Print - Laporan Kasus Silvia-Ketoasidosis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Oleh :

dr. Silvia Handika Anggraeni

Pendamping :
dr. Cahyo Sukowidodo, M.Kes
dr. Dian Novita

Program Internsip Kedokteran Indonesia


RSI Muhammadiyah Sumberrejo Bojonegoro

1
2022 – 2023

2
LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Presentan,

dr. Silvia Handika Anggraeni

Mengetahui,

Pendamping I Pendamping II

dr. Cahyo Sukowidodo, M.Kes dr. Dian Novita

3
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan…………………………………………………………....2

Daftar Isi…………………………………………………………………….…3

BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………….…..4

BAB 2 Tinjauan Pustaka………………………………………………….…...5

2.1 Ketoasidosis Diabeticum……………………………………….…5

BAB 3 Ilustrasi Kasus…………………………………………………….…..27

BAB 4 Pembahasan………………………………………………………......35

BAB 5 Daftar Pustaka……………………………………………………......42

4
BAB 1

PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan


metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. (1) KAD dan Hiperosmolar
Hyperglycemia State (HHS) adalah 2 komplikasi akut metabolik diabetes mellitus
yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi
pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2, meskipun KAD lebih sering dijumpai
pada DM tipe 1.(2) KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1
atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe
1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya.(3)

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%, atau 9 –
10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda
umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan
rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut,
penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1) Mengingat
pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari kematian pada
pasien KAD usia muda, maka selanjutnya akan dibicarakan tentang
penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat penatalaksanaannya.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.(1)

II.2. EPIDEMIOLOGI
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden
KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur,
sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien
DM per tahun.1 Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000
pasien DM per tahun.(4,5)
KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat.(6) Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-
10%.(1) Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah.
Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan

6
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)
Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari
kematian pada pasien KAD usia muda, maka tulisan ini akan membicarakan
tentang penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat
penatalaksanaannya. Sebagai pendahuluan akan dijelaskan secara ringkas tentang
faktor pencetus dan kriteria diagnosis KAD.

II.3. FAKTOR PENCETUS


Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%
dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui
faktor pencetusnya.(1,6)
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. (6-8) Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang
baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.(1,2,5-8)
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.(5) Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD
adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang
diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan
pneumonia.(5,6) Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari
asidosis metabolik.(2) Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion
atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik
(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan

7
fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang.
Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda
diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol
metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit kronik.
(4,6,7)
Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan dan ini
dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.(9,10)

II.4 PATOFISIOLOGI KAD


KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan
produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada
jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal)
dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkanpatogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton
telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang

8
sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa
gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar,
sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid.

Gambar 1. Bagan Patofisiologi KAD(13)

9
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,
enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk
transesteri¿ kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang
mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan
untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak
teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD
mengakibatkan peningkatan ketongenesis.(6)

II.5. GEJALA KLINIS


Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui
menderitaDM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai
pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan
polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. (1)
Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak,
sering dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut
yang menonjol dan hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi
lambung. Derajat kesadaran pasien bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai
koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Bau aseton dari
hawa napas tidak selalu mudah tercium.

II.6. DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan

10
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status
hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
dimulai tanpa adanya penundaan.(1)
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak
atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala
atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,
penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of
sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang
menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental,
syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang
tampak seperti kopi.
Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi
dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan
jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera
dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine
dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa,
keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk
dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3,
anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan
laktat serta 3HB.

Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association(7)

11
II.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan
pendekatan terstruktur dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak
sekali pedoman penatalaksanaan KAD pada literatur kedokteran, dan hendaknya
semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan disesuaikan dengan kondisi
penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit hendaknya
memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway. Pedoman ini
harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai tujuan terapi.
Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki
hasil akhir penatalaksanaan KAD secara signifikan.(7)
Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi
komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.(3,7)
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.

