Review Hasil Hasil Penelitian Ekologi Pa

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 43

REVIEW HASIL-HASIL PENELITIAN EKOLOGI PADA EKOSISTEM PESISIR

PANTAI

Nurul Azizah El Fath1


1
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang 29111

Ekosistem Hutan Mangrove

1 Judul ANALISIS KUALITAS AIR EKOSISTEM MANGROVE DI


ESTUARI PERANCAK, BALI
Peneliti Susiana
Metode 2.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan
bulan Maret 2011 bertempat estuari Perancak, Bali. Analisis
data dilakukan pada Balai Riset dan Observasi Kelautan
(BROK), Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

2.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dibedakan
atas 3 (tiga) parameter yang diamati, yakni parameter sedimen
menggunakan Eickman Grap dan saringan 500 nm untuk
mengambil sedimen, serta kantong plastik sebagai bahan
penyimpanan sampel. Parameter fisika menggunakan
termometer untuk mengukur suhu perairan. Parameter kimia,
terdiri atas salinitas menggunakan refraktometer, pH
menggunakan pH meter digital, DO
menggunakan DO meter, dan Nitrat dan Ammonia
menggunakan spektrofotometer.

2.3. Metode Kerja


2.3.1. Penentuan Zona Pengamatan
Zona pengamatan ditetapkan secara purposive pada 2 (dua)
lokasi yang berbeda. Untuk zona 1 merupakan kawasan
mangrove alami dan zona 2 merupakan kawasan mangrove
rehabilitasi. Masing-masing zona terdiri atas 4 (empat) stasiun,
setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) sub-stasiun pengamatan,
masing- masing berukuran 10m2 yang dibedakan menurut
karakter lokasi dekat muara, pertengahan dan jauh dari laut dan
atau sungai.
Gambar 1. Lokasi Penelitian pada Balai Riset dan Observasi
Kelautan, Kabupaten Jembrana, Bali,

2.3.2. Prosedur Pengambilan Data


Pengambilan data, dilakukan pada setiap stasiun pengamatan
yang telah ditentukan. Sementara pada masing-masing sub-
stasiun ditetapkan areal pengamatan sebesar 10m2. Sementara
itu pada setiap stasiun tersebut ditentukan sub-stasiun
pengamatan menggunakan plot (transek) area ukuran 1 m2.
Ploting area tersebut dijadikan tempat untuk pengambilan data
meliputi pengukuran insitu kualitas air meliputi DO, salinitas,
suhu dan pH dan pengambilan sampel tanah dan air untuk
pengamatan tekstur tanah dan pengukuran nitrat (NO3) dan
ammonia (NH4) di laboratorium.

2.3.2.1. Data Kualitas Air


Pengambilan sampel air laut dilakukan berdasarkan periode
pasang–surut air laut agar diketahui fluktuasi kualitas air
berdasarkan Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan

Gambar 2. Plot atau transek kuadrat yang digunakan dalam


penelitian

2.3.2.2. Data Tekstur Tanah


Data tekstur tanah berupa sedimen hanya diambil pada waktu
periode surut air, dengan bantuan alat Eickman Grap. Sampel
tanah yang diambil pada setiap stasiun diuji di Laboratorium
Tanah, BROK Jembrana, Bali untuk melihat komposisi fraksi
pasir, debu dan liat.

Ringkasan Penelitian Kualitas dan Perairan Mangrove


diketahui bahwa parameter kualitas air di daerah mangrove
alami relatif berfluktuasi cukup tinggi. Hal ini terlihat dari
range fluktuasi yang cukup lebar yakni konsentrasi DO
berkisar antara 1,75–3,54 mg/l pada saat surut dan pasang.
Konsentrasi nitrat berkisar antara 0,1391–0,4037 mg/l. Kadar
pH relatif konstan, yakni berkisar antara 7,99–8,13.
Konsentrasi nitrat berkisar antara 0,0539–0,1423 mg/l, dengan
kandungan salinitas dan suhu masing-masing berkisar antara
20,16-38,27 ‰ dan 29,08–30,5 oC. Sementara kualitas air pada
daerah mangrove rehabilitasi ditemukan dengan nilai kisaran
sempit antar setiap parameter yang diukur.
Kualitas air relatif berpengaruh terhadap kerapatan jenis
mangrove (Tis'in, 2008). Berdasarkan pernyatan tersebut dan
hasil pengukuran kualitas air dapat dikatakan bahwa pada
daerah mangrove alami di setiap stasiun pengamatan
memungkinkan adanya fluktuasi unsur hara yang dibutuhkan
mangrove. Hal ini di duga karena pada daerah mangrove alami
terletak dekat muara sungai, dengan demikian fluktuasi
kualitas air terjadi dengan baik. Hal ini terjadi melalui aliran air
sungai pada saat pasang surut air. Kondisi perairan tersebut
memungkinkan mangrove memiliki tingkat kerapatan jenis
tinggi. Kondisi perairan tersebut memungkinkan mangrove
memiliki tingkat kerapatan jenis tinggi. Namun kondisi
tersebut tidak terjadi pada daerah mangrove rehabilitasi, Jurnal
Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)
Volume 8 Edisi 1 (Mei 2015) 46 oleh karena kerapatan
mangrove yang tinggi sengaja dilakukan melalui penanaman.
Namun demikian, parameter kualitas air relatif berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup mangrove (Susiana, 2011).
Perbedaan parameter kualitas air antara daerah mangrove alami
dan mangrove rehabilitasi diduga karena faktor lokasi.
Mangrove alami berada dekat dengan muara sungai, sementara
mangrove rehabilitasi berada relatif jauh dari muara sungai.
Keberadaan muara sungai sekitar mangorve berpengaruh
terhadap kepadatan gastropoda dan bivalvia yang berasosiasi
(Susiana, 2011). Dengan demikian, perombakan bahan organik
dalam hal ini nitrat oleh mikroorganisme yang menghasilkan
senyawa asam organik berbeda antara kedua lokasi.
Perombakan bahan organik tersebut berpotensi menurunkan
pH (Tis'in, 2008). Hal ini terlihat dari pH pada mangrove
rehabilitasi yang relatif konstan atau tidak memiliki kisaran
yang luas, sementara pada mangrove alami memiliki kisaran
yang relatif lebar.

Fraksinasi Sedimen Mangrove


Berdasarkan hasil pengamatan fraksi sedimen mangrove pada
ke-empat stasiun pengamatan, baik pada mangrove alami
maupun mangrove rehabilitasi ditemukan substrat lempung
berdebu. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mangrove
alami maupun rehabilitasi, tumbuh pada kondisi substrat
lempung berdebu.
Komposisi fraksi liat sedimen mangrove alami dan rehabilitasi
dengan persentase berkisar antara 27,15-50,35%. Persentase
tertinggi ditemukan pada sub-stasiun IV kondisi mangrove
rehabilitasi didominasi jenis mangrove Rhizophora stylosa dan
Avicennia alba, sementara presentase kandungan pasir
sedimen mangrove alami dan rehabilitasi berkisar antara 5,17-
28,83% didominasi mangrove jenis Rhizophora sp. dan
Avicennia alba.
Secara umum, fraksi sedimen pada daerah mangrove alami
lebih didominasi oleh debu dan liat dengan komposisi yang
cenderung konstan. Hal ini diduga turut mempengaruhi
kualitas air di areal pengamatan khususnya nitrat, ammonia dan
pH. Sementara pada daerah mangrove rehabilitasi, komponen
pasir dan liat dalam porsi yang relatif kecil dibanding dengan
daerah mangrove alami dengan komposisi relatif fluktuatif.
Komposisi sedimen mempengaruhi jenis dan jumlah tumbuhan
mangrove yang hidup. Oleh karena tumbuhan mangrove
memiliki bentuk perakaran berbeda pada setiap jenis substrat,
hal ini semakin menegaskan bahwa bentuk perakaran tersebut
merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap jenis substrat.
Fraksi sedimen dengan komposisi yang relatif stabil
didominasi mangrove jenis Rhizophora stylosa dan
Rhizophora mucronata (Susiana, 2011). Selanjutnya dikatakan
bahwa persentase fraksi pasir pada mangrove alami dan
rehabilitasi berkisar antara 7,18-16,93% tumbuh mangrove
jenis Rhizophora sp. dan Avicennia alba Menurut Reid (1986).
zonasi bakau dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan
antara lain pasang surut, curah hujan dan sedimentasi substrat
(Pulungsari, 2004).

2 Judul TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE DI PERAIRAN


DESA BERAKIT, PULAU BINTAN, INDONESIA
Peneliti Susiana dan Mario Putra Suhana
Metode 2.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus– Nopember 2019.
Pengambilan data lapangan dilakukan di perairan Desa Berakit,
Pulau Bintan

2.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian meliputi GPS (Global
Positioning System) untuk menentukan posisi/titik koordinat di
lapangan, perahu digunakan sebagai alat transportasi menuju
lokasi penelitian, kompas untuk menentukan arah transek garis,
rool meter untuk membuat transek garis dan menentukan jarak
antara plot transek, tali untuk membuat transek kuadran 10x10
m2, buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor
et al., 2006) untuk identifikasi tumbuhan mangrove, pensil dan
under water paper digunakan untuk mencatat hasil pengukuran
di lapangan, kamera untuk dokumentasi di lapangan.

2.3. Prosedur Penelitian


Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni
penyiapan alat-alat dan bahan yang akan digunakan selama
kegiatan penelitian, dan pengumpulan data skunderlainnya
melalui survei. Survei awal dilakukan untuk mendapatkan
gambaran umum tentang lokasi penelitian dan dijadikan
referensi pengambilan data. Dilakukan pengambilan titik
koordinat dengan menggunakan GPS dan melihat kondisi
ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Penentuan stasiun
penelitian ditentukan dari hasil klasifikasi yang telah dilakukan
dengan pertimbangan distribusi (sebaran) dan tingkat
kemudahan jangkauan.

Gambar 1. Lokasi penelitian tingkat kerusakan mangrove di


perairan Desa Berakit, Pulau Bintan, Indonesia

2.3.1. Pengambilan Data Lapangan


Untuk memperoleh data kerapatan mangrove maka dilakukan
sampling pada tiap stasiun yang telah ditentukan dengan
menggunakan metode transek garis dan petak contoh (Transect
Line Plot). Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect
Line Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu
ekosistem dengan pendekatan petak contoh yangberada pada
garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut.
Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode
pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki
tingkat akurasi dan ketelitian yang akurat. Pengambilan data
menggunakan plot pengamatan berukuran 10x10 m2 untuk
data vegetasi mangrove yang masuk kategori pohon yang
memiliki diameter batang pohon >4 cm atau keliling lingkar
batang >16 cm dan tinggi >1 m (Dharmawan & Pramudji,
2014). Kemudian mengukur lingkar batang pohon pada
ketinggian dada orang dewasa (±1,3 m) dengan meteran
(Gambar 2).

