TM - S4 - 1102021203 - Resa Pantiana PDF
TM - S4 - 1102021203 - Resa Pantiana PDF
TM - S4 - 1102021203 - Resa Pantiana PDF
NPM : 1102021203
Kelompok : B10
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2022-2023
Sasaran Belajar
1. Trofozoit:
Ini adalah tahap pertumbuhan dan pemberian makan parasit
• bentuk:tidak tetap karena posisi terus berubah
• Ukuran: mulai dari 18-40 m; rata-rata menjadi 20-30 m
• Sitoplasma: sitoplasma dibagi menjadi dua bagian; ektoplasma bening bening
dan endoplasma granular. Sel darah merah yang tertelan, butiran jaringan dan
bahan makanan juga ditemukan di endoplasma
• Nukleus: Ini adalah tunggal, bentuk dan ukuran bulat mulai dari 4-6µ Nukleus
mengandung kariosom pusat dan kromatin perifer halus.
• Trophozoites aktif bergerak dengan bantuan pseudopodia.
• Trophozoites adalah parasit anaerobik, (ada di usus besar)
2. Pra kista:
Ini adalah tahap peralihan antara trofozoit dan kista
• Ukurannya lebih kecil; 10-20µ
• Itu bulat atau sedikit bulat telur dengan pseudopodium tumpul menonjol dari
pinggiran
• Tidak ada sel darah merah atau bahan makanan yang ditemukan pada
endoplasma nya.
3. Kista:
Ini adalah bentuk parasit infektif.
• Bentuk: Berbentuk bulat atau bulat atau lonjong
• Ukuran: diameter 12-15 m
• Dikelilingi oleh membran yang sangat retraksi yang disebut dinding kista.
Dinding kista tahan terhadap pencernaan oleh getah lambung di perut manusia
• Nukleus: Kista dewasa berinti empat.
• Sitoplasma: Sitoplasma menunjukkan batang kromatid dan massa glikogen
tetapi tidak ada sel darah merah atau partikel makanan.
• Kista matang keluar melalui tinja dari pasien yang terinfeksi dan tetap tanpa
perkembangan lebih lanjut di tanah selama beberapa hari.
1.2.Siklus hidup
• Dalam daur hidupnya E.hystolitica mempunyai 2 stadium: trofozoit dan kista. Bila
kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaan utuh
karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus,
dinding kista dicernakan terjadi eskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang
masuk ke rongga usus besar. Dari 1 kista yang mengandung 4 buah inti, akan
terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoit berukuran 10-60 mikron (sel darah
merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma.
Ektoplasma bening homogen terdapat di tepi bagian sel, dapat dilihat dengan nyata.
Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun,
dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu arah (linier).
Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila
ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytosis merupakan tanda
patognomonik infeksi E. Hystolitica.
• Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus besar.
Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal
itu disebabkan sifantnya yang dapat meruska jaringan sesuai dengan nama
spesiesnya E. hystolitica (histo=jaringan, lysis=hancur). Stadium trofozoit
berkembang biak dengan cara belah pasang. Pada tinja segar, pseudopodium
terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat.
• Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar. Di
dalam rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst
yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti 2, dan akhirnya
berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron, berbentuk
bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam
tinja stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2.
Di endoplasma terdapat benda kromatoid besar berupa lisong dan terdapat vakuol
glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan
cadangan, karena itu terdapat pada kista muda.
• Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi.
Stadium kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan
adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di laur
badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang.
• Infeksi dapat ditetapkan dengan menemukan stadium kista dan/atau trofozoit dalam
tinja. Entamoeba hystolytica tidak selalu menyebabkan gejala (asimtomatik).
Stadium trofozoit dapat ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek atau cair,
sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat.
Klasifikasi
1. Amoebiasis Intestinal
• Amoebiasis Kolon Akut
- Nyeri perut
- Diare → feses cair, berlendir atau berdarah. Frekuensi diare
dapat mencapai 10 x perhari.
- Demam dapat ditemukan pada 1/3 penderita.
- Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya
dapat menurun.
- Pada stadium akut dapat ditemukan feses dengan darah, dengan
sedikit leukosit serta stadium trofozoit.
• Amoebiasis Colon Kronik
- Rasa tidak enak di perut
- Diare yang diselingi obstipasi (sembelit).
- Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodik.
- Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E. histolytica
sulit ditemukan, karena sebagian besar parasit sudah masuk ke
jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk
menemukan antigen E. histolytica.
- Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali
ditemukan di sigmoid.
2. Amoebiasis Extraintestinal (Amoebiasis yang mengalami eksaserbasi)
E. Histolytica sudah mengalami penyebaran ke organ lain akibat mengikuti
aliran darah, seluruh aliran darah sistem pencernaan bermuara di vena porta
hepatica sehingga yang sering terkena adalah hati.
- Abses hati merupakan manifestasi ekstraintestinal yang paling sering
ditemukan. Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam
waktu yang relatif singkat (2-4 minggu).
- Demam, batuk, nyeri perut kuadran kanan atas. Pada 10%-35%
penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual,
muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi.
- Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya
soliter. Abses berisi nanah yang berwarna coklat.
- Pada pemeriksaan tinja, E. histolytica hanya ditemukan pada sebagian
kecil penderita abses hati. Dapat ditemukan leukositosis dan
peningkatan serum alkali fosfatase pada pemeriksaan darah.
- Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke
pleura dan atau perikardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis.
2.2.Epidemiologi
Amebiasis terdapat di seluruh dunia atau bersifat kosmopolit terutama di daerah
yang kondisi sanitasi yang kurang baik. Parasit ini terutama ada di daerah tropis dan
daerah beriklim sedang. Secara epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus yang
memerlukan perawatan di RS. Laju infeksi yang tinggi terjadi di tempat-tempat
penampungan anak atau pengungsi dan di negara-negara berkembang dengan sanitasi
lingkungan yang buruk.
Prevalensi amebiasis di Amerika Serikat adalah sebesar 1-5%. Strain patogen lebih
banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan di negara maju dengan iklim
sedang. Pada negara maju lebih sering ditemukan pasien asimptomatik, sedangkan di
negara berkembang lebih banyak ditemukan pasien asimptomatik.
Data terkait infeksi E. histolytica masih terbatas di Indoneisa. Data yang ada
menunjukkan prevalensi amebiasis di Indonesia berkisar antara 10 – 18%.Sebuah studi
di Jakarta pada tahun 2009 – 2010 menemukan bahwa 6,5% anak yang mengalami
diare berdarah memiliki trofozoit di dalam fesesnya.
2.3.Etiologi
Amebiasis terjadi bila seseorang terinfeksi Entamoeba histolytica. Terdapat beberapa
faktor terjadi infeksi Entamoeba Histolytica yaitu:
2.4.Patofisiologi
Kista dan trofozoit dikeluarkan melalui feses. 1. Kista biasanya ditemukan pada
tinja yang terbentuk, sedangkan trofozoit biasanya ditemukan pada tinja yang diare.
Infeksi Entamoeba histolytica (dan E.dispar ) terjadi melalui konsumsi kista matang 2.
dari makanan, air, atau tangan yang terkontaminasi tinja. Paparan kista menular dan
trofozoit dalam kotoran selama kontak seksual juga dapat terjadi. Excystation 3 terjadi
di usus kecil dan trofozoit 4 dilepaskan, yang bermigrasi ke usus besar. Trofozoit
mungkin tetap terbatas pada lumen usus (A: infeksi noninvasif) dengan individu yang
terus mengeluarkan kista di tinja mereka (pembawa asimtomatik). Trophozoites dapat
menyerang mukosa usus (B: penyakit usus), atau pembuluh darah, mencapai situs
ekstraintestinal seperti hati, otak, dan paru-paru (C: penyakit ekstraintestinal).
Trophozoites berkembang biak dengan pembelahan biner dan menghasilkan kista 5 ,
dan kedua tahap dilewatkan dalam tinja 1. Kista dapat bertahan hidup berhari-hari
hingga berminggu-minggu di lingkungan eksternal dan tetap menular di lingkungan
karena perlindungan yang diberikan oleh dindingnya. Trofozoit yang dikeluarkan
melalui feses dengan cepat dihancurkan begitu berada di luar tubuh, dan jika tertelan
tidak akan bertahan jika terpapar lingkungan lambung.
2.5.Manifestasi klinis
• Carrier (cyst passer)
Pasien tidak menunjukan gejala klinis sama sekali. hal ini disebabkan karena
ameba yang berada di dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke
dinding usus.
• Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan)
timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. penderita biasanya mengeluh
perutnya kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. dapat
timbul diare ringan, 4-5 kali sehari dengan tinja berbau busuk. kadang-kadang
tinja bercampur darah dan lendir. sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. keadaan
umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan. kadang-kadang
terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
• Amebiasis intestinal sedang (Disentri Ameba Sedang)
keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. tinja disertai darah dan
lendir. pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai
hepatomegali yang ringan.
