk lapisan pondasi, maka secara umum pondasi
embung dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu (Soedibyo, 1993) :
1. Pondasi batuan (Rock foundation)
2. Pondasi pasir atau kerikil
3. Pondasi tanah.
a. Daya dukung tanah (bearing capacity)
adalah kemampuan tanah untuk mendukung beban baik dari segi struktur pondasi
maupun bangunan diatasnya tanpa terjadinya keruntuhan geser.
b. Daya dukung batas (ultimate bearing capacity)
adalah daya dukung terbesar dari tanah mendukung beban dan diasumsikan tanah mulai
terjadi keruntuhan. Besarnya daya dukung batas terutama ditentukan oleh :
1. Parameter kekuatan geser tanah terdiri dari kohesi (C) dan sudut geser dalam
2. Berat isi tanah ( )
3. Kedalaman pondasi dari permukaan tanah (Zf)
4. Lebar dasar pondasi (B)
Besarnya daya dukung yang diijinkan sama dengan daya dukung batas dibagi angka
keamanan dan dapat dirumuskan sebagai berikut (Pondasi Dangkal dan Pondasi Dalam,
Rekayasa Pondasi II, 1997) :
………………

Perhitungan daya dukung batas untuk pondasi dangkal pada kondisi umum :
1. pondasi menerus
………..

2. Pondasi Persegi

( ( )) ………………

Dimana
= Kapasitas daya dukung ijin
= Kapasitas daya dukung maximum
= Faktor keamanan (Safety Factor)
= Faktor kapasitas daya dukung Terzaghi
= Kohesi tanah
= Berat isi tanah
= Dimensi untuk pondasi menerus persegi(m)

2.7.4 Perencanan Tubuh Embung


Beberapa istilah penting mengenai tubuh embung :
3. Tinggi Embung
Tinggi embung adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan elevasi mercu
embung. Apabila pada embung dasar dinding kedap air atau zona kedap air, maka yang
dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang
melalui hulu mercu embung dengan permukaan pondasi alas embung tersebut. Tinggi
maksimal untuk embung adalah 20 m (Loebis, 1987).
Mercu Embung

Tinggi embung

Gambar 2.11 Tinggi Embung


4. Tinggi Jagaan (Free Board)
Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana air dalam
embung dan elevasi mercu embung. Elevasi permukaan air maksimum rencana biasanya
merupakan elevasi banjir rencana embung.
Mercu embung

Tinggi jagaan

Gambar 2.12 Tinggi Jagaan Pada Mercu Embung


Tinggi jagaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya peristiwa pelimpasan air
melewati puncak bendungan sebagai akibat diantaranya dari:
a. Debit banjir yang masuk embung.
b. Gelombang akibat angin.
c. Pengaruh pelongsoran tebing-tebing di sekeliling embung.
d. Gempa.
e. Penurunan tubuh bendungan.
f. Kesalahan di dalam pengoperasian pintu.
Tinggi jagaan adalah jarak vertikal antara puncak bendungan dengan permukaan air
reservoir. Tinggi jagaan normal diperoleh sebagai perbedaan antara elevasi puncak
bendungan dengan elevasi tinggi muka air normal di embung. Tinggi jagaan minimum
diperoleh sebagai perbedaan antara elevasi puncak bendungan dengan elevasi tinggi
muka air maksimum di reservoir yang disebabkan oleh debit banjir rencana saat
pelimpah bekerja normal. Tinggi tambahan adalah sebagai perbedaan antara tinggi
jagaan normal dengan tinggi jagaan minimum.
Kriteria 1 :

( ) ....................

Kriteria 2 :

......................

Dimana :
Hf = tinggi jagaan (m)
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he = tinggi ombak akibat gempa (m)
ha = perkiraan tambahan tinggi akibat penurunan tubuh bendungan (m)
hi = tinggi tambahan (m)
h = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air embung yang terjadi timbulnya
banjir abnormal
Tambahan tinggi akibat gelombang (Hw) dihitung berdasarkan pada kecepatan angin,
jarak seret gelombang (fecth) dan sudut lereng hulu dari bendungan. Digunakan
rumus (Soedibyo, 1993)

....................

Qo = debit banjir rencana


Q = kapasitas rencana
= 0,2 untuk bangunan pelimpah terbuka
= 1,0 untuk bangunan pelimpah tertutup
h = kedalaman pelimpah rencana
A = luas permukaan air embung pada elevasi banjir rencana
e = Intensitas seismis horizontal
= Siklus seismis
h0 = Kedalaman air di dalam embung

Tinggi ombak yang disebabkan oleh gempa (Soedibyo)

√ ...........................
Kenaikan permukaan air embung yang disebabkan oleh ketidaknormalan
operasi pintu bangunan (ha). Sebagai standar biasanya diambil ha = 0,5
m. Angka tambahan tinggi jagaan yang didasarkan pada tipe embung (hi).
Karena limpasan melalui mercu embung urugan sangat berbahaya maka
untuk embung tipe ini angka tambahan tinggi jagaan (hi) ditentukan sebesar
1,0 m (hi = 1,0 m). Apabila didasarkan pada tinggi embung yang
direncanakan, maka standar tinggi jagaan embung urugan adalah sebagai
berikut (Soedibyo, 1993) :
Tabel 2.16 Tinggi jagaan embung urugan

Lebih rendah dari 50 m Hf ≥ 2 m


Dengan tinggi antara 50-100 m Hf ≥3 m
Lebih tinggi dari 100 m Hf ≥3,5 m

3. Lebar Mercu Embung


Lebar mercu embung yang memadai diperlukan agar puncak embung
dapat tahan terhadap hempasan ombak dan dapat tahan terhadap aliran
filtrasi yang melalui puncak tubuh embung. Disamping itu, pada
penentuan lebar mercu perlu diperhatikan kegunaannya sebagai jalan
inspeksi dan pemeliharaan embung. Penentuan lebar mercu dirumuskan
sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989) :

b = 3,6 – 3 ....................................................................................

Dimana :
b = lebar mercu
H = tinggi embung
Lebar puncak dari embung tipe urugan ditentukan berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut ini.
 Bahan timbunan asli (alam) dan jarak minimum garis rembesan melalui
timbunan pada elevasi muka air normal.
 Pengaruh tekanan gelombang di bagian permukaan lereng hulu.
 Tinggi dan tingkat kepentingan dari konstruksi bendungan
 .Kemungkinan puncak bendungan untuk jalan penghubung
 Pertimbangan praktis dalam pelaksanaan konstruksi.

Formula yang digunakan untuk menentukan lebar puncak pada bendungan urugan sebagai
berikut (USBR, 1987, p.253) :

...............................

Dimana :
w = lebar puncak bendungan (feet)
z = tinggi bendungan di atas dasar sungai (feet)
Untuk bendungan-bendungan kecil (embung) yang diatasnya akan dimanfaatkan untuk
jalan raya, lebar minimumnya adalah 4 meter. Sementara untuk jalan biasa cukup 2,5
meter. Lebar bendungan kecil dapat digunakan pedoman sebagai berikut Tabel 2.17

Tabel 2.17 Lebar puncak bendungan kecil (embung) yang dianjurkan


Tinggi Embung (m) Lebar Puncak (m)
2,0 - 4,5 2,50
4,5 - 6,0 2,75
6,0 - 7,5 3,00
7,5 - 9,0 4,00
( Sumber : Suyono Sosrodarsono, 1977)
4. Panjang Embung
Panjang embung adalah seluruh panjang mercu embung yang bersangkutan
termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di kedua ujung mercu
tersebut. Apabila bangunan pelimpah atau bangunan penyadap terdapat pada ujung-
ujung mercu, maka lebar bangunan-bangunan pelimpah tersebut diperhitungkan pula
dalam menentukan panjang embung (Sosrodarsono, 1989).
5. Volume Embung
Seluruh jumlah volume konstruksi yang dibuat dalam rangka pembangunan tubuh
embung termasuk semua bangunan pelengkapnya dianggap sebagai volume
embung (Sosrodarsono, 1989).
6. Kemiringan Lereng (Slope Gradient)