Gambar 2. Pengukuran vegetasi mangrove. (A) Penentuan


lingkar batang mangrove setinggi dada. (B) Penentuan lingkar
batang mangrove pada berbagai jenis batang pohon (Bengen,
2000).

Selanjutnya mengidentifikasi nama spesies mangrove dari tiap-


tiap spesies yang terdapat pada transek daerah sampling.
identifikasi dilakukan dengan pengamatan secara visual,
menghitung jumlah individu pohon setiap jenis mangrove,
mengukur lingkar batang pohon, dan mengambil gambar
tutupan kanopi. Jenis mangrove yang tidak teridentifikasi di
lapangan kemudian diambil dahan, daun, bunga, dan buahnya
sebagai sampel untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
spesies di laboratorium. Identifikasi jenis mangrove
berpedoman pada buku identifikasi mangrove Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia (Noor et al., 2006) seperti
pada Gambar 3. Buku Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia merupakan buku umum yang digunakan dalam
identifikasi jenis mangrove.

Gambar 3. Lembar identifikasi mangrove yang digunakan


dalam penelitian.
2.3.2. Kerapatan Vegetasi
Tingkat kerapatan vegetasi dan tutupan kanopi dalam
menentukan kondisi mengrove ditentukan dengan
melakukakan klasifikasi ulang (Reclassification) dari hasil
perhitungan indeks vegetasi, dimana tingkat tutupan dan
kerapatan vegetasi mangrove dibagi menjadi tiga kelas yaitu
tingkat kerapatan jarang, sedang, dan padat.

Tabel 1. Keriteria tingkat kerapatan vegetasi mangrove di


perairan Berakit, Pulau Bintan, Indonesia.

Sumber: KEPMEN LH No. 210 (2004).

2.4. Data dan Perhitungan


Data mengenai spesies dan jumlah tegakan selanjutnya diolah
untuk memperoleh keraptan jenis, frekuensi jenis, penutupan
jenis dan indeks nilai penting (INP) dengan rumus sebagai
berikut (Kusmana, 1997; Bengen, 2000; Saru, 2013):
a. Kerapatan Jenis i (Di)
adalah jumlah tegakan jenis i dalam satuan unit area. Kerapatan
relatif dihitung dengan rumus:

Dimana: Di = Kerapatan jenis i (Individu/m2); RDi =


Kerapatan relatif jenis i; ni = Jumlah total tegakan jenis i; A =
Luas total area pengamatan sampel (m2); Ʃn = Jumlah total
tegakan seluruh jenis.

b. Frekunsi Jenis i (Fi)


adalah peluang jenis i dalam plot dihitung dengan rumus:

Dimana: Fi = Frekuensi jenis i; Rfi = Frekuensi jenis relatif


jenis i (%); Pi = Jumlahplot yang ditemukan; Ʃp = Jumlah total
plot yang diamati; Ʃf = Jumlah frekuensi seluruh jenis.

c. Penutupan Jenis i (Ci)


adalah luas penutupan jenis i dalam plot yang dihitung dengan
rumus:
Dimana: Ci = Penutupan jenis dalam satu unit area; Rci =
Penutupan reletif jenis i; BA = Diameter batang; A = Luas total
plot (m2); Ʃc = Jumlah penutupan dari semua jenis; Rci =
Penutupan relatif jenis i (%); DBH= Lingkar batang (cm),
dimana: BA = DBH2/4.

d. Indeks Nilai Penting (INP)


adalah jumlah nilai Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi
relatif jenis (RFi), dan Penutupan relatif jenis (RCi) dihitung
dengan rumus:
Tingkat kerusakan Mangrove di Perairan Desa Berakit

Dimana: Nilai penting jenis mangrove berkisar antara 0–300.

2.5. Analisis Data Hasil


perhitungan data kemudian dianalisis secara deskriptif
komparatif.
Ringkasan penelitian Hasil pengukuran ekosistem mangrove di perairan Berakit,
Pulau Bintan dapat digambarkan dengan kondisi tingkat
kerapatan dan nilai INP mangrove pada masing-masing titik
stasiun yang menjadi lokasi pengamatan. menurut keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 dapat
diketahui tingkat kesehatan ekosistem mangrove yang terdapat
di perairan Berakit meliputi 25 (dua puluh lima) stasiun
penelitian digolongkan dalam kategori sangat padat dengan
demikian kondisi mangrove di perairan Desa Berakit, Bintan
termasuk dalam kriteria Baik.
Hasil pengamatan di lapangan mengkonfirmasi hal ini bahwa
kondisi mangrove masih alami dan belum ada indikasi adanya
perusakan (penebangan) yang signifikan sehingga kondisi
keseluruhan mangrove masih baik. Kondisi mangrove yang
baik dengan kerapatan tinggi mengindikasikan vegetasi
mangrove masih terjaga dari tindakan destruksi (pengrusakan).
Hal ini berbeda dengan beberapa fenomena di dunia, bahwa
mangrove telah mengalami tekanan yang besar akibat adanya
desakan pembangunan sebagaimana dilaporkan Jurn et al.
(2018) bahwa di Grand Cayman pada tahun 2018 vegetasi
mangrove tersisa 1668.9 ha yang dilindungi sementara total
luasan vegetasi mangrove yang hilang mencapai 2.108 ha.
Jenis mangrove yang ditemukan sangat beranekaragam dari
spesies yang hidup di pesisir laut sampai spesies yang hidup di
daratan. Berbagai jenis mangrove yang teridentifikasi secara
berturut-turut adalah Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, Rhizophora lamarckii,
Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, Scyphiphora
hydrophyllacea, Excoecaria agallocha. Tipe substrat yang
ditemukan pada lokasi penelitian ekosistem mangrove di
kawasan perairan Berakit didominasi oleh substrat pasir
berlumpur. Kedua tipe substrat tersebut, mempengaruhi jenis-
jenis mangrove yang tumbuh dan berkembang di kawasan
perairan Berakit. Sebagaimana diketahui jenis mangrove yang
mendominasi lokasi penelitian berasal dari kelompok
Rhizophora. Diketahui bahwa jenis Rhizophora mucronata
memegang peranan penting pada 14 stasiun dengan nilai INP
berkisar antara 117,94% sampai dengan 244,64%. Dengan
kondisi vegetasi tersebut, menyimpan potensi karbon tinggi.
Hal ini sebagaimana dilaporkan bahwa bahwa potensi karbon
yang dimiliki vegetasi mangrove rata-rata mencapai 1,023 Mg
carbon per hektar (Donato et al., 2011). Sementara Alongi et
al. (2016) melaporkan bahwa potensi karbon mangrove di
Indonesia mencapai 159.1 dan 16.7 mg C ha−1. Hal ini penting
mengingat 75% mangroves dunia hanya ditemukan di 15
negara, dan Indonesia termasuk di dalamnya (Giri et al., 2011).
Mangrove di Desa Berakit telah lama menjadi ekosistem
penting diwilayah ini (Kuriandewa & Supriyadi, 2006).
Padahal di daerah Desa Berakit, Bintan pengembangan
ekowisata sedang berkembang sebagaimana dilaporkan
Mulyadi et al. (2017) namun kondisi vegetasi dengan kerapatan
mangrove mencapai 583.59 Individu ha-1, didominasi oleh
spesies Rhizophor.

Ekosistem Terumbu Karang

1 Judul RESPONSES OF HERBIVOROUS FISHES ON CORAL


REEF COVER IN OUTER ISLAND INDONESIA (STUDY
CASE: NATUNA ISLAND)
Peneliti Risandi Dwirama Putra,Ani Suryanti, Dedi Kurniawan,Arif
Pratomo,Henky Irawan,Tengku Said Raja I, Rika Kurniawan,
Ginanjar Pratama,and Jumsurizal
Metode 2.1. Study area
Sampling for the present study occurred from Augustus -
September 2016 distributed on reef location of the north (N) to
the southwest (SW) located in one of outer island Indonesia,
Natuna Island (3°56'31.74" N, 108°12'27.18" E). A total of
eleven survey sites reef were studied in 2016. In general, there
are five sites in South Natuna (SW: 4 sites, SE: 1 site) and six
sites in North Natuna (NE: 3 sites, N: 1 site, NW: 2 sites).
Fig. 1. Map of the study area and sampling sites.

2.2. Characterization of habitat complexity


Habitat complexity was derived from benthic cover based on the
following substrate: hard coral (HC), dead coral (DC) and dead
coral with algae (DCA). A principal focus of percent cover from
3 standard benthic categories HC, DC and DCA of its functional
roles as a key builder of reef structure and a key provider of
complex, rigid habitat for much another reef biodiversity
especially for herbivore fish diversity [25,34]. Cover by
substrate type was evaluated from 11 sites underwater
photographic transects (UPT) [35,36,37] of 50 m length. The
digital photograph was taken parallel on quadrat transect
modification by [38] with dimension 58 x 44 cm at a height of
1.20 m, with approximately 1 m of distance between each photo.
The UPT using Nikon D90 underwater digital camera mounted,
for a total of 50 photos per site and 550 total photos for this
study. The analysis of each photo was carried out using the
software CPCe 4.1 (Coral Point Count with excel extension)
[39] to estimate the percent cover of dominant benthic
categories at each reef sites (live coral, dead coral with algae,
and recently dead coral) [37].

2.3. Reef fish community structure


To record fish species diversity, abundance, and their size length
to estimate biomass, performed diurnal. Diurnal increase in
temperature, as a result of heating, and dissolved oxygen, as a
result of photosynthesis on the reef, seem most likely amongst
environmental variables in diurnal condition correlate with the
feeding activity patterns and herbivore fish abundance [39].
Method to record each observed herbivore fish species with
UVC (Underwater Visual Census) using SCUBA diving
equipment along modification line transects based on [41,42,43]
with 70 m long at 5 – 10 m depth. The observer within 5 m on
either side of transect was identified herbivore fishes. The UVC
method is a nondestructive, capture-independent method,
superior to collection techniques diversity and abundance of reef
fishes although underwater visual censuses require little post-
processing, whereas collections take many hours to complete
[44]. This study was used three families herbivore fish that are
most easily and rapidly identifiable by underwater visual census
methods (Siganidae, Scaridae, and Acanthuridae) [10,45,41].
Herbivore fish species were characterized based on their diet
information and feeding behavior, obtain from extensive
published data [27] This study focuses on four functional groups
of herbivorous reef fishes that each play different and
complementary roles in coral reef resilience: scrapers/small
excavators, large excavators/bio-erodes, grazers/detritivores,
and browsers. For the herbivore fish community: diversity
(number of species), abundance (number of individuals) and
biomass per transect, was calculated using the length-weight
relationship by [10,20].

