Kel 1 Inovasi
Kel 1 Inovasi
Kel 1 Inovasi
PENDAHULUAN
Di dalam dunia pendidikan seorang guru
di harapkan mampu memberikan pengajaran
yang baik di dalam kelas, karena peran seorang
guru sangat mempengaruhi mutu pendidikan
dan hasil belajar yang akan di capai oleh peserta
didik. Namun masih banyak sekali guru – guru
yang belum melakukan perubahan dalam cara
pengajaran di dalam kelas yang mengikuti zaman
dan menyesuaikan karakterristik pesertadidik.
(Menurut Duhwi Indartingsih tahun Vol 5, No5,
tahun (2020) Salah satu faktor yang
mempengaruhi mutu Pendidikan di suatu negara
adalah kualitas guru karena guru adalah jantung
Pendidikan. Jika Indonesia memiliki guru yang
berkualitas, pendidikan nasional juga akan
berkualitas sejalan dengan Andi Sadrian tahun
(2023) Di abad 21 atau yang lebih dikenal
dengan era digital perkembangan teknologi yang
semakin pesat berdampak pada perkembangan
dunia pendidikan).
Hal tersebut juga tidak lepas dari adanya
tantangan guru di era digital yang semakin
kompleks dan berat. Kemampuan guru pada era
digital harus bisa lebih upgrade dalam
penggunaan teknologi dibandingkan peserta
didiknya. Sebab, penggunaan teknologi dalam
penerapan pembelajaran sangat berguna untuk
menunjang pembelajaran yang berkualitas.
Banyak sekali guru – guru yang merepkan
inovasi pendidikan di kelas atau biasa disebut
mengikuti pengajara zaman dulu seharusnya guru
menerpakan inovasi dari segi strategi, model,
metode, pendekatan, tak – tik , teknik, media
pembelajaran. (Menurut temuan Kristiawan
(2014) Guru sekarang masih banyak memakai
produk 80an, sementara muridnya sudah
memakai produk kontemporer dan Menurut R.
Rupnidah & Dadan Suryana tahun (2022) Media
pembelajaran merupakan aspek penting yang
menunjang proses belajar bagi anak usia dini
agar dapat mengembangkan semua aspek-aspek
perkembangan untuk persiapan pendidikan pada
jenjang selanjutnya).
Berdasarkan paragraf di atas dalam
sebuah lingkungan pendidikan guru berperan
penting dalam menjalankan pendidikan tersebut
berlangsung. Dimulai dari menelaah kurikulum
yang ditentukan pemerintah, pelaksanaan silabus,
dan hingga mencari cara efektif dalam mencapai
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tentunya
guru harus menyesuaikan cara tersebut dengan
perkembangan zaman dan juga tuntutan
pendidikan di era ini.
2. SISWA
3. KURIKULUM.
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi
kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan
perangkatnya, merupakan pedoman dalam
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Kurikulum sekolah merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di
sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi
pendidikan, kurikulum memegang peranan yang
sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan.
Tanpa kurikulum, inovasi pendidikan tidak akan
berjalan sesuai dengan tujuan inovasi. Oleh karena
itu, dalam inovasi pendidikan, semua perubahan
yang hendak diterapkan harus sesuai dengan
perubahan kurikulum. Dengan kata lain, perubahan
kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan
dan tidak mustahil perubahan keduanya akan
berjalan searah.
Inovasi kurikulum adalah gagasan atau
praktik kurikulum baru dengan mengadopsi bagian-
bagian yang potensial dari kurikulum tersebut
dengan tujuan memecahkan masalah atau mencapai
tujuan tertentu.
Inovasi berkaitan dengan pengambilan
keputusan yang diambil, baik menerima maupun
menolak hasil dari inovasi. Ibrahim (1988: 71-73)
menyebutkan bahwa tipe keputusan inovasi
pendidikan – termasuk di dalamnya inovasi
kurikulum– dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
(a) keputusan inovasi pendidikan opsional, yaitu
pemilihan menerima atau menolak inovasi
berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh individu
secara mandiri tanpa bergantung atau terpengaruh
dorongan anggota sosial lain; (b) keputusan inovasi
pendidikan kolektif, yaitu pemilihan menerima dan
menolak inovasi berdasarkan keputusan yang dibuat
secara bersama atas kesepakatan antaranggota sistem
sosial; (c) keputusan inovasi pendidikan otoritas,
yaitu pemilihan untuk menerima dan menolak
inovasi yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok
orang yang mempunyai kedudukan, status,
wewenang, dan kemampuan yang lebih tinggi
daripada anggota lain dalam sistem sosial; (d)
keputusan inovasi pendidikan kontingen, yaitu
pemilihan untuk menerima atau menolak keputusan
inovasi pendidikan baru dapat dilakukan setelah ada
keputusan yang mendahuluinya.
4. FASILITAS.
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana
pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam proses
pendidikan khususnya dalam proses belajar
mengajar. Dalam inovasi pendidikan, fasilitas ikut
memengaruhi kelangsungan inovasi yang akan
diterapkan. Tanpa fasilitas, pelaksanaan inovasi
pendidikan tidak akan berjalan dengan baik.
B. BENTUK-BENTUK INOVASI
PENDIDIKAN
Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu
hangat dibicarakan dari masa ke masa. Isu ini selalu
muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi
pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah
model inovasi yang baru, yaitu sebagai berikut.
1. Top-down Model Top-down model,
yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh
pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang
diterapkan kepada bawahan, seperti halnya inovasi
pendidikan yang dilakukan oleh Kemendiknas dan
Kemenag selama ini.
Inovasi pendidikan seperti yang dilakukan di
Depdiknas yang disponsori oleh lembaga-lembaga
asing cenderung merupakan “topdown inovation”.
Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai
usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau
pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk
meningkatkan efisiensi dan sebagainya.
Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan
kepada bawahan dengan cara mengajak,
menganjurkan, bahkan memaksakan suatu perubahan
untuk kepentingan bawahannya. Bawahan tidak
punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas
adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru
Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru
Pamong, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul,
Sistem Belajar Jarak Jauh, dan lain-lain.
Inovasi pendidikan yang berupa top-down
model tidak selamanya berhasil dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh banyak hal antara lain penolakan
para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan
secara penuh, baik dalam perencananaan maupun
pelaksanaannya.
2. Bottom-up Model
yang lebih berupa bottom-up model dianggap
Inovasi sebagai suatu inovasi yang langgeng dan
tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan
pencipta sama-sama terlibat, mulai dari perencanaan
sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu, masing-
masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan
suatu inovasi yang mereka ciptakan.
Bottom-up model adalah model inovasi dan
hasil ciptaan dari bawah serta dilaksanakan sebagai
upaya meningkatkan penyelenggaraan dan mutu
pendidikan. Model inovasi yang diciptakan
berdasarkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari
sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya
disebut model Bottom-Up Innovation. Ada inovasi
yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut
dengan Bottom-Up Innovation. Model ini jarang
dilakukan di Indonesia karena bersifat sentralistis.
Pembahasan tentang model inovasi seperti
model Top-Down dan Bottom-Up telah banyak
dilakukan oleh para peneliti dan para ahli
pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang
inovasi pendidikan yang dilakukan, misalnya
perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar.
White (1988: 136-156) menguraikan beberapa aspek
yang berkaitan dengan inovasi, seperti tahapan-
tahapan dalam inovasi, karakteristik inovasi,
manajemen inovasi, dan sistem pendekatannya.
Di samping kedua model yang umum
tersebut, ada hal lain yang muncul tatkala
membicarakan inovasi pendidikan, yaitu: (1)
kendalakendala, termasuk resistensi dari pihak
pelaksana inovasi, seperti guru, siswa, masyarakat
dan sebagainya; (2) faktor-faktor seperti guru, siswa,
kurikulum, fasilitas, dan dana; (3) lingkup sosial
masyarakat.