Kemiringan rata-rata lereng embung (lereng hulu dan lereng hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui tumit masing-masing
lereng tersebut. Berm lawan dan drainase prisma biasanya dimasukkan dalam
perhitungan penentuan kemiringan lereng, akan tetapi alas kedap air biasanya
diabaikan (Soedibyo, 1993). Kemiringan lereng urugan harus ditentukan sedemikian
rupa agar stabil terhadap longsoran. Hal ini sangat tergantung pada jenis material
urugan yang dipakai, Tabel 2.18. Kestabilan urugan harus diperhitungkan terhadap
frekuensi naik turunnya muka air, rembesan, dan harus tahan terhadap gempa
(Sosrodarsono, 1989).
Tabel 2.18 Kemiringan lereng urugan
Kemiringan
Lereng Vertikal
Material
Material Urugan : Horisontal
Utama
Hulu Hilir
a. Urugan homogen CH 1 : 3 1 : 2,25
CL
SC
GC
GM
SM
b. Urugan majemuk
a. Urugan batu dengan inti Pecahan batu 1 : 1,50 1 : 1,25
lempung atau dinding
diafragma Kerikil-kerakal 1 : 2,50 1 : 1,75
b. Kerikil-kerakal dengan
inti lempung atau dinding
diafragma
(Sumber :(Sosrodarsono, 1989)
7. Penimbunan Ekstra (Extra Banking)

Sehubungan dengan terjadinya gejala konsolidasi tubuh embung yang prosesnya


berjalan lama sesudah pembangunan embung tersebut diadakan penimbunan ekstra
melebihi tinggi dan volume rencana dengan perhitungan agar sesudah proses
konsolidasi berakhir maka penurunan tinggi dan penyusutan volume akan mendekati
tinggi dan volume rencana embung (Sosrodarsono, 1989).
8. Perhitungan Hubungan Elevasi terhadap Volume Embung

Seluruh jumlah volume konstruksi yang dibuat dalam rangka pembangunan tubuh
embung termasuk semua bangunan pelengkapnya dianggap sebagai volume embung.
Analisis keandalan embung sebagai sumber air menyangkut volume air yang
tersedia, debit pengeluaran untuk kebutuhan air untuk air baku (PDAM),
pangendalian banjir dan debit air untuk keperluan lain-lain selama waktu yang
diperlukan. Analisis keandalan embung diperlukan perhitungan-perhitungan
diantaranya adalah perhitungan kapasitas embung yaitu volume tampungan air
maksimum dihitung berdasarkan elevasi muka air maksimum, kedalaman air dan
luas genangannya. Perkiraan kedalaman air dan luas genangan memerlukan adanya
data elevasi dasar embung yang berupa peta topografi dasar embung. Penggambaran
peta topografi dasar embung didasarkan pada hasil pengukuran topografi.
Perhitungan ini didasarkan pada data peta topografi dengan skala 1:1.000 dan beda
tinggi kontur 1m. Cari luas permukaan embung yang dibatasi garis kontur,
kemudian dicari volume yang dibatasi oleh 2 garis kontur yang berurutan dengan
menggunakan rumus pendekatan volume sebagai berikut (Bangunan Utama KP-02,
1986) :

√ ........................

Dimana :
Vx = Volume pada kontur X (m3)
Z = Beda tinggi antar kontur (m)
Fy = Luas pada kontur Y (km2)
Fx = Luas pada kontur X (km2)

2.7.5 Stabilitas Lereng Embung

Merupakan perhitungan konstruksi untuk menentukan ukuran (dimensi) embung agar


mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja padanya dalam keadaan apapun
juga. Konstruksi harus aman terhadap geseran, penurunan embung, rembesan dan keadaan
embung kosong (yk), penuh air (ysub) maupun permukaan air turun tiba-tiba rapid draw-down
(ysat) (Sosrodarsono, 1989). Salah satu tinjauan keamanan embung adalah menentukan apakah
embung dalam kondisi stabil, sehingga beberapa faktor yang harus ditentukan adalah sebagai
berikut :
 Kondisi beban yang dialami oleh embung.
 Karakteristik bahan atau material tubuh embung termasuk tegangan dan density.
 Besar dan variasi tegangan air pori pada tubuh embung dan di dasar embung.
 Angka aman minimum (SF) yang diperbolehkan untuk setiap kondisi beban yang
digunakan.

Kemiringan timbunan embung pada dasarnya tergantung pada stabilitas bahan timbunan.
Semakin besar stabilitas bahannya, maka kemiringan timbunan dapat makin terjal. Bahan yang
kurang stabil memerlukan kemiringan yang lebih landai. Sebagai acuan dapat disebutkan bahwa
kemiringan lereng depan (upstream) berkisar antara 1: 2,5 sampai 1 : 3,5 , sedangkan bagian
belakang (downstream) antara 1: 2 sampai 1: 3. Kemiringan lereng yang efisien untuk bagian
hulu maupun bagian hilir masing-masing dapat ditentukan dengan rumus berikut
(Sosrodarsono, 1989) :

* + ................

* + ................

Dimana :
= faktor keamanan (dapat diambil 1.1)m dan n masing-masing kemiringan lereng hulu
dan hilir
K = koefesien gempa dan

Angka aman stabilitas lereng embung di bagian lereng hulu dan hilir dengan variasi beban yang
digunakan, diperhitungkan berdasarkan pada analisis keseimbangan batas (limit
equilibrium analysis). Geometri lereng tubuh embung disesuaikan dengan hasil analisis tersebut,
sehingga diperoleh angka aman ( S f ) yang sama atau lebih besar dari angka aman minimum
yang persyaratkan. Kemiringan lereng baik di sisi hilir maupun di sisi hulu embung harus
cukup stabil baik pada saat konstruksi, pengoperasian yaitu pada saat embung kosong,
embung penuh, saat embung mengalami rapid draw down dan ditinjau saat ada pengaruh
gempa. Sehingga kondisi beban harus diperhitungkan berdasarkan rencana konstruksi,
pengoperasian reservoir, menjaga elevasi muka air normal di dalam reservoir dan kondisi
emergency, flood storage dan rencana melepas air dalam reservoir, antisipasi pengaruh tekanan
air pori dalam tubuh bendungan dan tanah dasar fondasi. Tinjauan stabilitas bendungan
dilakukan dalam berbagai kondisi sebagai berikut :
a. Steady-State Seepage
Stabilitas lereng di bagian hulu di analisis pada kondisi muka air di reservoir yang
menimbulkan terjadinya aliran rembesan melalui tubuh Embung. Elevasi muka air pada
kondisi ini umumnya dinyatakan sebagai elevasi muka air normal (Normal High Water
Level).

b. Operation
Pada kondisi ini, muka air dalam reservoir maksimum (penuh-lebih tinggi dari elevasi muka
air normal). Stabilitas lereng di sebelah hulu dianalisis dengan kondisi muka air tertinggi
dimana dalam masa operasi muka air mengalami turun dengan tiba-tiba (sudden draw
down) dari elevasi dari muka air maksimum (tertinggi) menjadi muka air terendah
(LWL). Angka aman yang digunakan untuk tinjauan stabilitas lereng embung dengan
berbagai kondisi beban dan tegangan geser yang digunakan seperti dalam Tabel 2.19
Secara umum angka aman minimum untuk lereng hilir dan hulu juga dicantumkan pada
Tabel 2.20.
Tabel 2.19 Angka aman minimum dalam tinjauan stabilitas lereng sebagai fungsi dari
tegangan geser. (*)
Tegangan Koef.
Kriteria Kondisi Tinjauan Lereng SF min.
geser Gempa
Hulu CU 0% 1,50
I Rapid drawdown
Hulu CU 100% 1,20
Muka air penuh Hulu CU 0% 1,50
II
(banjir) Hulu CU 100% 1,20
Steady State Hilir CU 0% 1,50
III
Seepage Hilir CU 100% 1,20
(*) : Engineering and Design Stability of Earth and Rock-fill Dams, EM 1110-2-1902, 1970,
p. 25. Catatan : CU : Consolidated Undrained Test
Tabel 2.20 Angka aman minimum untuk analisis stabilitas lereng.
Angka Aman Minimum
Keadaan Rancangan /
Lereng hilir Lereng Hulu
Tinjauan
(D/S) (U/S)
1. Saat konstruksi dan akhir 1,25 1,25
konstruksi
2. Saat pengoperasian embung
1,50 1,50
dan saat embung penuh

3. Rapid draw down - 1,20


4. Saat gempa 1,10 1,10
( Sumber : Sosrodarsono, 1989)
Secara prinsip, analisis kestabilan lereng didasarkan pada keseimbangan antara masa tanah
aktif (potential runtuh) dengan gaya-gaya penahan runtuhan di bidang runtuh.
Perbandingan gaya-gaya di atas menghasilkan faktor aman (Sf) yang didefinisikan sebagai
berikut:


...............................