1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.8 Terapi
insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya
dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah.
Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan

12
kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi. (2,11) Oleh karena itu, hal penting
pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang terjadi.
Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia
yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita. (11) Hal ini bisa diperkirakan
dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut:(2)
Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)
*Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah
dengan menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium
concentration.
Osmolalitas serum total =
2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6
mEq/l tiap kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl.
•Corrected Na+ = (Plasma glucose-100) / 100 * 1.6)
Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum total >
330 mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat. (12) Penentuan derajat
dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian
beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat dehidrasi
adalah.(13) :
- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
- 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, kelopak mata cekung
- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah
penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam pertama
dan sisanya dalam 12 – 16 jam berikutnya. (5,9) Menurut perkiraan banyak ahli,
total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 –
8 liter.(2,5,9) Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk
ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi

13
ginjal.(7,9) Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan.
Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu
jenis cairan.(2) Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl
0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%)
diberikan dengan kecepatan 15 – 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama
(± 1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan
sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya,
kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.
Sumber lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 –
500 ml/jam pada jam berikutnya.(2) Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan
status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi,
kadar elektrolit serum, dan pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45%
diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan diberikan untuk
mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan
kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan
ekstraselular terjadi secara gradual.(3,4,7)
Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian
normal saline(14) dan berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart
hypothesis).(2)
Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang
keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na
serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal
dinilai, infus cairan harus mengandung 20 – 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3
KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan
ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah),
pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan
dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi
3 mOsm/kgH 2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati
terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas serum dan penilaian

14
fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan selama
resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk itu
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong.
Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%,
dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk
menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat
penurunan gula darah yang terlalu cepat.(2,3,5,14)

2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai.(1) Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai
setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. (12)
Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh
jaringan.(1,6) Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip
insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini
dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke
intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit.(1)
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada
KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat
hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti
dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3
mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia
yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.(6,12)
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50
– 75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah

15
tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status
hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali
lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 – 75
mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin
menjadi 0,05 – 0,1 u/kgBB/jam (3 – 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 –
10%.(6,7) Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus
disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik.
Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka
insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi
setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau
intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau subkutan
0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti
pemberian drip intravena.(12) Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama
daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung β-OHB (beta hidroksi butirat) pada
darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama
terapi β-OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis
memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN,
serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber
lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 – 2 jam.(6)
Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian
intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah.
Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama,
namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien
dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin regular 0,4 – 0,6
u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau
injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular
0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini,
jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah

16
dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien
dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl
pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥
300 mg/dl.
Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau
long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih
mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum
makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 – 2 jam
setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat.
Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan
yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan
sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang
diketahuidiabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang
diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada
pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 – 1,0 u/ kgBB/hari, diberikan
terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long
acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan
pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.(6,7)

3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum
yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan
gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih
tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi
jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang
dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka level
natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak
memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline
(NaCl 0,9%).

17
Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi
cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air
tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar
natrium.(8) Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan
koreksi dengan NaCl 0,45%.(7)

4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 –
5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini
terjadi karena shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis,
kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi insulin, koreksi asidosis,
dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium
serum kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 –
30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk
memelihara kadar kalium serum dalam range normal 4 – 5 mEq/l.
Kadang- kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada
kasus tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l,
dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk
menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.(6,7) Terapi
kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada
produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.(16)

5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0 ,
pengembalian aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis
tanpa pemberian bikarbonat. Studi random prospektif telah gagal menunjukkan
baik keuntungan atau kerugian pada perubahan morbiditas atau mortalitas dengan
terapi bikarbonat pada pasien KAD dengan pH antara 6,9 – 7,1. Tidak didapatkan
studi random prospektif yang mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD

18
dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak
efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan
bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9 , 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan
200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 mlcairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam.
Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium
bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian
kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala.
Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0 , dan
terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.(7)

6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan
hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat.
Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk
menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian fosfat pada hasil akhir pasien
KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia berat tanpa
bukti adanya tetanus.
Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta
depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu diperlukan pemantauan secara
kontinu.(7) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena
mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan
membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan
hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien.(9)

19
7. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien KAD.
Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang
dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat
sulit dinilai dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium,
kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor,
spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya
menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal
disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.(7)

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi


Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase
awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian
defisit bikarbonat akan diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin
untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah
keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang
normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya
dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu
lama.(3)

9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai


Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD.(3) Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan,
maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.(5)

10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)


Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko tinggi,
terutama terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang tua, dan
hiperosmolar berat. Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam secara subkutan.(16)

20
Gambar 3. Bagan penatalaksanaan KAD(7)

II.8. PEMANTAUAN TERAPI


Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang
komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk
pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran
urine harus dimonitor secara hati-hati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG
harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko
kardiovaskular.(9)
Terdapat bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa

21
parameter yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit,
BUN, kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 – 4 jam sampai
keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1
– 2 jam, elktrolit setiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan,
analisis gas darah; bila pH<7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH> 7,1
selanjutnya setiap hari sampai stabil, kemudian cek juga tekanan darah, nadi,
frekuensi pernafasan, temperatur, keadaan hidrasi, balans cairan dan waspada
kemungkinan DIC.(6)
Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai
efikasi pemberian insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak
memuaskan. Ketika kadar gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat
lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam
sampai 6 – 8 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi
fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi
terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi.(7)

II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria ekstrem.(7)
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri
pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi,

22
penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi.

