LP Otitis Media

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (OTITIS MEDIA)

DIEGO RIZKY FAUZI


NIM. J.0105.21.009

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS TAHAP PROFESI
CIMAHI
2022
LAPORAN PENDAHULUAN OTITIS MEDIA
1. DEFINISI
Otitis media ialah inflamasi telinga tengah (Sowden dan Cecily 2002, h.370). otitis
media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah
(Kapita selekta kedokteran, 2002). Otitis media akut ialah radang akut telinga tengah
yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas.
2. ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius
tidak diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat
edema yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif
juga menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220
otitis media terjadi karena mekanisme pertahanan humoral yang belum matang
sehingga meningkatkan terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada
posisi terlentang akan memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring,
pembesaran jaringan limfoid yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba
eustachii yang pendek dan horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk
sehingga tuba eustachii terbuka lebih awal.
3. ANATOMI FISIOLOGI
Telinga dibagi menjadi bagian, yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga tengah
terdiri dari membran timpani, otot tensor timpani, otot stapedius dan tulang kecil yaitu
maleus, inkus dan stapes.3 Membran timpani berbentuk oval dan merupakan selaput
tipis pada ujung liang telinga. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida dan
bagian bawah dari membran timpani disebut pars tensa. Membran timpani dibagi
menjadi kuadran, yaitu bagian anterosuperior, posterosuperior, anteroinferior dan
posteroinferior.
a) Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh
membran timpani, sebelah medial oleh promontorium, superior oleh tegmen
timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. fasialis. Kavum timpani
terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba
Eustachius.
b) Tuba Eustachius merupakan bagian dari sistem yang paling berhubungan
termasuk hidung, nasofaring, telinga tengah dan rongga mastoid.
c) Tuba Eustachius tidak hanya berupa tabung melainkan sebuah organ yang
mengandung lumen dengan mukosa, kartilago, dikelilingi jaringan lunak,
muskulus peritubular seperti veli palatine, levator veli palatini,
salpingofaringeus dan tensor timpani dan di bagian superior didukung tulang.
Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa yang menyebabkan
meningkatnya insiden otitis media pada anak-anak. Panjang tuba pada anak
setengah dari panjang tuba dewasa, sehingga sekret nasofaring lebih mudah
refluks ke dalam telinga tengah melalui tuba yang pendek. Arah tuba
bervariasi pada anak, sudut antara tuba dengan bidang horizontal adalah.
Sedangkan pada dewasa 45 derajat. Sudut antara tensor veli palatine dengan
kartilago bervariasi pada anak-anak tetapi relatif stabil pada dewasa.
Perbedaan ini dapat membantu menjelaskan pembukaan lumen tuba (kontraksi
tensor veli palatini) yang tidak efisien pada anak-anak. Masa kartilago
bertambah dari bayi sampai dewasa. Densitas elastin pada kartilago lebih
sedikit pada bayi tetapi densitas kartilago lebih besar. Ostmann fat pad lebih
kecil volumenya pada bayi. Pada anak-anak banyak lipatan mukosa di lumen
tuba Eustachius, hal ini dapat menjelaskan peningkatan compliance tuba pada
anak-anak.
4. PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar
yang mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang
tersebut memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa
telinga tengah dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan
lingkungan luar. Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam
telinga tengah. Udara, tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga
diserap ke dalam sirkulasi yang menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga
tengah. Jika tuba tersebut terbuka, perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri
masuk ke ruang telinga tengah, tempat organisme cepat berproliferasi dan menembus
mukosa (Wong et al 2008, h.944)
5. PATHWAYS

