Tugas Artikel Bantuan Hukum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM BANTUAN HUKUM

STRUKTURAL

(THE APPLICATION OF THE PRINCIPLE OF EQUALITY BEFORE THE LAW TO


STRUCTURAL LEGAL AID)

Oleh : Dea Putri Darmana


Fakultas Hukum Universitas Andalas
Email : [email protected]

ABSTRAK

Asas equality before the law memiliki arti bahwa semua orang sama derajatnya di hadapan
hukum, tanpa membedakan kaya dan miskin. Bantuan hukum yang diberikan dalam bantuan
hukum struktural tidak hanya didasarkan pada pembelaan di pengadilan, tetapi juga pada
pengentasan kesenjangan struktural dalam masyarakat. Pemberian bantuan hukum struktural
dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa penyebab ketidakadilan adalah ketimpangan struktur
sosial di masyarakat. Permasalahan mengenai bantuan hukum struktural adalah masih
banyaknya masyarakat awam yang tidak mengerti tentang asas equality before the law pada
bantuan hukum struktural. Dengan adanya asas equality before the law maka masyarakat
miskin berhak atas keadilan dan persamaan dihadapan hukum. Namun, dalam
penyelenggaraan bantuan hukum struktural di Indonesia, penerapan asas equality before the
law belum dilaksanakan secara optimal. Penelitian ini membahas tentang penerapan asas
equality before the law pada bantuan hukum struktural. Penerapan asas equality before the
law terkandung dalam beberapa peraturan-peraturan di Indonesia, yaitu 1) Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945; 2) Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman; 3) bagian menimbang huruf a
KUHAP; 4) Pasal 3 ayat (2) UU HAM. Metode penelitian adalah metode penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian dengan menggunakan kepustakaan dan peraturan perundang-
undangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada pembaca
dalam penerapan asas equality before the law pada bantuan hukum struktural.

Kata kunci : penerapan; asas; bantuan hukum struktural;


ABSTRACT

The principle of equality before the law means that all people are equal before the law,
without distinguishing between rich and poor. The legal assistance provided under structural
legal assistance is not only based on defense in court, but also on alleviating structural
inequalities in society. The background to the provision of structural legal aid is the
awareness that the cause of injustice is an imbalance in the social structure in society. The
problem with structural legal aid is that there are still many ordinary people who do not
understand the principle of equality before the law in structural legal aid. With the principle
of equality before the law, the poor have the right to justice and equality before the law.
However, in the implementation of structural legal assistance in Indonesia, the application of
the principle of equality before the law has not been implemented optimally. This study
discusses the application of the principle of equality before the law in structural legal aid.
The application of the principle of equality before the law is contained in several regulations
in Indonesia, namely 1) Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution; 2) Article 4
paragraph (1) of the Judicial Powers Law; 3) section weighing letter a KUHAP; 4) Article 3
paragraph (2) of the Human Rights Law. The research method is a normative juridical
research method, namely research using literature and laws and regulations. The purpose of
this research is to provide readers with an understanding of the application of the principle
of equality before the law in structural legal aid.

Keywords : application; principle; structural legal aid

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam sistem hukum Indonesia dan Undang-undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga
Negara Indonesia, begitu pula dengan hak untuk didampingi advokat dijamin dalam sistem
hukum Indonesia. Dalam UUD NRI 1945 telah menjamin adanya persamaan dihadapan
hukum, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), serta hak unutk didampingi
advokat atau penasehat hukum diatur dalam Pasal 54 KUHAP. Namun sayangnya tidak
banyak warga yang mengetahui bantuan hukum adalah bagian dari profesi advokat.
Pemberian bantuan hukum yang ditujukan untuk membantu orang miskin dalam memperoleh
keadilan atau bantuan hukum yang ditujukan untuk mengentaskan ketimpangan struktural
yang terjadi di masyarakat, berkaitan erat dengan asas equality before the law dan acces the
legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang. 1 Oleh karena itu, bantuan hukum
tidak saja sebagai hak asasi manusia melainkan juga sebagai hak konstitusional yang harus
diperoleh dan dinikmati oleh setiap warga Negara tanpa pembedaan berdasarkan apapun.