W= a LTb

Where W is the weight (g), LT the fork length of herbivore fish


(cm) and a and b are coefficients specific to each species from
FishBase data [27]. The total biomass for each station
corresponds to the total weight of all fish per unit area (g/m2).
2.4. Statistical Analysis

2.4.1. Herbivore fish Indices In the present study, the data


herbivore fish were analyzed followed by [46] using Shannon-
Wiener Index (H’), Margalef richness index (d), Pielou‟s
evenness (J’) index and Simpson‟s dominance index (D).

2.4.2. Cluster analysis


Cluster analysis was used to discriminate between herbivore fish
species and the similarity between sites. The zero adjusted Bray-
Curtis Dissimilarity index was chosen for the analysis, as it the
most appropriate distance matrix for non-binary ecology
abundance data [47]. The transformed abundance matrix was
then converted to a Bray-Curtis coefficient similarity matrix and
a resultant dendrogram was generated with of similar quadrat
groupings was based on sites dominant location (North Natuna
and South Natuna) location and used to characterize zones that
were predicted (a priori) to correlate with herbivores fish
abundance. Bray-Curtis coefficient of similarity analysis which
is more robust than techniques using maximum or minimum
distances between sites. Cluster dendrogram provides two types
of p-value: AU (Approximately Unbiased) and BP (Bootstrap
Probability) for assessing the uncertainty in hierarchical cluster
analysis for location habitat.

2.4.3. Meta Data Analysis.


Meta-analysis show effect sizes and confidence intervals from
herbivore fish species community, as well as grazer type overall,
mean effects and confidence intervals from its abundant. Forest
plots from this studies used the meta-analytic equivalent of error
bar or confidence interval plots, and are useful for showing
mean effect size and variation among herbivore fish from grazer
type [48]. Meta-analysis forest plots are drawn with the
dependent qualitative from abundant herbivore fish species (Y)
axis horizontal, while the vertical axis is no quantitative from
herbivore fish grazer (Excavator, Grazer, and Scraper) [49].

2.4.4 Nonmetric multidimensional scaling (nMDS)


Analysis Visuals spatial and temporal patterns in the herbivore
fish family community (Acanthuriade, Siganidae, and Scaridae)
and grazer type (Excavator, Grazer, and Scraper) datasheet were
used Non-metric multidimensional scaling (nMDS) solutions
[50]. nMDS was performed for each site separately, as well as
on spatially and temporally averaged datasets in herbivore fish
communities and grazer types. Both herbivore fish and grazer
type datasets were converted to relative diversity (i.e. row
standardized) prior to analyses. Two dimensions were chosen in
the nMDS and in all ordinations, stress values were less than
0.5. To identify herbivore family that was principally
responsible for determining the grazer type dissimilarities.
Herbivore fish family scores were calculated as weighted
averages of the grazer scores. The weighted averages were
„expanded‟ so that their biased weighted variance was equal to
the biased weighted variance of the corresponding grazer type
[50].

2.4.4 Corresponding Analysis (CA)


Corresponding analysis has been applied to indicate the main
herbivore fish family variable (total biomass and density) factor
in coral reef habitat benthic (Hard Coral, Dead Coral, Dead
Coral Algae) of the study area considering the variable load size
and the relationship between variable and the sampling point
partition based on modification from [51]. Corresponding
analysis is a robust multivariate statistical method of study of
relationships between variables and relationship between. This
analysis is a method to analyze many complicated variables, on
this studies herbivore fish abundance in every family based on
grazer type and coral reef habitat benthic. This variable can be
compressed into two principal component variables.
Subsequently, the relationships between herbivore fish
abundance and coral reef habitat benthic can be easily analyzed
and explained [51,52].

2.4.6 Regression Analysis (RA)


Linear regression was used to investigate the effect on the
relation between herbivore fish total biomass on sampling sites
and coral reef benthic habitat after analyzed from the
corresponding analysis (CA). Regression analysis has a function
to determine the effect of herbivore fish on total biomass
recorded at each site and the main component type of coral reef
habitat benthic [53].

Ringkasan Penelitian We found 21 species from Scaridae family, 6 species from


Acanthuridae, and 9 species from Siganidae family on 11 sites
in Natuna Island. Daisy parrotfish (Chlororus sordidus) from
Scaridae had the highest mean density in the Natuna Island coral
reef ecosystem (17.45 ± 8.93). Other species with significantly
higher density including Java Parrotfish (Scarus hypselopterus)
and Barrhead Spinefoot (Siganus virgatus) have significant
mean density difference (12.27 ± 7.20) and (11.78 ± 7.12)
respectively. The highest biomass herbivore fish in Natuna
Island are Daisy parrotfish (Chlororus sordidus) (with highest
mean density) (2.159 ± 1.535). Orange-blotch Parrotfish
(Chlororus bowersi) have different IUCN status in coral reef
ecosystem habitat with category NT (Near Threatened), another
herbivore fish species categorized as LC (Least-Concerned).
The lowest biomass herbivore fish in Natuna Island are
Steephead Parrotfish (Chlorurus michrohinos) and Scribbled
Rabbitfish (Siganus spinus) with biomass (0.002 ± 0.007) and
(0.003 ± 0.008) respectively.
Dendrogram analysis indicated that the herbivore fish species
mainly responsible for the dissimilarity in abundance between
the sampling sites. Fishing has major effects both directly and
indirectly on the environment, diversity, and productivity of
communities.
Thirty-nine herbivore evaluations were included (11 coral reef
sites and 3 grazer types). Overall form meta-data analysis there
was no statistically significant grazer type‟s bias for included
herbivore evaluations.
nMDs ordination of herbivore fish community showed there is
no clear separation of grazer types. Ellipse representing the
standard deviation of grazer types from herbivore fish family.
nMDS ordination of herbivore fish community and grazer types
revealed a gradient in the structure of theses herbivore fish on
coral ecosystem across his habitat consume alga on a coral reef.
Generally, Grazer/Detrivore was more similar to Scraper/small
excavator types of herbivore fish abundance on coral reef
habitat. However, some herbivore fish family within a particular
grazer type were just as dissimilar to each other as they were to
reefs site in another coral reef ecosystem habitat type such
Excavator. These herbivore family similar related to grazer type
so that herbivore fish diversity within each coral reef site
sampling were generally more similar to each other grazer type
although one species form Scaridae Family Chlorurus
micrhohinos has different grazer type.

2 Judul DETECTION OF REEF SCALE THERMAL STRESS WITH


AQUA AND TERRA MODIS SATELLITE FOR CORAL
BLEACHING PHENOMENA
Peneliti R. D. Putra, M. P. Suhana, D. Kurniawan, M. Abrar, R. M.
Siringoringo, N. W. P. Sari, H. Irawan, E. Prayetno, T.
Apriadi, and A. Suryanti
Metode Some studies recommend using level 3 (4 km) to extract SST
data from MODIS-Aqua and MODIS-Terra directly [29]. The
Sea Surface Temperature (SST) data were derived from
MODIS-Aqua and Terra measurements, downloading from the
ocean-color website:
(https://oceancolor.gsfc.nasa.gov/).

Level 3 (4 km) annually data of SST from 2002 to 2017 for


analysis fluctuation in annual sea surface temperature (SST) to
determine the year with the warmest Sea Surface Temperature
(SST) in the coral reef area. Level 3 (4 km) monthly January
2015 to December 2017 for analysis fluctuation in monthly Sea
Surface Temperature (SST) to determine the month with the
warmest Sea Surface Temperature (SST) and related to coral
bleaching phenomena. All the data applied to our study area in
Riau Islands in the 103o20o30oE – 108o23o0oE and 0o15o30oS –
3o46o50oN.

Interface to Unidata netCDF (Version4)


Sea Surface Temperature (SST) data extraction from Aqua and
Terra MODIS using Interface to Unidata netCDF (Version4)
based on [30]. Interface to Unidata netCDF (Version 4) has
function to read the format netCDF. The netCDF format is
popular in science that analyzes sequential spatial data where
this format provides convenience within self-describing data
format for creating, accessing, and sharing array-oriented
information. Other than that this format has been used today
and is very popular in the field of climatology because the
netCDF format provides spatial time spans such as
meteorological or environmental data. NetCDF (Version4)
provides a high-level R interface to data files written using
Unidata's netCDF library, which are binary data files that are
portable across platforms and include metadata information in
addition to the data sets [30]. Using netCDF (Version 4) in the
extraction of SST from Aqua and Terra MODIS as this method
is high accuracy and effortless to execute large-scale CDF data.
NetCDF files contain one or more variables, this interface
strongly supports data analysis from MODIS satellite for sea
surface temperature (SST) and distributing climate data which
are usually structured as regular Ndimensional arrays.

Forecasting Function for Time Series and Linear Models

To predict 17 months of Sea Surface Temperature use forecast


packages data for R Statistics developed by [31]. Forecasting
Function for prediction intervals of 17 next months of Sea
Surface Temperature (SST) using analysing univariate time
series including exponential smoothing space automatic
ARIMA modelling. This method is generic for prediction
interval for time series models and predicts future values as a
product of several past observations and random errors [32].
Future Sea Surface Temperature (SST) formed using Auto
Regressive Moving Average (ARIMA) model for any process,
such as SST (Tt) with orders p, q denoted as ARIMA (p, q), are
the combination of past values of Tt and past errors based
modified from [33]. The general equation of ARIMA (p, q) for
a time series parameter such as SST (Tt) written as:

Sampling Coral Bleaching Phenomena

Sampling for coral bleaching occurred from June – September


2016 mainly on 4 Island located in Riau Islands (Bintan Island,
Batam Island, Lingga Island and Natuna Island) with Sixty-three
survey sites to direct observe the phenomenon of coral
bleaching.

Figure. 1. A. Map of Riau Island Indonesia showing the location


all sampling coral bleaching site. B More detailed map of Bintan
Island showing the location of the fourteen surveys sites. C. Map
of Lingga Island with eleven survey sites. D. Map of Batam
Island with nineteen survey sites and E. Map of Natuna Island
with nineteen survey sites.

