Kiat Kiat Mengembangkan Karakteristik Konselor

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KIAT-KIAT MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK


KONSELOR YANG EFEKTIF
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“Pengembangan Pribadi Konselor”

Dosen Pengampu :
Ibu Zeti Novitasari,M.Pd

Di susun oleh :
1. Ahmad Aziz Zakkyudin (230801073)
2. Zahwa aulia (230801074)
3. Nourinda Nawalia Putri (230801076)
4. Eni Hartutik (230801082)
5. Tria Amelia (230801087)
6. Rifqi Azizi Mubarok (230801098)
7. Muhammad Ainur Roziqin (230801097)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI 2024
DAFTAR ISI

Contents
BAB I............................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................5
PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Empati Dan Cara Pengembangannya..............................................................5
a). Cara Mengembangankan Sikap Empati...........................................................6
b) Contoh Empati..................................................................................................7
B. Ketulusan/Keaslian (geuineness)......................................................................8
a) Cara Mengembangankan Sikap Empati............................................................8
b) Contoh Keaslian...............................................................................................9
C. Respek (Acceptance)..........................................................................................9
a) Cara Mengembangkan Acceptance:...............................................................10
b) Contoh Sikap Respek.....................................................................................12
D. Opened-Mindedness (Pikiran Terbuka)........................................................12
a) Cara Mengembangkan Opened-Mindedness..................................................13
b) Contoh Opened-Mindedness:.........................................................................13
BAB III......................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................15
A. Kesimpulan.......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................16
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah pada mata
kuliah “Pengembangan Pribadi Konselor” yang diampu oleh “.”.
Makalah kami berisikan tentang ”Kiat-Kiat Mengembangkan Karakteristik
Konselor Yang Efektif”. Mudah-mudahan dengan adanya penulisan serta
penyusunan makalah ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan kepada kita
semua terutama pada “Kiat-Kiat Mengembangkan Karakteristik Konselor Yang
Efektif”. Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah
ini. Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan guna kesempurnaan makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami
sampaikan banyak terima kasih.

Bojonegoro,10 Mei 2024

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, mencantumkan bahwa saat ini konselor
merupakan salah satu tenaga pendidik. Yang mana hal tersebut merupakan
indikator secara tidak langsung bahwa konselor sudah mulai di butuhkan dalam
suatu intitusi pendidikan.

Kegiatan konseling yang dilakukan oleh setiap konselor tentunya


tidak akan terlepas dari berbagai aspek penting mengenai komunikasi.
Kepribadian konselor merupakan intervensi utama, karena seseorang tidak
akan dapat memberikan bantuan tanpa memiliki kepribadian membantu.
Konselor menciptakan dan mengembangkan interaksi yamng membantu
peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi secara optimal,
mengembangkan pribadi yang utuh dan sehat, serta menampilkan prilaku
efektif, kreatif, produkti dan adjusted.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan pada penulisan makalah ini sebagai berikut.
1. Apa Empati dan Bagaimana Pengembangannya?
2. Apa Geuineness dan Bagaimana Pengembangannya?
3. Apa Acceptance dan Bagaimana Pengembangannya?
4. Apa Opened-Mindedness dan Bagaimana Pengembangannya?
C. Tujuan Penulisan
Berpijak pada rumusan masalah di atas, maka penulis menyajikan tujuan
penulisan makalah ini sebagai berikut.

1. Memahami Empati Dan Cara Pengembangannya?


2. Memahami Empati Dan Cara Pengembangannya?
3. Memahami Empati Dan Cara Pengembangannya?
4. Memahami Empati Dan Cara Pengembangannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Empati Dan Cara Pengembangannya.