Asas equality before the law jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki
arti asas persamaan kedudukan di hadapan hukum. Dasar hukum pengaturan asas ini adalah,
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi : “Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 27 ayat (1) juga menegaskan bahwa
tiap warga Negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan, perlakukan yang sama di
mata hukum, serta mendapat keadilan.2 Hal ini berkaitan dengan pemberian bantuan hukum
kepada masyarakat yang kurang mampu sebagai hak untuk mendapatkan keadilan.

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang


Bantuan Hukum, dalam Pasal 1 ayat (1) : “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan
oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.”
Maknanya, bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima
bantuan hukum dalam prosesnya tidak dipungut biaya apapun. Penerima bantuan hukum
diatur dalam ayat (2) yaitu orang atau kelompok orang miskin. Sedangkan, pemberi bantuan
hukum diatur dalam ayat (3) yaitu lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan
yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang-undang.

Lahirnya konsep bantuan hukum struktural adalah karena kegelisahan Adnan Buyung
Nasution ketika menjadi Jaksa. Menurutnya, terdakwa yang didakwa di pengadilan tidak
mengerti proses apa yang menunggunya di persidangan. Faktanya, banyak terdakwa yang
tidak tahu mekanisme beracara di pengadilan dan ketika hakim bertanya kepada terdakwa
apakah terdakwa ada pembelaan, mereka hanya pasrah terhadap putusan hakim dan tidak
mengerti atas pembelaan untuk diri mereka. Dari situlah, Adnan Buyung Nasution membuat
lembaga yang dapat mengurus hak-hak tersangka dan terdakwa di persidangan. Adnan
Buyung Nasution memprakarsai pendirian lembaga bantuan hukum Jakarta. Ia
mengembangkan konsep bantuan hukum struktural melalui lembaga bantuan hukum Jakarta.
Penyimpangan dari kesadaran bahwa ketidakadilan yang muncul disebabkan oleh

1
Ni Gusti Agung Ayu Mas Triwulandari. “Problematika Pemberian Bantuan Hukum Struktural Dan Non
Struktural Kaitannya Dengan Asas Equality Before The Law.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14, No. 3,
November 2020, hlm 540
2
Budi Sastra Panjaitan, “Dari Advokat Untuk Keadilan Sosial.” (Yogyakarta, Deeppublish : 22 Februari 2022)
ketimpangan struktur sosial. Oleh karena itu, perlu diperjuangkan tidak hanya untuk
memenangkan perkara di pengadilan saja, tetapi juga untuk memperbaiki struktur
masyarakat.

Bantuan Hukum Struktural memperkirakan bahwa kondisi struktural yang timpanglah


yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat. Ketimpangan struktural ini dapat pula
meliputi diskriminasi terhadap ras, agama, sosial ekonomi, budaya dan perbedaan lainnya.
Jika bantuan hukum hanya bertolak pada bantuan hukum yang diberikan melalui jalur hukum
saja tanpa pendekatan struktural maka bantuan hukum yang diberikan tidak akan efektif.
Strategi bantuan hukum tersebut juga harus didukung oleh suatu gerakan untuk
mengentaskan ketimpangan tersebut.

Sudah merupakan rahasia umum bahwa masyarakat kecil sulit untuk mendapatkan
keadilan, hal tersebut disebabkan karena :

1. Mereka tidak memiliki kemampuan secara ekonomis untuk membeli jasa bantuan
hukum secara professional;
2. Struktur sosial masyarakat Indonesia masih menempatkan orang miskin dan buta
hukum sebagai kasta nomor dua setelah orang kaya dan atau orang yang berada, hal
tersebut mengakibatkan perlakuan yang berbeda dari pejabat Negara dan masyarakat
kelas lainnya;

Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin akan memberikan
akses terhadap keadilan dan menciptakan relasi kuasa yang seimbang dengan orang yang
mampu secara ekonomi (dalam kasus perdata) dan dengan penyidik atau jaksa (dalam kasus
pidana).