For each sites observer determine the current percentage of coral


bleaching. From 4 islands, one island with the highest
percentage of coral bleaching (%) correlated and analyzed on
Sea Surface Temperature (SST) parameter (oC) using remote
sensing technology with Aqua and Terra MODIS satellites.
Benthic survey from bleaching coral were examined using the
line transect method along 50 meter length use UPT
(Underwater Photo Transect) every one meter with 46 cm x 55
cm transect. Digital photograph were taken parallel on quadrat
transect with dimension 58 x 44 cm at a height of 1.20 m, with
approximately 1 m of distance between each photo based on
studies by [3]. Coral bleaching compositions were analyzed
using Coral Point Counts with Excel Extensions 4.1 (CPCe 4.1)
[34].

Statistical Analysis

Statistical analysis using Polynomial Model Fit Analysis


(PMFA) Regression. PMFA proposes modelling relationship
between Sea Surface Temperature (SST) and coral bleaching in
coral reef ecosystem habitats around an island with the highest
percentage of bleaching using the Simple Random Sampling
(SRS) method. This method estimated the distribution of total
percentage of coral bleaching toward for an island during coral
bleaching incidents. A model of the relationship is hypothesized
and estimates of the parameter values were used to developed
an estimated regression equation from percentage coral
bleaching and SST [35]. Based on [35], polynomial regression
with only one independent variable X can be expressed as:

Where k is the degree of the polynomial from the order of the


model. Effectively, PMFA the same as having a multiple model
equation with X1 = X, X2 = X2, X3 = X3, etc. Difference in
percentage coral bleaching of PMFA from Aqua and Terra
MODIS were analyzed by one-way ANOVA when parametric
assumption can be met.
Table 1. Sites from direct observation the phenomenon of coral
bleaching

Ringkasan Penelitian All survey location in 2016 had coral bleaching incidents. In this
study the highest percentage of coral bleaching incident in the
period of 2016 in Bintan Island (34.57%) with 14 sites and 700
CPCe Photo analyzed. The value of percentage coral bleaching
for Lingga Island, Batam Island and Natuna Island is 6.55 %,
10.07% and 0.95%, respectively. Although Natuna Island had
smallest percentage of coral bleaching but the CPCe photo
analysis had 950 photo sampling similar with Batam Island. The
highest standard deviation value of percentage coral bleaching
from Bintan Island (10.90115) and the smallest standard
deviation value in Batam Island (1.2187).
Time series analysis of monthly cycle Sea Surface Temperature
(SST) based on the ARIMA model shows the periodic cycle of
SST changing repeatedly. The unit phase of the fluctuation SST
monthly cycle shows Sea Surface Temperature (SST) reaches
the minimum temperature during the period December to
January and maximum temperature during the period April to
May. Anomalies in the maximum monthly Sea Surface
Temperature (SST) occurs in May 2016. The monthly trend of
fluctuations Sea Surface Temperature (SST) in Bintan Island
shows every April to May the ocean temperature becomes
warmer and this condition continues until August. This phase
forms the period of an annual long cycle of SST and possibility
give a higher impact of coral bleaching phenomenon in the
future.
Monitoring of coral bleaching phenomena is a major focus study
concerning several cases degradation of coral reefs [18]. Many
methods in analyzing the study of bleaching coral phenomena,
in addition to remote sensing using satellite imagery, several
studies using digital photography analysis methods. If in situ
assessment of coral bleaching is impossible, remote sensing
techniques can be more useful [4]. Over the past three decades,
satellite imagery and Geographic Information Systems (GIS)
are increasingly used for coral reef studies especially coral
bleaching phenomena [36,37].
The results of the study using remote sensing technology,
detection thermal stress on SST using MODIS satellite found
that coral bleaching began to occur around the temperature
range increase (0.43±1.03)oCelcius for the annual analysis of the
last 15 years (2002-2017) and (1,06±2,08) for the average range
temperature increase for monthly analysis. Although remote
sensing is very useful in detecting temperature changes very
quickly, in coral bleaching analysis this method must be
analyzed spatially by analyzing time series. The application of
remote sensing to detect coral bleaching phenomena and habitat
mapping of coral reef is limited by sensor characteristics
(spatial, spectral, temporal resolution) and environmental
complexity (water quality, depth, selective absorption) [4,38].
In a coral bleaching analysis methodology using remote sensing,
cloud cover will be a barrier to satellite image analysis used for
analysis of bleaching percentage on coral reefs, where cloud
cover will disrupt satellite image quality in data processing.
Another method that is more appropriate in the analysis of coral
bleaching phenomena used digital photography analysis
methods [18]. Digital photography method developed a method
to allow quantitative analysis of coral bleaching rates and coral
discoloration by using photographic principles. A Digital
camera with housed in diving case to photo images from a
quadrat transect is mounted. Images from coral bleaching
picture analyzed using computer image analytical techniques
[18]. With major improvements in technology digital
photography, the Underwater Photo Transect (UPT) with
underwater digital photography method has become very
popular and easy in coral reef analysis. Technology from
improvement underwater digital photography gives high-
resolution digital images and easily obtained high-resolution
images of coral bleaching even by amateur divers using simple
tools [18].
Analysis of coastal temperature data over the last three decades
found that about 72% of coastal seas have encountered
significant increases in Sea Surface Temperature (SST), with an
average increase of 0.25oCelsius to 0.13oC per decade [2,39]. A
0.1oC increase in regional SST resulted in a 35% increase in the
number of coral areas bleaching, and mass bleaching events
occurred at regional SST anomalies above 0.2oC. [13]. An
increase in water temperature of just 1°Cecius above the normal
summer mean value of Sea Surface Temperature (SST) is much
more of a physiological pressure on coral reef than a 1°Celcius
drop below the mean value of Sea Surface Temperature (SST)
Coral bleaching phenomena is triggered by several factors:
extreme temperatures including high water temperatures, cold
ocean temperatures (heat shock and cold shock), high heat
radiation, prolonged darkness, heavy metals (especially copper
and cadmium) and bacterial infection from pathogenic micro-
organisms [7,10,11]. Coral changes become bleaching due coral
communities are highly sensitive to changes in water quality,
caused by sediment loads, nutrients and environmental
contaminants particularly warm Temperature [14].
Global sea surface temperature (SST) is closely related to global
climate change that occurred in recent decades [11,15–17]. The
global rise in sea surface temperature through climate change in
an anthropogenic and autogenic system will affect coral reef
ecosystems [12] by the modification in the physical
environment [13]. Climate change causes sea level rise, rising
sea surface temperatures (SST) that cause floods in coastal
areas, increased frequency and intensity of storms, and increase
in tropical ocean temperatures and potentially increase coral
bleaching events and mortality of coral reefs worldwide [4,37].
Along with the global climate changes, atmospheric carbon
dioxide concentration throughout the 20th-century increase
significantly and caused the atmosphere temperature and Sea
Surface Temperature (SST) become higher than before climate
change. As rising atmospheric temperatures over the world's
oceans eventually warmed Sea Surface Temperature (SST) [2].
Coral bleaching is an essential indicator of the health from
threatened coral reefs [18] and this phenomenon has become
increasingly frequent and intense. Long-term impact from this
phenomenon is considering as a serious threat to the survival of
corals reefs in the future [4].
The phenomenon of coral bleaching does not always result in
coral mortality, in many cases can be recovery [8] and their
recovery have studied on a decadal scale [13]. Recovery of
natural coral bleaching depending on other factors, including
local anthropogenic impacts that may interfere with the process
of restoring further coral bleaching.
There are several observations from laboratories and fields
studies reported coral bleaching can be recovery [7,43,44].
Based on the study, corals are unlikely to survive and recover
from bleaching phenomenon unless the coral reef regains the
normal sea surface temperature of 0.2oCelcius - 0.3ocelicius to
thermal tolerance per decade [45]. Thermal tolerance from coral
bleaching case is deciding environmental factor conditions
return to normal, where normal sea surface temperature of
0.2oCelcius - 0.3ocelicius give zooxanthellae return to coral
reefs [1].
Cloud cover established on reef areas can reduce bleaching
stress from high Sea Surface Temperature (SST) rise effect and
provide partial protection from solar radiation [16,41]. The
benefits of natural protection against coral reefs from the effects
of intense solar radiation during the thermal stress period have
been observed in dimensions for large-scale coastal ecosystems,
including turbid water and large cloud cover covering coral
colonies on coral reefs that can help protect coral reefs against
solar radiation naturally during periods of thermal stress [16].

3 Judul PERTUMBUHAN TAHUNAN KARANG GONIOPORA


STOKESI DI PERAIRAN KOTA MAKASSAR
HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR CUACA
Peneliti Dedy Kurniawan, Jamaluddin Jompa, dan Abdul Haris
Metode 1.1.Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 sampai
dengan Februari 2014 di perairan Pulau Laelae dan Pulau
Barranglompo, Kota Makassar. Analisis pertumbuhan tahunan
karang sampel dengan sinar-X dilakukan di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit Khusus dr. Tadjuddin Chalid, Kota Makassar.

1.2.Alat dan bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor
digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global
Positioning System) sebagai penentu posisi objek yang diamati;
alat selam SCUBA digunakan alat bantu pengambilan sampel
karang; Box sampel digunakan sebagai tempat menyimpan
sampel karang; kaliper dengan ketelitian 0,05 mm sebagai
pengukur panjang dan diameter karang; kamera bawah air
sebagai alat dokumentasi bawah air; tatah dan palu sebagai
pemotong fragmen karang; gerinda/gergaji listrik digunakan
untuk memotong sampel karang; dan X-Radiograph untuk
mendokumentasikan pertumbuhan tahunan karang. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel karang
Goniopora stokesi sebagai objek yang akan diamati; kertas label
sebagai penanda sampel karang; dan alat tulis menulis untuk
mencatat data di lapangan.

1.3.Prosedur penelitian
1.3.1. Pengambilan Sampel Karang
Sampel karang Goniopora stokesi diambil sebanyak 3 koloni
pada kedalaman yang relatif sama (reef flat) dengan jarak yang
berdekatan sehingga dapat diasumsikan karang tersebut berada
dalam kondisi lingkungan yang sama, ukuran karang yang
diambil relatif seragam untuk menghilangkan kesalahan
interpretasi, yaitu diameter sekitar ± 150 mm karena ukuran ini
diharapkan tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, sehingga
tidak merusak ekosistem. Koloni karang tersebut dicuci dengan
air tawar dan dikeringkan. Selanjutnya sampel dipotong dengan
gerinda (gergaji mesin) dengan posisi melintang vertikal dari
atas ke bawah (axial growth), dengan ketebalan sekitar ± 5 mm,
kemudian dibersihkan sisa kapurnya dan siap untuk di sinar-X.
Potongan spesimen karang selanjutnya diekspose di bawah
mesin sinar-X. Pemaparan dilakukan dengan kekuatan 40 kv,
100 mA selama 0,03 sekon pada jarak 90 cm. Film hasil sinar-
X tersebut selanjutnya dicetak untuk digunakan mengukur laju
pertumbuhan tahunan, melalui kombinasi HD dan LD bands-
nya. Laju pertumbuhan karang dilihat secara visual dari hasil
foto sinar-X dengan membandingkan kombinasi warna gelap
dan terang. Densitas pada musim hujan diwakili dengan warna
gelap (high density band = HD band) dan densitas pada musim
kemarau dengan warna terang (low density band = LD band)
(Supriharyono, 2004; Susintowati, 2010).