Dimana :
N = gaya-gaya penahan
= gaya-gaya aktif penyebab runtuhan
Analisis ini dilakukan pada segala kemungkinan bidang permukaan runtuhan dan pada
berbagai keadaan embung di atas. Nilai angka aman hasil perhitungan (SF hitungan)
tersebut di atas harus lebih besar dari nilai angka aman minimum (SF minimum) seperti
tertera pada Tabel 2.19 dan Tabel 2.20. Gaya-gaya yang bekerja pada embung urugan :
1. Berat Tubuh Embung Sendiri
Berat tubuh embung dihitung dalam beberapa kondisi yang tidak menguntungkan yaitu :
a. Pada kondisi lembab segera setelah tubuh pondasi selesai dibangun.
b. Pada kondisi sesudah permukaan embung mencapai elevasi penuh dimana bagian
embung yang terletak disebelah atas garis depresi dalam keadaan jenuh.
c. Pada kondisi dimana terjadi gejala penurunan mendadak (Rapid drow-down)
permukaan air embung, sehingga semua bagian embung yang semula terletak di
sebelah bawah garis depresi tetap dianggap jenuh.
Berat dalam titik jenuh
Gambar 2.13 Berat bahan yang terletak dibawah garis depresi

Gaya-gaya atau beban-beban utama yang bekerja pada embung urugan yang akan
mempengaruhi stabilitas tubuh embung dan pondasi embung tersebut adalah :
a. Berat tubuh embung itu sendiri yang membebani lapisan-lapisan yang lebih bawah
dari tubuh embung dan membebani pondasi.
b. Tekanan hidrostatis yang akan membebani tubuh embung dan pondasinya baik dari
air yang terdapat didalam embung di hulunya maupun dari air didalam sungai di hilirnya.
c. Tekanan air pori yang terkandung diantara butiran dari zone-zone tubuh embung.
d. Gaya seismic yang menimbulkan beban-beban dinamika baik yang bekerja pada tubuh
embung maupun pondasinya.
2. Tekanan Hidrostatis
Pada perhitungan stabilitas embung dengan metode irisan (slice methode) biasanya beban
hidrostatis yang bekerja pada lereng sebelah hulu embung dapat digambarkan dalam tiga
cara pembebanan. Pemilihan cara pembebanan yang cocok untuk suatu perhitungan harus
disesuaikan dengan semua pola gaya–gaya yang bekerja pada embung yang akan diikut
sertakan dalam perhitungan (Sosrodarsono, 1989).
Pada kondisi dimana garis depresi mendekati bentuk horizontal, maka dalam perhitungan
langsung dapat dianggap horizontal dan berat bagian tubuh embung yang terletak dibawah
garis depresi tersebut diperhitungkan sebagai berat bahan yang terletak dalam air. Tetapi
dalam kondisi perhitungan yang berhubungan dengan gempa biasanya berat bagian ini

dianggap dalam kondisi jenuh (Soedibyo, 1993).


Gambar 2.14 Gaya tekanan hidrostatis pada bidang luncur

Gambar 2.15 Skema pembebanan yang disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang
bekerja pada bidang luncur

3. Tekanan Air Pori

Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori di embung terhadap lingkaran bidang luncur.
Tekanan air pori dihitung dengan beberapa kondisi yaitu (Soedibyo, 1993):
a. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi tubuh embung baru dibangun.
b. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi embung telah terisi penuh dan
permukaan air sedang menurun secara berangsur-angsur.
c. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi terjadinya penurunan
mendadak permukaan embung hingga mencapai permukaaan terendah, sehingga besarnya
tekanan air pori dalam tubuh embung masih dalam kondisi embung terisi pe
4. Beban Seismis ( Seismic Force )
Beban seismis akan timbul pada saat terjadinya gempa bumi dan penetapan suatu kapasitas
beban seismis secara pasti sangat sukar. Faktor-faktor yang menentukan besarnya beban
seismis pada embung urugan adalah (Sosrodarsono, 1989):
a. Karakteristik, lamanya dan kekuatan gempa yang terjadi.
b. Karakteristik dari pondasi embung.
c. Karakteristik bahan pembentuk tubuh embung.
d. Tipe embung.

Komponen horizontal beban seismis dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Sosrodarsono, 1989) :
M . α = e ( M . g ) ...................................................................................... (2.116)

Dimana :
M = massa tubuh embung (ton)
α = percepatan horizontal (m/s2)
e = intensitas seismic horizontal (0,10-0,25)
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2)
Tabel 2.21 Percepatan gempa horizontal
Jenis Pondasi
Intensitas Seismis Gal
Batuan Tanah
Luar biasa 7 400 0,20 g 0,25 g
Sangat Kuat 6 400-200 0,15 g 0,20 g
Kuat 5 200-100 0,12 g 0,15 g
Sedang 4 100 0,10 g 0,12 g
(ket : 1 gal = 1cm/det2) ( Sumber:Sosrodarsono, 1989)
5. Stabilitas Lereng Embung Urugan Menggunakan Metode Irisan Bidang Luncur
Bundar
Metode analisis stabilitas lereng untuk embung tipe tanah urugan (earth fill type dam) dan
timbunan batu (rock fill type dam) didasarkan pada bidang longsor bentuk lingkaran.
Faktor keamanan dari kemungkinan terjadinya longsoran dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus keseimbangan sebagai berikut (Soedibyo, 1993) :
∑{ }

…………….
∑ ∑{ }

………………

Dimana :
Fs = faktor keamanan
N = beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur
(= γ .A.cosα )
T = beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur
(= γ .A.sin α )
U = tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
Ne = komponen vertikal beban seismic yang bekerja pada setiap irisan bidang
luncur (=e.γ .A.sin α )
Te = komponen tangensial beban seismic yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
(= e.γ .A.cosα )
ϕ = sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur.
C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang luncur
Z = lebar setiap irisan bidang luncur
E = intensitas seismis horisontal
γ = berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
A = luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
α = sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur
V = tekanan air pori
( Sosrodarsono, 1989)

Gambar 2.16 Cara menentukan harga-harga N dan T


Prosedur perhitungan metode irisan bidang luncur bundar (Soedibyo, 1993):
1. Andaikan bidang luncur bundar dibagi menjadi beberapa irisan vertikal dan walaupun
bukan merupakan persyaratan yang mutlak, biasanya setiap irisan lebarnya dibuat
sama. Disarankan agar irisan bidang luncur tersebut dapat melintasi perbatasan dari
dua buah zone penimbunan atau supaya memotong garis depresi aliran filtrasi.
2. Gaya-gaya yang bekerja pada setiap irisan adalah sebagai berikut :

a. Berat irisan ( W ), dihitung berdasarkan hasil perkalian antara luas irisan ( A ) dengan
berat isi bahan pembentuk irisan ( γ ), jadi W=A. γ
b. Beban berat komponen vertikal yang pada dasar irisan ( N ) dapat diperoleh dari hasil
perkalian antara berat irisan ( W ) dengan cosinus sudut rata-rata tumpuan ( α ) pada
dasar irisan yang bersangkutan jadi N = W.cos α
c. Beban dari tekanan hidrostatis yang bekerja pada dasar irisan ( U ) dapat
diperoleh dari hasil perkalian antara panjang dasar irisan (b) dengan tekanan air rata-

rata (U/cosα) pada dasar irisan tersebut, jadi U

d. Berat beban komponen tangensial ( T ) diperoleh dari hasil perkalian antara berat
irisan (W) dengan sinus sudut rata-rata tumpuan dasar irisan tersebut jadi T= Wsinα
e. Kekuatan tahanan kohesi terhadap gejala peluncuran (C) diperoleh dari hasil perkalian
antara angka kohesi bahan (c’) dengan panjang dasar irisan (b) dibagi lagi dengan cosα,

jadi C
3. Kekuatan tahanan geseran terhadap gejala peluncuran irisan adalah kekuatan tahanan
geser yang terjadi pada saat irisan akan meluncur meninggalkan tumpuannya
4. Kemudian jumlahkan semua kekuatan-kekuatan yang menahan ( T ) dan gaya-gaya yang
mendorong ( S ) dari setiap irisan bidang luncur, dimana T dan S dari masing- masing
irisan dinyatakan sebagai T = W Sin α dan S = C+(N-U) tan Ф
5. Faktor keamanan dari bidang luncur tersebut adalah perbandingan antara jumlah gaya
pendorong dan jumlah gaya penahan yang dirumuskan :