Tabel 3. Komplikasi Akibat Penatalaksanaan KAD(5)

Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini


merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme
osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD.
Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko
tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien
yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam),
dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl.(7)

Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan

23
koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan
penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient
oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.(7)

II.10. DIAGNOSIS BANDING


1. Hyperglicemic Hyperosmolar State
Ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat,
hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai penurunan kesadaran.
Gejala klinik HHS sulit dibedakan dengan KAD terutama dari hasil laboratorium
seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam-basa belum diketahui
hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat membedakan
KAD dengan HHS :
a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin
muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak. 
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS
mempunyai penyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan penyakit
cushing.
d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois, haloperidol,simetidin,
dll
e. Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD dengan
HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS
sebagaimana terlampir  pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih banyak
dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka kematian
pada HHS sekitar 30-50%.(1,5,7)

24
2. Asidosis laktat
Merupakan komplikasi yang sangat jarang akaibat terapi dengan
metformin. Pasien datang biasanya dengan gejala malaise, anoreksia, muntah,
pernapasankussmaul (cepat dan dalam). Kadar glukosa biasanya normal, tidak
ditemukan benda keton dalam urin, dan analis gas darah menunjukkan asidosis
berat, aniongap meninggi. Terapi bersifat suportif dengan menghentikan
penggunaan metformin.(5)

II.11. PENCEGAHAN
Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat
dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk
edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).
Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM
secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM kronik dan akut melalui edukasi sangat penting untuk
mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.
Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi
perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi
mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat
sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair
mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna.
Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin
atau obat hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau
nasihat tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk
perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan
pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri.

II.12. PROGNOSIS

25
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energi.
   Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam
darah(ketosis). Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau
disebutsebagai asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu
prognosis pada KAD masih tergolong dubia, tergantung pada usia,adanya infark
miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangka panjang
dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.

26
BAB 3

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny L

Alamat : Sumberrejo

Umur : 63 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 10 April 2022

No. RM : 0115xxx

Keluhan utama
Penurunan Kesadaran

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak 4 jam SMRS,
sebelumnya pasien merasa badan lemas sejak 4 hari terakhir, nafsu makan juga
menurun sejak 1 minggu terakhir. Pasien juga mengeluh tiga hari sebelumnya
pasien mual dan muntah. Muntah berisi makanan dan air berwarna kuning.
Muntah kira-kira sebanyak 1 gelas belimbing. Pasien juga mengeluh batuk kering
sejak 1 minggu yang lalu, pasien juga sering merasa kedinginan sampai menggigil
sejak 1 minggu terakhir. Keluhan lain : demam (+) sejak 5 jam SMRS, sesak (+),
nyeri kepala (-), riw. Terjatuh/trauma (-), BAK seperti teh (-), BAB seperti
dempul atau petis (-), keringat malam (-).

27
Riwayat penyakit dahulu:
a. Riwayat DM (+) sejak 1 tahun terakhir uncontrolled
b. Riwayat HT (+) sejak 6 bulan yang lalu uncontrolled, biasanya TDS
160/90
c. Riwayat maag disangkal
d. Riwayat penyakit jantung dan ginjal disangkal
e. Riwayat stroke (-)

Riwayat penyakit keluarga


Dikeluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan keluhan seperti pasien,
DM disangkal, HT disangkal, penyakit jantung (-).

Riwayat Penyakit Lingkungan Sosial


Minum jamu (-), Merokok (-).