Salah satu permasalahan paling esesial yang ada di Indonesia adalah kurangnya akses
terhadap keadilan, terdapat masih banyaknya kesenjangan struktural dan perlakuan
diskriminasi oleh aparat penegak hukum dan pemerintah dalam memberikan bantuan hukum.
Maka dari itu diperlukan pendekatan yang lebih struktural dalam pemberian bantuan hukum
sebagai terobosan baru dalam menghadapi perubahan struktural masyarakat yang mengalami
kesenjangan dan memberikan dampak yang tidak baik bagi keadilan di Indonesia.

Permasalahan yang terjadi mengenai pemberian bantuan hukum struktural yang


selama ini belum optimal diberikan kepada masyarakat, yang mana hal ini dipengaruhi oleh
beberapa hal sehingga penerapan asas equality before the law dalam bantuan hukum
structural tidak maksimal dilakukan dan menjadi tidak terefleksikan dengan baik.
Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran dari latar belakang, maka rumusan masalah yang penulis
angkat adalah Bagaimanakah Penerapan Asas Equality Before The Law Dalam Pemberian
Bantuan Hukum Struktural?

Tujuan

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui Penerapan Asas Equality Before The Law Dalam Pemberian Bantuan
Hukum Struktural.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode
penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian
dengan menggunakan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan.

HASIL TEMUAN

Bahwasanya bantuan hukum struktural adalah suatu konsep untuk mewujudkan


persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan pemberian jasa hukum serta
pembelaan bagi semua orang dalam kerangka keadilan untuk semua orang.

Penerapan asas equality before the law dengan pemberian bantuan hukum struktural
ini sudah dimuat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

PEMBAHASAN

Secara sederhana, Asas equality before the law merupakan asas yang menyatakan
bahwa semua orang sama derajatnya dan setara di hadapan hukum. Norma inilah yang
melindungi hak asasi warga Negara sekaligus hak konstitusionalnya. Kutipan dari Prof.
Ramly dalam bukunya Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di
Indonesia, yaitu asas equality before the law dapat ditemukan hampir disemua konstitusi
Negara. Jika asas ini dituangkan dalam konstitusi, maka merupakan konsekuensi logis bahwa
penguasa dan penegak hukum harus menerapkan dan melaksanakan asas tersebut dalam
kehidupan masyarakat bernegara.

Menurut Ramly, teori persamaan didepan hukum yang terkandung dalam UUD 1945
merupakan keterkaitan antara hak dan kewajiban, yang harus bertindak sesuai dengan fungsi
dan kedudukannya. Equality before the law atau asas persamaan di depan hukum, berarti
lembaga penegak hukum dan pemerintah harus memperlakukan setiap warga Negara secara
adil. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa secara konstitusional, setiap lembaga pemerintah,
khususnya lembaga penegak hukum, secara konstitusional terikat oleh nilai keadilan yang
harus diwujudkan dalam praktik.

Selain dicantumkan dalam konstitusi, asas equality before the law juga terdapat dalam
peraturan perundang-undangan berikut :

Konsiderans menimbang huruf a KUHAP : “Bahwa Negara Republik Indonesia


adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman : “Pengadilan mengadili menurut hukum


dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Pasal 3 ayat (2) UU HAM : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan
yang sama di depan hukum.”

Pasal 5 ayat (1) UU HAM : “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
kemanusiaannya di depan hukum.”

Dalam hal ini, hukum harus melarang segala bentuk diskriminasi dan menjamin
perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi berdasarkan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau kewarganegaraan.3

3
Junio Jhonny Awuy, dkk. “Perlindungan Hukum Kepada Transpuan Korban Diskriminasi Ditinjau Dari
Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Lex Administratum, vol. 11 no. 1 (2023)
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/45308
Frans Hendra Winarta mengatakan bahwa, “Bantuan hukum merupakan jasa hukum
yang diberikan khusus kepada masyarakat miskin yang membutuhkan pembelaan secara
cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata dan tata usaha
negara, yang diperoleh dari seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-
asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.” Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa, Bantuan hukum adalah
jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima
bantuan hukum.

