Tugas Manajemen Perpajakan
Tugas Manajemen Perpajakan
Tugas Manajemen Perpajakan
6. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPH Pasal 21, PPh
Pasal 23/26 dan SPT Masa PPN
Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan
prosedur pengecekan dengan menggunakan teknik rekonsiliasi/equalisasi secara
periodil anatara elemen – elemen yang terdapat di SPT Badan dan laporan fiscal
perusahaan dengan elemen – elemen yang terdapat di SPT PPh 21, SPT PPh 23, dan
SPT Masa PPN.
a. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi dilakukan atas tranksaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran dari
omset penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan angka yang sama
atau belum. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh badan dengan SPT
PPN bisa berbeda, disebabkan beberapa hal berikut:
1) Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet penjualan di
SPT PPN karena penjualan di SPT PPh Badan menganut akrual basis sehingga
atas penjualan kredit, jika barangnya telah diserahkan, penjualan sudah
dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit bisa dibuat faktur
pajaknya pada akhir buoan setelah bulan penyerahan barang.
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil dari pada omzet penjualan di
SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah harus di buat faktur
pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan, sementara penjualan tersebut
baru dilaporkan setelah penyerahan barang.
b. Rekonsiliasi atau akualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan
yang dilakukan oleh KPP terhadap Jumlah Biaya Gaji dan Tunjangan serta biaya
lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainya yang berkaitan dengan
hubungan kerja yang tercantum dalam SPT PPh Badan, dengan Jumlah Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 Dasar Pengenaan
Pajak ini tersiri dari gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan
penghasilan lain yang dibayrkan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi objek
PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama.
c. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh, KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen,
royalty, dan jasa lainya yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan
Jumlah Dasar Pengenaan Pajak SPT PPh Pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika
terdapat material yang bukan onjek PPh Pasal 23, perlu dilakukan pemisahan antara
nilai jasa dan materialnya.
2. Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku
cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sabagai Wajib Pajak sejak tahun 2009
memiliki 2 (dua) buah bengkel yang beada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y.
bersadarkan pencatatan tahun 2013 masing – masing bengkel tersebut memiliki peredaran
bruto sebagai berikut:
Peredaran Bruto bengkel A = Rp. 200.000.000,00
Peredaran Bruto bengkel B = Rp. 150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penuntutan tariff PPh yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp. 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah)
Karana total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh
Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1%
(satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari
bengkel A sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar
Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17
Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh tempo pada hari Sabtu), Agus Hidayat
wajib menyetor PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh = 1% × Rp. 20.000.000,00
= Rp. 200.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh = 1% × Rp. 25.000.000,00
= Rp. 250.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan Swasta Bernama PT Amira Ekspedisi
melakukan perawatan dengan reparasi 15 (lima belas) motor milik perusahan tersebut di
bengkel A milik Agus Hidayat. Tagihan yang diabuat tersebut kepada PT Amira
Ekspedisi atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp. 4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah) di dapat dari nilai perawatan untuk 5 motor adalah Rp.
1.500.000,00 jadi jika 15 motor maka Rp. 1.500.000 + Rp. 1.500.00 + Rp. 1.500.000
menjadi Rp. 4.500.000). atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi melakukan
pemmotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% × Rp. 4.500.000,00 = Rp. 90.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapat Surat Keterangan Bebas dari
Pemotongan dan/atau Pemotongan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran
tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Amira Ekspedisi.