Fs = ∑
………… ……………………………………………

Dimana :
Fs = faktor aman
∑S = jumlah gaya pendorong
∑T = jumlah gaya penahan

Gambar 2.17 Skema perhitungan bidang luncur dalam kondisi embung penuh air

Gambar 2.18 Skema perhitungan bidang luncur dalam kondisi penurunan air embung
tiba-tiba
6. Penentuan Lokasi Titik Pusat Bidang Longsor
Untuk memudahkan usaha trial dan error terhadap stabilitas lereng, maka titik-titik
pusat bidang longsor yang berupa busur lingkaran harus ditentukan dahulu melalui suatu
pendekatan. Fellenius memberikan petunjuk-petunjuk untuk menentukan lokasi titik pusat
busur longsor kritis yang melalui tumit suatu lereng pada tanah kohesif (c- soil) seperti
pada tabel berikut : 0

Gambar 2.19 Lokasi pusat busur longsor kritis pada tanah kohesif (c-soil)

Tabel 2.22 Sudut-sudut petunjuk menurut Fellenius


Lereng Sudut Lereng Sudut-sudut petunjuk
1:n θ βA βB
√3 : 1 60° -29° -40°
1:1 45° -28° -38°
1 : 1,5 33°41’ -26° -35°
1:2 25°34’ -25° -35°
1:3 18°26’ -25° -35°
1:5 11°19’ -25° -37°
Pada tanah Ø-c untuk menentukan letak titik pada pusat busur lingkaran sebagai bidang
longsor yang melalui tumit lereng dilakukan secara coba-coba dimulai dengan bantuan
sudut-sudut petunjuk dari Fellenius untuk tanah kohesif (Ø=0). Grafik Fellenius
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nilai sudut geser (Ø) maka titik pusat busur
longsor akan bergerak naik dari Oo yang merupakan titik pusat busur longsor tanah c(Ø=0)
sepanjang garis Oo-K yaitu O1, O2, 03,…….On. Titik K merupakan koordinat pendekatan
dimana x = 4,5H dan z = 2H, dan pada sepanjang garis Oo-K diperkirakan terletak titik-titik
pusat busur longsor. Tiap-tiap titik pusat busur longsor tersebut dianalisis angka
keamanannya untuk memperoleh nilai Fk yang paling minimum sebagai indikasi bidang
longsor kritis.

On

O3
O2
O1
R O0

B
H
2H A
+X O

K(4.5H , 2H)
+Z
4.5H

Gambar 2.20 Posisi titik pusat busur longsor pada garis O0-K

7. Stabilitas Embung Terhadap Aliran Filtrasi


Baik embung maupun pondasinya diharuskan mampu menahan gaya-gaya yang ditimbulkan
oleh adanya air filtrasi yang mengalir melalui celah-celah antara butiran- butiran tanah
pembentuk tubuh embung dan pondasi tersebut. Hal tersebut dapat diketahui dengan
mendapatkan formasi garis depresi (seepage flow–net ) yang terjadi dalam tubuh dan
pondasi embung tersebut (Soedibyo, 1993). Garis depresi didapat dengan persamaan
parabola bentuk dasar seperti di bawah ini :
Gambar 2.21 Garis depresi pada embung homogen
untuk perhitungan selanjutnya maka digunakan persamaan-persamaan berikut :

…………………..

√ …………..

Untuk zone inti kedap air garis depresi digambarkan sebgai kurva dengan persamaan
berikut:

Y =√ ………………………..

Dimana :

h = jarah vertikal antara titik A dan B


d = jarak horisontal antara titik B2 dan A
l1 = jarak horisontal antara titik B dan E
l2 = jarak horisontal antara titik B dan A
A = ujung tumit hilir embung
B = titik perpotongan permukaan air embung dan lereng hulu embung.
A1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi dengan garis
vertikal melalui titik B
B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 l1 horisontal kearah hulu dari titik B
Akan tetapi garis parabola bentuk dasar (B2-C0-A0) yang diperoleh dari persamaan tersebut
bukanlah garis depresi yang sesungguhnya. Sehingga masih diperlukan penyesuaian menjadi
garis B-C-A yang merupakan bentuk garis depresi yang sesungguhnya, seperti tertera pada
gambar 2.21 sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989). Garis depresi didapat dengan persamaan
parabola bentuk dasar pada Gambar 2.22 dibawah ini.
A1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi
dengan garis vertikal melalui titik B
B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 l1 horisontal ke arah hulu dari titik B

Gambar 2.22 Garis depresi pada Embung homogen (sesuai dengan garis parabola)

Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan lereng hulu
embung dan dengan demikian titik Co dipindahkan ke titik C sepanjang ∆a.
Panjang ∆a tergantung dari kemiringan lereng hilir embung, dimana air filtrasi
tersembul keluar yang dapat dihitung dengan rumus berikut (Sosrodarsono,1989) :
a + ∆a = ……………………….

Dimana :
a = jarak ̅̅̅̅ (m)
∆a = jarak ̅̅̅̅̅ (m)
α = sudut kemiringan lereng embung
Untuk memperoleh nilai a dan ∆a dapat dicari berdasarkan nilai α dengan
menggunakan grafik sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989) :
600 <
0.4
0.3
C=∆a/(a+∆a) 0.2
C

0.1
0.0
30’ 60’ 120’ 150’ 180’
8. Gejala Sufosi ( Piping ) dan Sembulan ( Boiling )
Agar gaya-gaya hydrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan menyebabkan
gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan baik tubuh embung maupun
pondasinya, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh dan pondasi embung tersebut pada
tingkat-tingkat tertentu perlu dibatasi. Kecepatan aliran keluar ke atas permukaan lereng
hilir yang komponen vertikalnya dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran-
butiran bahan embung, kecepatannya dirumuskan sebagai berikut (Sosrodarsono, 1989)

C√ ……………………..

Dimana :
C = kecepatan kritis
w1 = berat butiran bahan dalam air
F = luas permukaan yang menampung aliran filtrasi
γ = berat isi air

9. Kapasitas Aliran Filtrasi


Memperkirakan besarnya kapasitas filtrasi yang mengalir melalui tubuh dan pondasi
embung yang didasarkan pada jaringan trayektori aliran filtrasi dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Soedibyo, 1993) :
Garis aliran filtrasi

Gambar 2.24 Formasi garis depresi

Qf = ……………………………………………

Dimana :
Qf = kapasitas aliran filtrasai
Nf = angka pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi
Np = angka oembagi dari garis equipotensial
K = koefisien filtrasi
H = tinggi tekanan air total
L = panjang profil melintang tubuh embung
10. Rembesan Air dalam Tanah
Semua tanah terdiri dari butir-butir dengan ruangan-ruangan yang disebut pori (voids) antara
butir-butir tersebut. Pori-pori ini selalu berhubungan satu dengan yang lain sehingga air
dapat mengalir melalui ruangan pori tersebut. Proses ini disebut rembesan
(seepage).Tidak ada bendungan urugan yang dapat dianggap kedap air, sehingga jumlah
rembesan melalui bendungan dan pondasinya haruslah diperhitungkan. Bila laju turunnya
tekanan akibat rembesan melampaui daya tahan suatu partikel tanah terhadap gerakan,
maka partikel tanah tersebut akan cenderung untuk bergerak. Hasilnya adalah erosi bawah
tanah, yaitu terbuangnya partikel- partikel kecil dari daerah tepat dihilir ”ujung jari”
(toe) bendungan (Ray K Linsley,
Joseph B Franzini, hal 196, thn 1989). Hal tersebut dapat diketahui dengan
pembuatan flownet yang terjadi dalam tubuh dan pondasi embung tersebut.
Ketinggian tegangan suatu titik dinyatakan dengan rumus:
..................................

Dimana :
h = ketinggan tegangan (pressure head)
u = tegangan air
y = ketinggian titik diatas suatu datum tertentu
Menurut (Soedibyo, hal 80,1993 ) banyaknya air yang merembes dan tegangan air pori dapat
dihitung dengan rumus :

O= ....................................

Dimana :
Q = jumlah air merembes
K = koefesien rembesan
H = beda ketinggian air sepanjang flownet
Ne = jumlah equipotensial
Nf = jumlah aliran

Tegangan pori (U)

U ( )..................................