Bantuan hukum adalah bantuan dalam bidang hukum yang secara khusus diberikan
kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa populer disebut
orang miskin. Tingkat kemiskinan masih menjadi persoalan yang sulit, tidak hanya bagi
Negara berkembang tetapi juga bagi Negara maju masih tetap menjadi masalah.

Di Indonesia, bantuan hukum juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Dalam hal tersangka atau
terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa setiap
penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Kemiskinan struktural berarti pula adanya pola hubungan yang mendasari kehidupan
di masyarakat dan mempertahankan kemiskinan. Oleh karena itu, bantuan hukum struktural
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi pelaksanaan hukum yang
mengubah struktur yang lebih adil, dimana aturan hukum dan pelaksanaannya menjamin
persamaan baik dibidang politik dan hukum maupun dibidang ekonomi. Penyelenggaraan dan
pengembangan dari perspektif bantuan hukum struktural ini harus dilakukan dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Yesmil Anwar dan Adang membagi 3 konsep bantuan hukum, yaitu :

1) Konsep bantuan hukum tradisional, merupakan pelayanan hukum yang diberikan


kepada masyarakat miskin secara individual, sifat dari bantuan hukum pasif dan
cara pendekatannya sangat formal-legal. Konsep ini berarti juga dalam melihat
segala permasalahan hukum dari kaum miskin semata-mata dari sudut hukum
yang berlaku, yang disebut oleh Selnick adalah konsep yang normatif. Konsep ini
merupakan konsep yang sudah lama, yang menitikberatkan kepada kasus-kasus
yang menurut hukum harus mendapatkan pembelaan.
2) Konsep Bantuan Hukum Konstitusional, adalah bantuan hukum untuk rakyat
miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas
seperti: menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subjek hukum,
penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama
bagi tegaknya Negara hukum. sifat dan jenis dari bantuan hukum ini adalah lebih
aktif artinya bantuan hukum ini diberikan terhadap kelompok.
3) Konsep Bantuan Hukum Struktural, adalah kegiatan yang betujuan menciptakan
kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang
timpang menuju kearah structural yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan
pelaksanaannya dapat menjamin persamaan kedudukan baik dilapangan hukum
maupun politik. Konsep bantuan hukum structural ini erat kaitannya dengan
kemiskinan struktural.4

Pemberian bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 16


tahun 2011 tentang bantuan hukum secara implementasi di masyarakat terdapat suatu
kedisharmonian yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan dalam penerapannya,
sehingga berdampak pada buruknya access to law and justice bagi rakyat miskin. Beberapa
permasalahan yang menghambat penerapan bantuan hukum bagi masyarakat adalah :

a. Kerangka Hukum Normatif Pemberian Bantuan Hukum yang Tidak Bekerja.