1.3.2. Pengambilan Data Cuaca


Data cuaca merupakan data sekunder yang diperoleh dari Balai
Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar. Data yang
dicatat adalah suhu udara, curah hujan, dan lama waktu
penyinaran yang terjadi selama 5 tahun terakhir dari tahun 2009
sampai 2013.

1.4.Teknik pengumpulan data


Untuk mengukur pertumbuhan tahunan digunakan kaliper
dengan ketelitian 0,05 mm, dengan mengukur jarak dari titik
tengah HD band satu dengan titik HD band terdekat melalui
garis tegak lurus, yang diambil dari tiga sisi berbeda kemudian
dirata-ratakan untuk mendapatkan pertumbuhan tahunan.
Untuk menghitung laju pertumbuhan tahunan dilakukan dengan
cara; menentukan garis pertumbuhan tahunan karang, menarik
garis tegak lurus terhadap garis pertumbuhan dari titik axial
growth, dan menghitung jarak dari titik tengah HD band satu
dengan titik HD band terdekat melalui garis tegak lurus yang
menunjukkan pertumbuhan tahunan yang terjadi dari
pertengahan musim hujan sampai pertengahan musim hujan
tahun berikutnya Gambar 1. (Buddemeier & Kinzie, 1976; Rani
et al., 2004).

Gambar 1. Teknik pengukuran pertumbuhan karang (density


banding pattern) karang Goniopora stokesi (kiri);
Pertumbuhan tahunan karang Goniopora stokesi (kanan)

1.5.Analisis data
Analisis hubungan antara laju pertumbuhan tahunan karang
Goniopora stokesi dengan faktor cuaca menggunakan analisis
regresi berganda melalui pemilihan model terbaik dengan
metode stepwise, mengikuti persamaan:

Yi = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3

keterangan : Yi = rata-rata laju pertumbuhan tahunan pada


tahun ke-i; a dan b1, b2, b3 = koefisien regresi; X1 = suhu udara;
X2 = curah hujan; dan X3 = lama penyinaran matahari.

Untuk mengetahui peubah bebas (faktor cuaca) yang memberi


pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan karang dilakukan
pengujian koefisien regresi (b1, b2,dan b3) dengan uji-t. Proses
penghitungannya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
SPSS 19.00.

Ringkasan Penelitian Kota Makassar dan pulau-pulau di sekitarnya berada pada iklim
tropis, untuk fluktuasi suhu udara, lama penyinaran matahari
dan curah hujan rata-rata tahunan dapat kita lihat bahwa Suhu
udara rata-rata tahunan selama 5 tahun cenderung stabil berkisar
antara 27,62–27,88oC. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar
204,08m – 307,33mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada
tahun 2010 dan curah hujan terendah pada tahun 2012. Lama
penyinaran matahari rata-rata tahunan berkisar 57,92– 70,58%,
dengan persentase penyinaran matahari terendah pada tahun
2010 yang sebanding dengan tingginya curah hujan.
Iklim Kota Makassar serta di sekitar Pulau Laelae dan Pulau
Barranglompo secara umum sama seperti iklim global di
wilayah Negara Indonesia. Curah hujan tinggi pada musim barat
berlangsung pada bulan Januari hingga pertengahan bulan
Februari, angin cenderung bertiup dari arah Barat Daya ke Barat
Laut. Cuaca kering/kemarau pada musim Timur yang jatuh pada
bulan Juli hingga pertengahan Oktober, angin bertiup dari arah
Tenggara. Musim Peralihan/Pancaroba pada bulan Februari-
Maret dan Musim Peralihan II pada bulan September – Oktober
(Arifin et al., 2010).
Pertumbuhan rata-rata karang Goniopora stokesi di Pulau
Laelae dari tahun 2009 – 2013 berkisar antara 8,28– 11,37mm,
dengan laju pertumbuhan selama 5 tahun yaitu 9,72±1,16 mm
tahun-1, sedangkan pertumbuhan rata-rata karang di Pulau
Barranglompo dari tahun 2009 – 2013 berkisar antara 9,17–
15,87mm, dengan laju pertumbuhan selama 5 tahun yaitu
12,47±2,67 mm tahun-1. Secara umum, laju pertumbuhan
tahunan karang Goniopora stokesi di Perairan Kota Makassar
berkisar antara 9,72–12,47mm tahun-1.
Menurut Buddemeir and Kinzie (1976) laju pertumbuhan
karang masif berkisar antara 4 – 20 mm tahun-1, dengan laju
pertumbuhan maksimal karang masif pada kondisi lingkungan
optimal berkisar antara 10 – 15 mm tahun-1. Dari laju
pertumbuhan tahunan karang Goniopora stokesi di Perairan
Kota Makassar mempunyai laju pertumbuhan maksimal untuk
karang masif, yang menandakan bahwa kondisi lingkungan di
Kota Makassar masih dalam kondisi lingkungan yang optimal
untuk pertumbuhan karang. Menurut Nybakken (1988), laju
pertumbuhan koloni karang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Kondisi lingkungan yang baik dan sesuai untuk
pertumbuhan karang, maka karang akan tumbuh dengan baik
dan relatif cepat. Hal ini diperjelas oleh Supriharyono (2009)
dan Guntur (2011) menyatakan bahwa, pertumbuhan karang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain cahaya matahari,
suhu perairan, salinitas, kekeruhan, keadaan arus, endapan dan
substrat dasar perairan.
Berdasarkan hasil analisis persamaan regresi di Perairan Kota
Makassar dengan 5 kali ulangan, dapat diketahui bahwa
peningkatan curah hujan akan menurunkan laju pertumbuhan
(berkorelasi negatif). Dimana diketahui nilai korelasi (R) pada
Pulau Laelae dan Pulau Barranglompo masing-masing 0.983
dan 0.90 ini menunjukkan hubungan yang kuat antara curah
hujan dan laju pertumbuhan, sedangkan nilai koefesien
determinasi (R2) untuk Pulau Laelae 0.967 yang menunjukkan
bahwa sekitar 96.7% laju pertumbuhan dapat dijelaskan oleh
faktor curah hujan, sedangkan 3.3% dijelaskan oleh faktor lain.
Berdasarkan hasil uji keofisien regresi didapatkan bahwa nilai
signifikansi untuk curah hujan pada Pulau Laelae dan Pulau
Barranglompo masing-masing yaitu 0.003 dan 0.038. Hasil
tersebut menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil daripada
alpha 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan
karang, sedangkan suhu udara dan lama penyinaran matahari
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap pertumbuhan
karang Goniopora stokesi di Perairan Kota Makassar.
Curah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan di Perairan Kota Makassar, hal ini
diduga karena curah hujan memiliki tingkat fluktuasi yang
signifikan dari tahun ke tahun. Secara tidak langsung curah
hujan dapat mempengaruhi kualitas perairan, curah hujan yang
tinggi dapat menurunkan suhu perairan, salinitas, dan
meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya curah hujan yang
rendah cenderung memiliki suhu perairan dan salinitas yang
tinggi, serta kekeruhan yang rendah. Curah hujan yang tinggi
dan aliran material permukaan dari daratan (mainland runoff)
dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen
dan terjadinya penurunan salinitas air laut (Suharsono, 1999;
Buddemier et al., 2004; Walker, 2005). Lebih lanjut Heron et al.
(2005) curah hujan dapat meningkatkan kadar nutrein yang
terbawa dari daratan ke lautan, yang mempengaruhi tingkat
pertumbuhan ganggang sehingga terjadi tekanan pada terumbu
karang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Supriharyono (2004)
yang menyimpulkan bahwa curah hujan merupakan faktor yang
dominan menentukan laju pertumbuhan karang di daerah
Perairan Bontang Kuala, Kota Bontang, dimana semakin tinggi
curah hujan akan semakin rendah laju pertumbuhan karang.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan Nugraha (2008) di
Perairan Karimunjawa dan Perairan Bangkalan, diperoleh
kesimpulan bahwa, curah hujan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan karang. Apabila curah hujan rata-rata tahunan
meningkatkan maka laju pertumbuhan rata-rata tahunan akan
semakin lambat.

4 Judul STUDI PERTUMBUHAN DAN TINGKAT


KELANGSUNGAN HIDUP
KARANG GONIOPORA STOKESII (BLAINVILLE, 1830)
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI BIOROCK.
Peneliti Abdul Haris, Sharifuddin Bin Andy Omar, dan Dedy
Kurniawan
Metode A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juni
2011 di Hatchery Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, bertempat di Pulau Barrang Lompo,
Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar.

B. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah adaptor DC
sebagai pengatur tegangan listrik, jangka sorong untuk
mengukur diameter koloni karang, genset sebagai sumber
tenaga listrik, kawat ram besi sebagai katoda untuk peletakan
karang, kumparan kawat titanium sebagai anoda penghasil
klorin, aerator sebagai penyuplai oksigen, bak penampungan
sebagai wadah pengujian, timbangan elektrik untuk
menimbang bobot koloni karang, dan makrochiller untuk
mengatur suhu air, sedangkan bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah karang Goniopora stokesii.

C. Metode Penelitian
1. Proses Transplantasi dan Aklimatisasi Karang
Karang G. stokesii yang akan diuji diambil di perairan Pulau
Barrang Lompo. Karang yang diperoleh ditempelkan pada
substrat semen, penempelan karang menggunakan lem
epoxy/dempul mobil. Karang yang sudah direkatkan pada
substrat dibawa ke meja transplantasi di laut dan diaklimatisasi
selama satu bulan. Aklimatisasi bertujuan untuk
menghilangkan racun lem epoxy pada karang secara alami,
selain itu juga untuk memulihkan kondisi karang yang
mengalami stress selama perlakuan.

2. Pemasangan Teknologi Biorock


Perangkat biorock dipasang pada bak fiber berukuran panjang 2
m, lebar 1 m dan tinggi 0,5 m. Perangkat biorock terdiri dari
anoda yang terbuat dari kumparan kawat berlapis titanium dan
katoda terbuat dari kawat ram besi yang juga digunakan sebagai
rak penebaran karang. Anoda diletakkan di bawah rak katoda.
Pada bak pemeliharaan dilakukan sirkulasi air masuk dan keluar
agar kualitas air tetap terjaga. Selain itu juga, diberi aerasi
sebagai penyuplai oksigen ke dalam bak biorock.