Empati adalah sikap individu yang dapat memahami perasaan atau


kondisi orang lain. Seorang konselor dituntut untuk memiliki sikap empati
kepada para klien/konseli mereka. Untuk bisa bersikap empati, diharapkan
konselor dapat memasuki kerangka diri seorang yang dilayani, dalam hal ini
kerangka pribadi klien/konseli. Menurut Rogers (dikutip dari Willis, 2009)
empati sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia pribadi klien tanpa
kehilangan kesadaran diri. Ia menyebutkan komponen yang terdapat dalam
empati meliputi: penghargaan positif (positive regard), rasa hormat (respect),
kehangatan (warmth), kekonkretan (concreteness), kesiapan/kesegaran
(immediacy), konfrontasi (confrontation), dan keaslian (congruence/genuiness).
Memahami orang lain dari sudut pandang klien/konseli, merasakan apa yang
dirasakan oleh klien/konseli, empati yag dirasakan pun haris diekspresikan,
namun kita sebagai konselor tidak boleh ikut larut didalam nilai-nilai
klien/konseli. Bersikap empati berarti kita juga harut turut andil dalam perasaan
konseli/konselor tersebut, dan ada action dari diri konselor.

Menurut Alfred Adler, empati adalah penerimaan terhadap penerimaan


terhadap orang lain dan dapt meletakkan diri kita pada tempat orang tersebut.
Sedangkan menurut Hurlock (1999:118), empati adalah kemampuan seseorang
untuk ddapat mengerti perasaan dan emosi orang lain, dan juga kemampuan
untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain dan menghayati
pengalaman orang tersebut.

Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik


konselor yang efektif sebagai berikut:
a. Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
b. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam
diri orang yang akan dibantunya.
c. Mampu “menjangkau” ke dalam dan ke luar.
d. Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk orang yang
sedang dibantunya.
e. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang
dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
f.Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan
mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
g. Mampu memahami tingkah laku orang yang dibantunya tanpa
menerapkan value judgments.
h. Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam
kerangka sistem.
i.Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yang
terjadi di dunia.
j.Mampu mengidentifikasi pola-pola tingkah laku yang self-defeating, yang
merugikan dan membantu orang lain mengubah tingkah laku yang
merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih
memuaskan.
k. Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri
dan bereaksi secara tidak defensif terhadap pertanyaan “Siapakah Saya?”.

Hackney dan Cormier (2001), menulis tentang karakteristik para


penolong yang efektif. Ia mengatakan bahwa meskipun penelitian-penelitian
tentang efektivitas konseling tidak menunjukkan bukti-bukti yang jelas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi konseling, tetapi literatur profesional secara
konsisten memberi penekanan pada pentingnya karakteristik konselor untuk
suksesnya konseling. Hackney dan Cormier menyebutkan karakteristik-
karakteristik berikut:
Kesadaran-tentang-diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
a. Kesehatan psikologis yang baik.
b. Sensivitas terhadap dan pemahaman tentang faktor-faktor rasial, etnik,
dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain.
c. Keterbukaan (Open-mindness).
d. Objektivitas.
e. Kompetensi.
f. Dapat dipercaya (trustworhiness).
g. Interpersonal attractiveness.

Menurut Cormier dan Cormier (1985), empati konselor kepada klien dapat
ditunjukkan melalui refleksi dari pesan-pesan verbal maupun non verbal serta
kemampuan konselor mamadupadankan berbagai pengalaman klien.

a). Cara Mengembangankan Sikap Empati

Untuk dapat berempati, konselor harus memasuki kerangka acuan klien,


yaitu konselor berusaha untuk menempatkan dirinya ke dalam dunia klien.
Respon konselor yang menunjukkan empati terhadap klien, lebih cenderung
menunjukkan bahwa konselor berpikir bersama klien, bukan berpikir tentang
atau untuk klien.
Egan (1987) mengemukakan lima tataran dalam mengkomunikasikan
empati secara verbal, diantarnya:

Tataran 1 :Dikomunikasikan dalm bentuk pertanyaan, penentraman,


penyangkalan, dan nasihat.
Tataran 2 :Hanya memusatkan pada isi atau bagian kognisi pesan,
perasaan/emosi diabaikan.
Tataran 3 :Memahami tetapi tidak ada arahan; merefleksikan perasaaan dan
makna/situasi.
Tataran 4 :Memahami dan memberi arahan; mengidentifikasi perasaan dan
kekurangan klien.
Tataran 5 :Mengandung semua isi tataran satu hingga empat ditambah
sekurang-kurangnya satu langkah tindakan yang dapat diambil klien
untuk menangani kelemahan dan mencapai tujuan.