Kerangka hukum normatif mengenai pemberian bantuan hukum dalam tataran praktik
di masyarakat, terutama pada konstituen regulasi tersebut yaitu rakyat miskin masih
belum dijalankan secara optimal oleh para advokat sebagai salah satu pemberi
bantuan hukum. Dalam menghadapi persoalan bantuan bagi rakyat miskin, Terdapat
tiga hal perilaku advokat yang sering terjadi yaitu menghindari dengan berbagai
alasan, menerima perkara dengan syarat perkara tersebut harus menarik media massa
sehingga menaikkan pamor advokat, dan yang terakhir menerima sepenuhnya
melakukan pemberian bantuan hukum. Para advokat cenderung lebih menyukai
membela para klien menengah keatas ketimbang rakyat miskin, hal ini bisa mereduksi
4
Ni Gusti Agung Ayu Mas Triwulandari. “Problematika Pemberian Bantuan Hukum Struktural Dan Non
Struktural Kaitannya Dengan Asas Equality Before The Law.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14, No. 3,
November 2020
profesi advokat sebagai profesi mulia menjadi profesi komersil. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat hampir sebagian advokat enggan untuk memberikan bantuan
hukum/pembelaan secara pro bono publico kepada rakyat miskin dengan penolakan
perkara secara tidak obyektif. Penolakan perkara yang dialami rakyat miskin secara
tidak obyektif oleh advokat adalah sebuah penyimpangan terhadap kerangka hukum
normatif dari pemberian bantuan hukum, karena secara normatif bantuan hukum
diberikan tanpa mengenal masalah hukum apa yang akan ditangani dan siapa yang
akan dibela, melainkan bagaimana rakyat miskin mendapatkan hak untuk access to
law and justice ketika rakyat miskin bermasalah dengan hukum.
b. Kurangnya kesadaran hukum dalam rakyat miskin
Ketidaktahuan akan hukum mengakibatkan seseorang akan melanggar hukum atau
seseorang tersebut akan dibodohi oleh oknum untuk mengambil keuntungan , dan
yang lebih mencengangkan adalah oknum tersebut biasanya dari kalangan penegak
hukum ataupun pemerintah. Mengutip dari pendapatnya John Rawls “semua sistem
hukum akan gagal bila tidak di disemangati oleh suatu sikap moral pribadi yang sejati
(justice as farness) masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut jika dibenturkan
dengan penerapan bantuan hukum bagi rakyat miskin, apabila rakyat miskin dalam
tataran praktiknya masih kurang kesadaran hukum dan pengetahuan hukum akan
pentingnya bantuan hukum, maka pemberian bantuan hukum tersebut akan tidak
berfungsi secara maksimal.
c. Akses menuju peradilan hanya sebatas formalitas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian pemberian bantuan hukum
dilakukan sampai kepada peradilan tingkat pertama saja. Dari sudut pandang
advokat/LBH, hal itu dilakukan atas dasar permintaan klien (rakyat miskin), akan
tetapi dari sudut pandang rakyat miskin permintaan (tidak mengajukan banding,
kasasi, peninjauan kembali) atas dasar kepasrahan dan tidak memiliki biaya untuk
mengakses hal tersebut.
d. Diskriminasi dan Prosedur yang Rumit dalam Pendanaan Bantuan Hukum.
Berbicara mengenai pendanaan atau uang merupakan suatu hal yang menarik, karena
dengan hal itu segala aktivitas pekerjaan akan mudah dan karena hal itu pula dapat
merubah suatu ideologi. Pendanaan dalam bantuan hukum merupakan salah satu
bentuk tanggung jawab dan semangat yang diberikan kepada negara kepada para
advokat/LBH karena mewajibkan untuk memberikan bantuan hukum kepada rakyat
miskin. UU Bantuan Hukum memberikan pendanaan bagi advokat/LBH dengan
berbagai macam syarat dan prosedur yang rumit. Syarat yang diberikan lebih
cenderung kepada dapat terpenuhi oleh LBH saja, itupun harus ada proses seleksi
yang biasa disebut dengan akreditasi sebagai legitimasi untuk menyerap pendanaan
bantuan hukum tersebut, hal ini bertendensi adanya suatu diskriminasi.
e. Belum Adanya Pengawasan Penerapan Bantuan Hukum.
Pengawasan adalah suatu hal yang terpenting untuk menjaga agar tidak kelewat batas
ataupun menyalahgunakan. Kelalaian bagi pembuat undang-undang terutama UU
Bantuan Hukum secara normatif tidak mengakomodir ketentuan Pengawasan dalam
penerapan bantuan hukum. Pengawasan dalam penerapan bantuan hukum sangatlah
berperan penting untuk menjaga bantuan hukum keseimbangan relasi tetap berjalan
sesuai peruntukannya. Pengawasan yang longgar, dapat membuka celah untuk
menyelewengkan uang negara (korupsi) atau sampai kepada mengorbankan harapan
untuk terwujudnya access to law and justice bagi rakyat miskin.