3. Penebaran Karang Goniopora stokesii (Blainville, 1830)


Jumlah karang yang digunakan sebanyak 22 buah. Karang
tersebut ditebar pada bak biorock dan bak tanpa biorock (bak
kontrol) masing-masing 11 buah. Karang pada rak kontrol
ditebarkan pada rak ram besi, namun tidak disambungkan
dengan adaptor DC, sehingga tidak mendapat aliran listrik
seperti pada bak biorock. Ukuran rak penebaran, baik bak
biorock maupun bak kontrol adalah 45 x 90 cm dan tinggi 10
cm. Rak penebaran terbuat dari pipa paralon berukuran 1,5 inci
yang diberi kawat ram besi dengan ukuran 2,5 x 2,5 cm. Pada
bak biorock, rak yang digunakan disambungkan dengan kutub
negatif DC (untuk membentuk katoda), dan anoda (dari
titanium) disambungkan dengan kutub positif. Tegangan yang
digunakan adalah 8 volt, sedangkan arus listrik sebesar 2
ampere. Listrik pada bak biorock dialirkan selama 24 jam.

4. Pengukuran Pertumbuhan Karang


Pengukuran pertumbuhan karang G. stokesii pada penelitian ini
dilakukan melalui dua cara. Cara pertama dengan mengukur
besarnya diameter koloni karang pada saat awal dan akhir
penelitian menggunakan jangka sorong. Cara kedua melalui
penimbangan bobot koloni karang yang ditimbang pada saat
awal dan akhir penelitian dengan menggunakan timbangan.
Selain mengukur diameter dan bobot koloninya, tingkat
kelangsungan hidup juga dilihat, dengan cara menghitung
jumlah koloni karang yang bertahan hidup pada akhir
penelitian.

5. Pengukuran Kualitas Air


Kualitas air yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar residu
klorin dan ion kalsium, pH, dan salinitas. Residu kloron dan ion
kalsium diukur menggunakan tintometer, sedangkan pH dan
salinitas masing-masing diukur menggunakan pH meter dan
menggunakan salinometer. Pengukuran kualitas air dilakukan
setiap dua minggu sekali.

D. Peubah yang Diukur


Pengukuran tingkat pertumbuhan dari jenis karang yang diuji
digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :
1. Pertumbuhan mutlak diameter dan bobot koloni karang
(Kudus dan Wijaya, 2001) :

βL= Lt – Lo

Keterangan : βL = pertumbuhan mutlak diameter (mm); Lt =


rata-rata diameter pada waktu pengukuran akhir (mm); L0 = rata-
rata diameter pada waktu pengukuran awal (mm).

βW= Wt – Wo

Keterangan : βW = pertumbuhan mutlak bobot (g); Wt = rata-


rata bobot pada waktu pengukuran akhir (g); W0 = rata-rata
bobot pada waktu pengukuran awal (g).
2. Laju pertumbuhan karang (Kudus dan Wijaya, 2001) :
Lt - Lo
P=
t
Keterangan : P = Capaian pertumbuhan karang (mm bulan-1); Lt
= rata-rata (diameter) pada akhir penelitian (mm); Lo = rata-rata
(diameter) pada awal penelitian (mm); dan t = waktu
pengamatan (bulan).

Wt - Wo
P=
t

Keterangan : P = Capaian pertumbuhan karang (g bulan-1); Wt


= rata-rata (bobot) pada akhir penelitian (g); Wo = rata-rata
(bobot) pada awal penelitian (g); dan t = waktu pengamatan
(bulan).
3. Tingkat kelangsungan hidup (Effendie, 2002) :

Nt
SR= x 100%
No

Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%); Nt =


jumlah individu karang pada akhir penelitian (individu); No =
jumlah individu karang pada awal penelitian (individu).

E. Analisis Data
Data hasil perhitungan untuk data pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup karang pada bak biorock dan bak kontrol
dianalisis melalui uji t-Students dengan menggunakan SPSS 16
for Windows.

Ringkasan Penelitian Hasil pengukuran diameter dan bobot karang G. stokesii pada
bak kontrol dapat kita lihat bahwa Diameter rata-rata awal dan
akhir pada bak kontrol masing-masing 39,5946 ± 4,2181 mm
dan 40,6455 ± 4,3315 mm. Selanjutnya, bobot rata-rata awal dan
akhir pada bak kontrol masing-masing 80,5727 ± 26,7686 g dan
82,1364 ± 26,6514 g. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
antara kondisi awal dan akhir karang yang ditransplantasi
selama empat bulan. Pertumbuhan rata-rata diameter selama
empat bulan 1,0491 ± 0,3206 mm dan bobot 1,5636 ± 0,5334 g.
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Paired-Samples T
Test pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05) menunjukkan bahwa
nilai signifikasi 0,000 untuk pertambahan diameter dan nilai
signifikasi 0,000 untuk pertumbuhan bobot. Nilai signifikasi
untuk diameter dan bobot sebesar 0,000 yang berarti lebih kecil
daripada alpha 0,05. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa antara diameter/bobot awal dan
diameter/bobot akhir berbeda nyata atau dengan kata lain
menunjukkan terjadi pertumbuhan karang G. stokesii yang
ditransplantasi selama empat bulan di bak kontrol. Menurut
Subhan (2002) yang melakukan penelitian selama enam bulan
di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta menunjukkan
pertumbuhan mutlak karang yang diteliti yaitu Euphillia sp
sebesar 8,40 mm untuk tinggi; 16,80 mm untuk panjang.
Kemudian Plerogyra sinuosa sebesar 13,20 mm untuk tinggi;
6,60 mm untuk panjang dan selanjutnya Cynarina lacrymalis
1,80 mm untuk tinggi serta 6,60 mm untuk panjang.
Berdasarkan dari hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup
karang G. stokesii pada bak kontrol dan biorock, menunjukkan
tingkat kelangsungan hidup 100%. Tingginya tingkat
kelangsungan hidup karang ini disebabkan oleh masa
aklimatisasi selama satu bulan yang dilakukan di laut, yang
bertujuan untuk memulihkan kondisi karang yang stres pada
saat ditransplantasi. Akibatnya, pada saat karang dipindahkan
ke bak pengamatan baik kontrol dan biorock sudah dalam
kondisi stabil.
Nilai pH pada air di bak pengamatan berkisar antara 8,35 – 8,40.
Nilai pH ini sesuai dengan kondisi perairan laut secara umum
yaitu bersifat basa. Menurut Supriharyono (2009), pH yang
menunjang bagi kehidupan karang berkisar antara 6,5 hingga
8,5.
Suhu yang didapat dari hasil pengukuran pada bak pengamatan
berkisar antara 28 – 30oC, kondisi suhu pada bak pengamatan
berada dalam kondisi suhu optimum untuk pertumbuhan karang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Nontji (2005) yang menyatakan,
bahwa suhu yang dibutuhkan oleh terumbu karang adalah
sekitar 25 – 30oC. Menurut Neudecker (1981 dalam
Supriharyono, 2009), perubahan suhu secara mendadak sekitar
4 – 6 oC di bawah atau di atas suhu alami dapat mengurangi
pertumbuhan karang bahkan mematikannya.

5 Judul KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI


PERAIRAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN
Peneliti Dedy Kurniawan, Try Febrianto, Hasnarika
Metode 2.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – September
2019, pada ekosistem terumbu karang di Perairan Teluk Sebong
Kabupaten Bintan (Gambar 1). Data dianalisis di Laboratorium
Biologi Laut, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.
Penentuan titik pengamatan dilakukan menggunakan metode
purposive sampling, yaitu menentukan titik sampling
berdasarkan keberadaan ekosistem terumbu karang di Perairan
Teluk Sebong Kabupaten Bintan. Titik sampling sebanyak 5
titik pengamatan yang tersebar di Perairan Berakit, Perairan
Pengudang dan Perairan Kawasan Wisata Lagoi diantaranya
Perairan Lagoi Bay, Perairan Banyan Tree dan Perairan Pulau
Rawa. Adapun titik koordinat lokasi pengambilan data disajikan
pada Tabel 1.

2.2. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan speed boat untuk menuju ke lokasi
penelitian, SCUBA untuk menyelam, GPS untuk menentukan
titik koordinat, kamera bawah air untuk dokumentasi bawah air,
pita meteran (roll meter) untuk garis bantu transek, frame besi
ukuran 44 cm x 58 cm untuk transek pengambilan foto karang,
slate underwater dan pensil untuk menulis di bawah air, dan
buku coral finder untuk mengidentifikasi jenis karang. Untuk
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah patok besi
dan pelampung untuk penanda lokasi penelitian, serta plastik
sampel untuk menyimpan
sampel penelitian.

2.3. Pengambilan Data Kondisi Ekosistem Terumbu Karang


Metode yang digunakan untuk menilai kondisi ekosistem
terumbu karang adalah metode Underwater Photo Transect
(UPT) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b;
Giyanto, 2013), dimana dilakukan pemotretan sepanjang garis
transek dengan bantuan frame ukuran 44 cm x 58 cm.
Pemotretan dimulai dari meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan
jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan pada
meter ke-1 (Frame 1), meter ke-3 (Frame 3) dan frame-frame
berikutnya dengan nomor ganjil dilakukan disebelah kiri garis
transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan), sedangkan
untuk frame-frame dengan nomor genap (Frame 2, Frame 4, dan
seterusnya) dilakukan di sebelah kanan garis transek (bagian
yang lebih jauh dengan daratan) seperti pada ilustrasi pada
Gambar 2.

Pengambilan data pada setiap titik dilakukan dengan


menggunakan kamera bawah air seperti G15 atau Canon G1X.
Luas bidang 2552 cm2 per frame dapat dihasilkan dari
pemotretan menggunakan kamera bawah air dengan jarak
pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan
pembesaran (zoom). Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman
dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.