• Disentri Ameba Berat
keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. demam tinggi disertai mual dan
anemia. pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi
karena dapat mengakibatkan perforasi usus.
• Disentri Ameba Kronik
Gejala menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi
dengan periode normal atau tanpa gejala. keadaan ini dapat berjalan berbulan-
bulan atau bertahun-tahun. pasien biasanya menunjukkan gejala neurasthenia.
serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam, atau makanan yang
sukar dicerna.
2.7.Tatalaksana
1. Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk membantu daya tahan tubuh dari host. Dapat dilakukan
diet dengan:
• Diet rendah karbohidrat untuk menurunkan infeksi virus
• Diet tinggi protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh host.
3. Terapi pembedahan
Selain dengan medikamentosa, abses hepar yang disebabkan oleh amoeba
dapat juga dilakukan tindakan aspirasi, drainase perkutan dan drainase bedah.
Aspirasi dilakukan apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), bila terapi dengan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, Lesi multipel, abses piogenik, kegagalan
terapi dalam 3-5 hari dan ukuran abses 10 cm x 10 cm dan pencegahan terjadinya
ruptur abses lobus kiri ke pericardium.
Drainase perkutan dilakukan pada pasien dengan komplikasi berat seperti pada
abses hepar yang ruptur ke cavum peritoneum. Sedangkan pada drainase bedah
diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara
yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang jarang terjadi
tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita
dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi. Pada pasien yang
mengalami abses hepar dan empiema karena infeksi sekunder maka diberikan
antibiotik Ceftazidim 3 x 1 gr secara intravenous dan Metronidazol 3 x 500 mg per
oral dan dilakukan pemasangan WSD selama 10 hari
IODOKUINOL
Iodokuinol (diidohidroksikuin) adalah hidroksikuinolin berhalogen. Ini
adalah suatu amubisid lumen yang sering digunakan bersama metronidazol untuk
mengobati infeksi amuba. Data farmakokinetik tidak lengkap, tetapi 90% obat
tertahan di usus dan diekskresikan di feses. Sisanya masuk ke dalam sirkulasi,
memiliki waktu-paruh 11-14 jam, dan diekskresikan di urin sebagai glukuronida.
Mekanisme kerja iodokuinol terhadap trofozoit belum diketahui. Obat ini efektif
terhadap organisme di lumen usus, tetapi tidak terhadap trofozoit di dinding usus
atau jaringan ekstrausus.
Efek samping yang jarang mencakup diare yang biasanya berhenti setelah beberapa
hari anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nyeri kepala, ruam, dan pruritus.
Obat mungkin meningkat-kan iodium serum yang terikat ke protein, menyebabkan
penurunan penyerapan yang menetap berbulan-bulan. Beberapa hidrokuinolin
berhalogen dapat menimbulkan neurotoksisitas berat pada pemakaian jangka-
panjang dengan dosis yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan. Iodokuinol tidak
diketahui menyebabkan efek-efek ini pada dosis yang dianjurkan, dan dosis ini
jarang dilewati.
Iodokuinol perlu dimakan bersama makanan untuk membatasi toksisitas
pencernaan. Obat ini perlu diberikan dengan hati-hati kepada pasien dengan
neuropati optik, penyakit ginjal atau tiroid, atau penyakit hati non-amuba. Obat ini
perlu dihentikan jika menyebabkan diare menetap atau tanda-tanda toksisitas
iodium (dermatitis, urtikaria, pruritus, demam). Iodokuinol dikontraindikasikan
pada pasien dengan intoleransi terhadap iodium.
DILOKSANID FUROAT
Diloksanid furoat adalah suatu turunan dikloroasetamid. Obat ini efektif
sebagai amubisida lumen, tetapi tidak aktif terhadap trofozoit jaringan. Di usus,
diloksanid furoat terurai menjadi diloksanid dan asam furoat sekitar 90% dari
diloksanid cepat diserap dan kemudian terkonjugasi untuk membentuk
glukuronida, yang cepat diekskresikan di urin. Diloksanid yang tidak terserap
adalah bahan antiamuba yang aktif. Mekanisme kerja diloksanid furoat belum
diketahui.
