ASKEP JIWA ISOLASI SOSIAL MENARIK DIRI KELOMPOK (3) Revisi
ASKEP JIWA ISOLASI SOSIAL MENARIK DIRI KELOMPOK (3) Revisi
ASKEP JIWA ISOLASI SOSIAL MENARIK DIRI KELOMPOK (3) Revisi
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS AN NUUR
TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan
hidup harmonis dan produktif sebagai bagian utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Kesehatan jiwa mempunyai rentang sehat –
sakit jiwa yaitu sehat jiwa, masalah psikososial dan gangguan jiwa ( Keliat et al., 2016).
Isolasi sosial merupakan salah satu masalah keperawatan yang banyak dialami oleh
pasien gangguan jiwa berat. Isolasi sosial sebagai suatu pengalaman menyendiri dari
seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam. (Pardede, Hamid, & Putri, 2020).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan KTI ini di dapat
masalah sebagai berikut “Bagaimanakah Pemberian Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Isolasi Sosial Menarik Diri
C. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk memahami bagaimana respon klien
setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Isolasi Sosial
Menarik Diri
b. Tujuan Khusus
1. Mengkaji data yang terkait dengan masalah klien dengan gangguan isolasi sosial
menarik diri
2. Merumuskan diagnosis keperawatan klien dengan gangguan isolasi sosial
menarik diri
3. Menyusun rencana keperawatan kepada klien dengan gangguan isolasi sosial
menarik diri
4. Melakukan tindakan keperawatan kepada klien dengan gangguan isolasi sosial
menarik diri
5. Mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan isolasi sosial
menarik diri
6. Mengevaluasi kemampuan klien dalam menerapkan SP klien dengan gangguan
isolasi sosial menarik diri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan Hartono Y
(2010) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan seseorang karena orang lain
menyatakan negatif dan mengancam. Sedangkan Menarik diri adalah usaha
menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa kehilangan hubungan
akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi perasaan, pikiran, prestasi
atau kegagalanya (Depkes, 2006 dalam Dermawan D dan Rusdi, 2013).
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh individu dan
dipersepsikan disebabkan orang lain dan sebagai kondisi yang negatif dan
mengancam. Kondisi isolasi sosial seseorang merupakan ketidakmampuan klien
dalam mengungkapkan perasaan klien yang dapat menimbulkan klien
mengungkapkan perasaan klien dengan kekerasan (Sukaesti. 2018).
Jadi isolasi sosial Menarik diri adalah suatu keadaan kesepian yang dialami
seseorang karena merasa ditolak, tidak diterima, dan bahkan pasien tidak mampu
berinteraksi untuk membina hubungan yang berarti dengan orang lain disekitarnya.
B. Etiologi
Menurut Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang
daur kehidupan dapat mengakibatkan perilaku menarik diri:
1. Faktor Biologis
Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya resiko,
riwayat penyakit trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
2. Factor Psikologis
3. Faktor Sosiokultural
4. Faktor Presipitasi
5. Mekanisme Koping
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko
gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta
lingkungan dan penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri
(Dalami,2009)
C. Pohon Masalah
Effect
Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
Core problem
Isolasi sosial: menarik diri
1. Solitude (menyendiri)
2. Otonomi
3. Kebersamaan
4. Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan
interpersonal.
5. Kekerasan
Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai
dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman,
melukai pada tingkat ringan sampai pada yang paling berat. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.
b. Respon maladiptif
Adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat. Karakteristik
dari perilaku maladiptif tersebut adalah:
1. Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan
dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara
2. Manipulasi
Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang
lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
3. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
4. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung
memaksakan kehendak.
5. Narkisisme
Harga diri yang rapuh,secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan
dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain tidak
mendukung.
a) Data subjektif
1) Perasaan sepi
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Perasan ditolak
b) Data objektif
1) Banyak diam
3) Menyendiri
5) Tampak sedih
7) Muka datar
E. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi sosial antara lain
pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi, rehabilitasi, dan
program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1. Terapi Farmakologi
1. Chlorpromazine (CPZ) Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya
berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma
sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: waham,
halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya
berat dalam fungsi kehidupan seharihari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin. Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung),
gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
2. Haloperidol (HLP) Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan inhibisi
prikomotor, gangguan otonomik.
3. Trihexy Phenidyl (THP) Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk
paksa ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya reserpine dan
fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor gangguan otonomik.
2. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan
tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa
adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal,
bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu
dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-perilakunya. Terapi ini
meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan klien(Videbeck, 2012). Terapi
individu juga merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara individu oleh
perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-klien dengan cara yang terstruktur dan
durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018). Salah
satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi
sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan
klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting perawat lakukan adalah
berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi
interpersonal antara perawat dank klien, yang selama interaksi berlangsung, perawat
berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang
efektif antara perawat dan Klien (Videbeck, 2012). Semakin baik komunikasi perawat,
maka semakin bekualitas pula asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien karena
komunikasi yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara perawat dengan
klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak
saja mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat
menumbuhkan sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam mencapai
tujuan intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan suatu
rangkaian kegiatan kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu
untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialissai dapat
pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa). Aktivitas yang
dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi
dengan tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 :Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang
lain Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
Sesi 7 : Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan TAKS yang
telah dilakukan.
5. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang, dan
penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di
rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat kerajinan
tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam keterampilan
dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak manfaat.
Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaaan
lebih rendah bila dibandingan dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999
dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab
gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan
karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep,
2009). Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009) meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/ kolaborasi
dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi menggali
sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah,
bukubuku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien
rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup didunia, dan
sebagainya. Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat bermanfaat
dari aspek autosugesti yang dimana dalam setiap kegiatan religius seperti sholat,
dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif
kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan
Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek kebersamaan dalam shalat
berjamaah juga mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari
rasa terisolir, terpencil dan tidak diterima.
7. Rehabilitasi Program
Rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang dikhususkan untuk
rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan
membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Seorang
perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi pada klien, hierarki
perilaku agreisf dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji pula afek
klien yang berhubungan dengan perilaku agresif. ( Muhith, 2015)
a. Identitas
b. Alasan masuk
3. Bagaimana hasilnya?
Genogram
2. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan
struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan
dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi
(korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang
tidak menghargai Klien/perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung
lama.
2. Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada
hubungannya dengan klien depresi berat didapatkan pada sistem
integumen klien tampak kotor, kulit lengket di karenakan kurang
perhatian terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan
kondisi klien
3. Psikososial
1. Genogram
2. Konsep diri
1) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian
tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh
yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan
perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi
dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus
asaan, mengungkapkan ketakutan.
2) Ideal Diri: Mengungkapkan keputus asaan karena
penyakitnya: mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
3) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa
bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial,
merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya
diri.
4) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang
disebabkan penyakit, proses menua, putus sekolah, PHK
5) Identitas Personal : Ketidak pastian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil
keputusan.
4. Hubungan sosial
5. Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien
terhadapap gangguan jiwa sesuai dengan norma dan agama yang
dianut pandangan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa.
Kegiatan ibadah : kegiatan di rumah secara individu atau kelompok.
6. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak
mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan
kurang mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan
keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
1) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak
terlalumemperhatikan penampilan, biasanya penampilan tidak
rapi, cara berpakaian tidak seperti biasanya (tidak tepat).
2) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam
frekuensi, volume dan karakteristik. Frekuansi merujuk pada
kecepatan Klien berbicara dan volume di ukur dengan berapa
keras klien berbicara. Observasi frekuensi cepat atau lambat,
volume keras atau lambat, jumlah sedikit, membisu, dan di
tekan, karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.
3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien.
Tingkat aktifitas : letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis
aktifitas : seringai atau tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan
mungkin ada hubunganya dengan ansietas, mania atau
penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang
atau kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
4) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status
emosional dan cerminan situasi kehidupan klien. Alam
perasaan dapat di evaluasi dengan menanyakan pertanyaan
yang sederhana dan tidak mengarah seperti “bagaimana
perasaan anda hari ini” apakah klien menjawab bahwa ia
merasa sedih, takut, putus asa, sangat gembira atau ansietas.
5) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang
dapat di observasi oleh perawat selama wawancara. Afek
dapat di gambarkan dalam istilah sebagai berikut : batasan,
durasi, intensitas, dan ketepatan. Afek yang labil sering
terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering
tampak pada skizofrenia.
6) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi
dan ilusi. Halusinasi didefinisikan sebagai kesan atau
pengalaman sensori yang salah. Ilusi adalah persepsi atau
respon yang salah terhadap stimulus sensori. Halusinasi
perintah adalah yang menyuruh klien melakukan sesuatu
seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai diri sendiri.
8) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien
proses diri klien diobservasi melalui kemampuan
berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih pada pola atas
bentuk verbalisasi dari pada isinya.
9) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan
dalam komunikasi klien. Merujuk pada apa yang dipikirkan
klien walaupun klien mungkin berbicara mengenai berbagai
subjek selama wawancara, beberapa area isi harus dicatat
dalam pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat kompleks
dan sering disembunyikan oleh klien.
11) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan
yang cepat tehadap masalah-masalah memori yang potensial
tetapi bukan merupakan jawaban definitive apakah terdapat
kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis diperlukan
untuk menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori.
Memori didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat
pengalaman lalu.
13) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang
konstruktif dan adaptif termasuk kemampuan untuk mengerti
fakta dan menarik kesimpulan dari hubungan.
a. Makan
b. BAB/BAK
10. Intervensi
2.2.2 Implementasi
Observasi :
Terapeutik:
Edukasi:
PENUTUP
1. Kesimpulan
Setelah menguraikan tentang proses keperawatan pada Tn. Y dan disimpulkan bahwa
pasien Berdasarkan apa yang telah penulis dapatkan dalam laporan kasus dan pembahasan pada
asuhan keperawatan jiwa pada Tn. Y dengan isolasi sosial di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatra
Utara Medan, maka penulis mengambil kesimpulan : pengkajian yang didapat pada Tn. Y,
karena klien sering marah-marah, bicara sendiri, gelisah, merasakan sedih, dan kurang tidur.
Maka penulis mengambil diagnosa isolasi Sosial.
1. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada Tn.Y dengan kasus Isolasi Sosial dilakukan
meliputi aspek psikososial, spiritual dan melibatkan keluarga didalamnya
2. Dalam melakukan asuhan keperawatan maka antara perawat dan Tn. Y harus membina
hubungann saling percaya
3. Bagi mahasiswa/mahasiswi agar lebih memperdalam ilmu pengetahuan khususnya tentang
keperawatan isolasi sosial.
4. Bagi Tn.Y agar mengenal dan bergaul/berinteraksi dengan perawat dan orang lain
disekitarnya.
5. Peran serta keluarga sangat penting dalam menyembuhkan klien karena dengan dukungan
keluarga penyembuhan Tn.Y dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
2. Saran
Diharapkan pada keluarga sering mengunjungi pasien selama waktu perawatan karena
dengan seringnya keluarga berkunjung, maka pasien merasa berarti dan dibutuhkan dan juga
setelah pulang keluarga harus memperhatikan obat dikonsumsi seta membawa pasien kontrol
secara teratur kepelayana kesehatan jiwa ataupun rumah sakit jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Affiroh, A.A & Sholikah, M.M. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada
Pasien Dengan Isolasi Sosial Di Ruang Nakula Rs Dr Arif Zaenudin
Surakarta. Uniersitas Kusuma Husada Surakarta.