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Keadaan umum : Tidak sadar, gelisah
GCS : 121
Tekanan darah : 112/72 mmHg
Nadi : 133 kali/menit
Pernafasan : 44 kali/menit
Suhu : 37,90 C
Berat badan : 40 Kg
Tinggi badan : 155 Cm

28
Keadaan spesifik
Kulit
Warna kuning langsat, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-),
scar(-), keringat umum(-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan
kaki (+), pertumbuhan rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila, leher, inguinal dan sub mandibula
serta tidak ada nyeri penekanan.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit berat, warna rambut hitam dan deformasitas
(-).
Mata
Eksoftalmus dan endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke
segala arah sulit dievaluasi.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung(-).
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),pendengaran normal.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-),gusi berdarah
(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas keton, faring tidak ada
kelainan.
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2)cmH20, kaku kuduk (-).
Dada
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

29
Paru-paru
I : Simetris, retraksi (-/-)
P : Stemfremitus kanan normal
P : Sonor
A: Vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
I : Iktus kordis tidak terlihat.
P : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
P : Batas jantung normal
A : S1S2 tunggal, murmur (-) , gallop (-)

Perut
I : Datar dan tidak ada pembesaran,venektasi(-)
P : Lemas,nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, turgor kulit normal.
P : timpani
A: bising usus (+) normal

Alat kelamin
Tidak diperiksa

Extremitas atas
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi(-), edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat,
clubbing finger (-).
Extremitas bawah
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-) pada lutut kanan,
edema pretibial(-/-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, clubbing finger (-),
turgor kembali cepat, terdapat ulcus pada tumit kanan dan kiri

30
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (10 Maret 2022)
Diffcount 0/3/90/4/3
Hct 44,6%
Hb 14,3 mg/dL
LED 103/108
Leukosit 10.200 mg/dL
Trombosit 286.000 mg/dL
SGOT 18 U/L
SGPT 20 U/L
Clorida serum 91 mol/l
Kalium serum 5,6 mmol/l
Natrium serum 125 mmol/l
Creatinine serum 1,5 mg/dl
Urea 197 mg/dl
Uric acid 5,5 mg/dl
Hba1C 13,8
GDA >500 mg/dl
Keton 6,1
Be 15,9
Beecf 18,9
HCO3 7,0 mmol/L
Ionized Calsium 1,208 mmol/L
O2 saturasi 97,4%
pCO2 13,4 mmHg
pH 7,335
pO2 109,6 mmHg

Diagnosis
DM tipe II+KAD+Asidosis Metabolik

31
Penatalaksanaan
 IGD:
 O2 NRM 10 lpm
 Loading PZ 2 liter/2jam  80 tpm/4jam  20 tpm/18jam
 Inj. Ceftriaxon 2x1 amp
 Pump insulin 4 iu/jam  bila GDA 100-200, pump insulin diturunkan 2
iu/jam
 Inj. Metamizole 3x1 amp
 Inj. Ranitidin 2x1 amp
 Inj. Ondansentron 2x1 amp
 Konsul Sp.PD

11 Maret 2022

Subject Object Assesment Planning Dx Planning Tx

Nyeri pada KU: Lemah DM type 2 GDA, HbA1c, Visite dr Ilham Sp,PD:
luka di kaki GCS: 456 KAD elektroit, BGA Nabiq 200 mEq/24 jam dlm
kiri dan TD 109/54mmHg Ulcus pedis profil lipid PZ300cc.
kanan, N 113x/menit d/s (LDL, TG) IVFD RA2500 cc/24jam
bengkak, t 36,6 c C/ Sp.B Inj Metamizole 3x1 amp
sesak luka pada kaki Inj Ranitidine 2x1 amp
O2 nasal 4 lpm Inj Ceftazidine 3x1 gram
GDA: 406 mg/dl Inj Trichodazole 3x500 mg
Inj Ondansentron 3x1 amp
Lavemit 15-0-0

12 Maret 2022

Subject Object Assesment Planning Dx Planning Tx

Nyeri pada KU: Lemah DM type 2 GDA/6-8 jam Visite dr Ilham Sp,PD:
luka di kaki GCS: 456 KAD BGA, DL dan Nabiq 200 mEq/24 jam dlm
kiri dan TD 120/70mmHg Ulcus pedis kreatinin post PZ 300cc.
kanan, N 82x/menit d/s nabiq IVFD RA2500 cc/24jam

32
bengkak, t 36,4 c KCL 50 mg/24 jam
sesak luka pada kaki Inj Metamizole 3x1 amp
O2 nasal 4 lpm Inj Ranitidine 2x1 amp
GDA: 112 mg/dl Inj Ceftazidine 3x1 gram
Inj Trichodazole 3x500 mg
Inj Ondansentron 3x1 amp
Lavemit 15-0-0