2.4. Analisis Data


Data tutupan karang dianalisis menggunakan perangkat lunak
CPCe versi 4.0. (Coral Point Count with Excel extension)
(Kohler & Gill, 2006), dengan tujuan untuk mengetahui bentuk
pertumbuhan karang (coral lifeform), indeks keanekaragaman
bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform), persentase tutupan
masing-masing kategori, biota dan substrat. Analisis foto
sebanyak 50 foto, dengan menggunakan 30 sampel titik acak
dari masing-masing foto (frame) dan untuk setiap titiknya diberi
kode sesuai dengan kode masing-masing kelompok biota dan
substrat (Tabel 2) yang berada pada titik acak tersebut (Giyanto,
2013). Indeks keanekaragaman bentuk pertumbuhan karang
(coral lifeform) dianalisis menggunakan aplikasi CPCe 4.0
dengan menggunakan rumus Shannon-Weaver (1949) dalam
Odum (1971).
Ringkasan Penelitian Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform) yang dominan
pada masing-masing titik pengamatan antara lain Perairan
Berakit yaitu Coral Foliose (CF), Perairan Pengudang dan
Perairan Pulau Rawa yaitu Coral Massive (CM) serta Perairan
Lagoi Bay dan Perairan Banyan Tree yaitu Acropora Tabulate
(ACT). Van Woesik (2002) menyatakan bahwa karang di daerah
yang sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan
yang kecil atau foliose. Chappel (1980) menyatakan bahwa
karang yang tumbuh di perairan dengan sedimentasi tinggi
mengarah ke bentuk massive, sedangkan di perairan yang jernih
atau sedimentasi rendah, lebih banyak ditemukan dalam bentuk
bercabang dan tabulate. Menurut Zamani et al. (2011), karang
massive lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan
perairan berarus. Gelombang berpengaruh terhadap perubahan
bentuk koloni terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung
dari gelombang (leeward zones) memiliki bentuk percabangan
ramping dan memanjang sementara pada gelombang yang kuat
(windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk
percabangan pendek, kuat, merayap atau submassive. Tingginya
bentuk pertumbuhan foliose dan massive di Perairan Berakit,
Perairan Pengudang dan Perairan Pulau Rawa mengindikasikan
bahwa kondisi perairan terletak di perairan yang terbuka yang
berhadapan langsung dengan perairan luas yaitu Laut Natuna
Utara, serta perairan tersebut dipengaruhi oleh sedimentasi yang
tinggi dan tekanan hidrodinamis dari alam seperti gelombang
dan anginnya kencang yang terjadi setiap tahunnya, khususnya
terjadi pada Musim Utara (Desember hingga Februari) (Suhana
et al., 2018).
Sedangkan, untuk Perairan Lagoi Bay dan Perairan Banyan Tree
merupakan perairan yang dangkal dengan kejenihan yang tinggi
dan sedimentasi yang rendah. Perairan Teluk Sebong
merupakan perairan yang berhadapan langsung dengan Perairan
Laut Natuna Utara, yang memiliki arus dan gelombang yang
cukup besar pada musim tertentu, yaitu musim utara yang
dimulai dari bulan Desember hingga Februari (Suhana et al.,
2018).Kondisi tutupan karang hidup tertinggi terdapat di
Perairan Lagoi Bay, karena berada pada rataan terumbu yang
memiliki kejernihan yang tinggi dan sedimentasi yang rendah,
sedangkan tutupan karang hidup terendah terdapat di Perairan
Pulau Rawa dikarenakan perairan tersebut memiliki substrat
berupa silt (SI), yang mudah mengalami sedimentasi, terutama
jika terjadi gelombang dan arus yang kencang. Hal ini
dibuktikan dengan bentuk pertumbuhan karang yang dominan
yaitu Coral Massive (CM). Menurut Luthfi et al. (2018), karang
dengan bentuk pertumbuhan masif memiliki ketahanan terhadap
arus, gelombang, sedimentasi yang tinggi serta kenaikan suhu.

Ekosistem Padang Lamun

1 Judul STRUKTUR KOMUNITAS DAN VALUASI EKONOMI


EKOSISTEM PADANG LAMUN DI KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DESA
PENGUDANG KECAMATAN TELUK SEBONG
KABUPATEN BINTAN
Peneliti Dewi Susanti, Linda Waty Zen, dan Febrianti Lestari
Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014
sampai April 2015 yang berlokasi di Perairan Desa
Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan,
Kepulauan Riau.
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan


Penentuan responden menggunakan metode (random
sampling). Pengumpulan data hasil wawancara terhadap
responden yang telah ditentukan. Metode pengambilan
sampel menggunakan teknik garis transek (line transect
technique). Dengan plot berukuran 1 × 1 meter sebanyak
100 dengan sub plot 10x10cm dari ketiga stasiun tersebut.
Letak plot dimulai dari lamun yang dijumpai pada saat surut
ke arah laut (Fachrul, 2007).

a. Identifikasi lamun dilakukan dengan mencocokkan data-


data lamun yang ditemui di lapangan dengan Kepmen LH
Nomor 200 Tahun 2004.
b. Kerapatan jenis lamun merupakan jumlah total individu
jenis lamun dalam unit area yang diukur. Kerapatan
masing-masing jenis lamun pada setiap stasiun dihitung
dengan rumus English et.al., (1997) dalam Sakaruddin
(2011).

Keterangan :
Ki = kerapatan jenis ke–i (ind/m2)
ni = jumlah individu dalam transek ke-i (ind)
A = luasan total pengambilan sampel (m2)

c. Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutup


oleh vegetasi lamun. Persentase penutupan lamun
ditentukan berdasarkan rumus English et.al (1997) dalam
Sakaruddin (2011). Dengan rumus berikut :
Keterangan :
C=Persentase penutupan jenis lamun i (%);
Mi= Nilai titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i;
Fi= Frekuensi munculnya kelas penutupan jenis I;
f= jumlah total frekuensi seluruh penutupan jenis

d. Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman yaitu


menghitung kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah
jenis dan jumlah tegakan pada suatu area, menggunakan
rumus dari Shannon-wienner dalam Sakaruddin,2012:

Dimana: H’ = Indeks keanekaragaman; ni = jumlah


individu jenis ke-i; N = Jumlah individu total; Pi = proporsi
frekuensi jenis kei terhadap jumlah total. Adapun kisaran
indeks keanekaragaman Shannon dikategorikan dengan
nilai sebagai berikut :
0 < H’ < 1 = Keanekaragaman rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi

e. Indeks Dominansi Menghitung indeks dominansi ini


berfungsi untuk menggambarkan jenis lamun yang paling
banyak ditemui di kawasan penelitian tersebut. Indeks
dominansi dihitung dengan menggunakan rumus simpson
dalam Fachrul, (2007) sebagai berikut:

Dimana : D = Indeks dominansi ; Pi = proporsi jumlah ke


–i terhadap jumlah total; n = jumlah taksa

Valuasi Ekonomi merupakan suatu cara untuk memberikan


nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan
sumber daya alam dan lingkungan terlepas baik nilai pasar
(market value) atau non pasar (non market value).
1. Nilai Manfaat Langsung (direct use value)
Nilai manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari
pemanfaatan sumberdaya secara langsung. Sehingga dapat
dihitung dengan persamaan (Suzana et al,.2011 dalam
Agustina, 2014) yakni sebagai berikut:

Dimana :
DUV =Direct Use Value
DUV1 = manfaat penangkapan ikan
DUV2 = manfaat penangkapan teripang
DUV3 = manfaat penangkapan ranga
DUV4 = manfaat penangkapan kerang bulu
DUV5 = manfaat penangkapan sotong
DUV6 = manfaat penangkapan kepiting

Nilai pemanfaatan langsung pada padang lamun, dapat


diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Widiastuti, 2011):

2. Nilai Manfaat Tidak Langsung (indirect use value)


Nilai manfaat tidak langsung merupakan nilai suatu
ekosistem padang lamun sebagai daerah asuhan, pemijahan
dan mencari makan bagi biota lainnya. Penilaian
menggunakan pendekatan CVM dengan teknik survey,
yang mana keinginan untuk menerima (willingness to
accept) jika terjadi kerusakan atas sumberdaya ( Fauzi,
2006). Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara
lain :

1. Membuat hipotesis pasar sumberdaya yang akan


dievaluasikan
2. Mendapatkan nilai lelang melalui teknik permainan
lelang
3. Menghitung rataan WTA
4. Memperkirakan kurva lelang
5. Mengagretkan data dengan mengalikan rataan WTA
dengan jumlah RTP

b. Nilai Manfaat Pilihan (option value)


Nilai manfaat pilihan yaitu nilai ekonomi yang diperoleh
dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung
dari sumberdaya. Dalam hal ini untuk padang lamun
menggunakan metode benefit transfer, yaitu dengan cara
menilai perkiraan benefit dari tempat lain lalu benefit ini
ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar
mengenai manfaat dari lingkungan (Agustina,2014).
Kemudian untuk mengetahui nilai manfaat pilihan ini
diperoleh dengan persamaan (Widiastuti, 2011):

c. Nilai Manfaat Keberadaan (existence value)


Nilai keberadaan merupakan nilai yang diukur dari manfaat
yang dirasakan masyarakat dari keberadaan ekosistem
setelah manfaat lain dihilangkan dari analisis. Nilai
ekonomi keberadaan menggunakan metode Willingness to
Pay (Kesediaan Membayar Masyarakat) yang diperoleh
berdasarkan pendekatan CVM (Contingent Value Method).
Manfaat tersebut merupakan nilai ekonomi keberadaan
(fisik) dari ekosistem yang dirumuskan sebagai berikut
(Ruitenbeek, 1991 dalam Marhayana, 2012):

Keterangan :
MEi = Manfaat ekosistem dari responden ke-i;
n = Jumlah responden

d. Nilai Warisan (Bequest Value)


Nilai warisan ekosistem padang lamun yang dimiliki tidak
dapat dinilai dengan pendekatan nilai pasar. Oleh karena
itu, nilai warisan dapat dihitung dengan pendekatan
perkiraan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
diperkirakan bahwa nilai warisan tidak kurang 10% dari
manfaat langsung (Ruitenbeek, 1991 dalam Marhayana,
2012). Dengan rumus sebagai berikut :

f. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)


Nilai Ekonomi Total adalah NET atau Total Economic
Value (TEV) Total nilai ekonomi yang dimiliki suatu
sumberdaya.Dapat ditulis dengan persamaan matematis
sebagai berikut (CSERGE, 1994 dalam Irmadi, 2004) :

Dimana :
TEV = Nilai ekonomi total
DUV = Nilai manfaat langsung
IUV = Nilai manfaat tidak langsung
OV = Nilai pilihan
EV = Nilai Keberadaan
BV = Nilai warisan
Ringkasan Penelitian Dapat diketahui bahwa jenis yang paling tinggi yaitu S.
isoetifolium dengan jumlah individu sebanyak 11610
dengan jumlah persentase sebesar 27,03%. Adapun yang
terendah pada jenis C. serrulata dengan jumlah individu
sebanyak 1129 dengan jumlah persentase sebesar 2,63%.
Kerapatan jenis merupakan banyaknya jumlah individu
atau tegakan suatu spesies lamun pada luasan tertentu.
Didapat nilai kerapatan jenis setiap stasiun sangat jauh
berbeda.
Kerapatan jenis merupakan banyaknya jumlah individu
atau tegakan suatu spesies lamun pada luasan tertentu.
Didapat nilai kerapatan jenis setiap stasiun sangat jauh
berbeda. E. acoroides yakni 11.91%, Nilai terendah pada st
1 yaitu C. rotundata senilai 0.02%. Berdasarkan penentuan
status padang lamun menurut KEPMEN LH no 200 tahun
2004, status padang lamun pada stasiun 1 tergolong pada
kondisi yang miskin.
Berdasarkan hasil penelitian didapat nilai indeks total
keanekaragaman pada kisaran 2.19-2.65 dengan ini maka
dapat diketahui bahwa keanekaragaman hayati lamun di
Desa Pengudang
Berdasarkan hasil identifikasi, manfaat langsung ekosistem
lamun dapat dilihat dari hasil tangkapan yang dilakukan
oleh nelayan Desa Pengudang antara lain ikan, kepiting,
sotong, kerang bulu, ranga dan teripang. Nilai manfaat tidak
langsung dihitung dari nilai manfaat padang lamun itu
sendiri sebagai daerah pemijahan (spawning ground),
daerah pengasuhan (nursey ground) dan daerah mencari
makan (feeding ground). Berdasarkan 66 responden yang
memanfaatkan ekosistem padang lamun didapat nelayan
ingin menerima biaya kompensasi (ganti rugi) jika terjadi
kerusakan dengan rata-rata Rp 18,127,273,-/orang/tahun
diperoleh hasil total sebesar Rp 3,462,309,091,-/tahun.
Hasil analisis luasan area padang lamun Desa Pengudang
yaitu 718.37 ha ini diperoleh dari metode digitasi yaitu
pemetaan menggunakan software arcview 3.3 dan citra spot
Pulau Bintan, kemudian melakukan cross check di lapangan
menggunakan Global Possition system (GPS) agar tidak
terjadi error/bias yang terlalu jauh.
Nilai manfaat keberadaan Desa Pengudang diestimasi
menggunakan teknis Contingent Valuation Method
(CVM). Guna mengetahui seberapa besar keinginan
masyarakat untuk membayar (willingness to pay) dari
barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem padang
lamun tersebut.
2 Judul KAJIAN BIOMASSA LAMUN DI KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH
DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN
Peneliti Mia Larasanti, Dr.Febrianti Lestari M.Si, Ir. Linda Waty
Zen M.Sc
Metode Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini antara


lain, thermometer, handrefractometer, pH meter, Do meter,
GPS, kuadran 0.5 x 0.5 m², gambar pandu, kamera, alat
tulis, buku, kantong plastic kertas Label.

Metode Penelitian
Penentuan titik Pengamatan dilakukan secara Random
Acak Sampling, dimana wilayah penelitian dibagi menjadi
31 titik pengamatan.

Pengamatan padang Lamun


Identifikasi jenis lamun yaitu dengan menggunakan
panduan identifikasi menurut ( Kepmen lh NO.200. tahun
2004).

Persentasi Tutupan Lamun


Metode yang digunakan untuk menghitung persentase
penutupan lamun yaitu dengan menghitung persentase dari
masing-masing petak contoh berdasarkan Kepmen lh
NO.200.tahun 2004.

Biomassa Lamun
Penentuan biomassa lamun dilakukan secara estimasi
berdasarkan metode Mellor (1991).
Ringkasan Penelitian Biomassa merupakan jumlah berat dari semua material
yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang
berada di atas maupun di bawah substrat yang sering
dinyatakan dalam satuan gram berat kering per/m2
(gbk/m2) (Zieman dan Wetzel,1980 dalam Hendra,2011).
Biomassa terbentuk dari proses ditransformasinya energi
matahari menjadi energi kimia oleh tumbuhan hijau melalui
proses fotosintesis. Karena itu biomassa lebih identik pada
tumbuhan.
jenis lamun yang paling banyak dan paling luas yang biasa
dijumpai yaitu pada tipe substrat lumpur-berpasir tebal,
selain tipe substrat yang mempengaruhi hidup lamun,
karakteristik perairan juga memberikan sumbangan besar
bagi keberlansungan hidup lamun, dimana lamun
memerlukan asupan sinar matahari yang cukup,agar proses
fotosintesisnya dapat berjalan dengan baik, sehingga lamun
dapat hidup dengan baik pada karakteristik perairan yang
dangkal sehingga hal ini memudahkannya dalam
memperoleh cahaya matahari guna kelangsungan
pertumbuhannya.

3 Judul PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG LAMUN


BERBASIS PEMANFAATAN PERIKANAN DI
KAMPUNG KAMPE DESA MALANG RAPAT
KABUPATEN BINTAN
Peneliti Bahsin, Said. Lestari, Febrianti. Kurniawan,Dedy
Metode Waktu dan Lokasi
Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada
bulan Maret 2018 hingga Januari 2019. Adapun lokasi
penelitian ini berada di perairan Kampung Kampe Desa
Malang Rapat Kabupaten Bintan. Penentuan lokasi
penelitian dilakukan dengan cara melihat langsung ke
daerah yang akan diteliti sehingga peneliti dapat secara
akurat memperoleh data. Dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Teknik Sampling
Dalam penelitian ini peneneliti mengambil sampel
sumberdaya perikanan yang ada di sekitar padang lamun.
Seperti ikan, kepiting, dan kerang kerangan yang
berasosiasi di sekitar padang lamun serta memiliki nilai
ekonomis langsung dari nelayan yang melakukan
penangkapan di sekitar ekosistem padang lamun. Teknik
sampling dilakukan dengan meletakkan transek pada lokasi
yang diinginkan dengan ukuran 1 x 1 m, kemudian
melakukan pengamatan presentase penutupan lamun
dengan melihat secara visual penutupan lamun yang berada
pada setiap transek. Pengamatan lamun dilakukan pada 3
titik sampling dengan panjang sejauh 100 meter (0 m, 50 m,
dan 100 m).

Ringkasan Penelitian Jenis lamun yang ada di perairan Kampung Kampe


sebanyak 6 spesies yang meliputi Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule
pinifolia, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia
hemprichii. semua jenis lamun ini hidup menyebar di
sekitar Perairan Kampung Kampe serta jenis lamun yang
ada hidup berdampingan dengan jenis lainnya dan substrat
Perairan Kampung Kampe yang ditumbuhi lamun berjenis
pasir berlumpur.
Persentase penutupan lamun menggambarkan seberapa luas
lamun yang menutupi suatu perairan. Status padang lamun
adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi
tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan
kriteria baku kerusakan padang lamun dengan
menggunakan persentase luas tutupan.
Sumberdaya yang ditemukan di sekitar perairan Kampe
yakni Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan
sumberdaya ekonomis penting untuk menunjang
perekonomian masyarakat sekitar Kampung Kampe.
Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis
sumberdaya bernilai ekonommis yang memiliki habitat
disekitar padang lamun.
Musim yang dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan
penaangkapan sumberdaya umumnya pada musim teduh,
sedangkan pada musim angin kencang penangkapan
sumberdaya tidak dilakukan maksimal karena pengaruh
cuaca buruk. Diketahui bahwa musim angin utara terjadi
antara bulan Oktober- Desember, musim selatan antara
JanuariMaret, musim Barat antara April-Juni, serta musim
peralihan antara bulan Juli-September. Musim utara
merupakan musi angin kuat yang tidak dimanfaatkan oleh
nelayan kepiting rajungan dan ikan baronang sehingga hasil
tangkapan akan menurun. Sedangkan pada musim utara
tersebut, penangkapan kerang bulu masih dapat dilakukan
karena penangkapan dilakukan pada saat air surut dan di
wilayah tepian laut sehingga lebih aman bagi nelayan.
DAFTAR PUSTAKA

Susiana. 2011. Diversitas Dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda, dan Bivalvia Di Estuari
Perancak. Ekosistem Hutan Mangrove. Bali. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan
Vol. 8 Edisi 1

Susiana, Suhana.P.Mario. 2019. Tingkat Kerusakan Mangrove. Ekosistem Hutan Mangrove.


Perairan Desa Berakit, Pulau Bintan, Indonesia. Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil Vol. 3 No. 2 : 73-79

R. D. Putra, A. Suryanti, D. Kurniawan, Pratomo.A, Irawan.H, Raja.S.Tengku, Kurniawan. R,


Pratama.G, and Jumsurizal. 2018. Responses of Herbivorous Fishes on Coral Reef
Cover. Ekosistem Terumbu Karang. Outer Island Indonesia (Study Case: Natuna
Island) E3S Web of Conferences 47, 04009

R. D. Putra, M. P. Suhana, D. Kurniawan, M. Abrar, R. M.Siringoringo, N. W. P. Sari, H.


Irawan, E. Prayetno, T. Apriadi, and A. Suryanti. 2019. Detection Of Reef Scale
Thermal Stress With Aqua And Terra Modis Satellite For Coral Bleaching Phenomena.
Ekosistem Terumbu Karang. Bintan Island, Batam Island, Lingga Island and Natuna
Island

D. Kurniawan, Jompa.J, dan Haris.A. 2017. Pertumbuhan Tahunan Karang Goniopora Stokesi
dan Hubungannya Dengan Faktor Cuaca. Ekosistem Terumbu Karang. Kota Makassar.
Jurnal Akuatiklestari Vol. 1 No. 1 : 8-14

Haris. A, A. S. Omar, dan D. Kurniawan. 2011. Studi Pertumbuhan Dan Tingkat Kelangsungan
Hidup Karang Goniopora Stokesii (Blainville, 1830) Menggunakan Teknologi
Biorock. Ekosistem Terumbu Karang. Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Ujung Tanah,
Kota Makassar

D Kurniawan, T. Febrianto, Hasnarika. 2019. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem


Terumbu Karang. Perairan Teluk Sebong Kabupaten Bintan. Jural Pengelolaan
Perairan Vol. 2 (2) :13-26
D. Susanti, L. W. Zen, dan F. Lestari. 2015. Struktur Komunitas Dan Valuasi Ekonomi
Ekosistem Padang Lamun Di Kawasan Konservasi. Ekosistem Padang Lamun. Perairan
Daerah Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan

M. Larasanti, Dr. F Lestari M.Si, Ir. L. W. Zen M.Sc. 2015. Kajian Biomassa Lamun Di
Kawasan Konservasi. Ekosistem Padang Lamun. Laut Daerah Desa Malang Rapat
Kabupaten Bintan

Bahsin, S. Lestari, Febrianti, D. Kurniawan. 2016. Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun


Berbasis Pemanfaatan Perikanan Di Kampung Kampe Desa Malang Rapat
Kabupaten Bintan

Anda mungkin juga menyukai