Secara non-verbal, empati dapat dikomunikasikan oleh konselor dengan


cara menjaga kontak mata, mengatur posisi tubuh condong ke arah konseli,
mengikuti gerak tubuh konseli, dan posisi tangan terbuka (tidak berpangku
tangan, datau bersedekap).

b) Contoh Empati

Contoh respon empati verbal daari tataran 1 sampai 5 terhadap satu pesan
(pernyataan) klien.
Klien : “Saya telah minta maaf dan berusaha untuk memperbaiki kembali
hubungan kami yang tampak mulai renggang. Tetapi tampaknya itu tak
akan berhasil. Sepertinya hatinya sudahmembeku bagaikan es”.

Respon empati konselor :


Tataran 1 : “Saya yakin suatu saat anda akan berhasil menaklukannya”
(penentraman dan penyangkalan)
“Anda seharusnya mencoba lebih keras lagi untuk mencairkannya”
(nasihat)
“Apakah anda ingin mempebaiki hubungan dengan dia?”
(pertanyaan )

Tataran 2 : “ Anda mengalami kesulitan untuk berbaikan kembali?”


Tataran 3 : “Anda merasa putus asa karena usaha anda untuk mengajaknya
kembali tampak tidak berhasil”.
Tataran 4 : “Anda merasa putus asa karena anda merasa tak sanggup lagi untuk
membujuknya, anda ingin berusaha lebih sabar lagi dalam
menghadapinya?”
Tataran 5 : “Anda merasa cemas karena anda tidak berhasil membujuknya, tetapi
anda tetap berusaha agar dia lebih lunak lagi hatinya. Bagaimanapun
ini merupakan satu langkah maju untuk memperbaiki hubungan
dengan dirinya.”

Perhatikan dalam empati non verbal (Kontak mata; posisi badan; posisi tangan
dan jarak fisik) serta sikap konselor yang menunjukkan keterbukaan serta
kehangatan.

B. Ketulusan/Keaslian (geuineness)

Genuineness atau keaslian merupakan sifat individu yang artinya dapat


merasakan kenyamanan dengan dirinya sendiri. Dalam konteks konselor,
genuineness atau yang sering disebut juga dengan ketulusan, merupakan
komponen penting dalam proses konseling. Karena konselor dapat menjadi
dirinya sendiri saat berinteraksi dengan konseli yang memiliki sifat/karakter
berbeda-beda. Dalam proses konseling, ketulusan memengaruhi hubungan
konseling antara konselor dengan konseli, karena dengan sikap tulus konselor,
konseli akan lebih nyaman saat melakukan konseling. Konselor yang yakin dan
nyaman dengan dirinya sendiri (keaslian dirinya) akan lebih dewasa dan matang
dalam perannya sebagai konselor.

a) Cara Mengembangankan Sikap Empati

Dalam melakukan proses konseling, hendaknya konselor menolong dan


membantu konseli karena tulus, bukan karena mengharapkan imbalan dari
konseli. Terdapat lima komponen dalam ketulusan yaitu:

a. Perilaku non verbal


Konseli dapat melihat ketulusan atau keaslian konselor pada saat
konseling melalui komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh konselor pada saat
konseling berlangsung. Komunikasi nonverbal yang menunjukkan keaslian atau
ketulusan konselor adalah seperti kontak mata (cara pandang konselor dengan
konseli). Selain itu dari senyuman konselor, cara duduk konselor pada saat
berkomunikasi dengan konseli. Apabila konselor memunjukkan posisi badan
yang condong sedikit ke depan, menunjukkan bahwa konselor tulus dengan
konseli. Sebaliknya, jika konselor yang saat duduk selalu bersandar dapat
dipersepsi oleh konseli bahwa konselor tidak sungguh-sungguh melayani
konseli.