Dimana :

U = tegangan pori
H = beda tinggi hulu dengan hilir
D = jarak muka air terhadap titik yang ditinjau

2.7.6 Rencana Teknis Bangunan Pelimpah ( Spillway )


Suatu pelimpah banjir merupakan katup pengaman untuk suatu embung. Maka pelimpah banjir
seharusnya mempunyai kapasitas untuk mengalirkan banjir-banjir besar tanpa merusak embung
atau bangunan-bangunan pelengkapnya, selain itu juga menjaga embung
agar tetap berada dibawah ketinggian maksimum yang ditetapkan. Suatu pelimpah banjir yang
dapat terkendali maupun yang tidak dapat terkendali dilengkapi dengan pintu air mercu atau
sarana-sarana lainnya, sehingga laju aliran keluarnya dapat diatur (Soedibyo, 1993). Pada
hakekatnya untuk embung terdapat berbagai tipe bangunan pelimpah dan untuk menentukan
tipe yang sesuai diperlukan suatu studi yang luas dan mendalam, sehingga diperoleh alternatif
yang paling ekonomis. Bangunan pelimpah yang biasa digunakan yaitu bangunan pelimpah
terbuka dengan ambang tetap (Soedibyo, 1993). Ada berbagai macam jenis spillway, baik yang
berpintu maupun yang bebas, side channel spillway, chute spillway dan syphon spillway. Jenis-
jenis ini dirancang dalam upaya untuk mendapatkan jenis Spillway yang mampu mengalirkan air
sebanyak-banyaknya. Pemilihan jenis spillway ini disamping terletak pada pertimbangan
hidrolika, pertimbangan ekonomis serta operasional dan pemeliharaannya. Pada prinsipnya
bangunan spillway terdiri dari 3 bagian utama, yaitu :
 Saluran pengarah dan pengatur aliran
 Saluaran peluncur
 Peredam energi
2.7.6.1.Saluran Pengarah dan Pengatur Aliran
Bagian ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar aliran tersebut senantiasa
dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran pengarah aliran ini, kecepatan masuknya
aliran air supaya tidak melebihi 4 m/det dan lebar saluran makin mengecil ke arah hilir.
Kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya diambil lebih besar dari 1/5 X tinggi
rencana limpasan di atas mercu ambang pelimpah, periksa gambar 2.22 Saluran pengarah
aliran dan ambang debit pada sebuah bangunan pelimpah. Kapasitas debit air sangat
dipengaruhi oleh bentuk ambang. Terdapat 3 ambang yaitu: ambang bebas, ambang
berbentuk bendung pelimpah, dan ambang bentuk bendung pelimpas penggantung
(Soedibyo, 1993). Bangunan pelimpah harus dapat mengalirkan debit banjir rencana dengan
aman. Rumus umum yang dipakai untuk menghitung kapasitas bangunan pelimpah adalah
(Bangunan Utama KP-02, 1986)

Q= √ ………………………………….

Dimana :
Q = debit aliran (m3/s)
Cd = koefisien limpahan
B = lebar efektif ambang (m)
g = percepatan gravitasi (m/s)
h = tinggi energi di atas ambang (m)
Lebar efektif ambang dapat dihitung dengan rumus (Sosrodarsono, 1989) :
Le=L–2(N.Kp+Ka).H ..................................................................................... (2.129)

Dimana :
Le = lebar efektif ambang (m)
L = lebar ambang sebenarnya
(m) N = jumlah pilar
Kp = koefisien konstraksi pilar
Ka = koefisien konstraksi pada dinding samping ambang
H = tinggi energi di atas ambang (m)
Tabel 2.23 Harga-harga koefisien kontraksi pilar (Kp)
No Keterangan Kp
1 Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang
bulat pada jari-jari 0,02
yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar
2 Untuk pilar berujung bulat 0,01
3 Untuk pilar berujung runcing 0,00
Sumber : Joetata dkk (1997)

Tabel 2.24 Harga-harga koefisien kontraksi pangkal bendung (Ka)


No Keterangan Ka
Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90º
1 0,20
ke arah aliran
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90º ke
2 arah aliran dengan 0,10
0,5 H1 > r > 0,15 H1
Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 H1 dan tembok hulu
3 tidak lebih dari 0,00
45º ke arah aliran
Sumber : Joetata dkk (1997)

Saluran pengarah aliran Ambang


pengatur debit
H V

V < 4 m/det W
Gambar 2.25 Saluran pengarah aliran dan ambang pengatur debit pada sebuah pelimpah

Gambar 2.26 Penampang memanjang bangunan pelimpah


Keterangan gambar :
1. Saluran pengarah dan pengatur aliran
2. Saluran peluncur
3. Bangunan peredam energi
4. Ambang

(a.) Ambang bebas


Ambang bebas digunakan untuk debit air yang kecil dengan bentuk sederhana. Bagian hulu
dapat berbentuk tegak atau miring (1 tegak : 1 horizontal atau 2 tegak : 1 horizontal ),
kemudian horizontal dan akhirnya berbentuk lengkung (Soedibyo, 1993).
Apabila berbentuk tegak selalu diikuti dengan lingkaran yang jari-jarinya .
2/3h1
h1 1/3h1 h1 1/3h1 2/3h1

1/2 h2
h2
1/2 h2

Gambar 2.27 Ambang bebas (Soedibyo, 1993)


Untuk menentukan lebar ambang biasanya digunkan rumus sebagai berikut :

Q = 1,704.b.c.(h1 ……………………………….

Dimana :
Q = debit air (m/detik)
b = panjang ambang (m)
h1 = kedalaman air tertinggi sebelah hulu persegi panjang = 0,82.
(b.) Ambang bentuk bending pelimpah (Overflow Weir)
Digunakan untuk debit air yang besar. Permukaan bendung berbentuk lengkung
disesuasikan dengan aliran air agar tidak ada air yang lepas dari dasar bendung. Rumus
untuk bendung pelimpah menurut JANCOLD (The Javanese National Committee on Large
Dams) adalah sebagai berikut :

Q =c.(L-K H N). ……………………………….


Dimana :
Q = debit air (m3/detik)
L = panjang mercu pelimpah (m)
K = koefisien kontraksi
H = kedalaman air tinggi disebelah hulu bendung (m)
N = jumlah pilar
Gambar 2.28 Ambang bebas (Soedibyo, 1993)

2.7.6.2 Saluran Peluncur


Saluran peluncur merupakan bangunan transisi antara ambang dan bangunan peredam.
Biasanya bagian ini mempunyai kemiringan yang terjal dan alirannya adalah super kritis.
Hal yang perlu diperhatikan pada perencanaan bagian ini adalah terjadinya kavitasi. Dalam
merencanakan saluran peluncur (flood way) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
(Gunadharma, 1997) :
 Agar air yang melimpah dari saluran pengatur mengalir dengan lancar tanpa
hambatan-hambatan.
 Agar konstrksi saluran peluncur cukup kokoh dan stabil dalam
menampung semua beban yang timbul.
 Agar biaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.
Guna memenuhi persyaratan tersebut maka diusahakan agar tampak atasnya selurus
mungkin. Jika bentuk yang melengkung tidak dapat dihindarkan, maka diusahakan
lengkungan terbatas dan dengan radius yang besar. Biasanya aliran tak seragam terjadi pada
saluran peluncur yang tampak atasnya melengkung, terutama terjadi pada bagian saluran
yang paling curam dan apabila pada bagian ini terjadi suatu kejutan gelombang hidrolis,
peredam energi akan terganggu (Gunadharma, 1997).

hL
hv1
V1
hd1 hv2
1 h1

l1 V2
hd2

2
l
Gambar 2.29 Skema penampang memanjang saluran peluncur (Gunadharma, 1997)

2.7.6.3 Bagian Yang Berbentuk Terompet Pada Ujung Hilir Saluran Peluncur
Semakin kecil penampang lintang saluran peluncur, maka akan memberikan
keuntungan ditinjau dari segi volume pekerjaan, tetapi akan menimbulkan masalah-
masalah yang lebih besar pada usaha peredam energi yang timbul per-unit lebar aliran
tersebut. Sebaliknya pelebaran penampang lintang saluran akan mengakibatkan
besarnya volume pekerjaan untuk pembuatan saluran peluncur, tetapi peredaman
energi per-unit lebar alirannyan akan lebih ringan (Gunadharma, 1997). Berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka saluran peluncur dibuat melebar
(berbentuk terompet) sebelum dihubungkan dengan peredam energi. Pelebaran
tersebut diperlukan agar aliran super-kritis dengan kecepatan tinggi yang meluncur dari
saluran peluncur dan memasuki bagian ini, sedikit demi sedikit dapat dikurangi akibat
melebarnya aliran dan aliran tersebut menjadi semakin stabil sebelum mengalir masuk ke
dalam peredam energi.