Hak untuk mendapatkan bantuan hukum merupakan hak dasar atau hak asasi
seseorang yang terkena masalah hukum. Karena mendapatkan bantuan hukum merupakan
salah satu bentuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang atau berurusan dengan masalah
hukum. Mendapatkan bantuan hukum juga merupakan salah satu perwujudan dari persamaan
di depan hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UUBH)


terdapat 4 tujuan dan manfaat diselenggarakannya bantuan hukum kepada masyarakat
miskin. Pertama, Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia bertujuan agar warga negara
mendapat akses terhadap keadilan. Yang kedua, pemenuhan terhadap hak konstitusional
warga Negara (equaliy before the law). Ketiga, pemberian bantuan hukum yang merata di
seluruh Indonesia, dan Keempat untuk mewujudkan peradilan bersih, Jujur adil, dan tidak
memihak yang pada akhirnya ikut mendorong perbaikan sistem peradilan (fairtrail).

Pemberian bantuan hukum struktural ini, tidak terlepas dengan peran advokat dan
Lembaga Bantuan Hukum, yang merupakan salah satu kewajibannya dalam menjalankan
profesinya. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 taentang Advokat
berbunyi, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu.” Kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
merupakan hal yang berkaitan dengan asas persamaan dihadapan hukum dan hak setiap orang
untuk didampingi oleh advokat tanpa kecuali. Sifat dari bantuan hukum adalah wajib karena
hal tersebut merupakan hak asasi manusia bukan wujud belas kasihan. Bantuan hukum
merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mengentaskan ketidakadilan
dalam masyarakat. Begitu pun halnya dengan bantuan hukum struktural adalah sebagai
bentuk pengentasan dan peniadaan terhadap ketimpangan struktural dalam masyarakat.
Karena, masyarakat awam dan miskin yang menghadapi masalah hukum dapat menjadi
korban dari ketidakadilan sistem dan perbuatan oknum penegak hukum yang tidak
bertanggung jawab, sehingga peran advokat unutk mendampingi atau memberikan bantuan
hukum kepada mereka sangatlah dibutuhkan.

Bahwasanya bantuan hukum struktural adalah suatu konsep untuk mewujudkan


persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan pemberian jasa hukum serta
pembelaan bagi semua orang dalam kerangka keadilan untuk semua orang.

Penerapan asas equality before the law dengan pemberian bantuan hukum struktural
ini sudah dimuat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Asas ini sebagai prinsip yang sangat penting dalam pemberian bantuan hukum struktural.
Ada tiga prinsip negara hukum (rechstaat), yaitu supremasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara-
cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas
ditujukan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan acces to justice merupakan
refleksi dan penerapan dari asas equality before the law. Dengan adanya asas ini, bantuan
hukum struktural untuk mengentaskan ketimpangan struktural bagi masyarakat miskin akan
dapat memberikan akses keadilan bagi masyarakat miskin. Dalam praktiknya, pendampingan
bagi masyarakat miskin menjadi sebuah tugas yang diharuskan dalam mencari keadilan
bukan berdasarkan atas hati nurani. Kondisinya saat ini, asas equality before the law belum
dijadikan patokan utama dalam pemberian bantuan hukum. Padahal, jika secara benar dan
patut asas ini direfleksikan ke dalam penegakan hukum di Indonesia, seyogyanya tidak ada
lagi masyarakat miskin mengalami diskriminasi dan ketidakadilan hukum.

Penerapan asas equality before the law (asas persamaan di depan hukum) dalam
memberikan bantuan hukum secara struktural oleh pemberi bantuan hukum mengandung
makna bahwa setiap orang warga Negara Indonesia walaupun berbeda ras, agama, suku,
budaya dan sosial ekonomi ataupun kaya dan miskinnya seseorang dalam memperoleh
bantuan hukum tidak boleh dibeda-bedakan. Dengan bantuan hukum struktural ini
diharapkan dapat mengentaskan ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat. Semua
orang sama di mata hukum, tidak ada kecuali. Maka dari itu semua orang berhak
mendapatkan keadilan dan mendapatkan bantuan hukum dalam permasalahan hukum yang ia
hadapi. Jika, asas ini diterapkan sesuai dengan hal yang tertuang dalam UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya, maka ketimpangan struktural yang ada saat ini akan
hilang dan dapat tercapai kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.