Diloksanid furoat dianggap oleh banyak orang sebagai obat pilihan untuk infeksi
lumen asimtomatik. Obat ini tidak tersedia secara komersial di AS, tetapi dapat
diperoleh dari beberapa farmasi. Obat ini digunakan dengan amubisida jaringan,
biasanya metronidazol, untuk mengobati infeksi ekstrausus dan usus yang serius.
Diloksanid furoat tidak menimbulkan efek samping serius. Flatus sering terjadi
tetapi mual dan kram abdomen jarang, sementara ruam lebih jarang lagi. Obat ini
tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
PAROMOMISIN SULFAT
Paromomisin sulfat adalah suatu antibiotik aminoglikosida (lihat juga Bab
45) yang tidak secara bermakna diserap dari saluran cerna. Obat ini digunakan
hanya sebagai amubisid lumen dan tidak berefek terhadap infeksi amuba di luar
usus. Sejumlah kecil obat yang terserap akan diekskresikan tanpa berubah secara
perlahan, terutama oleh filtrasi glomerulus. Meskipun begitu, obat ini dapat
terakumulasi pada insufisiensi ginjal dan ikut berkontribusi terhadap toksisitas
ginjal. Paromomisin adalah suatu amubisida lumen yang efektif dan tampaknya
memiliki efikasi serupa dan mungkin kurang toksik dibandingkan obat lain dalam
sebuah penelitian baru-baru ini, obat ini lebih baik daripada diloksanid furoatdalam
membersihkan infeksi asimtomatik. Efek samping mencakup gangguan perut dan
dire yang timbul kadang-kadang. Paromomisin parenteral kini digunakail untuk
mengobati leismaniasis viseralis dan dibahas terpisah di teks berikutnya.
2.9.Pencegahan
• Premary prevention
Dengan melakukan promosi kesehatan terkait personal hygiene ( mencuci tangan
dengan bersih sebelum makan dan setelah mencuci anus) dan kebersihan
lingkungan ( memasak air sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih
sebelum dimasak, buang air besar dijamban, tidak menggunakan tinja manusia
untuk pupuk, menutup makanan dengan baik sehingga terhindar dari kontaminasi
lalat dan kecoa dan membuang sampah ditempatnya ) Mengadakan perbaikan
sanitasi lingkungan dengan melakukan gotong royong untuk Pembersihan
lingkungan
• Spesific protectionnya dengan melakukan pengadaan dan penyediaan air bersih
untuk masyarakat.
Upaya secondary prevention
a. Melakukan skrining atau pemeriksaan pada orang / keluarga penderita yang
terkena penyakit amubiasis.
b. Menegakkan diagnosa dan memberikan terapi pada penderita yang terkena
penyakit amubiasis
Pencegahan pribadi
• Tidak makan makanan mentah (sayuran, daging babi, daging sapi, dan daging
ikan), dan untuk buah dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air
• Minum air yang telah dimasak mendidih baru aman
• Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan
menjelan makan atau sesudah buang air besar
• Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja
segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak
mencemari sumber air
2.10. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini
yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yang diberikan.
Pada umumnya, prognosis amoebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi.
Pada abses hati amebik, kadang-kadang diperlukan pungsi untuk mengeluarkan
nanah. Demikian pula dengan amoebiasis yang disertai penyulit efusi pleura.
Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba (Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien anak-anak terutama neonatus, wanita hamil dan postpartum, pasien
pengguna kortikosteroid, pasien dengan penyakit keganasan, dan pasien malnutrisi.
Infeksi sebelumnya tidak memberikan proteksi untuk infeksi invasif berikutnya
(Dhawan, 2015). Infeksi berulang sering terjadi. Angka kematian setelah
pengobatan kurang dari 1%. Namun, abses hati amuba dapat kompleks oleh ruptur
intraperitoneal pada 5% hingga 10% kasus, yang berpotensi meningkatkan angka
kematian. Perikarditis amuba dan amoebiasis paru memiliki angka kematian yang
tinggi melebihi 20%.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth A. 2013. Clinical Parasitology a Practical Approach Second Edition. Missouri: Elsevier
Saunders.
Inge Sutanto, Is Sumariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Mahmud, Rohela., Lian Lim, Yvonne Ai., Amir, Amirah. 2017. Medical Parasitology A Textbook.
Kuala Lumpur: Springer International Publishing.
Paniker J., CK Jayaram. 2018. Paniker’s Textbook Of Medical Parasitology. 8th ed. New Delhi:
Jaypee Brother Medical Publishers.
Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing. Jilid
1.
Soewondo ES. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.