13 Maret 2022

Subject Object Assesment Planning Dx Planning Tx

Nyeri pada KU: Lemah DM type 2 GDA/6-8 jam Visite dr Ilham Sp,PD:
luka di kaki GCS: 456 Sepsis KAD BGA, DL dan Nabiq 200 mEq/24 jam dlm
kiri dan TD 134/84 mmHg Ulcus pedis kreatinin post PZ 300cc.
kanan, N 109x/menit d/s nabiq KCL 75 mg/24 jam dalam
bengkak, t 37 c asering 1500 cc/24 jam
mual, batuk luka pada kaki Inj Metamizole 3x1 amp
GDA: Inj Ranitidine 2x1 amp
167 mg/dl 6.10 Inj Ceftazidine 3x1 gram
am Inj Trichodazole 3x500 mg
268 mg/dl 11.00 Inj Ondansentron 3x1 amp
am Lavemit 15-0-0
192 mg/dl 22.00

Kalium serum 2,67 mmol/l


Natrium serum 131 mmol/l
Be 0,4
Beecf 0,1
cHCO3 23,1 mmol/L
Clorida 100,9 mmol/L
Hct 26,6%
pCO2 29,6 mmHg
pH 7,510
pO2 120,5 mmHg
SO2 99 mmol/L
tHb 8,5g/dL

33
14 Maret 2022

Subject Object Assesment Planning Dx Planning Tx

Batuk, nyeri KU: Lemah DM type 2 Foto thorax Iv fd asering 2000 cc/24 jam
pada kaki GCS: 456 Sepsis KAD ulang PA KCL 75 mg/24 jam dalam
TD140/80mmHg Ulcus pedis GDA/6-8 jam, asering 500 cc/24 jam
N 105/menit d/s DL dan p.o codein 3x20 mg
t 37 c Hipokalemi kreatinin post Inj Metamizole 3x1 amp
luka pada kaki nabiq Inj Ranitidine 2x1 amp
GDA: Inj Ceftazidine 3x1 gram
90 mg/dl 04.10 Inj Trichodazole 3x500 mg
pm Inj Ondansentron 3x1 amp
181 mg/dl 6.45 Lavemit 15-0-0

Diffcount 3/0/82/7/8
Hct 33,6%
Hb 11,7 mg/dL
LED 89/102
Leukosit 13.200 mg/dL
Trombosit 288.000 mg/dL
Kalium serum 2,9 mmol/l
Natrium serum 136 mmol/l
Cl 101 mmol/l
Creatinine serum 1,5 mg/dl

15 Maret 2022

Subject Object Assesment Planning Dx Planning Tx

nyeri pada KU: cukup DM type 2 GDA/6-8 jam Iv fd asering 2000 cc/24 jam
kaki GCS: 456 Sepsis KAD Inj Ranitidine 2x1 amp
TD 124/72mmHg Ulcus pedis Inj ceftriaxone 2x1 gram
N 98/menit d/s Inj novorapid 2x1
t 37 c Inj lavemir 20-0-0
luka pada kaki p.o spinorolakton 25-0-0
GDA: 290 mg/dl p.o canderin 8-0-8
06.05 am codein 3x20 mg
Terpasang NGT fluimacyl 3x1 tab
ondansentron 3x1

34
BAB 4

PEMBAHASAN

Ketoasidosis diabetikum adalah suatu keadaan komplikasi dari diabetes

tipe 1 atau tipe 2 dengan triad biochemical criteria yakni hiperglikemia (blood

glucose> 11 mmol/L [200mg/dl] ), asidosis metabolik venous pH< 7,3 dan atau

bicarbonate< 15 mmol/L, serta ketonemia dan ketonuria.

Mekanisme terjadinya KAD dan Hiperosmolaritas yang merupakan

komplikasi dari diabetes mellitus dengan hiperglikemia yang terjadi karena

kombinasi dari absolut atau defisiensi insulin relatif dan meningkatnya

counterregullatory hormone (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth

hormone) dapat dijelaskan dengan bagan sebagai berikut:

Menurut American Diabetic Associaton, 2009 beberapa gejala klinis dari

KAD juga ditemukan pada pasien dengan riwayat DM ini yakni gejala dehidrasi

35
mual dan muntah, lalu gejala perubahan status mental yakni letargis, tampak

lemah, lalu gejala hipovolemia yakni takikardia, palpitasi, dan pernapasan cepat

dan dalam atau Kussmaul, serta akral hangat dan nafas serta urine berbau keton.