Pemberian bantuan hukum atau hak untuk mendapatkan akses keadilan adalah hak
asasi manusia yang diakui secara internasional. Hak ini mencakup akses terhadap informasi
hukum, hak untuk mendapatkan nasihat hukum, dan hak untuk diwakili di pengadilan dalam
rangka mengakses keadilan yang sama bagi semua.

Dalam konteks penerapan asas equality before the law, advokat dan lembaga bantuan
hukum memiliki peran penting dalam memberikan akses keadilan kepada semua orang.
Mereka memberikan bantuan hukum secara struktural bagi kelompok-kelompok pedagang
kecil, masyarakat marginal dan kelompok-kelompok yang tidak mampu.

Advokat dapat memberikan bantuan hukum secara struktural dengan memberikan


pendidikan hukum dan membangun kesadaran akan hak-hak yang dimiliki masyarakat. Di
samping itu, advokat juga dapat membantu dalam hal penyusunan undang-undang dan
kebijakan yang dapat memberikan hak yang sama bagi semua. Lembaga bantuan hukum juga
memiliki peran penting dalam memberikan akses keadilan bagi warga masyarakat. Mereka
memberikan bantuan hukum kepada kelompok-kelompok yang tidak mampu dalam hal
persidangan, penyelesaian sengketa alternatif dan konsultasi hukum. Dalam membantu
kelompok-kelompok yang tidak mampu, advokat dan lembaga bantuan hukum memainkan
peran penting dalam mewujudkan asas equality before the law. Dengan memberikan akses
keadilan bagi semua, maka keadilan dan keberlangsungan hidup social dapat terjamin secara
merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dalam bantuan hukum struktural, asas ini berarti bahwa pemerintah harus
menyediakan pelayanan hukum yang merata dan tidak diskriminatif bagi semua warga
negara, dengan cara menciptakan sistem yang transparan dan terbuka bagi orang yang tidak
mampu secara finansial atau yang kurang berpengalaman dalam urusan hukum. Beberapa
cara penerapan asas equality before the law dalam bantuan hukum struktural di Indonesia
antara lain sebagai berikut:

1. Akses yang merata: Pemerintah harus menyediakan layanan bantuan hukum yang
dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari status sosial, latar belakang, jenis
kelamin, atau agama. Hal ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum, yang menjamin kesetaraan dalam pemberian bantuan
hukum kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu secara
finansial.
2. Pendekatan sesuai kebutuhan: Layanan bantuan hukum harus disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. Pemerintah harus menyesuaikan metode dan strategi bantuan
hukum dengan kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda, seperti dengan membuat
layanan bantuan hukum secara online atau dengan menerapkan pendekatan
terintegrasi.
3. Mendorong pelayanan yang adil: Bantuan hukum harus diberikan secara adil tanpa
diskriminasi. Hal ini merupakan upaya untuk memberikan pelayanan hukum yang
sama kepada semua klien yang memerlukan bantuan hukum, tanpa ada perbedaan
perlakuan berdasarkan suku, agama, jenis kelamin, atau status sosial.
4. Membantu memahami hukum: Layanan bantuan hukum harus membantu masyarakat
untuk memahami masalah hukum yang dihadapi. Cara ini penting untuk membantu
masyarakat dalam pengambilan keputusan hukum, sehingga mereka dapat membuat
keputusan yang lebih cerdas, dan menjadi lebih bijaksana dalam memahami hukum
yang berlaku.

