Kasus korupsi besar terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan kasus oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga menerima suap untuk membantu buronan korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
34 tayangan10 halaman
Kasus korupsi besar terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan kasus oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga menerima suap untuk membantu buronan korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
Kasus korupsi besar terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan kasus oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga menerima suap untuk membantu buronan korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
Kasus korupsi besar terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan kasus oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga menerima suap untuk membantu buronan korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10
TUGAS PENDIDIKAN KEBUDAYAAN ANTI KORUPSI
A. Kasus Korupsi per Tahun 2020
1. Kasus Korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero)
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta menggelar sidang perdana untuk 13 tersangka korporasi kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi kepada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (AJS) pada Senin (31/5/2021). Adapun agenda sidang tersebut yakni pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk seluruh tersangka korporasi itu. Pada persidangan, jaksa mendakwa seluruh perusahaan manajemen investasi itu melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan pencucian uang dalam pengelolaan keuangan dan Dana Investasi pada reksa dana milik PT AJS selama 2008-2018. Ketigabelas terdakwa korporasi manajer investasi tersebut adalah korporasi PT Millenium Capital Management, PT Treasure Fund Investama, PT Pool Advista Aset Manajemen dan PT GAP Capital. Kemudian, PT Maybank Asset Management, PT Pinnacle Persada Investama, PT Sinarmas Asset Management, dan PT Corfina Capital. Terdakwa menyepakati dan melaksanakan pengelolaan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan yang menjadi underlying pada produk reksa dana milik PT AJS (PT Asuransi Jiwasraya Persero) yang dikelola oleh terdakwa untuk dikendalikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokorosaputro melalui Joko Hartono Tirto dan Piter Rasiman," kata jaksa dalam ruang sidang Kusuma Atmadja dikutip dari Tribunnews, Senin. Lebih lanjut, dalam dakwaannya jaksa juga menyatakan bahwa para korporasi tersebut menerima komisi yang tidak sah dan merugikan kepentingan PT Jiwasraya. "Terdakwa telah menerima komisi berupa management fee yang tidak sah dan merugikan kepentingan PT AJS sebagai nasabah dalam pengambilan keputusan investasi," tutur jaksa. Dalam perbuatan itu, para terdakwa dinyatakan tidak mematuhi ketentuan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.04/2015. Adapun dalam peraturan itu memuat tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi yang menyatakan manajer investasi dapat menerima komisi, sepanjang komisi tersebut secara langsung bermanfaat bagi manajer investasi dalam pengambilan keputusan investasi untuk kepentingan nasabah dan tidak mengakibatkan benturan kepentingan dengan nasabah dan/atau merugikan kepentingan nasabah. Akibat perbuatan para terdakwa jaksa mengatakan negara mengalami kerugian sekitar Rp 10 triliun yang berasal dari perbuatan masing-masing terdakwa. Adapun perincian untuk para korporasi tersebut yakni: Pertama, PT Prospera Asset Management merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,297 triliun. Kedua, PT Millenium Capital Management yang sebelumnya bernama PT Millenium Danatama Indonesia merugikan keuangan negara sebesar Rp 676 miliar. Ketiga, PT Corfina Capital merugikan keuangan negara sebesar Rp 17,021 miliar. Keempat, PT Treasure Fund Investama merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,216 triliun selama periode 2015—2018 Kelima, PT Dhanawibawa Manajemen Investasi yang saat ini bernama PT Pan Arcadia Capital merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,027 triliun. Keenam, PT Pinnacle Persada Investama dalam pengelolaaan investasi reksa dana PT AJS merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,815 triliun. Ketujuh, PT Sinarmas Asset Management merugikan keuangan negara sebesar Rp 77 miliar. Baca juga: Kerugian Korupsi Asabri dan Jiwasraya Setara Harga 8 Kapal Selam Baru Kedelapan, PT MNC Asset Management merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,531 miliar Kesembilan, PT Maybank Asset Management merugikan keuangan negara sebesar Rp 515 miliar. Kesepuluh, PT Jasa Capital Asset Management merugikan keuangan negara sebesar Rp 226 miliar. Kesebelas, PT Gap Capital merugikan keuangan negara sebesar Rp 448 miliar. Keduabelas, PT Pool Advista Aset Manajemen merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,142 triliun. Ketigabelas, PT Oso Manajemen Investasi merugikan keuangan negara sebesar Rp 521,1 miliar. Atas perbuatan itu jaksa mendakwa para korporasi manajer investasi dengan pasal Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Kemudian, pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Subsidair pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. KASUS KORUPSI JAKSA PINANGKI SIRNA MALASARI