Namun hal ini tidak cukup untuk menegakkan diagnosis sebagai KAD mengingat

butuh pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya sehingga memenuhi triad

biochemical criteria yakni hiperglikemia (blood glucose> 11 mmol/L

[200mg/dl] ), asidosis metabolik venous pH< 7,3 dan atau bicarbonate< 15

mmol/L, serta ketonemia dan ketonuria.

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah

anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan

glucose sticks dan pemeriksaan darah untuk melihat kadar bicarbonate, PH,

elektrolit, keton dan anion gap. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat

menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD.Kriteria diagnosis KAD: kadar

glukosa 200-300 mg%, pH < 7,30, HCO3-<15 meq/l, Anion gap yang tinggi,

Keton serum positif (sindha, 2010). Pada pasien ini didapatkan nilai kadar glukosa

nya adalah >500 mg/dl (1005mg/dL), PH darahnya 7.335, HCO3 7,0 meq/l dan

keton serum positif. Dari hasil lab yang didapatkan pada pasien ini menunjang

bahwa pasien ini mengalami ketoasidosis metabolik dikarenakan didapatkannya

hasil peningkatan kadar glukosa darah sewaktu melebihi normal, PH yang asam,

kadar bicarbonate yang rendah dalam darah, serta didapatkannya keton dalam

serum 6,1. Kesimpulan dari hasil lab ini adalah didapatkan hiperglikemia,

asidosis, dan ketonemia. Ketiga hasil lab ini merupakan trias dari ketoasidosis

metabolic.

36
Pada pasien didapatkan kadar glukosa darahnya adalah 1005 mg/dl. Pasien

ini terjadi peningkatan kadar glukosa darah sewaktu. Hal ini disebabkan suatu

keadaan dimana glukosa darah tidak terkontrol yang menyebabkan beberapa klinis

yang nanti akan dibahas selanjutnya. Pada pasien ini terjadi defisiensi insulin

relative dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin,

kortisol dan hormone pertumbuhan). Karena insulin berfungsi sebagai transport

glukosa ke dalam sel, memberikan signal untuk proses perubahan glukosa dan

glikogen, menghambat lipolisis lemak dan menghambat glukoneogenesis pada sel

hati. Keadaan ini menyebabkan produksi glukosa hati yang meningkat dan terjadi

peningkatan pemecahan lemak. Menurunnya transport glukosa ke dalam jaringan

- jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glycosuria.

Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan over-produksi asam asam lemak, yang

sebagian diantaranya akan dikonversi (dirubah) menjadi ketone, menimbulkan

ketonemia, asidosis metabolik dan ketonuria.

Pada pasien ini terjadi peningkatan keton dalam darah yaitu 6,1. Kondisi

peningkatan keton dalam darah akan menyebabkan suatu kondisi asidosis

metabolik. Pada pasien ini ditandai dengan PH 7.335. Kondisi asidosis metabolik

pada pasien ini, tubuh akan mengkompensasinya dengan peningkatan respirasi

menjadi cepat dan dalam (kussmaul) untuk menurunkan konsentrasi CO2 dalam

darah untuk menyeimbangkan PH dalam darah, hal ini ditandai dengan respiratory

rate 44x/menit.

Glycosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan

kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium,

37
fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia

pra renal dan dapat menimbulkan shock hipovolemik. Asidosis metabolik yang

hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (pernapasan

Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat

kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan

rangkaian dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk

membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.

Faktor-faktor pemicu pada pasien diabetes mellitus yang dapat

menyebabkan komplikasi menjadi ketoasidosis metabolik adalah infeksi, infark

miokard, pancreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau

mengurangi dosis insulin. Pada pasien ini faktor yang mungkin menjadi penyebab

komplikasi Ketoasidosis diabetikum nya adalah penghentian dari pemberian

insulin. Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu

pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-1999 di

RS.Ciptomangunkusumo menunjukkan 5% kasus menyuntik atau menghentikan

dosis insulin.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang didapatkan,

dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini mengalami suatu kondisi yang disebut

ketoasidosis metabolik. Ketoasidosis metabolik ini merupakan suatu komplikasi

dari penyakit diabetes mellitus. Yaitu suatu keadaan dekompensasi kekacauan

metabolic yang ditandai hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang disebabkan oleh

defisiensi insulin absolute dan relative.

38
Begitu diagnosis ketoasidosis ditegakkan, segera pengelolaannya

ditegakan. Prinsip–prinsip pengelolaan ketoasidosis adalah: 1). Penggantian

cairan dan garam yang hilang 2.) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan

glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin. 3). Mengatasi faktor pencetus

dari kondisi ketosidosis. Ada 6 hal yang harus diberikan dalam pengobatan

ketoasidosis, 5 diantaranya adalah cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa.

Pada pasien ini diberikan cairan untuk mengatasi dehidrasinya.

Pemberian cairan pada pasien ini adalah loading PZ sebanyak 2000 cc pada satu

jam pertama, 80 tpm dalam 3 jam kemudian dilanjutkan 60 tpm dalam 18 jam.

tujuan dalam pemberian rehidrasi pada pasien ini adalah: memperbaiki perfusi

jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator insulin. Selanjutnya

pemberian insulin, pada pasien ini diberikan insulin diberikan pada pasien ini

karena kadar glukosa darah yang tinggi. Pemberian insulin akan menurunkan

konsentrasi hormone glucagon, sehingga dapat menrunkan produksi benda keton

di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino

dari jaringan otot dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan.

Pemantauan merupakan bagaan yang terpenting dalam pengobatan KAD

mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terpai berlangsung, unutk

itu perlu dilksanakan pemeriksaan: 1). Pemeriksaan konsentrasi glukosa dalam

darah tiap jam 2). Elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung

keadaan 3). Analisa gas darah setiap hari 4). Tekanan darah, nadi, suhu dan

frekuensi pernafasan 5). Keadaan hidrasi dan balance cairan.

39
Pada pasien ini juga mengeluhkan mual-muntah pada perutnya. Hal ini

dapat disebabkan oleh peningkatan asam lambung pada pasien ini sehingga

diberikan terapi yaitu ondansentron. Pemberian ondasentron disini bertujuan

untuk anti muntah dengan mekanisme Antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja

dengan menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3)

berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan

di saluran cerna. Disertai dengan pemberian ranitidin untuk menurunkan asam

lambung dengan mekanisme antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja

histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam

lambung.

Pada pasien diberikan terapi bicarbonate sebanyak 200meq/24jam dalam

PZ 300cc. Alasan pemberian bicarbonate disini adalah untuk mengoreksi asidosis

yang terdapat pada pasien ini. Akan tetapi terapi bikarbonat pada KAD menjadi

topik perdebatan selama beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan

pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah

menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, Efek

negatif pada disosiasi oksigen di jaringan, Hipertonis dan kelebihan natrium,

Meningkatkan insidens hipokalemia, Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat

terbentuk dari asam keton. Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang

dari 7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang

mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat.

Komplikasi yang didapatkan pada pasien ini adalah dalam pemantauan

kadar elektroli didapatkan nilai kadar kalium yang di bawah normal pada 5 hari di

40
rumah sakit dengan kadar elektrolit kalium 2.4-3.2meq/l. ion kalium terutama

terdapat di intrasel. Pada keadaan KAD, ion K bergerak bergerak keluar sel dan

selanjutnya dikeluarkan bersama urin. Selama terapi KAD ion K kembali ke

dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta

mempertahankan konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian

kalium. Pada pasien ini diberikan KCL 25 mEq/12jam dengan tujuan dapat

meningkatkan kalium serum sekitar 0.5meq/l setiap pemberianya (van zyl, 2010).

41
DAFTAR PUSTAKA

1.Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
p.1874-7.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam
Prac 2008;50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA,
editors. Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New
York: Lange; 2010. p.1111-5.
4. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association
Journal 2003;168(7): p.859-66.
5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum
2002;15(1):28-35.
7. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.
8. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis.
In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and
metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
p.1438-49.
9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46.
10. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and
Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
11. Trachtenbarg DE. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician

42
2005;71(9): 1705-14.
12. Kitabachi AE, Wall BM. Management of Diabetic Ketoacidosis.
American Family Physician 1999;60:455-64.
13. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants,
Children, and Adolescents. Diabetes Care 2006;29(5):1150-6.
14. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrison’s
endocrinology. New York: McGraw-Hill;2006.p.283-332.
15. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic
Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy 2009;109(10):453-4.
16. NN. Diabetic Ketoacidosis, Epistaxis, Sepsis, Dyspneu. The medical
student forum. Available at: http//.www.medkaau.com. Accessed on:
September 23rd, 2012.

43

Anda mungkin juga menyukai