Gambar 2.30 Bagian berbentuk terompet dari saluran peluncur pada bangunan

2.7.6.4 Peredam Energi


Aliran air setelah keluar dari saluran peluncur biasanya mempunyai kecepatan atau energi
yang cukup tinggi yang dapat menyebabkan erosi di hilirnya dan menyebabkan distabilitas
bangunan spillway. Oleh karenanya perlu dibuatkan bangunan peredam energi sehingga air
yang keluar dari bangunan peredam cukup aman. Sebelum aliran yang melintasi bangunan
pelimpah dikembalikan lagi ke dalam sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi
dalam kondisi super kritis tersebut harus diperlambat dan dirubah pada kondisi aliran sub
kritis. Dengan demikian kandungan energi dengan daya penggerus sangat kuat yang timbul
dalam aliran tersebut harus diredusir hingga mencapai tingkat yang normal kembali,
sehingga aliran tersebut kembali ke dalam sungai tanpa membahayakan kestabilan alur
sungai yang bersangkutan (Soedibyo, 1993). Guna meredusir energi yang terdapat
didalam aliran tersebut, maka diujung hilir saluran peluncur biasanya dibuat suatu
bangunan yang disebut peredam energi pencegah gerusan. Untuk meyakinkan kemampuan
dan keamanan dari peredam energi, maka pada saat melaksanakan pembuatan rencana
teknisnya diperlukan pengujian kemampuannya. Apabila alur sungai disebelah hilir
bangunan pelimpah kurang stabil, maka kemampuan peredam energi supaya direncanakan
untuk dapat menampung debit banjir dengan probabilitas 2% (atau dengan perulangan 50
tahun). Angka tersebut akan ekonomis dan memadai tetapi dengan pertimbangan bahwa
apabila terjadi debit banjir yang lebih besar, maka kerusakan-kerusakan yang mungkin
timbul pada peredam energi tidak akan membahayakan kestabilan tubuh embungnya
(Gunadharma, 1997). Kedalaman dan kecepatan air pada bagian sebelah hulu dan hilir
loncatan hidrolis tersebut dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut :

Q = ..........................

Q = ..........................

= √ ..........................

..........................

Dimana :
Q = Debit pelimpah (m3/det)
B = Lebar bendung (m)
Fr = Bilangan Froude
v = Kecepatan awal loncatan (m/dt)
g = Percepatan gravitasi (m²/det)
D1,2 = Tinggi konjugasi
D1 = kedalaman air di awal kolam (m)
D2 = kadalaman air di akhir kolam (m)
Ada beberapa tipe bangunan peredam energi yang pemakaiannya tergantung dari kondisi
hidrolis yang dinyatakan dalam bilangan Froude. Dalam perencanaan dipakai tipe kolam
olakan dan yang paling umum dipergunakan adalah kolam olakan datar.
Macam tipe kolam olakan datar yaitu
a. Kolam Olakan Datar Tipe I
Kolam olakan datar tipe I adalah suatu kolam olakan dengan dasar yang datar dan
terjadinya peredaman energi yang terkandung dalam aliran air dengan benturan secara
langsung aliran tersebut ke atas permukaan dasar kolam. Benturan langsung tersebut
menghasilkan peredaman energi yang cukup tinggi, sehingga perlengkapan-
perlengkapan lainnya guna penyempurnaan peredaman tidak diperlukan lagi pada
kolam olakan tersebut (Gunadharma, 1997). Karena penyempurnaan redamannya
terjadi akibat gesekan-gesekan yang terjadi antara molekul-molekul air di dalam kolam
olakan, sehingga air yang meninggalkan kolam tersebut mengalir memasuki alur
sungai dengan kondisi yang sudah tenang. Akan tetapi kolam olakan menjadi lebih
panjang dan karenanya tipe I ini hanya sesuai untuk mengalirkan debit yang relatif kecil
dengan kapasitas peredaman energi yang kecil pula dan kolam olakannyapun akan
berdimensi kecil. Dan kolam olakan tipe I ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi
yang tidak memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada kolam
olakan tersebut.

Gambar 2.31 Bentuk kolam olakan datar tipe I USBR (Soedibyo, 1993)

b. Kolam Olakan Datar Tipe II


Kolam olakan datar tipe II ini cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis yang tinggi
dan dengan debit yang besar (q > 45 m3/dt/m, tekanan hidrostatis > 60 m dan
bilangan Froude > 4,5). Kolam olakan tipe ini sangat sesuai untuk bendungan urugan
dan penggunaannyapun cukup luas (Soedibyo, 1993).
D2

D1 0.2 D1

Gambar 2.32 Bentuk kolam olakan datar Tipe II USBR (Soedibyo, 1993)

c. Kolam Olakan Datar Tipe III


Pada hakekatnya prinsip kerja dari kolam olakan ini sangat mirip dengan sistim kerja
dari kolam olakan datar tipe II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air dengan
tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil (q < 18,5 m3/dt/m, V < 18,0
m/dt dan bilangan Froude > 4,5). Untuk mengurangi panjang kolam olakan biasanya
dibuatkan gigi pemencar aliran di tepi hulu dasar kolam, gigi penghadang aliran (gigi
benturan) pada dasar kolam olakan. Kolam olakan tipe ini biasanya untuk bangunan
pelimpah pada bendungan urugan rendah (Gunadharma, 1997).
D2
D1

Gigi pemencar Gigi benturan


aliran Ambang
perata

Kemiringan
L Kemiringan 2 : 1
2:1

Gambar 2.33 Bentuk kolam olakan datar Tipe III USBR (Gunadharma, 1997)

d. Kolam Olakan Datar Tipe IV


Sistem kerja kolam olakan tipe ini sama dengan sistem kerja kolam olakan tipe III,
akan tetapi penggunaannya yang paling cocok adalah untuk aliran dengan tekanan
hidrostatis yang rendah dan debit yang besar per-unit lebar, yaitu untuk aliran dalam
kondisi super kritis dengan bilangan Froude antara 2,5 s/d 4,5.Biasanya kolam olakan
tipe ini dipergunakan pada bangunan-bangunan pelimpah suatu bendungan urugan
yang sangat rendah atau bendung-bendung penyadap, bendung-bendung konsolidasi,
bendung-bendung penyangga dan lain- lain.

Gigi pemencar Ambang perata


aliran aliran

Gambar 2.34 Bentuk kolam olakan datar Tipe IV USBR

2.7.6.5 Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam (Bucket)


Tipe peredam energi ini dipakai bila kedalaman konjugasi hilir, yaitu kedalaman air pada
saat peralihan q air dari super ke sub kritis, dari loncatan air terlalu tinggi dibanding
kedalaman air normal hilir atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai kolam
akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas embung. Dimensi- dimensi umum sebuah
bak yang berjari-jari besar diperlihatkan oleh Gambar 2.35 berikut

Gambar 2.35 Peradam energi tipe bak tenggelam (bucket)


Parameter-parameter perencanaan yang sebagaimana diberikan oleh USBR sulit
untuk diterapkan bagi perencanaan kolam olak tipe ini. Oleh karena itu,
parameter- parameter dasar seperti jari-jari bak, tinggi energi dan kedalaman air
harus dirubah menjadi parameter-parameter tanpa dimensi dengan cara
membaginya dengan kedalam kritis (h c ) dengan persamaan kedalaman kritis
adalah sebagai berikut :

√ ..............................

Dimana :
= kedalaman kritis
q = debit perlebar satuan (m3/det.m)
g = percepatan gravitasi (m2/dt) (=9,81)

Jari-jari minimum yang paling diijinkan (Rmin) dapat ditentukan dengan


menggunakan perbandingan beda muka air hulu dan hilir (∆H) dengan
ketinggian kritis (hc) seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 2.36 berikut :
Gambar 2.36 Grafik Untuk Mencari Jari-jari Minimum (Rmin) Bak

Demikian pula dengan batas minimum tinggi air hilir (Tmin). Tmin diberikan pada Gambar
2.37 berikut :

Gambar 2.37 Grafik Untuk Mencari Batas Minimum Tinggi Air Hilir

Untuk nilai diatas 2,4 garis tersebut merupakan batas maksimum untuk menentukan

besarnya nilai Tmin. Sedangkan untuk nilai yang lebih kecil dari 2,4 maka diambil nilai

kedalaman minimum hilir, dengan pertimbangan bahwa nilai yang lebih kecil dari 2,4

adalah diluar jamgkauan percobaan USBR. Besarnya peredam energi ditentukan oleh

perbandingan h2 dan h1 apabila apabila lebih besar dari , maka tidak ada efek peredam

yang bisa diharapkan. Terlepas dari itu, pengalaman telah menunjukan bahwa banyak embung
rusak sebagai akibat dari gerusan local yang terjadi disebelah hilir, terutama akibat degradasi
dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan dalam menentukan kedalaman minimum air hilir
juga berdasarkan degradasi dasar sungai yang akan terjadi dimasa mendatang.

2.7.6.6 Spillway Samping (Slide Spillway)


Suatu bangunan pelimpah yang saluran peluncurnya berposisi menyamping terhadap saluran
pengatur aliran di hulunya/udiknya. Sering juga disebut saluran pengatur aliran type
pelimpah samping (regulation part of sideward over flow type) dilengkapi dengan suatu
bendung pengatur dan kadang-kadang dipasang pintu. Side Spillway ini direncanakan untuk
mengatasi/menampung debit banjir abnormal (1,2 kali debit banjir rencana). Aliran yang
melintasi Side Spillway seolah-olah terbagi menjadi 2 tingkatan dengan 2 buah peredam
energi yaitu terletak dibagian akhir saluran pengatur dan peredam energi dibagian akhir dari
bangunan pelimpah.
Persyaratan yang perlu diperhatikan pada bangunan pelimpah tipe ini agar debit yang
melintasi tidak menyebabkan aliran yang menenggelamkan bendung pada saluran pengatur
maka saluran samping dibuat cukup rendah terhadap bendung tersebut. Bangunan
direncanakan sedemikian rupa agar pada saat mengalirkan debit banjir abnormal perbedaan
elevasi permukaan air diudiknya/hulunya dan di hilir bending tidak kurang 2/3 kali
tinggi di atas mercu bendung tersebut. Semakin besar kemiringan sisi saluran samping
akan lebih baik karena dapat mengurangi volume galian. Akan tetapi harus diingat bahwa
tinggi jatuhnya berkas aliran air dari bendung ke dalam aliran tersebut, sehingga kekuatan
batuan di atas bangunan pelimpah yang akan dibangun perlu diperhatikan. Untuk
Pertimbangan stabilitas dan kemudahan dalam pelaksanaan konstruksi. Maka disarankan
lebar dasar Side Spillway diambil sekecil mungkin dengan lebar dasar yang sempit sehingga
volume pernggalian akan berkurang dan akan mempunyai efek peredam energi yang tinggi.
Pada bangunan pelimpah yang kecil, biasanya lebar dasar sepanjang dasar saluran samping
dibuat seragam. Sedangkan pada bangunan pelimpah yang besar, biasanya lebar dasar kolam
akan semakin besar ke hilir. Sehingga saat melewatkan debit banjir rencana, permukaan
air di dalam kolam tersebut membentuk bidang yang hampir datar dengan penampang basah
paling efektif. Untuk saluran samping pada bangunan pelimpah samping, rumus dari I.
Hinds sebagai dasar perencanaan. Rumus I. Hinds adalah sebagai berikut :
...........................
...........................

...........................

Dimana :

Qx = debit pada titik x (m3/dt)


q = debit banjir tepi udik bendung dengan suatu titik pada mercu bendung tersebut
(m)
v = kecepatan rata-rata aliran air di dalam saluran samping pada suatu titik tertentu
(m/dt)
N = exponent untuk kecepatan aliran air didalam saluran samping (anatara 0,4 s/d 0,8)
Y = perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air di dalam saluran
samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut.
Hv = tinggi tekanan kecepatan aliran (hv=v2/2g).

2.7.7 Rencana Teknis Bangunan Penyadap


Komponen terpenting bangunan penyadap pada embung urugan adalah penyadap, pengatur
dan penyalur aliran (DPU, 1970). Pada hakekatnya bangunan penyadap sangat banyak
macamnya tetapi yang sering digunakan ada 2 macam yaitu bangunan penyadap tipe sandar
dan bangunan penyadap tipe menara.
2.7.7.1 Bangunan Penyadap Sandar (Inclined Outlet Conduit )
Gambar 2.39 Komponen bangunan penyadap tipe sandar
Bangunan penyadap sandar adalah bangunan penyadap yang bagian pengaturnya terdiri
dari terowongan miring yang berlubang-lubang dan bersandar pada tebing sungai. Karena
terletak pada tebing sungai maka diperlukan pondasi batuan atau pondasi yang terdiri dari
lapisan yang kokoh untuk menghindari kemungkinan keruntuhan pada konstruksi sandaran
oleh pengaruh fluktuasi dari permukaan air dan kelongsoran embung. Sudut kemiringan
pondasi sandaran sibuat tidak lebih dari 60o kecuali pondasinya terdiri dari batuan yang
cukup kokoh (DPU, 1970).
Berat timbunan tubuh embung biasanya mengakibatkan terjadinya penurunan- penurunan
tubuh terowongan. Untuk mencegah terjadinya penurunan yang membahayakan, maka baik
pada terowongan penyadap maupun pada pipa penyalur datar dibuatkan penyangga
(supporting pole) yang berfungsi pula sebagai tempat sambungan bagian-bagian pipa yang
bersangkutan. Beban-beban luar yang bekerja pada terowongan penyadap adalah :
1.) Tekanan air yang besarnya sama dengan tinggi permukaan air embung dalam keadaan
penuh.
2.) Tekanan timbunan tanah pada terowongan.
3.) Berat pintu dan penyaring serta fasilitas-fasilitas pengangkatnya serta kekuatan operasi
dan fasilitas pengangkatnya.
4.) Gaya-gaya hidrodinamis yang timbul akibat adanya aliran air dalam terowongan.
5.) Kekuatan apung terowongan yang dihitung 100% terhadap volume terowongan luar.
6.) Apabila terjadi vakum di dalam terowongan, maka gaya-gaya yang
ditimbulkannya, merupakan tekanan-tekanan negatif.
7.) Gaya-gaya seismic dan gaya-gaya dinamis lainnya.

Lubang penyadap
Kapasitas lubang-lubang penyadap dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
1. Untuk lubang penyadap yang kecil.
Q = C.A. √ ..................................................................................
Dimana :
Q = debit penyadap sebuah lubang (m3/det)
C = koefisien debit, ±0,62
A = luas penampang lubang (m2)
g = gravitasi (9,8 m/det2)
H = tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m)

2. Untuk lubang penyadap besar

Q= √ , -…………………………..

Dimana :
B = lebar lubang penyadap (m)
H1 = kedalaman air pada tepi atas lubang (m)
H2 = kedalaman air pada tepi bawah lubang (m)
ha = tinggi tekanan kecapatan didepan lubang penyadap (m)

Va = kecepatan aliran air sebelum masuk kedalam lubang penyadap (m/det)


Biasanya dianggap harga Va = 0, sehingga rumus diatas berubah menjadi :

Q= √ …………………………..

Apabila lubang penyadap yang miring membentuk sudut dengan bidang horizontal,
Maka :
.................................................................
3. Untuk lubang penyadap dengan penampang bulat
Q= √ …………………………..
Dimana :
r = radius lubang penyadap (m)
Rumus tersebut berlaku untuk

a. Lubangpenyadap yang b. Lubang penyadap yang c. Lubang penyadap yang


kecil (bujur sangkar) besar (persegi empat) besar (lingkaran)
H1 
H H
H2

(Sumber : Suyono Sosrodarsono),


Gambar 2.40 Skema perhitungan untuk lubang-lubang penyadap

Ketinggian lubang penyadap ditentukan oleh perkiraan tinggi sedimen selama umur
ekonomis embung.
2.7.7.2 Bangunan Penyadap Menara (outlet tower)
Bangunan penyadap menara adalah bangunan penyadap yang bagian pengaturnya terdiri
dari suatu menara yang berongga di dalamnya dan pada dinding menara tersebut
terdapat lubang-lubang penyadap yang dilengkapi pintu-pintu. Pada hakekatnya
konstruksinya sangat kompleks serta biayanya pun tinggi. Hal ini di sebabkan oleh hal-hal
penting yang mengakibatkan adanya keterbatasan yaitu :
a. Bangunan penyadap menara merupakan bangunan yang berdiri sendiri, sehingga semua
beban luar yang bekerja pada menara tersebut harus ditampung keseluruhan.
b. Bangunan penyadap menara merupakan bangunan yang berat, sehingga membutuhkan
pondasi yang kokoh dengan kemampuan daya dukung yang besar.
c. Bangunan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan bangunan,
pembuat bangunan penyadap menara kurang menguntungkan apalagi bila menara yang
dibutuhkan cukup tinggi.
Gambar 2.41 Bangunan Penyadap Menara

2.7.7.3 Pintu-pintu Air dan Katub pada Bangunan Penyadap


Perbedaan anatara pintu-pintu air dan katub adalah pintu air terdiri dari dua bagian yang
terpisah yaitu pintu yang bergerak dan bingkai yang merupakan tempat dimana pintu
dipasang. Sedangkan pada katub antara katub yang bergerak dan dinding katub (yang
berfungsi sebagai bingkai) merupakan satu kesatuan. Perhitungan konstruksi pintu air dan
katub didasarkan pada beban-beban yang bekerja yaitu :
 Berat daun pintu sendiri
 Tekanan hidrostatis pada pintu
 Tekanan sedimen
 Kekuatan apung
 Kelembaman dan tekanan hidrodinamika pada saat terjadinya gempa bumi
Tekanan air yang bekerja pada bidang bulat yang miring (P0)
Gambar 2.42 Tekanan hidrostatis yang bekerja pada bidang bulat yang miring
Dimana :
P = Resultan seluruh tekanan air (t)
γ = berat per unit volume air (l t/m3)
B = lebar daun pintu yang menampung tekanan air (m)
H = tinggi daun pintu yang menampung tekanan air (m)
H1 = tinggi air di udik daun pintu (m)
H2 = perbedaaan antara elevasi air di udik dan hilir daun pintu (m)
H3 = tinggi air di hilir daun pintu (m)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Daerah Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota , Sumatra Barat,
(gambar 3.1).

(gambar 3.1). (Sumber :Sumber google )

3.2 Tinjauan Umum


Perencanaan embung diawali dengan melakukan survey dan investigasi di lokasi yang
bersangkutan untuk memperoleh data perencanaan yang lengkap dan teliti. Metodologi yang baik
dan benar merupakan acuan untuk menentukan langkah-langkah kegiatan yang perlu diambil dalam
perencanaan (Soedibyo, 1993). Metodologi penyusunan perencanaan Embung padang mengetas
sebagai berikut :
 Survey dan investigasi pendahuluan
 Identifikasi masalah
 Studi pustaka
 Pengumpulan data
 Analisis hidrologi
 Perencanaan konstruksi embung
 Stabilitas konstruksi embung
 Gambar Konstruksi
 RKS Dan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
 Time Schedule, Network Planning dan man power

3.3 Pengumpulan Data


Setiap perencanaan akan membutuhkan data-data pendukung baik data primer maupun data
sekunder (Soedibyo, 1993).
3.2.1 Data Primer
Data primer didapat dari pihak-pihak yang berkepentingan dan data-data aktual lainnya yang
berkaitan dengan kondisi saat ini. Metode pengumpulan data primer adalah sebagai berikut :
a. Metode Observasi
Dengan survey langsung ke lapangan, agar dapat diketahui kondisi real di lapangan secara garis
besar, untuk data detailnya bisa diperoleh dari instansi yang terkait .
b. Metode Wawancara
Yaitu dengan mewawancarai narasumber yang dapat dipercaya untuk memperoleh data yang
diperlukan.
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data-data kearsipan yang diperoleh dari instansi terkait, serta data-data yang
berpengaruh pada perencanaan. Adapun data sekunder antara lain :
a. Data Topografi
Untuk menentukan elevasi dan tata letak lokasi di mana akan didirikan embung dan luas daerah
aliran sungai
b. Data Geologi
Data geologi dapat berupa data fisiografi, morfologi batuan, kondisi sedimen serta kondisi
litologi pada batuan. Data tersebut digunakan untuk memperhitungkan tipe pondasi yang akan
dipilih dan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan embung.
c. Data Tanah
Data yang dihasilkan dari penyelidikan tanah di sekitar willayah embung. Data ini digunakan
untuk mengetahui struktur dan tipe dari tanah maupun batuan yang ada, permeabilitas tanah,
sifat-sifat fisik tanah, penentuan dan perhitungan jenis pondasi yang dipilih serta daya dukung
tanah terhadap konstruksi embung. Adapun data yang diperoleh dari data tanah antara lain :
 Data sondir
 Test CBR
 Direct Shear Test
 Soil Test, dsb.
d. Data Hidrologi
Data ini berupa data klimatologi yang berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan data- data
pendukung lainnya.
e. Data Penduduk.
Untuk menentukan proyeksi penduduk pada beberapa tahun ke depan dan mengetahui
pertumbuhan penduduk pada daerah tersebut. Data ini dapat diperoleh melalui instansi terkait
yaitu instansi Biro Pusat Statistik.
f. Data Klimatologi
Data Klimatologi meliputi :
 Data temperatur bulanan rata-rata (oC)
 Kecepatan angin rata-rata (m/det)
 Kelembaman udara relative rata-rata (%)
 Lama penyinaran matahari rata-rata (%)

3.4 Metodologi Perencanaan Embung


Metode perencanaan digunakan untuk menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
perencanaan Embung padang mengetas. Adapun metodologi perencanaan yang digunakan adalah :
3.3.1 Survey dan Investigasi Pendahuluan
Survey dan investigasi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui keadaan sosial, ekonomi,
budaya masyarakat dan pengamatan lokasi di lapangan serta tanggapan masyarakat terhadap
rencana pembangunan embung.
3.3.2 Identifikasi Masalah
Untuk dapat mengatasi permasalahan secara tepat maka pokok permasalahan harus diketahui
terlebih dahulu. Solusi masalah yang akan dibuat harus mengacu pada permasalahan yang
terjadi.
3.3.2 Pengumpulan Data
Data digunakan untuk mengetahui penyebab masalah dan untuk merencanakan embung yang
akan dibuat. Data yang diperoleh berupa data primer dan sekunder.
3.3.4 Analisis Data
Data yang telah didapat diolah dan dianalisis sesuai dengan kebutuhannya. Masing-masing data
berbeda dalam pengolahan dan analisisnya. Pengolahan dan analisis yang sesuai akan diperoleh
variabel-variabel yang akan digunakan dalam perencanaan embung.
3.3.5 Perencanaan Konstruksi Embung
Hasil dari analisis data digunakan untuk menentukan perencanaan konstruksi embung yang
sesuai, dan tepat disesuaikan dengan kondisi-kondisi lapangan yang mendukung konstruksi
embung tersebut.
3.3.6 Stabilitas Konstruksi Embung
Dalam perencanaan konstruksi embung perlu adanya pengecekan apakah konstruksi tersebut
sudah aman dari pengaruh gaya-gaya luar maupun beban yang diakibatkan dari konstruksi itu
sendiri (Sosrodarsono, 1989). Pengecekan stabilitas konstruksi pada tubuh bendungan
merupakan usaha untuk dapat mengetahui keamanan konstruksi. Gaya-gaya yang bekerja
dikontrol terhadap tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi. Tiga penyebab runtuhnya
bangunan gravitasi adalah gelincir, guling dan erosi bawah tanah (Soedibyo, 1993).
3.3.7 Gambar Konstruksi
Hasil perencanaan dan stabilitas konstuksi embung diwujudkan dalam bentuk gambar yang
detail dengan ukuran, bentuk dan skala yang ditentukan
3.3.8 RKS dan RAB
Sebelum pelaksanaan pekerjaan pada pembangunan suatu bangunan konstruksi sangat
diperlukan RKS. Hal ini untuk membantu kelancaran proyek terutama syarat-syarat
spesifikasi. Dalam RKS pada perencanaan embung terdiri atas syarat-syarat umum, syarat-
syarat teknis dan pengawasan kualitas bahan. RAB disusun dengan tujuan untuk memperoleh
nilai / harga satuan pekerjaan berdasarkan harga upah dan bahan yang berlaku di lokasi
pekerjaan, analisa harga satuan dan kuantitas
/ volume.
3.3.9 Time schedule, Network Planning dan Man Power
Time Schedule adalah suatu pembagian waktu terperinci yang disediakan untuk masing- masing
bagian pekerjaan, mulai dari pekerjaan awal sampai pekerjaan akhir serta sebagai sarana
koordinasi suatu jenis pekerjaan. Network Planning merupakan gambar yang memperlihatkan
susunan urutan pekerjaan dan logika ketergantungan antara kegiatan yang satu dengan yang
lainnya beserta waktu pelaksanaan. Man Power merupakan terkait dengan jumlah sumber
daya manusia yang akan digunakan dalam pelaksanaan pembanguna

Anda mungkin juga menyukai