Jaksa Pinangki Sirna Malasari diduga telah menerima uang sejumlah US$500.000 dari US$1 juta yang dijanjikan terpidana perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker).Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, di Jakarta, Kamis (17/9), mengungkapkan kronologi tentang uang tersebut. Menurutnya, itu sebagai imbalan bagi Pinangki untuk megurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung agar Djoker tidak bisa dieksekusi ke penjara. Hari menuturkan, penyuapan terhadap terdakwa Pinangki berawal sekitar November 2019. Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H., selaku seorang Jaksa pada Kejagung bersama-sama dengan Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya bertemu dengan Joko Soegiarto Tjandra. "Betemu Djoko Soegiarto Tjandra merupakan buronan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali di kantornya yang terletak di The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia," ungkapnya. Saat itu, lanjut Hari, Joko Soegiarto Tjandra setuju meminta Pinangki dan Anita Kolopaking untuk membantu pengurusan gatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung. Tujuannya, agar pidana Djoker berdasarkan Putusan PK Nomor:12 PK/ Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 tidak dapat dieksekusi sehingga dia dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana. Atas permintaan tersebut, terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. dan Saudari Anita Kolopaking bersedia memberikan bantuan tersebut," ujarnya. Djoker lantas bersedia menyediakan imbalan berupa uang sebesar US$1 juta untuk Pinangki guna mengurus perkara tersebut. Namun, uang tersebut akan diserahkan melalui pihak swasta, yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari Pinangki Sirna Malasari. Hal itu sesuai dengan proposal 'action plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," katanya.Selain itu, lanjut Hari, Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Dkoker juga bersepakat untuk memberikan uang sejumlah US$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan di MA guna keperluan mengurus permohonan Fatwa MA melalui Kejagung. Selanjutnya, Djoko Soegiarto Tjandra memerintahkan adik iparnya, yaitu Heriyadi Angga Kusuma (almarhum) untuk memberikan uang kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya di Jakarta sebesar US$500.000 sebagai pembayaran down payment (DP) 50% dari US$1 juta yang dijanjikan. Kemudian, Andi Irfan Jaya memberikan uang sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki. Kemudian dari uang US$500.000 tersebut, Pinangki memberikan US$50.000 kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum. Sedangkan sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H.," ungkap Hari. Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam "acrion plan" di atas tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoker telah memberikan DP sejumlah US$500.000 kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya. Karena tidak terlaksana, Djoker pada bulan Desember 2019 membatalkan "action plan" atau rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan "NO". Pinangki kemudian menukarkan sisa uang US$450.000 melalui sopirnya, Sugiarto dan Beni Sastrawan. Uang hasil penukaran valas itu lalu digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika, dan pembayaran sewa apartemen atau hotel di New York. Selain itu, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi terdakwa serta pembayaran sewa Apartemen Essence Darmawangsa dan Apartemen Pakubowono Signature yang menggunakan cash atau tunai US$. Atas perbuatan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. tersebut patut diduga sebagai perbuatan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi," katanya. Tersangka oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari usai menjalani pemeriksaan di Kejagung. Dalam perkara tindak pidana korupsi, JPU menuduh Pinangki melanggar dakwaan kesatu, yakni primair; melanggar Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang- Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsidairnya, melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan untuk dakwaan pencucian uang, JPU menuduh Pinangki melangar dakwaan kedua, yakni Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan untuk dakwaan ketiganya, primair; melanggar Pasal 15 juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 88 KUHP. Untuk dakwaan ketiga subsidairnya, melanggar Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 88 KUHP. TIm Jaksa Penuntu Umum (JPU) Kejagung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) telah melimpahkan berkas perkara Pinangki ke Pengadilan TIndak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (17/9). 3. Kasus Dugaan Suap Ekspor Benih Lobster Menteri KKP Edhy Prabowo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, sebagai tersangka usai ditangkap di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, pada Rabu 25 November 2020. Edhy diketahui terjerat atas kasus suap perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Wakil Ketua KPK, Nawawi Pamolango, dalam konferensi persnya menjelaskan kronologi perkara yang menjerat kader Partai Gerindra itu. Kasus ini berawal dari Menteri Edhy Prabowo yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN- KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas atau Due Diligence Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada tanggal 14 Mei 2020. Dalam keputusannya, Edhy Prabowo menunjuk staf khususnya Andreau Pribadi Misanta sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence itu dan Safri sebagai Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence. Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur,” kata Nawawi saat konferensi persnya di Jakarta pada Rabu (25/11/2020) malam. Lalu pada awal bulan Oktober 2020, Nawawi melanjutkan, Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito mendatangi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di lantai 16. Di sana, ia bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal kegiatan ekspor benih lobster atau benur. Oleh Safri, Sarjito diberitahu bahwa keperluan ekspor benur hanya dapat melalui PT Aero Citra Kargo atau PT ACK sebagai forwarder. Namun ada syaratnya yang harus dipenuhi yaitu terdapat biaya angkut jika hendak melakukan kegiatan ekspor benih lobster, yakni sebesar Rp 1.800 per ekor. Sarjito pun menyanggupi syarat tersebut. Ia kemudian melalui PT DPP melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total senilai Rp 731.573.564. Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri atas Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja. Karena ekspor benur hanya melalui satu pintu, PT ACK lantas menerima uang yang diduga dari beberapa perusahaan yang akan melakukan kegiatan ekspor benur tersebut. Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga dari beberapa perusahaan eksportir benur, selanjutnya uang tersebut ditarik dan dimasukkan ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar. Masing-masing dengan total senilai Rp 9,8 miliar. Selanjutnya, pada 5 November 2020 diduga Ahmad Bahtiar mentransfer uang sebesar Rp 3,4 miliar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih. Ainul merupakan staf istri Menteri KKP Iis Rosyati Dewi. Uang sebanyak itu lantas digunakan untuk keperluan Edhy Prabowo, istrinya Iis Rosyati Dewi, Safri, dan Andreau Pribadi Misanta. Adapun keperluan yang dimaksud yakni sebesar Rp 750 juta digunakan Edhy Prabowo dan istrinya Iis Rosyati Dewi untuk berbelanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21 sampai 23 November 2020. Barang mewah yang dibeli antara lain berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, dan baju Old Navy. Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo diduga juga menerima uang senilai 100.000 dolar dari Suharjito. Uang itu diterima melalui Safri dan Amiril Mukminin. Juga Rp 436 juta melalui stafsusnya yaitu Safri dan Andreau Misanta. Selain Edhy Prabowo, KPK juga telah menetapkan tersangka kepada 6 orang lainnya. Mereka antara lain Safri selaku Stafsus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta juga Stafsus Menteri KKP, Siswadi Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Kemudian, Ainul Faqih Staf istri Menteri KKP, Amiril Mukminin dan Suharjito Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) selaku pemberi suap. Atas perbuatannya itu, keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Kasus suap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna dalam operasi tangkap tangan pada Jumat (28/11/2020). Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, OTT itu bermula dari informasi akan terjadinya penyerahan uang dari pemilik sekaligus komisaris Rumah Sakit Kasih Bunda (RSU KB) Hutama Yonathan kepada Ajay. "KPK menerima informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan akan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Negara yaitu saudara AJM (Ajat) melalui orang kepercayaannya dan melibatkan pihak swasta yaitu YH (Hutama)," kata Firli dalam konferensi pers, Sabtu (28/11/2020). Firli menuturkan, penyerahan uang itu akan dilakukan oleh Cynthia Gunawan selaku perwakilan RSU Kasih Bunda kepada Yanti Rahmayanti selaku orang kepercayaan Ajay. Uang tersebut akan diserahkan di sebuah rumah makan di Bandung pada Jumat (27/11/2020) sekitar pukul 10.00 WIB. Selanjutnya, Cynthia menemui Yanti dengan membawa tas plastik warna yang diduga berisi uang tunai dan menyerahkannya kepada Yanti. "Setelah itu sekitar pukul 10.40 WIB Tim KPK mengamankan CG (Cynthia) dan YR (Yanti)," ujar Firli. Tim KPK kemudian mengamankan sejumlah pihak di beberapa tempat di Kota Cimahi, termasuk Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Total ada sebelas orang yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan tersebut yaitu Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna; ajudan Ajay, Farid; orang kepercayaan Ajay, Yanti; sopir Yanti, Endi; pihak swasta bernama Dominikus Djoni. Kemudian, Direktur RSU KB Nuningsih; staf RSU KB Cynthia Gunawan; Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Cimahi Hella Hairani; Kepala Seksi di Dinas PTSP Cimahi Aa Rustam; dan sopir Cynthia, Kamaludin. Sebanyak 11 orang tersebut kemudian dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. "Dari hasil tangkap tangan ini ditemukan uang sejumlah Rp 425 juta dan dokumen keuangan dari pihak Rumah Sakit KB," kata Firli. Setelah melakukan pemeriksaan, KPK pun menetapkan dua tersangka yakni Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna dan Komisaris RSU Kasih Bunda Hutama Yonathan. Firli mengatakan, dalam kasus ini Ajay diduga telah menerima suap dari Hutama senilai Rp 1,661 miliar dari kesepakatan berjumlah Rp 3,2 miliar. Suap itu diberikan terkait perizinan pembangunan gedung di Rumah Sakit Umum Kasih Bunda. Atas perbuatannya, Ajay disangka melanggar Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, Hutama disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Kasus Dugaan Suap Menteri Sosial Juliari Batubara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan kasus dugaan rasuah yang diduga dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan empat orang lainnya terkait bantuan sosial dalam rangka penanganan covid-19. Perkara itu diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Pengadaan tersebut bernilai sekitar Rp5,9 Triliun, dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dua periode. Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan. Dari upaya itu diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus. Ketua KPK Firli Bahuri menuturkan untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket Bansos. Kemudian kontrak pekerjaan dibuat oleh Matheus dan Adi pada bulan Mei- November 2020 dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya adalah Ardian I M dan Harry Sidabuke (swasta) dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari Peter Batubara) dan disetujui oleh AW (Adi Wahyono)," ucap Firli. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, ujar Firli, diduga diterima fee sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 Miliar. Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N) selaku orang kepercayaan JPB (Juliari) sekaligus Sekretaris di Kemensos untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB (Juliari)," ungkapnya. Sedangkan untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, Firli berujar bahwa terkumpul uang fee dari bulan Oktober-Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur swasta, sebagai pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Para tersangka saat ini dilakukan penahanan selama 20 hari. Matheus ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih KPK, Ardian ditahan di Rutan Pomdam Jaya Guntur, dan Harry ditahan di Rutan KPK Kavling C1. KPK mengimbau kepada JPB dan AW untuk kooperatif segera menyerahkan diri ke KPK," ungkap Firli.
B. Contoh Tindakan Korupsi Yang Erat Dilakukan Dalam Bidang Kesehatan
1. Pengadaan Alat-Alat Laboratorium
Tindakan korupsi yang dilakukan adalah dengan menggunakan anggaran uang untuk pengadaan alat-alat laboratorium, misalnya dipuskesmas A, pagu pengadaan barang alat laboratorium sebesar Rp. 5.000.000,- namun ternyata hanya separuh dari pagu yang dibelanjakan barang, lalu memanipulasi data anggaran, sedangkan yang lain dipakai untuk kepentingan pribadi.
2. Penyalahgunaan Dana JKN
Dana kapitasi JKN yang bersumber dari pemerintah seharusnya digunakaan untuk operasinal puskesmas, namun malah sering disalah gunakan untuk dana pribadi. Misal dari 100% dana pencairan JKN 70% anggaran untuk pelayanan kesehatan dan 30% untuk operasional puskesmas, namun 30% tersebut masuk ke kantong pribadi pejabat yang berwenang.
3. Proyek Pembangunan Fasilitas Kesehatan
Tender pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan sering kali digunakan untuk ajang mencari untung oknum yang tidak bertanggung jawab dengan cara pengerjaan proyek yang tidak sesuai dengan spesifikasi perencanaan dan kurang dari pagu yang telah dianggarkan oleh pemerintah. Dampaknya adalah tidak maksimalnya pembangunan karena menggunakan bahan-bahan yang tidak sesuai dengan rincian.
4. Pemakaian Obat-Obatan untuk Praktik Mandiri
Penyediaan obat-obatan dari pemerintah juga dapat menimbulkan tindakan korupsi dari petugas pengelola dan penyediaan tersebut. Misal pada Puskesmas A mendapat stok opname obat jenis X sebanyak 1.000 tablet, namun hanya 300 tablet yang digunakan untuk pelayanan sedangkan sisanya dijual kepada nakes yang membuka praktek mandiri untuk digunakan pengobatan pribadi.
5. Penggunaan Dana BOK
Segala bentuk kegiatan dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas baik secara promotif, preventif, dan rehabilitasi masuk dalam anggaran kegiatan yang di biayai oleh pemerintah salah satunya dari dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Namun dana BOK juga sering digunakan untuk ajang korupsi, contohnya misal dalam kegiatan “Penyuluhan Keluarga Tangguh Keluarga Sehat” yang sudah dianggarkan dalam RKA BOK dengan pencairan anggaran sebesar Rp. 3.000.000,- namun kegiatan tersebut sebenarnya tidak dilakukan penyuluhan kepada masyarakat, lalu pemegang program manipulasi data dokumentasi kegiatan.
Syarat Dan Prosedur Gugatan Permohonan Pailit Di Indonesia Dalam Analisis Putusan Nomor 03/Pdt - Sus-Pailit/2015/PN - Niaga.Smg Dan Perbandingannya Dengan Negara Amerika Serikat