2. Tahap Bujukan
Pada tahap persuasi dari proses keputusan
inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi
atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada
tahap pengetahuan, proses kegiatan mental yang
utama bidang kognitif. Pada tahap persuasi, proses
kegiatan mental yang berperan utama adalah bidang
afektif atau perasaan. Seseorang tidak dapat
menyenangi inovasi sebelum tahu lebih dulu tentang
inovasi.
Dalam tahap persuasi lebih banyak keaktifan
mental yang memegang peran. Seseorang akan
berusaha mengetahui lebih banyak tentang inovasi
dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada
tahap ini, berlangsung seleksi informasi disesuaikan
dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah,
peranan karakteristik inovasi dalam memengaruhi
proses keputusan inovasi.
Dalam tahap persuasi juga sangat penting peran
kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan
penerapan inovasi masa datang. Diperlukan
kemampuan untuk memproyeksikan penerapan
inovasi dalam pemikiran berdasarkan kondisi dan
situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental
itu, diperlukan gambaran yang jelas tentang cara
pelaksanaan inovasi, jika mungkin sampai pada
konsekuensi inovasi.
Hasil tahap persuasi yang utama adalah adanya
penentuan menyenangi atau tidak menyenangi
inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan
mengarahkan proses keputusan inovasi. Dengan
dengan kata lain, ada kecenderungan kesesuaian
antara menyenangi inovasi dengan menerapkan
inovasi.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya antara sikap
dengan aktivitas masih ada jarak. Orang yang
menyenangi inovasi belum tentu menerapkan
inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara
pengetahuansikap dengan penerapan (praktik).
Misalnya, seorang guru mengetahui metode diskusi,
mengetahui cara menggunakannya, dan senang
menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan
karena faktor tempat duduknya tidak memungkinkan,
jumlah siswanya terlalu besar, dan merasa khawatir
bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai
dengan batas waktu yang ditentukan. Perlu ada
bantuan pemecahan masalah.
3. Tahap Keputusan
Tahap keputusan dari proses inovasi berlangsung
jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarah
untuk menetapkan menerima atau menolak inovasi.
Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan
menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak
akan menerapkan inovasi.
Sering terjadi seseorang menerima inovasi
setelah ia mencoba lebih dahulu atau mencoba
sebagian kecil lebih dahulu, kemudian dilanjutkan
secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil sesuai
dengan yang diharapkan. Inovasi yang dapat dicoba
bagian demi bagian akan lebih cepat diterima. Akan
tetapi, tidak semua inovasi dapat dicoba dengan
dipecah menjadi beberapa bagian.
Dalam kenyataannya, pada setiap tahap dalam
proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan
inovasi. Misalnya, penolakan dapat terjadi pada awal
tahap pengetahuan, tahap persuasi, atau setelah
konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi, yaitu: (1)
penolakan aktif, artinya penolakan inovasi setelah
mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau
mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan akhir
menolak inovasi, dan (2) penolakan pasif, artinya
penolakan inovasi tanpa pertimbangan.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara
pengetahuan, persuasi, dengan keputusan inovasi
sering berjalan bersamaan. Satu dengan yang lain
saling berkaitan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu
dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan:
pengetahuan keputusan inovasi kemudian persuasi.
4. Tahap Implementasi
Tahap implementasi dari proses keputusan
inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan
inovasi. Dalam tahap impelementasi berlangsung
keaktifan, baik mental maupun perbuatan. Keputusan
penerima gagasan atau ide dibuktikan dalam praktik.
Pada umumnya, implementasi mengikuti hasil
keputusan inovasi. Akan tetapi, dapat juga terjadi
karena sesuatu hal, seseorang sudah memutuskan
menerima inovasi, tetapi tidak diikuti implementasi.
Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan
yang tidak tersedia.
Tahap implementasi berlangsung dalam waktu
yang sangat lama, bergantung pada keadaan inovasi.