b. Tindakan yang berkaitan dengan peran/kedudukan


Pada proses konseling, hendaknya konselor menjauhkan peran,
kekuasaan, atau kedudukannya dengan konseli, demi menjaga kenyamanan
konseli pada saat konseling berlangsung.

c. Kongruensi
Kongruensi menunjukkan kekonsistenan konselor untuk menjadi dirinya
sendiri antara lain dalam hal kata-kata, perasaan, dan tindakan. Melalui
kongruensi, dapat menunjukkan apakah konselor bersungguh-sungguh dan tulus
dalam membantu konseli. Menurut Rogers (dikutip dari Sedanayasa, 2014)
bahwa konselor yang semakin dapat mendengarkan dan menerima apa yang
terjadi dalam dirinya, dan semakin mampu ia memahami kompleksitas
perasaannya, tanpa rasa takut, maka semakin tinggi derajat kongruensinya.

d. Spontanitas
Ketika konseling berlangsung, konselor dapat mengekspresikan diri
secara natural tanpa dibuat-buat namun tetap bijaksana dalam arti, apa yang
diekspresikannya harus tetap membuat konseli nyaman merupakan maksud dari
spontanitas dalam konteks pribadi konselor. Kemampuan spontanitas dalam
pribadi konselor memang perlu dilatih bagi konselor agar selalu berhati-hati
dengan apa yang diekspresikannya terutama dari perasaan-perasaan negatif agar
tidak sampai terlihat oleh konseli.

e. Keterbukaan
Keterbukaan atau biasa disebut dengan transparansi merupakan
kemampuan konselor untuk mau berbagi dan membuka diri. Keterbukaan atau
transparansi dibutuhkan oleh seorang konselor karena dapat membantu konseli
agar dapat mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka.

b) Contoh Keaslian

Seorang konselor yang menunjukkan ketulusan atau keasliannya pada


saat proses konseling adalah ketika ada konseli yang mengatakan kepada
konselor yang memiliki fobia ketinggian bahwa ia (konseli) memiliki ketakutan
pada hewan yang berbulu. Pada kondisi seperti ini, konselor dapat berbagi
pengalamannya tentang rasa takutnya pada ketinggian tanpa dibuat-buat. Dengan
tidak berpura-pura konselor dapat mengatakan bahwa ia berhasil mengalahkan
rasa takutnya dengan ketinggian dan berani menaklukan ketinggian. Hal ini
dapat membuat konseli merasa bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki rasa
takut terhadap suatu objek.

C. Respek (Acceptance)

Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu


ditunjukkan oleh seorang konselor kepada kliennya. Konselor harus dapat
menerima bahwa orang-orang yang dihadapinnya mempunyai nilai dan
kebutuhan masing-masing sehingga jangan mengaharap klien memiliki nilai-
nilai yang sama dengan yang dimiliki oleh konselor. Respek artinya bahwa
seorang konselor dalam memberikan layanan hendaknya menunjukkan minat
yang tinggi. Dengan demikian konseli yang dilayani akan merasa diperhatikan
kebutuhannya. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima
kenyataan setiap konseli mempunyai hak untuk dilayani, memiliki kebebasan,
kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.