Otitis Media Syndrom


6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
a) Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
b) Otalgia (sakit telinga)
c) Demam
d) Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.
Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
a) Menangis
b) Rewel, gelisah, sensitif
c) Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
d) Menggeleng-gelengkan kepala
e) Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
f) Kehilangan nafsu makan.
7. KLASIFIKASI
OMA memiliki beberapa stadium berdasarkan pada gambaran membran timpani yang
diamati melalui liang telinga luar yaitu stadium oklusi, stadium hiperemis, stadium
supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Efiaty AS, 2007).
a) Pada stadium oklusi tuba Eustachius terdapat gambaran retraksi membran
timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi udara.
Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat dan sukar dibedakan
dengan otitis media serosa virus. terapi dikhususkan untuk membuka kembali
tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan
fisiologik untuk anak 12 thn atau dewasa. Selain itu, sumber infeksi juga harus
diobati dengan memberikan antibiotik.
b) Pada stadium hiperemis, pembuluh darah tampak lebar dan edema pada
membran timpani. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat
yang serosa sehingga sukar terlihat. diberikan antibiotik, obat tetes hidung,
dan analgesik. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika
terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila alergi terhadap penisilin maka diberikan
eritromisin. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB, amoksisilin
4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari (Efiaty AS, 2007).
c) Pada stadium supurasi, edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superfisila serta terbentuk eksudat purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri
di telinga tambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak
berkurang, maka terjadi iskemia. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat
sebagai daerah yang lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan
terjadi ruptur. Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk dilakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik juga perlu
diberikan agar nyeri dapat berkurang. Miringotomi ialah tindakan insisi pada
pars tensa membran timpani, agar terjadi drenase sekret dari telinga tengah ke
liang telinga luar
d) Pada stadium perforasi, karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian
antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi maka dapat menyebabkan
membran timpani ruptur. Keluar nanah dari telinga tengah ke telinga luar.
Anak yang tadinya gelisah akan menjadi lebih tenang, suhu badan turun, dan
dapat tidur nyenyak. sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat
sekret keluar secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama
3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu (Efiaty AS, 2007).
Pada stadium resolusi, bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
mengering. Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan
daya tahan tubuh baik.
8. KOMPLIKASI
Komplikasi menurut Sowden dan Cecily 2002, h. 372 ialah :
a) Ruptur membran timpani dengan otorea
b) Tuli konduktif jangka pendek
c) Tuli permanen atau jangka Panjang
d) Meningitis
e) Mastoiditis
f) Abses otak
g) Kolesteatoma yang didapat (sakus telinga tengah terisi epitel atau keratin)

9. PENGKAJIAN
a) Keluhan Utama
Tanyakan asalan utama pasien masuk RS / Keluhan pasien saat pengkajian
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk menanyakan riwayat kesehatan sekarang dan keluhan pasien ? Tanyakan
akan adanya , demam, lesi, kemerahan, memar dll.
c) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan masalah kesehatan yang pernah dialami, Riwayat penyakit spt DM,
MH, Hepatitis dll,, pernapasan ?
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit kulit ? Kapan mulainya ?
Apakah ada anggota keluarga yg menderita alergi ?
e) Riwayat Pengobatan
Mengkaji Riwayat pengobatan terakhir pasien, dan obat -obatan yang dikonsumsi
f) Riwayat Pembedahan
Kaji dan tanyakan Riwayat pembedahan yang pernah dilakukan klien.
10. PEMERIKSAAN FISIK
a) Tanda-tanda vital : Suhu dan Rr biasanya naik
b) Pemeriksaan fisik focus
1) Hidung : Inspeksi : biasanya adanya sekret yang menunjukkan klien
mengalami ISPA, hidung tampak kemerahan. Palpasi : adanya
pembengkakan mukosa hidung
2) Telinga : Inspeksi : membran tympani dan daun telinga tampak
kemerahan, adanya sekret pada canalis auditorius eksterna. Palpasi :
telinga teraba hangat
11. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220 ialah :
a) Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani.
b) Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani). Uji sensitivitas dan
kultur dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme pada sekret telinga.
c) Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan
pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.
12. PENATALAKSANAAN KLINIS
a) Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149. Penatalaksanaan
OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya:
1) Stadium oklusi tuba
i. Berikan antibiotik selama 7 hari :
 Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB
4 x sehari atau
 Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10
mg/KgBB 3 x sehari atau
 Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10
mg/KgBB 4 x sehari
ii. Obat tetes hidung nasal dekongestan
iii. Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
iv. Antipiretik
2) Stadium hiperemis
i. Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
 Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB
4 x sehari atau
 Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10
mg/KgBB 3 x sehari atau
 Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10
mg/KgBB 4 x sehari
ii. Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
iii. Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
iv. Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
3) Stadium supurasi
i. Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
ii. Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi
parenteral selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik peroral selama 14 hari.
iii. Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis
THT untuk dilakukan miringotomi
b) Penatalaksanaan Keperawatan:
1) Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang
mungkin terjadi.
2) Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas
pakainan anak yang berlebihan.
3) Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan
makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan,
dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
4) Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit
tergantung.
5) Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
6) Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
i. Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping
obat.
ii. Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan
antibiotic
iii. Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan
pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
iv. Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak
posisi tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan
perlahan, permainan meniup.
v. Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah
menyelesaikan terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi
persisten
13. ANALISA DATA

No Data Senjang Etiologi Masalah


Keperawatan
1. DS: Invasi Bakteri Nyeri akut
- Mengeluh Nyeri ↓
DO: Infeksi / Inflamasi pada telinga
- Tampak meringis tengah
- Gelisah ↓
- Frekuensi nadi Proses inflamasi
meningkat ↓
- Sulit tidur Nyeri akut
2. DS: Invasi Bakteri Gangguan persepsi
- Mendengar suara ↓ sensori
bisikan Infeksi / Inflamasi pada telinga
DO: tengah
- Distrosi sensori ↓
- Respons tidak Peningkatan Produksi Cairan
sesuai serosa
- Bersikap seolah ↓
mendengar sesuatu
Akumulasi cairan mucus &
serosa

