Tugas Manajemen Perpajakan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU MANAJEMEN PERPAJAKAN

NAMA : IKA ELDAWATI TUKA PENU


NIM : 170020130
KELAS / SEM : B / VI
DOSEN WALI : Ibu. Linda Lomi Ga, SE., MSA

1. Jelaskan secara lengkap 6 optimalisasi pembayaran pajak


Optimalisasi pembayaran pajak ini merupakan suatu langkah pengamanan yang harus
dilakukan wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan Cash flow
perusahaan, yang tujuan nya adalah untuk mendatangkan penghematan pajak.
Optimalisasi pembayaran pajak dapat dilakukan dengan 6 lagkah diuraikan dibawah ini :
1. Pengamanan kontrak-kontrak bisnis dari potensi pemotongan with holding tax
Dalam praktik bisnis banyak terjadi kasus pemungutan atau pemotongan pajak
dari pihak ketiga, dimana yang membuat kontrak bisnis misalnya kontrak jual
beli/kontrak jasa konstruksi/kontrak sewa-kurang memahami atau memgabaikan aspek
perpajakannya secara detail dan sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga saat
periksaan oleh fiskus, perusahaan dikenai kewajiban untuk membayar witholding tax
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Belum lagi bila vendor tidak bersedia dipotong pajaknya karena pembayaran nya
mengacu pada kontrak yang telah di setujui sebelumnya, sehingga bila perusahaan
pembeli atau pemilik proyek tIdak memotong witholding tax, perusahaan pembeli atau
pemilik proyek mau tidak mau dikenai kewajiban untuk membayar witholding tax ke
kas negara berikut sanksi perpajakanya.
Ada 2 pilihan perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
a. Jika mau witholding tax tersebut dibiayakan dalam Laporan Keuangan Fiskal, maka
nilai traksaksi dalam kontrak yang akan dibayar tersebut di gross-up, sehingga
jumlah transakasi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut.
b. Pilihan lain adalah bila perusahaan membayarkan witholding taxtidak boleh
dibebankan sebagau biaya oleh oerusahaan karena tidak di gross-up.
2. Optimalisasi pengkreditan Pajak Penghasilan yang telah dibayar
Kredit pajak merupakan jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh wajib pajak
sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain.
Optimalisasi kredit pajak dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan administrasi harus tertata dengan baik dan tertib, baik dalam hal
pencatatannya maupun kelengkapan dokumentasinya
b. Untuk memenuhi kelengkapan formal, terutama pada saat pe,meriksaan
berlangsung, setiap kali pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain
sebaiknya langsung diminta Bukti Pemotongan atau Pemungutan PPh nya.

3. Pengajuan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar dengan di sertai proyeksi laba pada akhir tahun dan alasan
terjadinya penurunan laba, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalanya tahun pajak, wajib pajak dapat
menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya pajak penghasilan pasal 25.
b. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 harus
disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan.

4. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23


Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan
Dirjen Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi
oleh wajib pajak adalah :
1. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Pengahasilan karena:
a. Wajib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukaj kompensasi
keuangan fiskal
b. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dan pajak
penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
kepada Direktur Jendral Pajak
2. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final
3. Surat Keterangan Bebas diberikan kepada:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal
b. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak
sebeluknya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantun dalam SPT Pajak
Penghasilan
c. Wajib pajak yang dapat membuktika Pajak Penghasilan yang telah dan akan
dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang
d. Wajib pajak yanga ats penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final
Permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak
terdaftar dengan syarat :
1. Telah menyampaikan SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun
diajukannya permohonan kecuali untuk wajib pajak yang baru berdiri dan masih
dalam tahap investasi
2. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan atau pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan atau Pasal 23 dengan
menggunakan formulir yang telah disediakan
3. Permohonan harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan
akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk wajib pajak
5. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak
Wajib pajak diberi hak mengajukan permohonan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak untuk semua jenis ketetapan pajak, baik berupa SKP maupun STP.
Pasal 19 ayat (1) KUP No.28 tahum 2007 mengatur pengenaqn sanksi administrasi
berupa bunga, dalam hal apa wajib pajak di perbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.

6. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPH Pasal 21, PPh
Pasal 23/26 dan SPT Masa PPN
Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan
prosedur pengecekan dengan menggunakan teknik rekonsiliasi/equalisasi secara
periodil anatara elemen – elemen yang terdapat di SPT Badan dan laporan fiscal
perusahaan dengan elemen – elemen yang terdapat di SPT PPh 21, SPT PPh 23, dan
SPT Masa PPN.
a. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi dilakukan atas tranksaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran dari
omset penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan angka yang sama
atau belum. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh badan dengan SPT
PPN bisa berbeda, disebabkan beberapa hal berikut:
1) Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet penjualan di
SPT PPN karena penjualan di SPT PPh Badan menganut akrual basis sehingga
atas penjualan kredit, jika barangnya telah diserahkan, penjualan sudah
dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit bisa dibuat faktur
pajaknya pada akhir buoan setelah bulan penyerahan barang.
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil dari pada omzet penjualan di
SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah harus di buat faktur
pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan, sementara penjualan tersebut
baru dilaporkan setelah penyerahan barang.
b. Rekonsiliasi atau akualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan
yang dilakukan oleh KPP terhadap Jumlah Biaya Gaji dan Tunjangan serta biaya
lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainya yang berkaitan dengan
hubungan kerja yang tercantum dalam SPT PPh Badan, dengan Jumlah Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 Dasar Pengenaan
Pajak ini tersiri dari gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan
penghasilan lain yang dibayrkan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi objek
PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama.
c. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh, KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen,
royalty, dan jasa lainya yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan
Jumlah Dasar Pengenaan Pajak SPT PPh Pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika
terdapat material yang bukan onjek PPh Pasal 23, perlu dilakukan pemisahan antara
nilai jasa dan materialnya.

2. Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku
cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sabagai Wajib Pajak sejak tahun 2009
memiliki 2 (dua) buah bengkel yang beada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y.
bersadarkan pencatatan tahun 2013 masing – masing bengkel tersebut memiliki peredaran
bruto sebagai berikut:
Peredaran Bruto bengkel A = Rp. 200.000.000,00
Peredaran Bruto bengkel B = Rp. 150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penuntutan tariff PPh yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp. 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah)
Karana total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh
Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1%
(satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari
bengkel A sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar
Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17
Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh tempo pada hari Sabtu), Agus Hidayat
wajib menyetor PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh = 1% × Rp. 20.000.000,00
= Rp. 200.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh = 1% × Rp. 25.000.000,00
= Rp. 250.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan Swasta Bernama PT Amira Ekspedisi
melakukan perawatan dengan reparasi 15 (lima belas) motor milik perusahan tersebut di
bengkel A milik Agus Hidayat. Tagihan yang diabuat tersebut kepada PT Amira
Ekspedisi atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp. 4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah) di dapat dari nilai perawatan untuk 5 motor adalah Rp.
1.500.000,00 jadi jika 15 motor maka Rp. 1.500.000 + Rp. 1.500.00 + Rp. 1.500.000
menjadi Rp. 4.500.000). atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi melakukan
pemmotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% × Rp. 4.500.000,00 = Rp. 90.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapat Surat Keterangan Bebas dari
Pemotongan dan/atau Pemotongan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran
tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Amira Ekspedisi.

Anda mungkin juga menyukai