Laporan Pendahuluan Cholelithiasis
Laporan Pendahuluan Cholelithiasis
Laporan Pendahuluan Cholelithiasis
CHOLELITHIASIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan PTM dan Gerontik
Disusun Oleh:
2. Manifestasi klinik
b. Ikterik dan BAK berwarna kuning akibat adanya obstuksi saluran empedu
menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun
sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna
pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut clay colored. selain
mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum, eksresi cairan empedu ke
duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan bilirubin serum
yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi
fiiltrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal
sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.
c. Defisiensi vitamin
obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E dan K
yang larut lemak.defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah
yang normal.
3. Etiologi/Penyebab
Menurut, Smeltzer, SC dan Bare, BG. (2013). Etiologi batu empedu
masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa
faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
b. Usia
c. Obesitas
d. Statis Bilier
e. Obat-obatan
f. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
g. Keturunan
h. Infeksi Bilier
i. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam empedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
j. Aktifitas fisik
4. Patofisiologi
Batu pigmen Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu
dari keempat anion ini terdiri dari Bilirubinat, Karbonat, Foosfat dan Asam
lemak. Pigmen (Bilirubin) dalam kondisi normal akan terkonjugasi dalam
empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila
bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena korang atau tidak adanya enzim
glokuronil tranferase tersebut yang akan menyebabkan presipitasi atau
pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak
terkonjugasi tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak. Sehingga lama
kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa
menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Batu Kolesterol merupakan unsure normal pembentukan empedu
dan pengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut
dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin.
(Rudi Haryono, 2012).
Pathway
Batu empedu
Obstuksi Kandung Rasa Tidak Enak Obtruksi Saluran Ketidak Tahuan Akan Post Kolesistektomi
Empedu Oleh Pada Perut Di Empedu Dalam Usus Penatalaksanaan
Batu Empedu Bagian Atas
Deficit nutrisi
Kadar Protombin Insisi jaringan Invansi Pada Tubuh
Menurun
Nyeri Akut
Pemasangan Selang
Gangguan Nyeri Akut
Proses drain
Pembekuan
a. Hidrops
b. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung
empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang
mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik
yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri
sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi
kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
1) Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
2) Nekrosis dan Perforasi
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami
peradangan.
d. Kolesistitis kronis
e. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan
54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta
25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena
infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan
terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di
daearah ampula vetri.
f. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus
koledokus bergerak menutupi ampula vetri.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
inisasi. Prosedur ini akan membrikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang
suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
b. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami
obstruksi.(Smeltzer, 2002)
c. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.(Williams, 2003)
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada sat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier (Smeltzer,
2002).
e. Pemeriksaan Darah:
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama
7. Pentalaksanaan
a. Non Pembedahan (farmakoterapi, diet)
1) Penatalaksanaan pendukung dan Diet adalah: istirahat, cairan infus,
NGT, analgetik dan antibiotik, diet cair rendah lemak, buah yang masak,
nasi, ketela, kentang yang dilumatkan, sayur non gas, kopi dan teh.
2) Untuk makanan yang perlu dihindari sayur mengandung gas, telur, krim,
daging babi, gorengan, keju, bumbu masak berlemak, alkohol.
3) Farmakoterapi asam ursedeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksiolat
(chenodiol, chenofalk) digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen
yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Jarang ada efek
sampingnya dan dapat diberikan dengan dosis kecil untuk mendapatkan efek
yang sama. Mekanisme kerjanya menghambat sintesis kolesterol dalam hati
dan sekresinya sehingga terjadi disaturasi getah empedu. Batu yang sudah
ada dikurangi besarnya, yang kecil akan larut dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Diperlukan waktu terapi 6 -12 bulan untuk melarutkan
batu.
4) Pelarutan batu empedu tanpa pembedahan: dengan cara menginfuskan
suatu bahan pelarut (manooktanoin / metil tersier butil eter) kedalam
kandung empedu. Melalui selang / kateter yang dipasang perkuatan langsung
kedalam kandung empedu, melalui drain yang dimasukkan melalui T-Tube
untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan,
melalui endoskopi ERCP, atau kateter bilier transnasal. e.
5) Ektracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL). Metode ini
menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan pada batu empedu
dalam kandung empedu atau duktus koledokus untuk memecah batu menjadi
sejumlah fragmen. Gelombang kejut tersebut dihasilkan oleh media cairan
oleh percikan listrik yaitu piezoelektrik atau muatan elektromagnetik. Energi
disalurkan kedalam tubuh lewat rendaman air atau kantong berisi cairan.
Setelah batu pecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak perlahan
secara spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluarkan
melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu peroral.
b. Pembedahan
1) Kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera
duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-
baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut.
Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien
dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama.
Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau
jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan
2) Mini kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar
untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar.
Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi.
Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu
alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
3) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa
adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien
dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus.
Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan
konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah sakit serta
biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin
terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari
cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan
modalitas baru.
4) Kolesistektomi endoskopi
dilakukan lewat luka insisi kecil atau luka tusukan melalui dinding
abdomen pada umbilikus.
6) Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan in&ormasi dan
memper'ayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap
tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal tepat sembuh. Persepsi
diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah
dilakukan tindakan kholesistektomi.
7) Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena
kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak
baik
b. Pola Gordon
1) Pola Persepsi dan managemen keperawatan
2) Pola nutrisi – metabolic: Biasanya mual, muntah dan penurunan nafsu
makan selama sakit sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi yang
berubah
3) Pola eliminasi
4) Pola aktivitas – latihan
5) Pola istirahat – tidur
6) Pola kognitif – persepsi
7) Pola persepsi diri – konsep diri
8) Pola peran – hubungan
9) Pola reproduksi – seksualitas
10) Pola toping dan toleransi diri
11) Pola nilai atau kepercayaan
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
4) Ultrasonografi (USG)
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
Edukasi :
-Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
-Jelaskan strategi meredakan
nyeri
-Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
-Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Edukasi :
-Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
-Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
-Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
-Latih teknik relaksasi
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
4. Risiko Setelah dilakukan tindakan Manajemen Cairan (I.03098)
ketidakseimbangan keperawatan selama 3x24 Observasi :
cairan jam pasien diharapkan -Monitor status hidrasi (mis.
berhubungan Risiko ketidakseimbangan Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
akral, pengisian kapiler,
dengan obstruksi cairan membaik dengan
kelmbapan mukosa, turgor
intestinal. kriteria hasil : kulit, tekanan darah)
(D.0036) Keseimbangan Cairan -Monitor berat badan harian
(L.03020) -Monitor berat badan sebelum
-Membran mukosa lembab dan sesudah dialysis
meningkat -Monitor hasil pemeriksaan
-Edema menurun laboratorium (mis. Hematocrit,
-Intake cairan membaik Na, K, Cl, berat jenis urine,
-Output urine membaik BUN)
-Tekanan darah membaik
-Frekuensi nadi membaik Terapeutik :
-Catat intake-output dan hitung
-Kekuatan nadi membaik
balans cairan 24 jam
-Turgor kulit membaik -Berikan asupan cairan, sesuai
-Berat badan membaik kebutuhan
-Berikan cairan intravena, jika
perlu
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian
diuretic, jika perlu
David SK, dkk., 2015. Hubungan Antara Jenis Batu dan Perubahan Mukosa Kandung
Empedu pada Pasien Batu Kandung Empedu. Manado : Jurnal Biomedik
(JBM), Vol.7 No. 3, Suplemen, November 2015, hlm. S41-47
Jojorita HG, dkk., 2011. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada Tahun 2010 – 2011. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Patrick CDG, dkk., 2015. Gambaran Ultrasonografi Batu Empedu pada Pria & Wanita
di Bagian Radiologi FK UNSRAT BLU RSUP PROF. DR. R. D. Kandou
Manado Periode Oktober 2012 – Oktober 2014. Manado : Jurnal e-Clinic
(eCI), Vol.3 No.1, Januari – April 2015.
Suzanna Ndraha, dkk., 2014. Profil Kolelitiasis pada Hasil Ultrasonografi di Rumah
Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta : Jurnal Kedokteran Meditel Vol. 20 No. 53,
Mei-Agust 2014.
Smeltzer, Suzanne C. (2009) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC.
Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Vol.2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.