Konselor harus dapat menerima respek kepada klien walaupun dengan


keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Rogers mengatakan bahwa
setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya kearah yang
lebih baik. Untuk itulah konselor harus memberikan kepercayaan kedapa klien
untuk mengembangkan diri mereka. Brammer, Abrego, dan Shostrom (dikutip
dari Lesmana,2005) menimpali apa yang disampaikan oleh Rogers, bahwa klien
akan mengalami perubahan yang efektif apabila ia berada dalam situasi yang
kondusif untuk pertumbuhan. Situasi yang kondusif ini misalnya pengalaman
penerimaan (acceptance) yaitu pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai
tanpa syarat.
Menurut Lesmana (2005), acceptance dalam konseling sama dengan
bentuk cinta, yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain
untuk berkembang. Menurutnya, acceptance juga bersifat tidak menilai, artinya
konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianut oleh klien.

Melalui konseling, orang harus mempelajari cara bersikap dan bertingkah


laku positif yang hanya bisa terjadi dalam situasi kondusif. Konselor ada dalam
posisi menciptakan hubungan kasih sayang yang punya efek konstruktif atau
destruktif pada sistem sekuritas klien dan kemampuannya untuk memberi dan
menerima cinta. Acceptance dalam konseling ini sama dengan bentuk cinta,
yaitu suatu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain untuk
berkembang, ketika seseorang berusaha secara maksimal untuk kesejahteraan
dari objek cinta tersebut. Beberapa konselor mempunyai keberatan dengan
penggunaan kata cinta dan kasih sayang, konselor lebih menyukai istilah caring
yang juga memiliki arti bahwa konselor menunjukkan rasa keprihatinan yang
mendalam untuk kesejahteraan klien.

Acceptance merupakan suatu motivasi spontan dan juga memiliki sifat


altruistik, dalam arti konselor memang mengusahakan kesejahteraan psikologis
klien dan tidak mengeksploitasinya. Acceptance juga bersifat tidak menilai,
dalam arti konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh klien.

a) Cara Mengembangkan Acceptance:

1. Hargai diri sendiri


Menaruh respek kepada orang lain harus dimulai dari diri sendiri. Hargai
diri sendiri dengan menyadari bahwa Anda memiliki hak sebagai individu dan
kebebasan untuk mengambil keputusan. Menghargai diri sendiri berarti
menggunakan hak tersebut untuk menerapkan batasan dalam menjaga kesehatan
dan memenuhi kebutuhan hidup. Anda adalah satu-satunya orang yang
bertanggung jawab atas diri sendiri, tindakan, dan perasaan Anda, bukan orang
lain.
· Ini berarti Anda boleh menolak permintaan orang lain tanpa merasa bersalah
atau bersikap negatif.
· Jika seseorang tidak menghomati Anda dan mengabaikan harkat Anda sebagai
manusia, Anda berhak mengatakan, "Jangan berbicara seperti itu kepadaku" atau
"Jangan menyentuhku."

2. Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan.


Jika Anda ingin agar orang lain bersikap baik kepada Anda, bersikaplah
baik kepada semua orang. Jika Anda ingin orang lain berbicara dengan tenang
kepada Anda, berbicaralah dengan tenang kepada semua orang. Apabila
seseorang berperilaku buruk kepada Anda, jangan berperilaku buruk kepada
orang lain. Ucapkan dan lakukan hal-hal positif seperti yang Anda harapkan dari
orang lain.
· Contohnya: jika seseorang membentak Anda, tanggapi dengan nada suara yang
tenang dan kata-kata yang penuh pengertian.

3. Tempatkan diri sendiri di posisi orang lain.


Anda akan kesulitan menghargai perspektif orang lain apabila Anda tidak
bisa memahami apa yang mereka rasakan dan alami. Contohnya: kalau Anda
sedang berkonflik dengan teman, bayangkan apa yang Anda rasakan jika
mengalami hal yang sama. Cara ini membuat Anda mampu berempatisehingga
lebih mudah memahami perspektifnya dan memberikan respons yang simpatik.
· Empati adalah keterampilan yang bisa dikembangkan dengan berlatih. Anda
akan semakin terhubung dengan orang lain jika Anda mampu memahaminya.
· Contohnya: jika ada hal yang belum Anda mengerti atau sedang berbeda
pendapat dengan seseorang, mintalah ia menjelaskan atau memberikan contoh.

4. Hormati harkat dan martabat setiap orang


Anda harus menghormati semua orang, bukan hanya orang yang Anda
sukai. Hargai hak asasi setiap orang, terlepas dari latar belakang atau cara ia
memperlakukan Anda. Walaupun Anda kecewa atau marah kepada seseorang, ia
tetap layak dihormati.
· Apabila Anda kesulitan mengendalikan perilaku sehingga ingin melontarkan
kata-kata yang kasar atau menyakitkan, bernapaslah dalam-dalam beberapa kali.
Cara ini membantu Anda menunda berbicara agar sempat menenangkan diri.
Comier dan Comier (1985) menyajikan empat komponen dalam penghargaan
positif yaitu komitmen kepada klien, pemahaman (understanding) terhadap
klien, sikap untuk tidak memberikan pertimbangan kristis (mencela), dan
mengekspresikan kehangatan secara tepat.
1. Komitmen
Komitmen konselor ditunjukkan oleh tindakan seperti memenuhi janji tepat
waktu, menjamin kerahasiaan, menjaga kepercayaan, dan menggunakan
keterampilan-keterampilan untuk membantu klien.
2. Pemahaman
Konselor dapat menunjukkan usaha memahami klien dengan berempati, atau
bertanya untuk memperoleh informasi penting dari klien. Konselor juga dapat
menyampaikan pemahamannya melalui respon-respon mendengarkan seperti
merefleksi pesan-pesan klien.
3.Sikap yang tidak menghakimi
Konselor mampu memberikan pertimbangan terhadap motif-motif dan tindakan
klien dan mencegah untuk menyalahkan atau memaafkan pikiran, perasaan atau
tindakan klien. menyampaikan sikap tersebut melalui penerimaan yang hangat
terhadap ekspresi dan pengalaman-pengalaman klien tanpa celaan atau kecaman.
4. Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu kedekatan psikologis antara konselor dan klien
yang ditandai adanya kontak mata, perasaan bersahabat, ramah, mudah senyum
serta menunjukkan adanya kepedulian dan perhatian yang mendalam terhadap
klien.

b) Contoh Sikap Respek

1. Klien menyatakan “Saya tidak dapat menipu istri saya. Saya mencintainya,
tapi saya membutuhkan wanita lain.”
Konselor yang menghargai dan respek akan memberikan respon “Anda merasa
terjebak diantara perasaan Anda kepada istri dan kebutuhan Anda pada wanita
lain.”
2. Konselor juga dapat menunjukan sikap respek melalui perilaku nonverbal
seperti tersenyum, lembut, mendengarkan, melihat langsung ke mata klien
dengan sorotan mata lembut, tangan terbuka, rileks dan condong ke arah klien.

D. Opened-Mindedness (Pikiran Terbuka)

Opened-Mindedness, atau pikiran terbuka, adalah suatu kemampuan berpikir


yang terbuka terhadap semua bentuk informasi, gagasan, opini, ide, dan
argumen. Dalam konteks konseling, Opened-Mindedness sangat penting agar
konselor dapat mempertimbangkan perspektif lain dan mencoba pengalaman
baru. Berikut beberapa ciri khas orang yang memiliki Opened-Mindedness:

1. Terbuka dengan pendapat, gagasan, ide, argumen, dan pemikiran


orang lain.
2. Tidak takut mengemukakan pendapat dan pemikiran sendiri.
3. Berani untuk mengambil risiko.
4. Punya rasa empati dan sikap rendah hati yang tinggi.
5. Meyakini kalau setiap orang punya hak untuk mengatakan apa yang
sedang dipikirkan.

a) Cara Mengembangkan Opened-Mindedness

1. Menerima Ketidaktahuan: Memiliki banyak hal yang tidak diketahui


tidak lantas menjadikan dirimu kurang pandai. Sebaliknya, kamu justru
akan memiliki pola pikir dan pandangan yang lebih terbuka melalui
ketidaktahuan tersebut.
2. Introspeksi Diri: Jika sebelumnya kamu merasa sulit untuk menerima
opini dan saran orang lain terhadap diri sendiri, cobalah untuk memulai
melakukan introspeksi. Tanyakan pada dirimu, mengapa kamu tidak
berkenan dengan saran tersebut, atau adakah sisi positif yang bisa kamu
dapatkan dengan menerima saran tadi.
3. Menemukan Perbedaan: Selain itu, kamu juga bisa mulai melebarkan
relasi dengan orang yang memiliki suku, budaya, agama, dan latar
belakang yang tidak sama denganmu. Cara ini bisa membuat kamu
toleran dan terbiasa terhadap perbedaan, sehingga menerima bahwa
hidup tidak selalu sama dalam segala hal.

b) Contoh Opened-Mindedness:

1. Menerima Ketidaktahuan Diri Sendiri: Menerima bahwa kamu tidak


mengetahui suatu informasi sehingga tidak perlu menyangkal atau justru
tidak terima. Hal ini akan membuatmu mampu menerima informasi
tersebut dan menyerapnya sebagai pengetahuan baru
2. Mengembangkan Empati: Mengembangkan rasa empati untuk orang
lain, memahami bagaimana orang lain berpikir dan merasa, serta mau
mempertimbangkan bagaimana pemikiran orang lain terhadap suatu hal
3. Menjadi Orang yang Terbuka: Menjadi orang yang terbuka dengan
pendapat, gagasan, ide, argumen, dan pemikiran orang lain, serta mau
mempertimbangkan perspektif lain atau mencoba pengalaman baru
4. Mengembangkan Kesadaran Tentang Diri Sendiri: Mengembangkan
kesadaran tentang diri sendiri, memiliki pemahaman diri sendiri, dan
memiliki kesehatan psikologis yang baik
5. Menjadi Bijaksana: Menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan dan
sikap, serta mau mendengar opini atau sudut pandang orang lain yang
berbeda maupun yang tidak sesuai dengan pemikiran sendiri

Dengan mengembangkan Opened-Mindedness, konselor dapat


meningkatkan kemampuan berpikir yang terbuka dan rasional, serta
meningkatkan kemampuan untuk mempertimbangkan perspektif lain dan
mencoba pengalaman baru.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konselor yang efektif harus memiliki beberapa karakteristik penting, seperti
empati, genuineness, acceptance, opened-mindedness, dan cognitive complexity.
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang
lain, sedangkan genuineness atau ketulusan adalah suatu sifat yang menunjukkan
keutuhan pribadi seorang konselor. Acceptance adalah suatu motivasi spontan dan
juga memiliki sifat altruistik, yang memungkinkan konselor untuk mengusahakan
kesejahteraan psikologis klien tanpa mengeksploitasinya. Opened-mindedness adalah
suatu kemampuan berpikir yang terbuka terhadap semua bentuk informasi, gagasan,
opini, ide, dan argumen, sedangkan cognitive complexity adalah suatu proses yang
memungkinkan konselor untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kebutuhan
klien. Dengan mengembangkan karakteristik ini, konselor dapat meningkatkan
kemampuan berpikir yang terbuka dan rasional, serta meningkatkan kemampuan
untuk mempertimbangkan perspektif lain dan mencoba pengalaman baru.
DAFTAR PUSTAKA
Fenti Hikmaati. 2011. Bimbingan Konseling. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hartono,
Boy Soedarmadji. 2012. Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prayitno, Erman
Amti. 2009. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta Retno
Tri Hariastuti. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Surabaya: University
Press Retno Tri Hariastuti. 2007. Keterampilan-keterampilan Dasar dalam
Konseling. Surabaya: University Press Sumadi
Suryabrata. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai