Resumean Pend Multikultural
Resumean Pend Multikultural
Resumean Pend Multikultural
DOSEN PENGAMPU
Dr. H. Metroyadi, SH., M.Pd
Fathul Jannah, M. Pd
DISUSUN OLEH
NAMA : MEIDA NURMINI
NIM : 1910125320041
KELAS 3A PGSD
1. PENDIDIKANMULTIKULTURAL
Pendidikan Multikultural telah didefinisikan dalam banyak pandangan dan banyak
latar belakang bidang keilmuan seperti antropologi, sosiologi, filsafat dan psikologi.
Pendidikan Multikultural lahir karena permasalahan manusia yang ditindas hanya karena
perbedaan.
Menurut Mukti Ali, pluralitas merupakan realitas yang sangat jelas kelihatan.
Setiap agama mengajarkan jalan hidup yang berbeda-beda dan merupakan ekspresi dari
pemeluknya untuk memahami ajaran Tuhan. Menurutnya, nilai pluralisme yang paling
relevan untuk dikembangkan yakni agree in disagreement . Orang yang beragama harus
percaya bahwa agama yang dipeluk itulah yang paling baik dan benar, sedangkan orang
lain dipersilahkan bahkan dihargai untuk mempercayai dan meyakini agama yang
dianutnya.
Setiap agama memiliki persamaan dan perbedaan, maka sikap yang perlu
dikembangkan adalah saling menghargai antar pemelukagama. Pluralisme adalah
penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya
yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka. Pluralisme di sini berarti perlindungan
negara terhadap hak-hak warga negaranya untuk memeluk agama sesuai dengan apa yang
diyakininya. Pluralisme berarti membangun toleransi, harus mengakui bahwa setiap
agama dengan para pemeluknya masing-masing mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Maka yang harus dibangun adalah perasaan dan sikap saling menghormati, yaitu toleransi
dalam arti aktif.
Hakikat Budaya
Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisah-pisahkan. Di mana ada budaya di
situ ada manusia dan sebaliknya di mana ada manusia di situ ada budaya, manusia
berbudaya dan budaya dari manusia. Kebudayaan terwujud dari manusia. Setelah ada
manusia, baru lahir budaya, karena budaya diartikan segala daya upaya manusia untuk
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan lahiriah mau pun batiniah.
Jadi, tanpa manusia budaya tidak pernah ada, karena budaya lahir dari manusia.
Manusia pada generasi pertama yang hidup berburu dan berpindah-pindah untuk mencari
binatang buruannya. Manusia pada zaman tersebut mewariskan budaya kepada zaman
kedua dan zaman kedua melaksanakan sambil mengembangkan budaya dan selanjutnya
diwariskan kepada zaman ketiga . Setiap generasi menerima warisan budaya dari generasi
sebelumnya dan generasi yang sedang berjalan akan mengembangkan budaya sesuai
dengan pola pikir peradaban masa itu.
Pada saat menerima budaya dari generasi sebelumnya, berbeda dengan budaya
yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Kebudayaan generasi tua lebih tua
dibanding kan dengan kebudayaan masa kini, karena kebudayaan generasi tua adalah
kebudayaan yang terjelma dari pola pikir manusia pada generasi sebelumnya.
Kebudayaan generasi tertua adalah kebudayaan generasi awal atau generasi pertama dari
peradaban manusia. Namun, belum tentu terjamin tentang nilai kearifan lokal mau pun
kearifan nasional, yang selalu kitaagung-agungkan.
Pendidikan multikultural adalah proses dan strategi untuk membentuk sikap setiap
orang untuk menghormati orang lain dengan berbagai perbedaan yang ada pada dirinya
dariaspekbudaya, ras, etnik, agama, kels sosial, maupun gender dengan yang dimiliki orang
lain, karena setiap orang memiliki dimensi yang berbeda dalam pengalaman, pikiran,
persepsi, sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase
pertama dari gerakan kebangkitan etnis . Juga sering digunakan jika sekolah mencoba
mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran utama. Ciri
pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan bendabenda budaya
yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran
utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T.
Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan
dalam kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick
Henry, George Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam
kurikulum inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok
etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan pentingnya budaya
khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap
tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan implementasi
pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai
masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya
terhadap masyarakat dan budaya AS. Individu yang menentang ideologi, nilai dan konsepsi
masyarakat yang dominan dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi
radikal jarang dimasukkan dalam pendekatan kontribusi. Jadi Booker T. Washington lebih
mungkin dipilih untuk studi dibandingkan dengan W.E.B Du Bois, dan Sacajawea lebih
mungkin dipilih daripada Geronimo. Kriteria yang digunakan untuk memilih pahlawan etnis
untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan perjuangannya berasal dari masyarakat aliran
utama dan bukan dari komunitas etnis. Akibatnya, pemakaian pendekatan kontribusi
biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang hanya menggambarkan satu
perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam pendekatan kontribusi, individu yang lebih
radikal dan kurang konformis yang hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung
untuk diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang dipakai.
Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi.
Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial
yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin
Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu etnis
yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran,
pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang
diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak sama
sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan
materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi
etnis terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan
materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis
dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan
kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong,
mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa
pendekatan yang efektif.
Seringkali ada tuntutan politik yang kuat dari komunitas etnis terhadap sekolah untuk
mencantumkan pahlawan, kontribusi dan budaya mereka ke dalam kurikulum sekolah.
Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap
kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap kurikulum tanpa
mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif ini sering dilengkapi
dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya
secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color
Purple pada suatu unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama
unit tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika
selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat. Pendekatan aditif
memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa
restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran
kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat
menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk
menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif
dan kerangka pikir etnis.
Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau
masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan seharusnya
memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan melihat
peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya
dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan.
Siswa seharusnya juga mengkaji bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam
konteks sosial, wilayah dan situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk
konteks sosial dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi
bahasa Inggris AS baku. AS kaya bahasa dan dialek. Negara ini memiliki lebih dari 20 juta
warga Hispanis. Spanyol adalah bahasa pertama sebagian besar dari mereka. Sebagian besar
dari sekitar 30 juta bangsa Afrika Amerika berbicara baik dengan bahasa Inggris baku
maupun bahasa Inggris kulit hitam. Handy, dan Leontyne Price yang telah mempengaruhi
sifat dan perkembangan musik AS seharusnya dikaji saat mempelajari perkembangan musik
AS. Orang Afrika Amerika dan Puerto Rico mempengaruhi perkembangan tarian orang
Amerika. Penulis dari orang kulit berwarna seperti Langston Hughes, N. Scott Momaday,
Carlos Bulosan dan lain-lain bukan hanya telah mempengaruhi secara signifikan
perkembangan sastra Amerika, namun juga memberikan perspektif unik dan menampakkan
sastra dan masyarakat Amerika.
Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan
seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah
berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan
seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari sintesis
dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai
kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Amerika.
Pada era globalisasi ini, pertemuan budaya bisa menjadi ancaman serius. Dengan
beragamnya budaya baik budaya luar dan budaya Indonesia sendiri, peserta didik
diberikan pemahaman yang luas, agar tidak melupakan budaya sendiri . Kemajuan
IPTEK dapat memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Keanekaragaman budaya dan ras merupakan sebuah kekayaan yang harus dijaga.
Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya
itu dapat disebut pluralisme budaya . Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh
Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional
sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batasbatas menjaga
persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok
etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing berkontribusi unik
menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen
mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam konteks ini
Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya yang dominan,
sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan
budaya Amerika. Apa budaya WASP?
Atau mungkin ada yang memandang bahwa budaya Cina yang mulai
menampakkan pengaruhnya? Penggunaan Feng Shui dan adanya Barongsai di berbagai
acara dan di berbagai tempat strategis di tanah air ini saat ini sangat mewarnai budaya
bangsa kita. Namun yang perlu kita perhatikan adalah posisi yang anda tentukan itu
didasarkan atas teori dari Horace Kallen yang belum tentu disetujui oleh kelompok lain.
Penghargaan atau pengakuan terhadap budaya yang dominan dari Horace Kallen oleh
kelompok yang lain ini dipandang bukan merupakan bagian dari teori multikultural.
Nanti akan kita lihat dalam pembahasan teori dari Banks mengenai kelompok Afrosentris
yang antipati terhadap keberadaan kelompok dominan ini.
James A.
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal
sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan
pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada
mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa
harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi
pengetahuan dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang
selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan
konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia
terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan
masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut
pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu
dan dalam pembentukan sejarah sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka
perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa
masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran
orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 –
1830. Salah satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam
di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat
sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap
sebagai pemberontakan dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya
perebutan kekuasaan dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya
tidak setinggi putera permaisuri.
Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or
Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme
memunculkan pertanyaan tentang «perbedaan» yang nampak sudah dilakukan berbagai
teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme
lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-
benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa
pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal.
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat.
Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai consumerist
multiculturalism. Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang baru. Multikulturalisme
bukan konsumeris tetapi transformational, yang memerlukan kerangka kerja. Martin
mengatakan bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain
yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda.
Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju
multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara
kelompokkelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan
dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya
komunikasi antar berbagai segi pandang yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena
selama ini masing-masing kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain dan
tidak ada komunikasi tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.
Martin J.
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat
multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan
semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma
Barat yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya.
Judith M.
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Secara
unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi
kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan,
membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Sehingga lewat
pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok
tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada.
E. Teori Sosial: Melting Plot I, Melting Plot II, dan Cultural Pluralisme
Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada
keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan. Dalam konteks
Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari
peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya.
Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya 3 teori
sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan
beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Ketiga teori tersebut populer
dengan sebutan teori masyarakat majmuk .
Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok
mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah
pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus
melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang
beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik
Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok
mayoritas untuk menunjukkan identitasnya.
Teori ini tampak sangat tidak demokratis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel
Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam
latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah
baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing
individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para
anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi
hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa,
Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang,
selanjutnya membentuk identitas baru.
Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan
antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini
belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli
individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain. Teori yang
dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari
individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya,
memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini
sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya
kelompok minoritas sekalipun.
Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik,
Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang
untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam
suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya,
maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan
diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari
individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan
kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah. Untuk konteks Indoneisa,
teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
Pendidikan multikultural cukup berat dan serius, karena sistem pendidikan formal
kita menghadapi masalah yang lebih mendasar yaitu sumber daya manusia yang kurang
memadai dan infrastruktur yang buruk.
Teori ini dicetuskan atau dipetakan oleh Geoge Ritzer yang dikhususkan pada
permasalahan sosial yang terkait dengan sistem nilai atau pranata sosial yang mengatur
kehidupan masyarakat. Selain Ritzer, adapun ilmuan lain yang mengembangkan teori
sistem ini, diantaranya Niklas Luhman, Kenneth Bailey dan Walter Buckley. Sama
halnya dengan teori struktur fungsional, teori sistem juga turunan atau bagian dari
paradigma fakta sosial.
Jika dikaitkan dengan sosiologi, maka teori sistem dapat dikonotasikan sebagai
sebuah cara pandang yang melihat bahwa tugas dan peran utama dari sosiolog dan atau
antropolog adalah sebagai perumus kerangka sosial kehidupan manusia, serta menjadikan
fenomena sosial sebagai sebuah objek untuk dikaji guna menemukan hakikat adanya
sosial masyarakat yang berdasarkan suatu hal yang tersusun secara rapi. Artinya teori
sistem adalah sebuah framework yang menjelaskan keterkaitan antar elemen yang
berfungsi melakukan mekanisme kerja, guna mencapai tujuan tertentu dalam suatu
struktur sosial masyarakat. Karenannya sistem sosial merupakan prinsip pendekatan yang
menunjuk kepada aktifitas dan dinamika dalam sosial .
Dari makna teori sistem diatas dapat diambil catatan penting. Pertama, seluruh
teori sistem tersusun dari beberapa subsistem dan setiap sub memiliki tugas dan
fungsinya yangmempengaruhi proses sistem secara keseluruhan. Oleh karena teori sistem
diambil dari ilmu pasti Differensial segmentasi Differensiasi stratifikasi Differensiasi
pusat-pinggiran Differensiasi fungsional , yaitu perbedaan lingkungan karena adanya
pengaruh dari perubahan pada salah satu subsistem.
Jadi meskipun teori sistem dapat diterapkan pada seluruh ilmu sosial, namun hal
tersebut tidak serta merta menegaskan bahwa semua sistem dalam masyarakat terhubung
dan saling mempengaruhi secara langsung.Karena adanya keberagaman dalam satu
masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.
2. Struktur Fungsional
Teori struktural fungsional termasuk teori sosiologi yang terhimpun dalam
paradigma fakta sosial.Teori ini populer disebut dengan teori integrasi atau teori
konsensus. Pada mulanya, teori ini dicetuskan oleh beberapa ahli pemikir klasik,
diantaranya Socrates, Plato, Auguste Conte, Spencer, Emile Dukheim, Robert K. Merton,
dan Talcott Parsons.
Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Konsep imperative tersebut dikenal dengan AGIL.
a.Adaptation. Ini merupakan kemampuan/skill untuk dapat berinteraksi dengan
alam sekitarnya yang mencakup segala hal seperti mengumpulkan sumber-sumber
kehidupan dan komoditas dan redistribusi sosial.
b.Goal attainmet.Kecakapan untuk mengatur dan menyusun tujuan masa depan
serta membuat keputusan yang sesuai dengan tujuan. d.Latency.Pemeliharaan pola dalam
hal nilai kemasyarakatan seperti budaya, bangsa, norma, aturan dan lainnya.
3. Metode Transformatif
Metode transformatif memungkinkan peserta didik melihat konsep-konsep dari
sejumlah sudut pandang budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini dapat
mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan peserta didik untuk memahami isu dan
persoalan dari beberapa sudut pandang suku bangsa dan agama tertentu. Metode ini
menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan
sebagai premis dasarnya .
4. Metode Keputusan dan Aksi Sosial
Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan kepada peserta didik untuk
berpikir dan memiliki kemampuan mengambil keputusan guna memberdayakan dan
membantu mereka mendapatkan sense kesadaran terhadap dinamika yang berkembang di
masyarakat dan turut berperan serta dengan aksi-aksi nyata .
B. Pembelajaran yang Humanis Menurut Jurgen Habermas
1. Teori Belajar Humanistik
Teori humanistik dipelopori oleh Jurgen Habermas. Menurut teori humanistik,
proses belajar harus dimulai dan di tujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia
itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih
mendekati kajian bidang kajian filsafat teori kepribadian, dan psikoterapi, daripada
bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang
dipelajari daripada proses belajar itu sendiri.
2. Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Habermas adalah tokoh humanis yang memiliki banyak pengaruh terhadap teori
belajar humanis. Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan
alam sosial, sebab diantara keduanya tidak dapat dipisahkan.
a. Belajar teknis
Belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan
lingkungan alamnya secara benar. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau lainnya sangat
penting dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis
Belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang disekelilingnya dengan baik. Kegiatan
belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia.
Oleh karena itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya
akan tampak dari kaitan antara relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris
Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu
pemahaman daan kesadaran yang tinggi akan terjadi perubahan budaya dalam lingkungan
sosialnya.
C. Lembaga-Lembaga Pendidikan Non Formal dan Informal dalam Penerapan Pendidikan
Multikultural
Multikulturalisme sebagai penghormatan dan penghargaan tentang segala bentuk
keberagaman dan perbedaan baik etnis, suku, ras, agama maupun simbol-simbol
perbedaan lainnya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan .
Pendidikan adalah media yang amat strategis untuk menyemaikan nilai-nilai
multikultural.
1. Pendidikan Non Formal
Di lihat dari lingkungan pendidikan, masyarakat disebut lingkungan pendidikan
nonformal yang memberikan pendidikan secara sengaja dan berencana kepada seluruh
anggotanya, tetapi tidak sistematis. Secara fungsional masyarakat menerima semua
anggotanya yang pluralistik itu dan mengarahkan menjadi anggota masyarakat yang baik
untuk tercapainya kesejahteraan sosial para anggotanya yaitu kesejahteraan mental
spiritual dan fisikal atau kesejahteraan lahir dan batin.
Di Indonesia pendidikan nonformal meliputi: pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan.
2. Lembaga Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung atau terselenggara
secara wajar di dalam lingkungan hidup sehari-hari. Pendidikan informal antara lain
berlangsung di dalam keluarga, pergaulananak sebaya, pergaulan di tempat bekerja,
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, pelaksanaan adat kebiasaan oleh masyarakat, dan
sebagainya. Dalam prakteknya bisa dilakukan dengan membentuk kelompok , anak
dalam lingkungan keluarga dan adat. Sifat anak yang masih memakai pola meniru , dapat
dimanfaatkan dalam pembentukan kepribadian anak dengan menirukan perilaku yang
menunjukkan sikap menempatkan semua kebudayaan adalah sederajat . Lembaga adat
dan lembaga agama juga dapat dimanfaatkan dalam penanaman nilai-nilai
multikuluralisme. Dalam hal ini aktor dalam lembaga adat dan agama perlu memiliki
pemahaman dan pandangan bahwa semua kebudayaan adalah sederajat.
2. Negara Kanada
Di Kanada ada konsep dan kebijakan multikultrual yang harus memajukan bangsa
dengan membandingkannya dengan Negara lain. Negara ini berusaha keras untuk tidak terlalu
menggantungkan ekonominya pada AS mencoba mempersatukan multikulturalnya demi
kemajuan bangsa.
Sejarah pertumbuhan penduduk Kanada dapat diidentifikasi atas empat kelompok
Asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara nomaden sebagai
pemburu dan petani. Inggris setelah Treaty of Paris yang ditambah etnis Perancis yang terlibat
Perang Kemerdekaan Amerika 1776. Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan ekonomi
Kanada yang membutuhkan tenaga terdidik untuk memenuhi kebutuhan metropolitan. Berbeda
dengan AS yang menerapkan politik asimilasi, Pemerintah Liberal Kanada menerapkan politik
multi kulturalisme yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris
sebagai bahasa resmi.
Kanada nmerupakan Negara pertama yang memberikan pengakuan legal terhadap
multikulturalisme. Kebijakan multicultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di
dalam program sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji ulang untuk dilihat hal-hal yang
mengandung stereotype dan prasangka antaretnis. Demikian pula di dalam pendidikan oleb
Ontario Heritage Language Programme yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan
terhadap pengajaran bahasa etnis yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah.
Diberikan penataran guru untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dan prasangka,
terutama kelompok kulit berwarna .
Makna multikultural di kanada
Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan
masyarakat Montreal sebagai masyarakat Multikulur dan Multilingual . Tetapi istilah multicultur
ini diambil dari Kanada yakni multiculturalism yang digunakan untuk mendukung makna yang
sama dari pluralism dan perbedaan dimaksud terjadi karena perbedaan Negara yang
menerapkan prinsip tadi. Pendapat ini didukung oleh Sal Murgiyanto yang mengutip Moore,
"Jika multikulturalisme Smerika disepakati dengan popular sebagai melting pot, maka
multikulturalisme Kanada dibandingkan dengan sebuah kebudayaan salad, dalam suatu tempat
setiap kompunen mempertahankan citrasanya" , sedangkan multikulturalisme Indonesia
tercermin pada moto "Bhineka Tunggal Ika atau bersatu dalam keanekaragaman" . Sebuah
definisi yang sangat menarik karena terkandung makna adanya kerja keras dalam memahami
perbedaan atau keragaman.
3. Negara Inggris
Pada awalnya Inggris terkenal sebagai masyarakat yang monokultur dan baru sesudah
PD II menjadi multikultur ketika kedatangan tenaga kerja untuk pembangunan dari
kepulauan Karibia dan India. Ide ini mendapat dukungan kuat selama tahun 1800-an, dan
banyak wanita yang mulai melakukan kampanye menuntut reformasi. Pendidikan
Multikultural berkembang sejalan dengan banyaknya kaum imigran yang memasuki
Inggris, namun masih terdapat perlakuan yang diskriminatif sehingga memunculkan
berbagai gerakan yang berlatar belakang budaya. Gerakan ini merupakan gerakan politik
yang didukung pandangan liberal, demokrasi dan gerakan kesetaraan manusia.
Hal ini tidak lepas dari pemikiran kelompok progresif di Universitas Birmingham
yang melahirkan studi budaya pada tahun 1964 yang mengetengahkan pemikiran
progresif kaum terpinggirkan yang didukung oleh Kaum Buruh . Pendidikan
Multikultural terjadi karena dorongan dari bawah, yaitu kelompok liberal bersama
dengan kelompok kulit berwarna. Hal ini diperkuat oleh politik imigrasi melalui
undangundang Commonwealth Immigrant Act tahun 1962 yang mengubah status
kelompok kulit berwarna dari kelompok imigran menjadi «shelter» . Pada tahun 1968
didirikan Select Community on Race Relations and Immigration yang bertugas meninjau
kebijakan imigrasi.
4. Negara Indonesia
Pada Demokrasi, Kesetaraan dan Keadilan. Sedangkan Nilai kesetaraan dalam
demokrasi mengacu pada keyakinan bahwa manusia diciptakan setara. Semua manusia
diperlakukan kesetaraan memperoleh pendidikan, kesetaraan dimuka hukum dan
kesetaraan. Setara dalam mengembangkan potensi yang dimaki setiap manusia. Tidak
adanya hak-hak superior pada setiap manusia . Nilai kemanusiaan seorang manusia itu
secara alamiah dan sosial juga didasarkan pada kemampuannya menghargai kode etik
dan sopan santun sebagai makhluk berbudaya yang tidak liar. Dalam kehidupan sehari-
hari, manusia dihargai bukan karena bangunan tubuhnya yang indah, akan tetapi karena
kualitas perbuatannya yang didasarkan pada kematangan pemikiran dan kesadaran yang
membentuk sikap hidup yang bijak. Kapasitas akal manusia itulah yang menjadi ciri
utama kemanusiaan dan aktualitasnya dalam kehidupan konkret .
Memanusiakan manusia adalah bersikap memanusiakan antar sesamanya. Karena
dirinya adalah manusia dan orang lain adalah manusia. sikap memanusiakan manusia
memiliki manfaat bagi dirinya dan manusia lainnya. Sikap menerima, mengakui dan
menghargai keragaman penting dalam hubungan sosial di masyarakat yang
beranekaragam. Dalam masyarakat beragam ada bagian masyarakat yang dominan dan
minoritas.
Makna Pendidikan Multikultural di Indonesia
Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant , menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural memiliki empat makna , yakni: pengajaran tentang keragaman
budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural; pengajaran tentang berbagai pendekatan
dalam tata hubungan sosial; pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan
strata sosial dalam masyarakat; dan pengajaran tentang refleksi keragaman untuk
meningkatkan pluralisme dan kesamaan. Gagasan pendidikan multikultural di Indonesia
sendiri, sebagaimana digagas oleh H.A.R Tilaar adalah pendidikan untuk meningkatkan
penghargaan terhadap keragaman etnik dan budaya masyarakat . Untuk itu, seluruh
komponen bangsa tanpa membedakan etnik, ras, agama dan budaya, seluruhnya harus
bersatu padu, membangun kekuatan di seluruh sektor, sehingga tercapai kemakmuran
bersama, memiliki harga diri bangsa yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di
dunia.
Oleh sebab itu, mereka harus saling menghargai satu sama lain, hilangkan sekat-
sekat agama dan budaya. Semua itu, sebagaimana Azyumardi Azra tegaskan , bukan
sesuatu yang taken for granted tetapi harus diupayakan melalui proses pendidikan yang
multikulturalistik, yakni pendidikan untuk semua, dan pendidikan yang memberikan
perhatian serius terhadap pengembangan sikap toleran, respek terhadap perbedaan etnik,
budaya, dan agama, dan memberikan hak-hak sipil termasuk pada kelompok minoritas.
Pendidikan multikultural melalui pendidikan agama Islam, dapat dilakukan melalui
pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil
belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia dengan memberi penekanan pada
berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, pendi- dikan
multikultur melalui pendidikan agama juga harus dilaku- kan dalam pendekatan deduktif
diawali dengan kajian ayat dalam tema- tema yang relevan, kemudian dikembangkan
menjadi norma-norma keagamaan, baik norma hukum maupun etik.
5. Negara China
Konsekuensi lain adalah panggilan umuk reformasi pendidikan. Pendidikan
multikultural pertama kali muncul di Taiwan pada tahun 1990. Pada awalnya akademisi
memperkenalkan konsep pluralisme budaya, lalu berkembang kepada konsep
multikulturalisme dan pcndidikan multikultural, yang semua dipinjam dari dunia Barat
tetapi telah mengalami proses penyesuaian lokal di Taiwan. Konsep yang sering dibahas
adalah multikultralisme dan pendidikan multikultural karena makna multikulturalisme
lebih luas dan lebih populer daripada pluralisme budaya.
Perkembangan Pendidikan Multikultural di Taiwan dipengaruhi olch sosial politik
dengan konteks yang lebih luas serta promosi akademisi dan peneliti pendidikan.
Keduanya bergabung bersama-sama menciptakan berkembangnya pendidikan
Multikultural. Pendidikan Multikultural mengacu pada Pendidikan yang dipengaruhi oleh
konsep multikul-turalisme. Dalam dua decade, Pendidikan Multikultural mengalami
perkembangan yang pesat dalam akademis baru, dan perkembangan desain kurukulum
yang relavan.
Banyak pekerjaan besar telah dicapai dalam promosi Pendidikan Multikultural,
dan tidak banyak perdebatan dan interogasi. Perubahan ideologi poitik pemerintah
Komintang adalah tonggak sejarah untuk pengembangan Pendidikan Multikultural di
Taiwan berkaitan dengan isu tentang etnis, budaya etnis, kesetaraan gender, kelas social,
siswa yang kurang beruntung, identitas migran perempuan yang menikah dan pendatang
baru. Upaya pertama dari akademisi dan peneliti Pendidikan untuk mempromosikan
Pendidikan Multikultural adalah menerbitkan sebuah buku Pendidikan Multikultural pada
tahun1993 oleh China Education Society. Buku ini ditulis oleh akademisi Taiwan untuk
mengekplorasi teori dan praktek Pendidikan Multikultural.
GIME adalah Lembaga pertama berbasis penelitian Pendidikan Multikultural.
Setelah pembentukan GIME popularitas Pendidikan Multikultural meningkat. Konferensi
Internasional pertama diselenggarakan dengan pembahasan tentang Teori dan Praktek
Multikultural Pendidikan. Selain itu, Pendidikan Multikultural telah menjadi popular
tentu saja dalam program Pendidikan guru di perguruan tinggi.
6. Negara Jepang