Makalah Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Makalah Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Makalah Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
RHEUMATOID ARTHRITIS
Tujuan Penulisan :
Untuk memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pengampu :
Ns. Lia Mulyati, S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh
Kelompok : 2 (Dua)
Anggota :
Kelas : Keperawatan 3C
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah
II dengan judul "Konsep Asuhan Keperawatan pada Kasus Rheumatoid Arthritis"
dengan baik.
Makalah ini disusun dengan tujuan utama untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Keperawatan Jiwa dan tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari
beberapa pihak yang telah menyediakan sumber informasi dan memberikan
masukan. Terimakasih kami ucapkan kepada bapak selaku Dosen pengampu pada
mata kuliah tersebut.
Akhir kata kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat baik
kepada kami sendiri maupun pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Medan yaitu 2.121.053. jiwa dan 35,07% adalah lansia dengan angka kejadian
arthritis reumatoid 30% di Kota Medan (Torich, 2011 dalam Simbolon, M. E,
2021).
Rhoeumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh inflamasi sistematik kronik dan progresif dengan target utama adalah sendi.
Sendi yang dikenai terutama sendi kecil dan menegah secara simetris. Rheumatoid
arthritis tidak hanya mengenai lapisan synoval sendi juga tetapi juga dapat
mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, kulit, dan paru-paru
dan mata (Purqan N, 2019).
Rheumatoid Arthritis biasanya terjadi di sendi tangan, siku, kaki, dan lutut
sehingga terjadi nyeri dan bengkak pada bagian sendi. dan secara terus-menerus dan
semakin lama gejala keluhannya terasa semakin berat dan menyebabkan terjadinya
hambatan mobilitas fisik. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun,
sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada
Rheumatoid Arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat
berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk
waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang
mungkin memiliki RA, karena sedikit penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti
ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang
berkepanjangan sehingga pasien merasakan kecemasan dalam dirinya.
2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu :
1. Jelaskan Definisi Rheumatoid Arthritis!
2. Jelaskan Anatomi Fisiologi Rheumatoid Arthritis!
3. Jelaskan Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis!
4. Jelaskan Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis!
5. Jelaskan Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid
Arthritis!
6. Jelaskan Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis!
7. Jelaskan Pathway Rheumatoid Arthritis!
8. Jelaskan Konsep Asuhan Keperawatan Rheumatoid Arthritis!
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu :
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Rheumatoid Arthritis
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Anatomi Fisiologi Rheumatoid Arthritis
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Etiopatogenesis dan Patofisiologi
Rheumatoid Arthritis
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang
dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis
6. Untuk Mengetahui dan Memahami Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis
7. Untuk Mengetahui dan Memahami Pathway Rheumatoid Arthritis
8. Untuk Mengetahui dan Memahami Konsep Asuhan Keperawatan Rheumatoid
Arthriti
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.
Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam
sendi (Febriana, 2015).
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa
dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang
sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan
yang adekuat (Febriana, 2015).
2.2 Anatomi Fisiologi Rheumatoid Arthritis
4
Gambar 2.1 Persendian pada Manusia
Sendi merupakan pertemuan dua tulang, tetapi tidak semua pertemuan tersebut
memungkinkan terjadinya pergerakan (Roger, 2002).
Ada tiga jenis sendi pada manusia dan gerakan yang
dimungkinkannya yaitu, sendi fibrosa, kartilaginosa dan sinovial (Roger,
2002).
5
Membran sinovial ini melapisi seluruh interior sendi, kecuali ujung-ujung
tulang, meniskus, dan diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga dihubungkan oleh
sejumlah ligamen dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada sendi sinovial
meskipun terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi metakarpal.
Adapun jenis-jenis Sendi Sinovial :
1) Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah; misalnya
sendi siku
2) Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan ulna
pada daerah siku dan antara vertebra servikalis I dan II yang memungkinkan
gerakan memutar pada pergelangan tangan
dan kepala.
3) Sendi kondilar merupakan dua pasang permukaan sendi yang memungkinkan
gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa berada dalam satu
kapsul atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi lutut.
4) Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah kepala
hemisfer yang masuk kedalam cekungan berbentuk mangkuk misalnya sendi
pinggul dan bahu.
5) Sendi plana merupakan gerakan menggelincir dibatasi oleh ligamen dan
tonjolan tulang, misalnya sendi-sendi tulang karpal dan tarsal. Di beberapa sendi
sinovial, kavum dapat dibagi oleh sebuah diskus atau meniskus artikularis, yang
terdiri dari fibrokartilago yang membantu melumasi sendi, mengurangi keausan
permukaan artikular, dan memperdalam sendi.
d. Pergerakan Sendi
Gerakan sendi bisa dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1) Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan
menyudut atau memutar.
2) Gerakan menyudut menyebabkan peningkatan atau penurunan sudut diantara
tulang. Gerakan ini mencakup fleksi (membengkok) dan ekstensi (melurus), dan
juga abduksi (menjauhi garis tengah) dan aduksi ( mendekati garis tengah).
3) Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal (memutar suatu bagian pada
porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna (menjauhi garis tengah).
6
Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu lingkaran. Istilah
supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar telapak tangan keatas dan
kebawah.
7
1. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat
kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan
penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara
tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan
risiko RA.
2. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor (RF) yang
akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga
berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok
menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab
namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
3. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian
Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis
makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
4. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan
synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19,
Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga
memingkatkan risiko RA.
8
5. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan
paparan silica.
b. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler,
dan menarche usia sangat muda.
c. Bentuk tubuh Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.
9
2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis
kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai
pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan
ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek
dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, mungkin
infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap
antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu
sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin
merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit
atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast
sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur
jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
10
Gambar 2.4.1 Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
11
pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan
sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan
pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-
pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
12
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel
sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah
fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis
dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari
tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu
kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan
granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
13
2. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun
40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
3. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
4. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan
gejala foot or wrist drop
5. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
6. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni.
2) Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis,
erosi tulang, atau subluksasi sendi.
3) Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur
14
diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan
dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai
contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas
hanya 54% (Bresnihan, 2002).
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
a. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1
jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
f. Rheumatoid Factor serum positif
g. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang
terlibat Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria
di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain
kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor
dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010.
15
menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA
secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat
domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).
2.6 Penatalaksana
1. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko :
a. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan
klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
16
b. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakangerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik
kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila
mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
c. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
d. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E
juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal
17bebas.
e. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada
sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air
dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sistem bantalan sendi yang
melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air
yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari (Candra, 2013).
f. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif (Febriana, 2015).
2. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita
Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID
yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
17
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita
Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
18
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral samping: rentan infeksi,
12,517,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping:
penurunan tajam
penglihatan, mual, diare,
anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash
19
2.7 Pathway
20
BAB III
TINJAUAN KASUS
21
7. Fungsi keluarga terdiri dari aspek instrumental dan ekspresif. Aspek
instrumental fungsi keluarga adalah aktivitas hidup sehari-hari seperti makan,
tidur, pemeliharaan kesehatan. Aspek ekspresif fungsi keluarga adalah fungsi
emosi, komunikasi, pemecahan masalah, keyakinan dan lain-lain.
22
Tabel 3.2.2 Diagnosa Keperawatan Defisit Perawatan Diri
Defisit Perawatan Diri
Kategori Perilaku
Subkategori Kebersihan diri
Definisi Tidak mampu melakukan atau
menyesuaikan aktifitas perawatan diri.
Penyebab Kelemahan ekstremitas bawah Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Objektif :
1. Menolak melakukan perawatan diri 1. Tidak mampu mandi/ mengenakan
pakaian/ makan/ ke toilet/ berhias
secara mandiri
2. Minat melakukan perawatan diri
kurang
Gejala dan tanda minor Subjektif : Objektif :
(tidak tersedia/ tidak ada) Tidak tersedia/ tidak ada)
(sumber: Tim pokja SDKI DPP PPNI, Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia,
20016)
pada penilaian dan keilmuan pada tatanan klinik, dimana perawat melakukan
Rheumatoid Arthritis.
23
Tabel 3.3.1 Intervensi Keperawatan
24
2. D.0109 Defisit 2. Perawatan Diri: 2. Dukungan Perawatan Diri
Perawatan 1) Kemampuan mandi Observasi :
Diri 2) Kemampuan 1) Identifikasi kebiasaan aktivitas
mengenakan pakaian perawatan diri sesuai usia
3) Kemampuan ke toilet 2) Monitor tingkat kemandirian
(BAK/BAB) 3) Identifikasi kebutujan alat bantu
4) Verbalisasi keinginan kebersihan diri, berpakaian, berhias dan
melakukan perawatan makan
diri Terapeutik :
5) Mempertahankan 1) Sediakan lingkungan yang terapeutik
2) Siapkan keperluan pribadi
2) Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri
3) Fasilitas untuk menerima keadaan
ketergantungan
4) Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi :
1) Anjurkan melakukan perawatan diri
secara konsisten sesuai Kemampuan
25
3.4 Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan pyang dialami ke status yang
lebih baik dengan hasil yang diharapkan. Anggota keluarga yang mengalami penyakit
rematik dapat dilakukan penyuluhan agar keluarga memahami tentang perawatan kesehatan
3.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan seberapa efektif intervensi yang dilakukan keluarga, perawat, dan
lainnya. Keberhasilan lebih ditentukan oleh hasil pada sistem keluarga dan anggota keluarga
dari intervensi yang diimplementasikan. Keluarga dengan rematik sudah paham apa itu
rematik, faktor timbulnya rematik, tanda dan gejala, akibat lanjut, cara pengangganan, yang
tidak boleh dilakukan, cara mengatur lingkungan.
Reaksi peradangan
Hambatan nutrisi
pada kartilago
(Pohon Masalah 3.6.1 Gangguan Mobilitas Fisik dan Defisit Perawatan diri)
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang
menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial
yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat banyak faktor
risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi (genetik, ras, jenis
kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya hidup, infeksi, dan bentuk tubuh).
Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi.
Dengan penegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010
dimana meliputi dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
pasien perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi
klinis artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan RA, saat ini pasien
menjalani perawatan di rumah sakit dan mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk
menghilangkan inflamasi dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.
4.2 Saran
Rheumatoid Arthritis atritis dapat menyerang segala usia maka penangana penuakit ini
diupayakan secara maksimal dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatanbaik memalui tenaga
Kesehatan, prasarana dan sarana kesehartan.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsudin, Astuti A.D (2021). Literature Review Pengaruh Simplisia Jahe Terhadap
Penurunan Nyeri Rheumatoid Artritis. Jurnal Keperawatan Volume 7, Nomor 2, Juli
2. 2021 Hal 37-38
3. Sari D.J.E, Masruroh (2021) Pengaruh Kompres Hangat Jahe Intensitas Nyeri
Rheumatoid Arthritis Pada Lansia. Jurnal IJPN Vol. 2, No.1 Juni 2021
4. Sianipar N, Pangaribuan R, Tarigan J (2021). Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Pada
5. Lansia Dengan Rheumatoid Arthritis (Ra) Di Upt Pelayanan Lanjut Usia Binjai.
6. [Mahesa: Malahayati Health Student Journal, P- Issn: 2746-198x E-Issn 2746-3486
Volume 1, Nomor 3, 2021] Hal 270-283
7. Darmawan Y.D (2020) Hubungan Self Management Dengan Kualitas Hidup Penderita
Rheumatoid Arthritis Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Baki
8. Simbolon E.M (2021) Literature Riview: Efektifitas Senam Rematik Terhadap Penurunan
Nyeri Sendi Pada Lansia Penderita Reumatoid Arthritis
9. Masyeni A.K.M (2021) Rheumatoid Arthritis
10. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis
Rheum,
11. Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
12. Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis
Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51
13. Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
14. Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
15. Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
28
16. Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12
17. Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
18. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit
Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
19. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
20. Rudan, I (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, 5(1).
29