Suatu tanda bahwa tahap implementasi inovasi
berakhir jika penerapan inovasi sudah melembaga
dan menjadi halhal yang bersifat rutin atau
merupakan hal yang baru lagi.
Halhal yang memungkinkan terjadinya reinvensi
antara inovasi yang sangat komplek dan sukar
dimengerti, penerima inovasi kurang dapat
memahami inovasi karena sukar untuk menemui
agen pembaharu, inovasi yang memungkinkan
berbagai kemungkinan komunikasi, apabila inovasi
diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat
luas, kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh
suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan re-
invensi.
5. Tahap Konfirmasi
Dalam tahap konfirmasi, seseorang mencari
penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya
dan dapat menarik kembali keputusannya jika
diperoleh informasi yang bertentangan dengan
informasi semula. Tahap konfirmasi sebenarnya
berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi
keputusan menerima atau menolak inovasi yang
berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas.
Selama dalam konfirmasi, seseorang berusaha
menghindari terjadinya disonansi, paling tidak
berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang
antara lain disebabkan terjadinya ketidakseimbangan
internal. Orang itu merasa dalam dirinya ada sesuatu
yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut
disonansi, sehingga orang itu merasa tidak enak. Jika
merasa dalam dirinya terjadi disonansi, ia akan
berusaha menghilangkannya atau menguranginya
dengan cara mengubah pengetahuan, sikap, atau
perbuatannya. Dalam hubungannya dengan difusi
inovasi, usaha mengurangi disonansi dapat dilakukan
dengan cara berikut.
a. Apabila seseorang menyadari suatu kebutuhan
dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan, misalnya dengan mencari informasi
tentang inovasi. Hal ini terjadi pada tahap
pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
b. Apabila seseorang tahu tentang inovasi dan telah
bersikap menyenangi inovasi tersebut, tetapi
belum menetapkan keputusan untuk menerima
inovasi maka ia berusaha untuk menerimanya,
untuk mengurangi adanya disonansi antara yang
disenangi dan diyakini dengan yang dilakukan.
Hal ini terjadi pada tahap keputusan inovasi, dan
tahap implementasi dalam proses keputusan
inovasi.
c. Setelah seseorang menetapkan menerima dan
menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk
menolaknya, disonansi ini dapat dikurangi
dengan cara tidak melanjutkan penerimaan dan
penerapan inovasi (discontinuing). Ada
kemungkinan juga seseorang yang telah
menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian
diajak untuk menerimanya maka usaha
mengurangi disonansi dengan cara menerima
inovasi (mengubah keputusan semula).
Perubahan ini terjadi (tidak meneruskan inovasi
atau mengikuti inovasi terlambat) pada tahap
konfirmasi dari proses keputusan inovasi.
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut,
berkaitan dengan perubahan tingkah laku seseorang
sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan
sangat erat hubungannya, bahkan sukar dipisahkan
karena yang satu memengaruhi yang lain. Itulah
sebabnya, dalam kenyataan kadangkadang sukar
untuk mengubah keputusan yang sudah terlanjur
mapan dan disenangi, walaupun secara rasional
diketahui ada kelemahannya. Karena sering terjadi
untuk menghindari timbulnya disonansi, itu hanya
berubah mencari informasi yang dapat memperkuat
keputusannya. Dengan kata lain, orang itu
melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi
(selective exposure).
Untuk menghindari terjadinya drop out dalam
penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue)
peranan agen pembaharu sangat dominan. Tanpa
monitoring dan penguatan, seseorang akan mudah
terpengaruh pada informasi negatif tentang inovasi.
D. Tipe Keputusan Inovasi
Inovasi dapat diterima atau ditolak oleh
seseorang (individu) sebagai anggota sistem sosial,
atau oleh keseluruhan anggota sistem sosial, yang
menentukan untuk menerima inovasi berdasarkan
keputusan bersama atau berdasarkan paksaan
(kekuasaan). Dengan dasar kenyataan tersebut, dapat
dibedakan adanya beberapa tipe keputusan inovasi.