Selain itu, dalam praktiknya, untuk menerapkan asas equality before the law dalam
bantuan hukum struktural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti penghapusan
praktik-praktik yang diskriminatif dan menghilangkan hambatan pada sistem hukum. Selain
itu, pemerintah juga harus memberikan akses keadilan yang lebih terjangkau dan terbuka bagi
semua lapisan masyarakat. Dengan menjalankan prinsip ini dengan sungguh-sungguh, maka
bantuan hukum yang diberikan akan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat
secara umum, serta mendukung tumbuhnya sebuah masyarakat yang lebih adil dan merata.
PENUTUP

Kesimpulan

Bahwasanya bantuan hukum struktural adalah suatu konsep untuk mewujudkan


persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan pemberian jasa hukum serta
pembelaan bagi semua orang dalam kerangka keadilan untuk semua orang.

Penerapan asas equality before the law dengan pemberian bantuan hukum struktural
ini sudah dimuat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Asas ini sebagai prinsip yang sangat penting dalam pemberian bantuan hukum struktural.
Ada tiga prinsip negara hukum (rechstaat), yaitu supremasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara-
cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Beberapa cara penerapan asas equality before the law dalam bantuan hukum
struktural di Indonesia antara lain sebagai berikut: 1) Akses yang merata; 2) Pendekatan
sesuai kebutuhan; 3) Mendorong pelayanan yang adil; 4) Membantu memahami hukum.

Saran

Dalam bantuan hukum struktural seharusnya aparat penegak hukum dan pemerintah
dapat lebih mengoptimalkan penerapan asas equality before the law supaya ketimpangan
struktural yang terjadi dimasyarakat dapat dientaskan dan dapat memperbaiki tatanan hukum
yang ada di Indonesia.

Selain itu, hal-hal yang perlu disarankan agar permasalahan penerapan asas equality
before the law dalam pemberian bantuan hukum struktural ini dapat dijalankan dengan baik
adalah :

1. Perlunya dilakukan pengawasan dalam pemberian dan penerapan bantuan hukum ini
baik secara normatif maupun implementasinya di masyarakat, oleh karena itu,
diperlukan suatu sistem pengawasan untuk mengawasi beberapa komponen dari
penerapan asas dan bantuan hukum tersebut.
2. Pengawasan pada dasarnya mencakup dijalankan atau tidak dijalankannya pemberian
bantuan hukum, digunakan atau tidak digunakannya acces to justice dengan
penerapan asas equality before the law, kinerja advokat atau Lembaga Bantuan
Hukum dalam memberikan bantuan hukum, dalam hal ini tentunya diperlukan adanya
pendapat atau suara dari masyarakat ataupun klien yang pernah mendapatkan bantuan
hukum tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi adanya korupsi atau penggelapan
dana bantuan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Budi Sastra Panjaitan, “Dari Advokat Untuk Keadilan Sosial.” (Yogyakarta,


Deeppublish : 22 Februari 2022)

Febri Handayani, “Bantuan Hukum Di Indonesia.” (Yogyakarta, Kalimedia : 2016)

Jurnal :

Junio Jhonny Awuy, Dkk. “Perlindungan Hukum Kepada Transpuan Korban


Diskriminasi Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Lex Administratum, Vol.
11, No. 1, (2023) Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/V3/Index.Php/Administratum/Article/View/
45308

Ni Gusti Agung Ayu Mas Triwulandari. “Problematika Pemberian Bantuan Hukum


Struktural Dan Non Struktural Kaitannya Dengan Asas Equality Before The Law.” Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14, No. 3, November 2020

Fauzi, Suyogi Imam, Dan Inge Puspita Ningtyas. “Optimalisasi Pemberian Bantuan
Hukum Demi Terwujudnya Access To Law And Justice Bagi Rakyat Miskin.” Jurnal
Konstitusi Vol. 15, No. 1, 2018

Mustika Prabaningrum Kusumawati. “Peranan Dan Kedudukan Lembaga Bantuan


Hukum Sebagai Access To Justice Bagi Orang Miskin.” Jurnal Arena Hukum, Vol. 9, No. 2,
Agustus 2016

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

KUHAP
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 taentang Advokat

Anda mungkin juga menyukai