Gangguan persepsi sensori
3. - Invasi Bakteri Resiko injuri

Infeksi / Inflamasi pada telinga
tengah

Pengobatan tak tuntas /
episode berulang

Infeksi berlanjut

Terjadi erosi pada kanalis

Resiko Injuri
4. - Invasi Bakteri Resiko Infeksi

Infeksi / Inflamasi pada telinga
tengah

Pengobatan tak tuntas /
episode berulang

Infeksi berlanjut

Tindakan Mastoidektomi

Resiko Infeksi
14. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Nyeri akut b.d proses inflamasi
b) Gangguan persepsi sendori b.d Gangguan pendenagaran
c) Resiko Injuri (cedera) d.d Gangguan Pendengaran
d) Resiko Infeksi d.d efek prosedur pembedahan
15. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No No Tujuan dan Kriteria Intervensi


DX Hasil
1. 1 Setelah diberikan Manajemen Nyeri
asuhan keperawatan
selama… x 24 jam Observasi
diharapkan nyeri
menurun dengan 1. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kriteria hasil: kualitas, intensitas nyeri
a. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
b. Tampak meringis 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
menurun memperingan nyeri
c. Sikap protektif 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
menurun tentang nyeri
d. Gelisah menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
e. Kesulitan tidur respon nyeri
menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
f. Frekuensi nadi hidup
membaik 8. Monitor keberhasilan terapi
Tekanan darah komplementer yang sudah diberikan
membaik 9. Monitor efek samping penggunaan
analgetic

Terapeutik

1. Berikan teknik non farmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu


nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian analgetic (Jika perlu)


2. 2 Setelah dilakukan Intervensi Utama
intervensi selama 24
jam, maka Persepsi Observasi
Sensori Meningkat
dengan kriteria hasil: 1. Periksa status sensori
1. Melamun menjadi
berkurang 2. Priksa tingkat kenyamanan
2. Konsentrasi
semakin membaik Terapeutik
3. Verbalisasi
mendengar bisikan 1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap
berkurang beban sensor.
4. Perilaku menarik 2. Batasi stimulus lingkungan
diri semakin 3. Jadwalkan aktifitas harian dan waktu
menurun istirahat
4. Kombinasikan prosedur/tindakan dalam
satu waktu, sesuai kebutuhan

Edukasi:

1. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus

Kolaborasi

1. Kolaborasi dalam meminimalkan


prosedur atau Tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang
mempengaruhi persepsi stimulus

3. 3 Setelah dilakukan Pencegahan cedera:


tindakan keperawatan
selama …x… jam, 1. Identifikasi lingkungan yang berpotensi
maka tingkat cedera menyebabkan cedera
menurun. Dengan 2. Identifikasi obat yang berpotensi
kriteria hasil : menyebabkan cedera
1. Kejadian cedera 3. Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan
menurunKeteganga lingkungan ruang rawat (mis.penggunaan
n otot telepon, tempat tidur, penerangan
2. Menurun Ekspresi ruangan, dan lokasi kamar mandi)
wajah kesakitan 4. Guanakan alas lantai jika beresiko
3. Menurun Frekuensi mengalami cedera serius
nadi membaik 5. Sediakan alas kaki antislip
4. Frekuensi nafas 6. Pastikan bel telepon atau panggilan
membaik mudah dijangkau
7. Pastikan barang -barang pribadi mudah
dijangkau
8. Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas
yang sesuai (mis.tongkat atau alat bantu
jalan lain)
9. Tingkatkan frekuensi observasi dan
pengawasan pasien, sesuai kebutuhan

4. 4 Setelah dilakukan 1. Pemantauan tanda vital


asuhan keperawatan 2. Kaji tanda-tanda infeksi ; suhu tubuh,
selama… x jam nyeri dan perdarahan
diharapkan resiko 3. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
infeksi dapat berkurang. dan local
Dengan kriteria hasil 4. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
sebagai berikut : setiap melakukan kegiatan perawatan
1. Mengenali tanda pasien.
dan gejala yang 5. Mengajarkan pasien dan keluarga tentang
mengindikasikan tanda dan gejala infeksi.
risiko dalam 6. Mengajarkan pasien dan keluarga
penyebaran infeksi bagaimana menghindari infeksi.
2. Mengetahui cara 7. Rawat luka (inspeksi kondisi luka)
mengurangi Mengajarkan pasien merawat luka.
penularan infeksi
Mengetahui aktivitas
yang dapat
meningkatkan infeksi
16. DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai