Buku Panduan Instruksional Model Sekolah Dasar

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 120

BAB II

PARADIGMA PENDIDIKAN JASMANI DAN PROFESI KEGURUAN

Profesionalisme Guru Penjasor


Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu
pendidikan formal. Untuk itu guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk
mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam
kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang
sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu
perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4
menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya
adalah berkompetensi. Kompetensi merujuk kepada kemampuan yang dimiliki
untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai bidang tugas secara
profesional. Guru, dalam artian secara umum didefinisikan sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Profesional merujuk kepada kapasitas kepakaran secara keilmuan
dan keterampilan. Lebih lanjut guru Penjasor sebagai garda terdepan dalam
pendidikan diwajibkan untuk memiliki kompetensi berkaitan dengan bidang
tugasnya sehingga akan disebut sebagai guru profesional.
Terlepas dari pendefinisian sebelumnya, terdapat istilah yang menjadi
kajian utama yaitu profesional, profesionalisme, dan profesionalisasi.
Profesional mengarah kepada kualitas kepakaran seseorang dalam penguasan
substansi ilmu. Sedangkan profesionalisme mengarah kepada sifat profesional

1
untuk menjalankan peran keprofesiannya dengan totalitas penuh dan tanggung
jawab. Untuk dapat menjadi seorang guru Penjasor yang profesional diperlukan
upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah keilmuan, wawasan,
pengalaman dan keterampilan melalui kegiatan pendidikan dalam jabatan dan
kegiatan pra jabatan. Kegiatan ini berupa seminar, pelatihan, workshop dan atau
kegiatan-kegiatan sejenis yang memiliki tujuan peningkatan kualitas guru.
Istilah kompetensi menunjuk pada suatu kemampuan sebab “competence means
fitness or ability” yang berarti kemampuan atau kecakapan.
Kualifikasi kompetensi yang harus dimiliki pendidik adalah kompetensi
sebagai agen pembelajaran, yakni kemampuan pendidik untuk berperan sebagai
fasilitator, motivator, pemacu dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Kompetensi ini terdiri atas (a) kompetensi pedagogi, (b) kompetensi
kepribadian, (c) kompetensi professional dan (d) kompetensi sosial. sebelum
membicarakan lebih jauh mengenai kompetensi yang harus dikuasai guru, dalam
pandangan epistemologi kompetensi guru adalah kecakapan untuk menunjukan
daya kinerja yang berkembang melalui proses belajar dan melaksanakan tugas
dalam memfasilitasi berkembangnya potensi siswa melalui rekayasa suasana
belajar dan proses pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan siswa belajar.
Kompetensi pedagogi merupakan kemampuan seseorang dalam
mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar,
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi yang
memiliki peserta didik. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan
seseorang yang diwujudkan dalam kepribadian yang mantap dan berwibawa,
stabil, dewasa dan beraklaq mulia serta mampu sebagai teladan bagi peserta
didik.
Kompetensi professional merupakan kemampuan seseorang yang
berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam,
sehingga yang bersangkutan mampu membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

2
Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, antar sesma
pendidik, tenaga pendidikan, orang tua / wali peserta didik serta masyarakat
sekitar. Secara lebih spesifik, empat kompetensi bagi guru Penjasor dijelaskan
sebagai berikut.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan
tingkah laku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur
sehingga tercermin dalam kualitas perilaku keseharian. Fungsi kompetensi
kepribadian guru adalah memberikan bimbingan dan suri teladan, secara
bersama-sama mengembangkan kreativitas dan membangkitkan motif belajar
serta dorongan untuk maju kepada anak didik. Oleh karena itu seorang guru
dituntut melalui sikap dan perbuatan menjadikan dirinya sebagai panutan dan
ikutan orang-orang yang dipimpinnya.
Kepribadian seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia. Etika yang tercermin pada kepribadian telah menjadi bahan
kontemplasi jauh sebelum lahirnya istilah kompetensi personal, adalah
Immanuel Kant seorang filusuf modern dengan tiga karya fundamentalnya yaitu
the Critique of Pure Reason, the Critique of Practical Reason dan the Critique
of the Power of Judgement dimana Immanuel Kant termasuk tokoh yang peduli
pada moral. Mengkaitkan dengan paparan Kant dalam ruang lingkup filsafat
etika, dimana filsafat Kant termasuk pada filsafat etika aliran deontologi, suatu
aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa
kewajiban moral dapat diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan
konsep yang baik. Kant memandang bahwa perbuatan moral dapat diketahui
dengan kata hati, hal ini berarti bahwa hukum moral hanya berjalan sesuai kata
hati dalam artian bahwa kata hati menjadi syarat utama kehidupan moral. Agar
moral berimplikasi baik seseorang harus berbuat dengan rasa wajib.

3
Pemikirannya tidak mudah dipahami, namun sangat berpengaruh mulai
dari masanya bahkan hingga saat ini. Sehingga dia dianggap sebagai pemikir
terbesar di bidang filsafat moral. Menurut Kant kehendak menjadi baik jika ia
bertindak menurut kewajiban. Kalau suatu perbuatan dilaksanakan berdasarkan
motif lain, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan baik.
Betapapun terpujinya hasil dari perbuatan tersebut, maka perbuatan itu
secara moral dianggap tidak baik. Misalnya saja ketika kita ingin
mensedekahkan sebagian uang kita kepada pengemis, atas dasar iba karena
melihat keadaan si pengemis, maka menurut aliran ini, kebaikan yang telah ia
lakukan tak patut dikatakan baik. Seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan
kewajiban, yang mana perbuatan yang dilandaskan pada kebaikan tadi oleh Kant
disebut dengan ‘legalitas’.
Dengan kata legalitas kita memenuhi norma hukum. Tapi sebenarnya
tidak cukup hanya karena kewajiban semata. Hal demikian menurut Kant belum
memasuki taraf moralitas. Ia baru bisa dikategorikan sebagai perbuatan moral
jika ia dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukum moral.” Etika
deontologi sendiri berkaitan dengan pandangan etika universalis. Jelasnya,
menurut etika deontologis, satu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan
apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban yang harus dilakukan.
Sebaliknya satu tindakan dinilai buruk secara moral, apabila tindakan itu
memang buruk sesuai moral, sehingga tidak menjadi kewajiban untuk dilakukan.
Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari
setiap tindakan apakah baik atau buruk. Yang ditentukan adalah bahwa berbuat
baik itu merupakan satu kewajiban. Etika deontologi sangat menekankan
motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai kewajiban.
Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik.
Dalam bangunan profesional guru, kompetensi personal menempati
ruang paling mendasar dalam piramida tersebut, memberikan pondasi karakter
dan pranata sikap dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang guru

4
Penjasor sehingga mampu dan patut menjadi tauladan bagi peserta didik, teman
sejawat dan masyarakat.

Kompetensi Pedagogi
Kompetensi pedagogi adalah kemampuan pembelajaran peserta didik.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 28 atas PP RI No.19 Tahun 2005 tentang
standar nasional pendidikan, bahwa yang dimaksud kompetensi pedagogik
adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi
pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Menilik ke masa lalu, pedagogi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin). Dalam
sejarah Yunani kuno, pedagogos dan pedagog adalah sebutan untuk pelayan
pada zaman tersebut yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke
sekolah dan setelah sampai di sekolah anak tersebut di lepas, dibiarkan. Hal ini
memberikan tafsiran bahwa pedagog dipandang sebagai aktivitas mengantaran
anak menuju kedewasaan.
Memberikan kerangka makna yang berbeda, kompetensi pedagogi adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam
jabaran terminologi yang lebih spesifik kompetensi pedagogi memiliki ranah
makna sebagai berikut:
1) Mampu memutuskan mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana materi
mendukung tujuan pengajaran, dan bagaimana memilih jenis-jenis materi
yang sesuai untuk keperluan belajar siswa.
2) Mampu mengembangkan potensi peserta didik.
3) Menguasai prinsip-prinsip dasar pembelajaran berbasis Kompetensi.

5
4) Mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik
dalam pembelajaran.
5) Merancang pembelajaran yang mendidik.
6) Melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
7) Menilai proses dan hasil pembelajaran yang mengacu pada tujuan utuh
pendidikan.

Ketujuh jabaran kompetensi pedagogi di atas memberikan deskripsi


bahwa pedagogi ini merupakan hal utama yang harus dipahami, dikuasai dan
diimplementasikan secara benar kepada para peserta didik dengan harapan besar
keberhasilan capaian kompetensi belajar siswa dapat tercapai.
Lebih tegas, secara pedagogis, kompetensi para guru dalam mengelola
pembelajaran perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini penting karena
pendidikan di Indonesia dinyatakan kurang berhasil oleh sebagian masyarakat,
dinilai kering dari aspek pedagogis dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga
peserta didik cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri.
Paulo Freire, seorang ahli critical pedagogy dalam bukunya Pedagogy of
Hope mengkritisi kondisi pendidikan seperti ini sebagai penjajahan dan
penindasan yang harus dirubah menjadi pemberdayaan dan pembebasan. Freire
mengungkapkan bahwa proses pembelajaran nampak seperti sebuah kegiatan
menabung, peserta didik sebagai ”celengan” dan guru sebagai ”penabung”.
Sehubungan dengan ini guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai
dalam mengelola pembelajaran dan mengubah paradigma pembelajaran gaya
menabung menjadi pembelajaran yang dialogis, bermakna dan implementatif
sesuai dengan tumbuh kembang anak.
Memperbincangkan guru artinya memberikan sorotan terhadap ujung
tombak pendidikan di Indonesia. Guru merupakan komponen paling
menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat
perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur guru akan senantiasa menjadi
sorotan yang strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu

6
terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Tentu, guru tidak
bisa bekerja sendiri, ada komponen lainnya yang turut serta seperti peserta didik,
fasilitas, kurikulum dan kebijakan terkait kependidikan. Kesatuan unsur-unsur
tersebut akan memiliki daya keberhasilan yang tinggi. Guru memiliki posisi
tawar yang tinggi, jika guru sendiri memposisikan sebagai pendidik profesional,
senantiasa memperbarui kapasitas keilmuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Berbeda dengan apa yang telah disampaikan di atas, pemikiran will to
power dari Friedrich Nietzsche adalah sebuah konsep yang menonjol dalam
filsafat Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa menggambarkan apa yang oleh
Nietzsche mungkin telah diyakini menjadi kekuatan utama penggerak manusia:
prestasi, ambisi, yang berjuang untuk mencapai posisi tertinggi dalam
kehidupan, kesemuanya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa.
Dalam bingkai pedagogi, will to power mengkuasakan posisi dan potensi guru
untuk optimal dalam mengajar, mendidik, membimbing dan melatih.

Kompetensi Profesional
Dalam bahasa yang sederhana, kompetensi profesional berupa
kemampuan untuk menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam
yang memungkinkan untuk membimbing peserta didik memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan bagi peserta didik. Kompetensi ini menuntut
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a)
konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren
dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c)
hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep
keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional
dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Kontras dengan makna dari kompetensi pedagogi yakni penegasan pada
how we teach (bagaimana kita mengajar), kompetensi profesional menekankan
pada what we teach (apa yang kita ajarkan). Konsep what we teach berimplikasi
pada pengetahuan mengenai materi ajar yang akan diberikan . pengetahuan ini

7
bersifat logis, mudah dimengerti dan dipahami serta bermanfaat bagi masa
depan peserta didik. Pengetahuan materi ajar bagi guru Penjasor perlu dikuasai
dalam rangka mempertajam analisa kebutuhan materi ajar, dengan demikian
guru mampu untuk memilih dan memilah pengetahuan-pengetahuan yang
relevan dengan kebutuhan dan karakter peserta didik. Akibatnya, guru tidak
akan lagi menjejali peserta didiknya dengan hamburan materi yang tidak
semuanya dapat terserap. Pengetahuan yang diperoleh peserta didik akan
bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya, menentukan masa
depan dan mewarnai peradapan. Jadi, dengan pengetahuan, seseorang atau
sekelompok orang menjadi mampu memiliki kekuasaan, dan kekuasaan itulah
yang pada gilirannya tampil sebagai penentu peradaban (civilization).
Rene Descartes, filusuf kenamaan dari Perancis meyakini bahwa di
dalam diri manusia telah ada suatu pengetahuan yang mesti dikembangkan
dengan penggunaan akan untuk mendapat suatu kebenaran. Penggunaan akal
sebagai sumber untuk mendapat pengetahuan dan kebenaran ini menjadikan
posisi akal pada masa Descartes memiliki peran yang sangat signifikan.
Sehingga, pencarian kebenaran yang tidak bertumpu pada kekuatan rasional
dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran (benar-salah,
baik-buruk dan seterusnya). Baginya, pengetahuan merupakan proses
menyangsikan untuk menangkap kebenaran yang diperoleh dari aktivitas
berpikir. Hal itu adalah dasar pengetahuan Descartes untuk menuju pada
discourse (wacana) mengenai ‘aku’ sebagai sesuatu yang berpikir, cogito ergo
sum, ‘aku berpikir maka aku ada’. Berbeda dengan apa yang disampaikan Rene
Descartes, Michel Foucault menghadirkan sesuatu yang menarik dalam hipotesis
Power of Knowledge bahwa pengetahuan adalah kuasa.
Pengetahuan sendiri memberi ruang untuk memanifestasikan kekuasaan
dalam suatu institusi atau lembaga sosial, komunitas tidak terkecuali sekolah.
Dalam hal ini, Foucault menyatakan kuasa sebenarnya adalah kuasa yang
positif, produktif, dan tidak menindas. Kuasa dalam hal ini adalah yang
menyenangkan dan ditunggu kedatangannya. Tidak ada kuasa yang dijalankan

8
tanpa ditopang oleh pengetahuan, sebaliknya tidak ada pengetahuan yang lepas
dari kehendak berkuasa, dan melahirkan kebenaran. Sedangkan wacana
merupakan medan bertemunya antar kepentingan dimana kuasa
menginvestasikan dirinya terhadap pengetahuan yang sedang ditakar.
Pengetahuan memiliki kekuatan untuk menghebatkan sekaligus
menghancurkan. Dua hal yang menjadi satu, namun ketika guru Penjasor
mampu memposisikan materi ajar sebagai bentuk pengetahuan yang merupakan
materi dasar untuk dikembangkan dan diberikan arah yang benar, maka
sangatlah mungkin untuk melihat peserta didik akan maju pada kemampuan
logika berpikirnya (kognisi), memiliki daya saing tinggi dengan tanpa
memunculkan kontradiksi pada tindakan penyimpangan pengetahuan yang
diperolehnya.

Kompetensi Sosial
Secara harfiah, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kompetensi sosial yaitu
merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a)
berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan
informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d)
bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Pribadi guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan
pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru juga sangat
berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal ini dapat dimaklumi
karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk
mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya. Semua itu
menunjukkan bahwa kompetensi kepribadian guru sangat dibutuhkan oleh
peserta didik dalam proses pembentukan pribadinya. Perilaku imitasi ini adalah
peluang bagi guru untuk membentuk karakter peserta didik yang memiliki
kepribadian dan kehalusan budi pekerti, terlebih bagi guru Penjasor yang dalam

9
aktivitas pembelajaranya menyediakan ruang gerak untuk mengekspresikan
perilaku dan kebutuhan gerak peserta didik. Sisi lain dari kompetensi ini adalah
menjalin komunikasi yang harmonis dengan orangtua peserta didik dan
stakeholders lainnya. Optimalisasi jati diri guru sebagai makhluk sosial yang
hidup dan berkarya berdampingan saling menguatkan tanpa ada friksi.
Untuk menjalin hubungan yang akrab dengan peserta didik seorang guru
harus memberikan perhatian kepada masing-masing peserta didik. Guru harus
memposisikan dirinya sebagai orang tua yang penuh kasih sayang, menjadi
fasilitator bagi peserta didik, sebagai tempat mengutarakan perasaan, serta
mampu mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan bakat dan minat.
Memaknai secara lebih mendalam mengenai kompetensi sosial guru, pemikiran
Ki Hajar Dewantara yang menggunakan semboyan Tut Wuri Handayani,
menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa,
membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta
membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang
bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar, dalam hal ini guru
Penjasor harus banyak terlibat dan melibatkan peserta didik agar ia memahami
konteks yang melingkupi kegiatan belajarnya. Peran dan fungsi guru di
lingkungan sosialnya adalah sebagai motivator dan inovator, perintis dan
pelopor pendidikan, penelitian dan pengkajian ilmu pengetahuan, serta
pengabdian.

Pemberdayaan Profesi
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi
manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya
pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut,
pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem
pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang
berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

10
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan
tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan
yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan
zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan
harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak
azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara
optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan. Pendidikan pada dasarnya
merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM),
walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan
khususnya pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan
masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM
yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang (Mustakim,
2008).

Tinjauan Perspektif Pengajaran Penjas


Secara global, pendidikan jasmani mengalami pergerakan dan
pembaruan secara sistematis. Esensi dinamika perubahan yang ada terpusat pada
model pembelajaran. Muska Mosston pada dekade 1960an memperkenalkan
Spectrum of Teaching Styles yang merupakan metode pembelajaran utama pada
masa itu. Selanjutnya, menyusul gebrakan pemikiran dengan lahirnya Teaching
Games for Understanding (TGfU) pada tahun 1982 yang diprakarsai oleh David
Bunker dan Rod Thorpe sebagai sebuah pergerakan signifikan dalam dunia
pendidikan jasmani dengan premis utama berupa tawaran pembelajaran
pendekatan taktik. Hampir berbarengan dengan lahirnya TGfU, dibelahan dunia
yang berbeda tepatnya di Ohio, Amerika Serikat Daryl Siedentop membidani
lahirnya Sport Education dengan tujuan utama agar individu yang terlibat di
dalamnya, dalam hal ini peserta didik, memiliki kompetensi keterampilan dan
pengetahuan, literate, serta insan olahraga yang antusias. Lebih lanjut inti dari
pemikiran Siedentop adalah role playing (bermain peran) dengan pemberian
tanggung jawab personal dan sosial. Jadi, sebenarnya dengan

11
mengimplentasikan Sport Education sangat terbuka peluang untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter dan hasrat bergerak peserta didik sebagai
Homo Ludens (makhluk bermain) dengan wahana play, games atau sport. Play
bersifat free dimana pemain tidak dapat dipaksa untuk berpartisipasi tanpa
permainan tersebut secara tiba-tiba merubah sifatnya. Kedua, dibatasi oleh
waktu dan ruang yang sudah dipastikan sebelumnya. Ketiga, merujuk pada
aturan yang telah disepakati bersama.
Huizinga (1950) menjelaskan play sebagai tindakan yang bersifat
sukarela atau yang dilakukan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu,
menurut aturan main yang diterima secara bebas tetapi sangat mengikat,
memiliki tujuan yang berada dalam permainan itu sendiri dan disertai oleh
perasaan ketegangan, kesenangan, dan kesadaran bahwa hal tersebut “berbeda”
dari kehidupan biasa.
Selanjutnya games dipandang mempunyai sifat kebebasan yang lebih
rendah dari freedom yang ada pada play, cenderung dibatasi dalam batas-batas
tertentu ruang dan waktu. Hal yang membedakan games dengan play adalah
pada adanya tingkat emosi atau investasi ego yang pada akhirnya memunculkan
strategi dan peluang.
Agon Alea Mimicry Ilinx
(Competition) (Chance) (Pretense) (Vertigo)
PAIDIA Races Comtines Childish Children’s
Combats Head or Tails Imitation Swings
Noise Etc.
Agitation Athletics
Laughter Boxing Betting Mask Waltz
Dance Fencing Roulette Costumes Outdoor Sport
Hoop Football
Solitare Checkers Lotteries
Puzzle Chess Parlayed Theatre Skiing
Mountain
LUDUS Climbing

Tabel 2. Struktur dan Klasifikasi Games

12
Hasil budaya manusia berikutnya adalah olahraga. Olahraga berarti suatu
bentuk yang khusus dari perilaku gerak insani (human movement). Tujuan dan
capaiannya, waktu, lokasinya dicirikan oleh perbedaan yang luas; hal ini
membuktikan relevansi sosial dari fenomena yg disebut olahraga. Oleh karena
itu, olahraga juga harus dilaksanakan bersama kecenderungan yg membawanya
ke dalam hubungan yang dekat dengan ideologi, profesi, organisasi, pendidikan,
dan Ilmu.

Play
Separate
Free
Games
Uncertain
Competition
Unreproductive

Governed by
Outcome
determined by
Sport
rules physical skills
Institutionalized game requiring demonstrated
Only
pretending Strategy or physical prowess
quality chance

Gambar 3. Konseptualisasi Olahraga

Proses pembelajaran, sebuah kalimat yang sering terlupakan dalam


melihat kualitas pendidikan secara komprehensif. Bila dilihat lebih jauh, proses
pembelajaran dapat dibaratkan dapur dari segala bentuk interaksi antara guru
dengan siswa. Dalam proses pembelajaran pula siswa akan belajar dan
berkomunikasi dengan guru, sesama siswa, dan lingkungan. Banyak guru yang
dalam tugasnya masih menganggap bahwa pembelajaran di kelas adalah proses
pentransferan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa. Bila ini terjadi maka,
suasana pembelajaran tidak kondusif bagi siswa.
Apa yang terjadi selama pembelajaran di dalam kelas belum banyak yang
diketahui. Apa yang disampaikan, bagaimana cara penyampaian, alat peraga apa

13
yang dipergunakan, bentuk penilaian, manajemen kelas, dan bagaimana
membangun komunikasi dua arah guru dan siswa adalah beberapa hal yang
menjadi perhatian utama dari guru. Tujuan jangka pendek, menengah, dan
panjang yang ingin dicapai melalui pembelajaran yang tertuang dalam rencana
pembelajaran sebatas kelengkapan administrasi saja. Pengawas guru mata
pelajaran sering hanya mengevaluasi dari segi administrasi, bagaimana, proses
pembelajaran yang terjadi sering terlupakan. Dampak yang terjadi adalah guru
menjadi tidak maksimal dalam persiapan dan pelaksanaan mengajar, bahkan
mengajar hanya dipandang sebagai rutinitas atau hafalan.
Pendidikan jasmani sebagai salah satu mata pelajaran yang memiliki
peran ganda dalam proses tumbuh kembang anak. Nilai-nilai yang terkandung
dalam pendidikan jasmani sangatlah beragam, sehingga pelajaran ini dapat
menyentuh aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor anak. Sukintaka (2004)
menyatakan bahwa pendidikan jasmani adalah proses interaksi antara peserta
didik dan lingkungan melalui aktivitas jasmani yang disusun secara sistematik
untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Rusli Lutan (2001) yang menegaskan bahwa secara sederhana pendidikan
jasmani dapat diartikan sebagai upaya pendidikan atau proses sosialisasi melalui
aktivitas jasmani, bermain dan atau olahraga untuk mencapai tujuan pendidikan
yang bersifat integral atau menyeluruh. Penjas adalah suatu proses pembelajaran
melalui aktivitas jasmani yang dirancang untuk meningkatkan kebugaran
jasmani, keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat, sikap
sportif, dan gemar berolahraga.
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di tanah
air. Salah satu poin penting dari undang-undang tersebut adalah guru sebagai
profesi. Guru profesional harus memiliki kompetensi akademik dan kompetensi
profesional sebagai suatu kebutuhan. Kompetensi pedagogik, profesional,
kepribadian, dan sosial yang dirumuskan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005

14
harus dilihat sebagai sebuah kebutuhan yang tak terpisahkan dari kompetensi
penguasaan bahan ajar yang terkandung di dalam kurikulum.
Perubahan paradigma pendidikan yang cukup dramatis pada saat
sekarang ini, mau tidak mau menuntut para guru untuk dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada. Salah satu cara yang efektif agar
dapat menyesuikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada yaitu yang
ada yaitu melalui belajar secara terus menerus. Dengan demikian, tuntutan untuk
belajar tidak hanya terjadi pada siswa yang dibelajarkannya, tetapi guru itu
sendiri pun justru dituntut untuk senantiasa belajar tentang bagaimana mengajar
yang baik.
Masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan pembelajaran
adalah memilih atau menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang tepat
dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya
dituliskan secara garis besar dalam bentuk “materi pokok”. Menjadi tugas guru
untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang
lengkap dan komprehensif. Selain itu, bagaimana cara memanfaatkan bahan ajar
juga merupakan masalah. Pemanfaatan dimaksud adalah bagaimana cara
mengajarkannya ditinjau dari pihak guru, dan cara mempelajarinya ditinjau dari
pihak siswa.
Menurut Aip Syarifudin (2002) kualitas pendidikan jasmani di sekolah-
sekolah pada umumnya kurang memadai. Mereka kurang mampu melaksanakan
tugasnya secara profesional. Salah satu masalah utama dalam pengajaran
pendidikan jasmani di Indonesia adalah belum efektifnya pelaksanaan
pengajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. Kondisi ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah terbatasnya kemampuan guru dan
terbatasnya sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung proses
pengajaran pendidikan jasmani. Dampak yang muncul adalah guru belum
berhasil melaksanakan tanggung-jawabnya untuk mendidik dan mengajar
siswanya secara sistematik melalui kegiatan pendidikan jasmani dalam upaya

15
mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa secara menyeluruh baik
dalam segi fisik, mental, intelektual maupun sosial dan emosionalnya.
Pemilihan bahan ajar yang tepat, metode penyampaian materi, pemilihan
alat bantu pembelajaran, proses komunikasi dan interaksi kepada siswa dalam
proses pembelajaran akan memberikan warna dalam proses pembelajaran.
Manajemen kelas yang benar akan menyebabkan tujuan awal seperti tercantum
dalam rencana pembelajaran akan tercapai, sehingga terjadi interaksi yang
berkesinambungan antara guru dengan siswa, antar siswa, dan siswa dengan
lingkungan belajar. Guru tidak hanya berperan sebagai tokoh sentral dalam
kelas, namun juga siswa mendapat peran dan tanggung jawab untuk membuat
proses pembelajaran tersebut menarik dan menyenangkan. Pembelajaran yang
menarik dan menyenangkan bagi siswa akan berimbas positif bagi
pengembangan afeksi, kognisi,dan psikomotor.
Pendekatan pembelajaran Penjasor bersifat dinamis dan berlaku hukum
one size doesn’t fit all, artinya tidak ada satu metode atau model yang paling
tepat dan mampu untuk menyasar ranah yang menjadi bidang garapan
pendidikan jasmani. Hal ini dipahami oleh Michael W. Metzler yang kemudian
menerbitkan Instructional Models for Physical Education dimana buku ini
memiliki dua tujuan utama yaitu memberikan dasar pengetahuan tentang model-
based instruction dan komparasi mengenai pendekatan yang saat ini
dipergunakan dalam pendidikan jasmani. Kedua, mendeskripsikan dengan
bahasa yang sederhana dan prosedur pelaksanaan sehingga para penggunanya,
dalam hal ini guru pendidikan jasmani dengan kepercayaan diri yang tinggi
berani untuk menggunakan model instruksional yang diperkenalkan dalam buku
ini, yang akhirnya berimplikasi pada hasil positif pada implementasinya di
lapangan. Guru adalah motor utama dalam penyampaian instruksional dalam
kapasistasnya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Ketiga dimensi fungsi
guru tersebut harus terwadahi ke dalam sebuah aktifitas instruksional yang
komprehensif dengan memuat dan memacu pertumbuhan dan perkembangan
siswa tanpa menisbikan kemampuan guru dan sarana prasarana pendukungnya.

16
Secara spesifik guru Penjas diharuskan untuk selalu update terhadap perubahan
paradigma pembelajaran sampai pada aplikasi nyata di kelas. Aktivitas
instruksional yang dipaparkan dalam pendekatan yang benar akan berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan Penjas di tingkat sekolah dasar, dalam hal ini
Metzler, pakar Penjas dari Georgia State University, memberikan pemahaman
bahwa pembelajaran Penjas saat ini sudah mengalami pergeseran dari metode
menjadi model pembelajaran. Pergeseran ini membawa perubahan yang
signifikan terhadap penyampaian materi ajar Penjas yang sebelumnya
mengemuka melalui spectrum of teaching oleh Muska Mosston sebagai inisiator
awal. Dalam perkembangan selanjutnya, model instruksional yang ada
mengemuka menjadi delapan, yang hingga saat ini terus dikembangkan.
Delapan model pendekatan instruksional yang saat ini menjadi fokus
adalah:
1. Direct Instruction.
2. Personalized System of Instruction (PSI)
3. Cooperative Learning
4. Sport Education
5. Peer Teaching
6. Inquiry Teaching
7. Tactical Games
8. Teaching for Personal and Social Responsibility (TPSR)

Terlepas dari paparan di atas, guru yang profesional memiliki tingkat


berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap,
mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi
dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan
tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang diiringi
dengan rasa penuh tanggung jawab. Profesionalisme guru dalam melaksanakan
tugas tercermin pada keahlian, tanggung jawab, kemandirian, dan kemauan guru

17
untuk terus mengembangkan diri secara terus-menerus dalam melaksanakan
tugas-tugas jabatan guru.
Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan
kemauan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. Guru akan bisa
berkembang, bila ada kebijakan yang diterbitkan untuk menciptakan situasi dan
kondisi yang memungkinkan guru bisa berkembang dengan baik. Dengan
meningkatnya kemampuan dan semangat kerja guru yang berkelanjutan
merupakan kunci tercapainya profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas.
Dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, akan menjadi sarana
tercapainya keefektifan kerja organisasi sekolah, yang secara langsung akan
menjadi sarana utama tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
secara optimal.
Peningkatan sikap profesional dapat dilakukan dengan cara formal
melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah
lainnya, ataupun secara informal melalui media massa televisi, radio, koran, dan
majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap
profesional keguruan.
Peningkatan profesionalisme guru dilakukan berdasarkan kebutuhan
sekolah, kelompok, maupun individu guru itu sendiri. Pengembangan guru
berdasarkan kebutuhan sekolah adalah penting, namun hal yang lebih penting
adalah berdasarkan kebutuhan individu untuk menjalani proses profesionalisasi.
Karena, substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu berkembang dan
berubah menurut dimensi ruang dan waktu, guru dituntut untuk selalu
meningkatkan kompetensinya.
Peningkatan profesionalisme dalam rangka pemberdayaan guru dapat
diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan
mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas
pekerjaannya. Peningkatan profesionalisme guru didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

18
khususnya arus globalisasi dan informasi, menutupi kelemahan-kelemahan yang
tidak nampak pada waktu seleksi calon guru, mengembangkan sikap profesional,
mengembangkan kompetensi profesional dan menumbuhkan ikatan humanis
antara guru dengan guru dan guru dengan siswa. Upaya pengembangan dan
peningkatan kapasitas profesional guru dapat dilakukan dengan melakukan
Lesson Study. Lesson study berangkat dari kegelisahan akan efektifitas kegiatan
pendidikan dalam jabatan (in-service education) dimana merupakan model
pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif
dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning
untuk membangun komunitas belajar.
Lesson study bukan merupakan metode atau strategi pembelajaran,
namun lebih kepada pendekatan untuk meningkatkan kompetensi guru (Sumar
Hendayana, dkk., 2007: 10). Lebih lanjut Sumar Hendayana, dkk (2007)
menegaskan bahwa dalam kegiatan lesson study dapat mengimplementasikan
berbagai pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi dan
permasalahan yang dihadapi oleh guru.
Lesson study merupakan praktik pengembangan profesional yang
merupakan ide berusia seabad yang diadopsi dari Jepang dan menjadi dasar bagi
pendidikan sekolah yang berpusat pada siswa (student-centered focus for
schooling). Gunawan Widiyanto (2007: 11) mengemukakan bahwa sebagai
sebuah pemikiran, lesson study begitu cepat menarik minat publik sebagai
sebuah strategi perbaikan dan peningkatan sekolah jangka panjang. Hal ini
karena lesson study memberi harapan bagi perubahan secara berkesinambungan
dalam pengajaran, terlebih pada pendidikan jasmani.
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang
memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam
kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan
jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total,
daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik
dan mentalnya. Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang

19
kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia.
Lebih khusus lagi, pendidikan jasmani berkaitan dengan hubungan antara gerak
manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-
fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik
terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah
yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan
jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia dan guru
merupakan garda terdepan. Guru pendidikan jasmani harus memahami bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga adalah dua hal yang berbeda.

Profesi dan Peranan Guru


Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi
manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya
pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut,
pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem
pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang
berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan
global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang
mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman
yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus
berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak
azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara
optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Pendidikan pada dasarnya merupa (SDM), walaupun usaha pengembangan
SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal
(sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan
wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis,
programatis, dan berjenjang (Mustakim, 2008).

20
Guru merupakan faktor yang penting untuk terselenggaranya proses
belajar mengajar di sekolah, karena guru adalah salah satu komponen dalam
sistem pendidikan yang sangat mempengaruhi hasil pendidikan. Sutan Zantiarbi
dan Syahmiar Syahrun (1991: 130) mengemukakan bahwa di tangan guru akan
ditentukan warna kegiatan pengajaran. Dalam pengajaran guru hendaknya selalu
berusaha untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan siswa
sehingga siswa tertarik dan berminat untuk belajar. Lebih lanjut Sudarwan Danim
(2002: 15-16) guru sebagai salah satu tenaga kependidikan yang menjalankan
tugas pokok dan fungsi yang bersifat multiperan, yaitu sebagai pendidik,
pengajar, dan pelatih. Istilah pendidik merujuk kepada pembinaan dan
pengembangan peserta didik. Pengajar lebih kepada pembinaan dan
pengembangan pengetahuan atau asah otak-intelektual dan pelatih menekankan
pada pembinaan dan pengembangan keterampilan peserta didik.
Menurut Agus Suryobroto (2001: 21-22) dalam pembelajaran pendidikan
jasmani, seorang guru sangat perlu untuk memperhatikan beberapa hal seperti
mengikuti pertumbuhan dan perkembangan usia anak, materi ajar tidak kaku dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan, memiliki kreatifitas dan
inovasi yang tinggi dalam memodifikasi bentuk-bentuk pembelajaran yang
diberikan kepada siswa. sebagai sebuah profesi, guru pendidikan jasmani
diharapkan kompeten di bidangnya.
Richard Tinning, Doune Macdonald, Jan Wright, dan Chris Hickey (2001:
47) merekomendasikan mengenai status dan peran guru sebagai berikut.

“Teaching should be regarded as a proffesion it is a form of public service


which requires of teachers expert knowledge and specialized skills,
acquired and maintained through rigorous and continuing study; it calls
also for a sense of personal and corporate responsibility for the
education and welfare of the pupils in their charge”

21
Nampak bahwa guru diharuskan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan bidang keahliannya serta memiliki tanggung jawab mendidik dan
mengajar dalam bingkai pembelajaran yang dilakukannya. Kata profesi sudah
semakin populer kita dengar sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan
kemampuan profesional dalam bekerja. Sudarwan Danim (2002: 20-21)
menyatakan bahwa secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa Inggris
profession atau bahasa latin profecus yang artinya mengakui, pengakuan,
menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Lebih
lanjut dalam artian terminologi profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada
pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual.

Terdapat tiga pilar pokok yang mendasari suatu profesi, yaitu


pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan adalah segala
fenomena yang diketahui yang disistematisasikan sedemikian rupa sehingga
memiliki daya prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat
yang lebih tinggi pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki
seseorang melalui proses belajar. Keahlian memiliki makna substansi keilmuan
yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga diartikan kepakaran
dalam cabang ilmu tertentu (Sudarwan Danim, 2002: 22).

Profesi tidak bisa dilepaskan dari profesionalisme dan profesionalisasi.


Profesionalisme merujuk kepada sifat profesional, dapat pula diartikan sebagai
komitmen untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus
mengembangkan strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan
sesuai dengan profesinya. Profesionalisasi merupakan proses peningkatan
kualifikasi atau kemampuan penyandang suatu profesi untuk mencapai standar
yang ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya.
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pengajar atau guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa

22
berjalan dengan baik. Tekanan terletak pada siswa yang aktif belajar dan bukan
pada guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas guru sebagai berikut:

a) Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa


membuat rancangan, proses, dan penelitian dalam belajar
b) Guru menyediakan atau memberikan tugas serta kegiatan yang dapat
merangsang keingintahuan siswa, berfikir produktif dan membantu siswa
dalam mengekspresikan ide/gagasannya serta mengkomunikasikan ide-
ide/gagasan ilmiah meraka
c) Guru memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa
dapat berjalan atau tidak. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan siswa (Umar Supardi, 2004: 15-16).

Lebih lanjut Umar Supardi (2004: 17) mengemukakan beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh guru dalam optimalisasi peranannya.

a) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang
sudah diketahui dan dipikirkan siswa
b) Tujuan dan apa yang akan dilakukan sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu
dengan siswa
c) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan
kebutuhan siswa
d) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan
menghargai pendapat siswa

Mengajar adalah proses membantu siswa untuk membentuk pengetahuan


dan keterampilannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dan
keterampilan dari guru kepada siswa, melainkan membantu siswa untuk

23
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannya. Tugas guru dalam
proses ini lebih menjadi mitra aktif, merangsang pemikiran dan gerak.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial.

Profesionalisme Guru
Salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru.
Guru berada pada garda terdepan dalam barisan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Secara langsung guru berhadapan dengan para siswa, berinteraksi
melalui proses pembelajaran yang dikemas sedemikian rupa. Di tangan gurulah
akan dihasilkan siswa yang berkualitas secara akademis, keahliaan, dan moral.
Untuk menghadapi era perubahan yang semakin berkembang pesat, dunia
pendidikan dihadapkan dengan tantangan yang besar. Dibutuhkan guru yang
visioner dan mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif dan inovatif.
Perubahan strategi dan model pembelajaran yang akan memberikan nuansa yang
menyenangkan bagi guru dan siswa. Mulyasa (2005) mengemukakan tujuh
kesalahan yang sering dilakukan oleh para guru dalam proses pembelajaran,
yaitu:
a) Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran
b) Menunggu peserta didik berperilaku negatif
c) Menggunakan destructive discipline
d) Mengabaikan perbedaan peserta didik
e) Merasa paling pandai dan tahu
f) Tidak adil (diskriminatif)
g) Memaksa hak peserta didik

24
Untuk mengubah paradigma terhadap peran guru, dibutuhkan perspektif baru
dalam pembelajaran yang harus diperhatikan oleh guru sebagai berikut:

a) Tidak terjebak pada rutinitas belaka, selalu mengembangkan dan


memberdayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi
dan kompetensinya. Peningkatan ini dapat dilakukan melalui pendidikan
formal atau pelatihan, seminar, lokakarya dan kegiatan sejenisnya.
b) Guru harus mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAIKEM) yang dapat menggugah motivasi siswa untuk belajar.
c) Dominasi guru dalam pembelajaran dikurangi disesuaikan sehingga terdapat
ruang bagi siswa untuk lebih berperan aktif dalam pembelajaran.
d) Guru harus mampu melakukan modifikasi dan memperkaya bahan
pembelajaran sehingga siswa mendapatkan sumber pengetahuan dan
keterampilan yang lebih bervariasi.
e) Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu
profesi yang menyenangkan.
f) Guru mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga
pengetahuan dam keterampilan yang dimilikinya selalu up to date.
g) Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas.
h) Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca dan mengatasi
tantangan (Kunandar, 2007: 42-43)

Empat kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru seperti kompetensi


pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.
Peningkatan profesionalisme guru pendidikan jasmani dapat diperoleh
melalui pendidikan prajabatan (pre-service education) dan pendidikan dalam
jabatan (in-service education). Pendidikan prajabatan tenaga guru merupakan
pendidikan yang ditempuh oleh mahasiswa untuk meniti karir dalam bidang
pendidikan dan pengajaran. Pendidikan dalam jabatan disebut juga sebagai

25
pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Handoko (1992) dalam Sudarwan
Danim (2002: 35) memandang kegiatan pengembangan personalia tidak hanya
untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, melainkan bermanfaat
jangka panjang untuk peningkatan karir karyawan, termasuk tanggung jawab
berat yang diembannya.
Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas
suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang
berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian (Kunarya,
2007: 46). Guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan tugas-tugas
yang ditandai dengan keahlian yang baik dalam materi maupun metode.

Pembelajaran Pendidikan jasmani


Pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran wajib di
sekolah terutama pada sekolah dasar, karena pendidikan jasmani masuk dalam
kurikulum pendidikan. Pendidikan merupakan bagian integral dari proses
pendidikan secara keseluruhan. Menurut Harsuki (2003: 47) pendidikan jasmani
merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan
meningkatkan individu dalam setiap aspek.
Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang menggunaka aktivitas
jasmani sebagai media untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan berbagai macam tahapan perencanaan yang
komprehensif dan terstruktur agar mampu meningkatkan kualitas individu
secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional
(Depdiknas, 2003). Secara umum pendidikan jasmani memiliki beberapa tujuan
yaitu:

a) Meletakkan dasar landasan karakter moral


b) Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial
dan toleransi
c) Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis

26
d) Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab,
kerjasama, percaya diri, demokratis, mengembangkan kemampuan gerak dan
keterampilan berbagai macam permainan dan olahraga
e) Mengembangkan keterampilan mengelola diri dalam pemeliharaan
kebugaran (Depdiknas, 2003).

Beberapa tujuan pendidikan jasmani di atas menunjukkan bahwa pendidikan


jasmani memiliki peran yang unik dan kompleks dalam membentuk karakter
siswa. Pendidikan jasmani sebagai wahana untuk mengembangkan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Hal ini selaras dengan pandapat yang
dikemukakan oleh Annarino (1980) yang menyatakan bahwa pendidikan
jasmani yang baik harus mampu mengembangkan empat aspek yaitu: aspek
fisik, psikomotor, kognitif, dan afektif. Keempat aspek tersebut dapat dicapai
apabila pelaksanaan kegiatan mempertimbangkan empat aspek yaitu prinsip, isi,
strategi pembelajaran, dan ketepatan alat evaluasi yang digunakan.
Kegiatan kurikuler pendidikan jasmani ditujukan bagi seluruh peserta
didik dengan memperhatikan karakteristik dan perbedaan individu baik berupa
minat, bakat, dan kemampuan. Tujuan dari pembelajaran pendidikan jasmani
diantaranya untuk memperkaya pengalaman gerak, terbinanya pola hidup aktif
dan sehat. Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui penyediaan
pengalaman belajar kepada siswa berupa aktivitas jasmani, bermain dan
olahraga yang direncanakan secara sistematis guna merangsang pertumbuhan
dan perkembangan fisik, keterampilan motorik, keterampilan berfikir,
emosional, sosial dan moral (Depdiknas, 2003: 16). Pendapat senada
dikemukakan oleh Sukintaka (2004: 21) bahwa pendidikan jasmani ialah proses
interaksi antara peserta didik dengan lingkungan melalui aktivitas jasmani yang
disusun secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya. Williams
dalam Arma Abdullah dan Agus Manadji (1994: 3) memaknai pendidikan
jasmani sebagai aktivitas manusia yang dipilih jenisnya dan dilaksanakan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.

27
Gerak merupakan tujuan utama dari proses pembelajaran pendidikan
jasmani yang memiliki makna dan pengertian yang dinamis. Pembelajaran yang
mampu menggali kreatifitas siswa dalam bergerak dapat membantu pencapaian
tujuan pembelajaran. Setiap anak memiliki kemampuan gerak dengan kualitas
yang berbeda. Menurut Elaine B. Johnson (2007: 18) proses belajar yang terjadi
dalam suatu pembelajaran akan menghasilkan perubahan perilaku siswa yang
lebih permanen, proses belajar-mengajar adalah optimalisasi potensi diri
sehingga dicapailah kualitas yang ideal.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan gerak
diantaranya adalah bawaan ddan lingkungan (Gallahue, 1989: 63-71). Adapun
ruang lingkup materi pendidikan jasmani di tingkat sekolah dasar adalah sebagai
berikut.

a) Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan,


eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif,
atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis
meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri serta aktivitas lainnya.
b) Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen
kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya.
c) Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat,
ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya.
d) Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobik
serta aktivitas lainnya.
e) Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan
bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya.
f) Pendidikan luar kelas meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan,
berkemah, menjelajah dan mendaki gunung.
g) Kesehatan meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-
hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat,
mencegah dan merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan

28
minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu
istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek
kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam
semua aspek (Depdiknas, 2007).

Ruang lingkup materi di atas kemudian tergambar dalam standar kompetensi


dan kompetensi dasar yang lebih bersifat operasional bagi guru pendidikan
jasmani. Standar kompetensi dan kompetensi pendidikan jasmani digunakan
oleh guru sebagai acuan untuk merancang rencana pembelajaran yang tertuang
ke dalam silabus dan rencana program pengajaran. Rencana program pengajaran
tidak hanya sebatas rencana saja melainkan juga merupakan dasar dan skema
dalam mengajar pendidikan jasmani pada para siswa.

Lesson Study
Dalam usaha meningkatkan profesionalitas guru pemerintah melakukan
serangkaian kegiatan yang memberikan bekal kepada guru melalui kegiatan
pendidikan dalam jabatan (in-service education). Kegiatan in-service education
berupa pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, kegiatan peer teaching, dan
lain sebagainya.
Pengembangan kompetensi guru dapat dilakukan melalui model
pendidikan dalam jabatan berupa kegiatan lesson study. Model pemberdayaan
guru melalui lesson study. Lesson study adalah model pembinaan profesi
pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun
komunitas belajar. Lesson study bukan merupakan metode atau strategi
pembelajaran, namun dalam kegiatan lesson study dapat menerapkan berbagai
metode dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi dan
permasalahan yang dihadapi oleh guru (Sumar Hendayana, dkk., 2007: 10).
Lesson study merupakan praktik pengembangan profesional yang
merupakan ide berusia seabad yang diadopsi dari Jepang dan menjadi dasar bagi

29
pendidikan sekolah yang berpusat pada siswa (student-centered focus for
schooling). Gunawan Widiyanto (2007: 11) mengemukakan bahwa sebagai
sebuah pemikiran, lesson study begitu cepat menarik minat publik sebagai sebuah
strategi perbaikan dan peningkatan sekolah jangka panjang. Hal ini karena lesson
study memberi harapan bagi perubahan secara berkesinambungan dalam
pengajaran.
William Cerbin dan Bryan Kopp (2006) menyatakan bahwa lesson study
merupakan model yang dapat dipergunakan untuk membangun pengetahuan
pedagogis dan meningkatkan pengajaran.

“...a model for building pedagogical knowledge and improving teaching


based on the practice of lesson study. In lesson study a small group of
instructors jointly designs, teaches, studies and refines a single class lesson
called research lesson”

Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan utama yaitu merencanakan (plan),
melaksanakan (do), dan merefleksi (see). Dapat dikatakan bahwa lesson study
menurut Sumar Hendayana, dkk (2007: 10) merupakan cara peningkatan mutu
pendidikan yang tidak pernah berakhir (continous improvement). Alur kegiatan
lesson study sebagai berikut.

PLAN
(merencanakan)

DO
SEE (Merefleksi)
(melaksanakan)

Gambar 4. Skema Kegiatan Lesson Study

30
Di negara Jepang lesson study dilaksanakan oleh kelompok-kelompok
guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh sekelompok guru sebidang.
Lesson study menjadi populer di Jepang karena lesson study sangat membantu
guru. Guru memperoleh informasi berharga untuk meningkatkan keterampilan
mengajar mereka. Berikut kutipan peryataan dari beberapa guru di Jepang
mengenai lesson study.
a) ... saya pikir pengalaman terbaik dari lesson study adalah lesson study
memberi peluang kepada anda untuk merefleksi dan memikirkan kembali
cara mengajar anda
b) ... walaupun dalam waktu singkat guru-guru bertemu mendiskusikan
pembelajaran secara serius, hal ini merupakan pengalaman yang sangat
berharga
c) Saya pikir pengalaman (melaksanakan lesson study) memberi kita peluang
untuk membangun persahabatan yang baik diantara guru-guru. Saya kira
persahabatan yang kuat dapat dibangun ketika guru-guru bertemu dan secara
sangat serius memikirkan tentang apa yang kita kerjakan, mengajar...dengan
kata lain lesson study dapat membantu guru-guru mempererat persahabatan,
saya kira hal ini sangat penting untuk semua guru
d) Juga proses on-the-job-problem-solving (lesson study) memerlukan
keseriusan, intensitas, dan tanggung jawab guru sebagai profesional, sebab
sesuatu yang anda coba lakukan di sekolah selalu mempengaruhi siswa-
siswa. Lingkungan kerja, perasaan serius ini merupakan manfaat dari
pengembangan keprofesionalan di sekolah

Kualitas dari lesson study sangat bervariasi bergantung pada proses yang
dilakukan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. Lesson study
merupakan sebuah proses perbaikan kegiatan belajar dengan cara bekerja dalam
kelompok kecil. Para guru saling berkolaborasi, bertatap-muka, berdiskusi
merencanakan sebuah pelajaran kelas yang sesungguhnya (lesson class),
mengamati dalam kegiatan pelaksanaan (do), dan kemudian melakukan refleksi

31
untuk memperbaiki. Dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi guru
akan mendapatkan manfaat satu sama lain.

Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari


Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa
sekolah di Jepang, yaitu:

a) Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya


kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan
dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas,
misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa,
pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar
siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan
kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
b) Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau
bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam
pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.
c) Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari lesson
study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa,
misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar,
bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa
melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang
berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi
hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana
lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala
sekolah atau pengawas sekolah.
d) Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh
dikatakan merupakan jantungnya lesson study. Untuk menilai kegiatan
pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup
dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan

32
Pembelajaran (lesson plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun
juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan
melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses
pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang
detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja
digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru di Jepang, Caterine Lewis


(2004) mengemukakan bahwa lesson study sangat efektif bagi guru karena telah
memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat: 1)
memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan
dibelajarkan kepada siswa, 2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-
tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, misalnya tentang arti
penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir siswa,
serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan, 3) mengkaji tentang hal-
hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para
guru lain (peserta atau partisipan lesson study), 4) belajar tentang isi atau materi
pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa
yang harus diberikan kepada siswa, 5) mengembangkan keahlian dalam
mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran, 6) membangun kemampuan melalui
pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling belajar tentang apa-apa
yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun
keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan 7) mengembangkan “The
Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya
para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa
semakin detail dan jelas.
Lesson Study Research Group (LSRG) menyatakan bahwa dalam
keanggotaan kelompok lesson study, dalam satu kelompok terdiri atas 4-6 orang
guru. Keterlibatan kepala sekolah dan pihak luar yang dianggap kompeten dan

33
kepedulian terhadap pembelajaran seperti pengawas sekolah dan ahli dari
perguruan tinggi juga dimungkinkan (www. tc.edu/lesson study).
Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study,
yaitu : 1) Perencanaan (Plan); 2) Pelaksanaan (Do) dan 3) Refleksi (See).
Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp mengemukakan enam tahapan dalam
lesson study, yaitu:

a) Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang
bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki
kepentingan dengan lesson study.
b) Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan
dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari lesson study.
c) Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna
mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan
merespons.
d) Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan
pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan,
mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.
e) Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai
kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa.
f) Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-
tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana
dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang
ada.

Mark Byra dalam David Kirk, Doune Macdonald, dan Mary O’Sullivan
(2006: 453) mengemukakan pernyataan sebagai berikut.

“Peer teaching have a rich history in education, particulary in the areas of


math and language arts. Within the scheme of peer tutoring, students work in

34
pairs to support each other’s learning. This teaching style has been shown to
be effective in promoting student cognition and social interaction”

Terlihat bahwa pengajaran dengan melibatkan teman sejawat memberikan


keuntungan bagi pengembangan aspek kognisi dan interaksi sosial antar guru.
Lesson study sebagai sebuah model pengembangan profesionalitas guru menurut
Winarno (2008: 11) menggunakan langkah-langkah yang identik dengan
penelitian tindakan (action research) yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan
(do), evaluasi (check), dan refleksi (act).
Guru pendidikan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam
mendidik, mengajar, dan melatih siswa. Pembelajaran pendidikan jasmani
berperan dalam mengembangkan aspek kognitif, afektif, fisik, dan psikomotor
serta membentuk karakter yang berakhlak mulia. Untuk dapat mengajarkan
materi yang ada dalam kurikulum guru harus mampu menjabarkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam suatu rancangan pengajaran berupa
silabus dan persiapan program pengajaran.
Rencana pengajaran ini akan berguna sebagai acuan dalam proses
pembelajaran di kelas. Pemilihan metode dan strategi mengajar yang tepat akan
menyebabkan proses pembelajaran berjalan sesuai harapan, jika tidak akan
sebaliknya. Ketidakmampuan guru dalam menyiapkan pembelajaran dan
terbatasnya sumber-sumber untuk mengadakan proses pembelajaran pendidikan
jasmani yang ideal (sesuai dengan kondisi sekolah dan karakteristik siswa).
Guru pendidikan jasmani yang profesional dituntut untuk ahli di
bidangnya (kepakaran). Keahlian atau kompetensi yang harus dimiliki mencakup
empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian, dan
sosial. Untuk mengembangkan, menjaga dan meningkatkan kompetensi tersebut
di atas maka diperlukan suatu kegiatan pendidikan atau pelatihan yang disebut
dengan pendidikan dalam jabatan (in-service education)
Peningkatan kualitas guru dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Diantaranya adalah melalui pendidikan dalam jabatan (in-service trainning).

35
Pendidikan dalam jabatan yang dilakukan dengan metode yang konvensional
kurang berdampak pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru.
Pendidikan prajabatan sebagai wahana untuk mengembangkan profesionalitas
guru memiliki peranan yang signifikan. Dengan pendidikan prajabatan
diharapkan guru pendidikan jasmani akan memiliki kapasitas untuk mengajar
pendidikan sebagaimana mestinya.
Untuk mengatasi kelemahan pendidikan dalam jabatan yang ada maka
model lesson study menawarkan pemberdayaan guru yang lebih efektif. Jepang
dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa lesson study mampu
memberikan dampak bagi peningkatan kualitas pengajaran guru. Kegiatan lesson
study yang terdiri atas tiga tahapan plan, do, dan see dapat mendatangkan
berbagai macam manfaat yaitu meliputi meningkatnya pengetahuan guru tentang
bahan ajar dan pembelajarannya, menguatnya hubungan sosial antar guru
maupun observer, meningkatkan motivasi guru untuk senantiasa berkembang,
dan meningkatkan kualitas rencana pembelajaran serta strategi pembelajarannya.

Gambar 5. Kerangka Konsep Lesson Study

36
BAB III
PEDAGOGI KRITIS DAN PENDIDIKAN JASMANI

Berpikir Kritis (Critical Thinking), Kreativitas, dan Teori Kritis

Berpikir kritis (critical thinking) di sini pengertiannya lebih dekat pada berpikir
kreatif ketimbang Teori Kritis (critical theory). Banyak orang yang menganggap bahwa
berpikir kritis senada dengan Teori Kritis, padahal jelas berbeda karena berangkat dari
titik fokus yang berbeda. Dalam sebuah kajian serius yang membandingkan antara
berpikir kritis dan pedagogi kritis (critical pedagogy), yang berakar dari tradisi Teori
Kritis, Nicholas Burbules dan Rupert Berk menyatakan:

The Critical Thinking tradition concerns itself primarily with criteria of


epistemic adequacy: to be “critical” basically means to be more discerning
in recognizing faulty arguments, hasty generalizations, assertions lacking
evidence, truth claims based on unreliable authority, ambiguous or obscure
concepts, and so forth. For the Critical Thinker, people do not sufficiently
analyze the reasons by which they live, do not examine the assumptions,
commitments, and logic of daily life

Jadi, berpikir kritis lebih konsentrasi dalam mengkaji kesalahan logika berpikir, juga
konsep-konsep yang ambigu. Berpikir kritis dengan demikian adalah berpikir di luar
kewajaran (thinking out of the box) yang dilakukan banyak orang. Dengan kata lain
tidak berpikir secara linier, melainkan unlinier sebagai bentuk kritik logika berpikir
awam.
Nicholas Burbules dan Rupert Berk menyatakan bahwa perangkat berpikir kritis
utamanya adalah kemampuan logika formal dan informal, analisis konseptual dan
epistemologis. Nicholas Burbules dan Rupert Berk juga mengutip Harvey Siegel yang
menyatakan bahwa, “Critical thinking aims at self-sufficiency, and a self-sufficient

37
person is a liberated person…free from the unwarranted and undesirable control of
unjustified beliefs.”
Berpikir kritis inilah yang membuahkan nalar kreatif di sisi lain. Ketika berpikir
kritis berupaya untuk mengkritik kesalahan logika berpikir, maka di sisi lain dengan
pola pikir yang sama, yakni pola pikir yang tidak linier dan berpikir dari perspektif lain
yang berbeda dari awam, berpikir kritis dapat membuahkan gagasan kreatif tertentu.
Lebih lanjut Rob Pope menyatakan bahwa definisi kreativitas secara umum cenderung
pada konsep “kreativitas” sebagai sesuatu yang baru dan bernilai (new and valuable)
atau ide baru yang dapat diterima atau layak/patut (novel and appropriate).
Dengan mengutip Sternberg (1993) Rob Pope juga menyatakan bahwa,
“‘Creativity is the ability to produce work that is both novel (i.e. original,
unexpected) and appropriate (i.e. adaptive concerning task constraints),” bahwa
kreativitas secara umum merupakan ide-ide baru yang bernilai, orisinal, juga tepat dan
adaptif sebagai solusi masalah yang sedang terjadi. Dengan kata lain, kreativitas adalah
upaya mengkreasi (to create) atau mencipta ide-ide baru, bisa juga disebut inovasi,
metode atau strategi baru untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memecahkan
masalah-masalah yang timbul.

Karakteristik kreatif adalah mencipta ide-ide baru yang bernilai


Di sisi lain, Teori Kritis berangkat dari titik fokus yang berbeda, bahwa Teori
Kritis merupakan serangkaian gagasan dan kritik yang ditujukan terhadap pengetahuan,
sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya yang telah membuahkan banyak
problem sosial. Teori Kritis melihat fenomena sosial secara lebih luas dan total dari
kacamata kelas sosial (social class), struktur kekuasaan (power) masyarakat,
kepentingan ekonomi dan politik dan lainnya sebagaimana awalnya digerakkan oleh
para teoritisi Mazhab Frankfurt seperti Herbert Marcuse, Max Horkeimer, Theodor
Adorno, Jürgen Habermas dan lainnya.
Jika dilihat karakteristik dan kecenderungannya, maka Teori Kritis memang
selalu mewaspadai kemungkinan berlangsungnya praktik diskriminasi, ketidakadilan,
perbebutan otoritas kekuasaan, indoktrinasi nilai-nilai dan pengetahuan tertentu untuk

38
tujuan tertentu dan lainnya. Teori Kritis selalu melihat sebuah fenomena atau fakta
sosial tertentu tidak lepas dari fakta sosial lain, baik secara struktural maupun kultural.
Teori Kritis dengan demikian berupaya untuk mengkritik dan membongkar praktik-
praktik tersebut, agar pengetahuan menjadi terbuka untuk dikritik, direvisi dan
diperbaiki, agar tidak terjadi praktik diskriminasi, ketidakadilan, dan monopoli serta
manipulasi kebenaran.
Di sisi lain, Teori Kritis dalam pendidikan telah membuahkan formulasi
konseptual dan praksis pedagogi kritis sebagaimana dibawakan oleh Paulo Freire,
Michael Apple, Peter McLaren, Henry Giroux dan banyak lagi lainnya. Tujuan utama
pedagogi kritis adalah membangun kesadaran kritis (critical consciousness) seseorang.
Kesadaran kritis itulah modal utama untuk membangun sebuah gerakan emansipatoris
membela yang lemah, melawan praktik penindasan, ketidakadilan sosial, eksploitasi
manusia, diskriminasi ras, etnis, agama dan sejenisnya. Di sinilah Teori Kritis dan
pedagogi kritis orientasinya lebih luas terbentang pada konteks sosial masyarakat, tidak
seperti fokus berpikir kritis yang sempit pada individu saja.
Mengawali kajian mengenai pedagogi sebagai upaya emansipasi dan
transformasi, berikut tersaji penggalan kutipan dari Monica McLean seorang professor
penggiat pedagogi pada ranah pendidikan tinggi dari Universitas Nottingham, United
Kingdom.

Education is political, cultural and social action. It is bound up in the


interplay between state and civil society shaping who we are, what we do,
how we think and speak; and, what we receive from and give to society. The
business of education is the creation and recreation of culture, society and
personal identity. Systems of education comprise networks of workers,
practices and policies for nurturing learning capacity for the benefit of
individuals and for the benefits of society. Education is seen both as a force
for social change and as the vehicle for reproducing existing social
hierarchies. (Monica McLean, 2006: 1)

Kutipan atas paragraf pertama dari bab pertama tulisan Monica McLean mengantarkan
kita pada konsep dasar dari satu paradigma pendidikan yang lazim disebut sebagai
pendidikan kritis (critical education), pedagogi kritis (critical pedagogy), dan juga

39
pendidikan transformatif (transformative education). Bahwa pendidikan bukanlah ruang
yang bebas dari intervensi dan praktik politik, bahkan pendidikan adalah arena
pertarungan pengetahuan, budaya dan nilai-nilai. Pada lingkup mikro, ketika seorang
guru misalnya, menentukan sendiri pengetahuan apa yang akan ia berikan pada anak
didiknya, maupun ketika ia melakukan negosiasi pengetahuan yang akan ia berikan
tersebut dengan anak didiknya, di situlah “praktik politik” terjadi, yakni dengan adanya
pengambilan keputusan dan sikap. Adanya praktik komunikasi dan relasi antar-guru,
siswa, institusi sekolah, masyarakat juga menunjukkan bahwa pendidikan adalah aksi
budaya dan sosial, karena bahasa komunikasi dan substansi komunikasi adalah produk
budaya dan praktik berkomunikasi adalah bentuk tindakan atau aksi sosial.
Munculnya aksi sosial sebagai tindakan atau aksi politik, budaya dan sosial,
secara garis besar, dalam diskursus pedagogi kritis, terdapat dua perspektif dan arah dari
praksis pendidikan, yaitu sebagai (1) upaya reproduksi dari tata nilai sosial dominan
yang ada dan juga sebagai (2) arena perlawanan (resistance) dan transformasi sosial.
Diskusi lebih lanjut mengenai dua perspektif dan arah dari praksis pendidikan tersebut
dapat diikuti misalnya pada tulisan Eric Margolis (2001) dan Henry Giroux (1983).
Monica McLean di sini, dengan mendasarkan pada basis teori kritis Jürgen Habermas
yang banyak dikenal sebagai generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, dengan demikian
menempatkan diri dalam upaya untuk membangun praksis pendidikan yang diarahkan
untuk transformasi sosial. Lalu hal apakah yang menarik dan pentingnya hal yang
diupayakan oleh Monica McLean melalui bukunya “Pedagogy and the University:
Critical Theory and Practice” (2006)? Mari kita lihat dan tarik dalam konteks sosio-
kultural Indonesia, terutama perguruan tinggi atau kampus-kampus (universitas, institut,
sekolah tinggi) di Indonesia.
Pertama, tidak banyak literatur yang membahas mengenai dimensi atau ranah
pedagogi di universitas di Indonesia, terlebih dengan nuansa, ekspresi dan arahan dasar
pedagogi kritis. Diskursus besar yang berkembang di Indonesia mengenai universitas
lebih banyak dibawa ke arah ranah penelitian dan pengabdian pada masyarakat, bahkan
di era sekarang ini banyak arah penelitian didikte oleh kebutuhan dunia industri (pasar),
padahal tidak semua kampus basis dasar dan orientasinya adalah pada pasar, misalnya

40
adalah kampus-kampus kependidikan eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Memang pada beberapa
kampus eks-IKIP, orientasi pada aktivitas pengajaran masih kental dan lebih banyak
dibandingkan dengan aktivitas meneliti, menulis dan melakukan advokasi di
masyarakat. Namun orientasi pada pengajaran tersebut ternyata tidak banyak dibarengi
dengan perkembangan gagasan pedagogi kritis dan sejenisnya, banyak dosen yang
masih berkutat dengan gaya dan praktik perkuliahan konvensional, walau di sisi lain
juga terdapat fenomena mulai berkembangnya gagasan dan praktik pedagogi yang kritis
dan transformatif.
Kedua, Monica McLean (2006) berupaya untuk membumikan teori besar yang
familiar disebut sebagai Teori Kritis yang dilahirkan dari rahim tradisi berpikir Marxian
ala Mazhab Frankfurt, atau yang juga dikenal sebagai neo-Marxian. Upaya pembumian
dan/atau bisa juga disebut sebagai kontekstualisasi inilah yang kurang pada dunia
akademik di Indonesia. Cara pandang Habermas, Gramsci dan Foucault misalnya
memang pada level dan konteks tertentu sudah dicoba untuk “dibumikan” dalam
konteks Indonesia oleh Mansour Fakih dan kawan-kawan (1996, 2010 & 2011), namun
hal itu tidak terjadi di dalam dunia akademik, melainkan di dunia gerakan sosial dan
pemberdayaan masyarakat marjinal. Di sinilah Monica McLean mengisi kekosongan
dari apa yang agaknya belum banyak dilakukan oleh para intelektual dan aktivis
pendidikan di Indonesia, terutama dalam dunia akademik atau di dalam pendidikan
formal persekolahan (schooling), dengan membawa Teori Kritis dari Habermas untuk
dijadikan sebagai acuan dalam analisis kritis gagasan dan praksis pedagogi di perguruan
tinggi.
Ketiga, dengan acuan dasar pada Jürgen Habermas, maka ia telah membawa
alternatif lain dari gerakan pedagogi kritis di Indonsia, yang sejak pertengahan Orde
Baru banyak dipengaruhi oleh gagasan dan praksis pendidikan Paulo Freire.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa di Indonesia amat jarang terdapat teori-
teori besar yang dibumikan atau dikontekstualisasikan dalam dunia pendidikan, terlebih
lagi teori sosial kritis untuk dibumikan dalam dunia pendidikan sampai pada ranah dan
praksis pedagoginya. Hal itu dapat dipahami karena memang Teori Kritis, termasuk dari

41
Jürgen Habermas, memang “tidak terkait langsung” dengan dunia pendidikan, teori
Tindakan Komunikatif (communicative action), yang juga dirujuk oleh Monica McLean
(2006), misalnya bukanlah teori untuk menjelaskan fenomena pendidikan dalam arti
umum, melainkan sebuah teori untuk menjelaskan fenomena sosio-kultural. Oleh karena
itu, upaya untuk membawa teori-teori sosial kritis, dalam hal ini adalah Teori Kritis dari
Habermas, amatlah penting bagi perkembangan gerakan pedagogi kritis di Indonesia.
Ibaratnya, pedagogi kritis dengan demikian telah mendapatkan satu bantuan lagi, berupa
perspektif paradigmatik sebagai pisau analisis untuk membedah praksis pendidikan di
Indonesia.

Mengapa Teori Kritis dan Mengapa Jürgen Habermas?


Monica McLean (2006) menggunakan istilah university pedagogy atau yang
dapat diartikan sebagai gagasan dan praktik pedagogi di universitas, atau perguruan
tinggi dalam konteks Indonesia. Memang ia tidak menyatakan pengertian itu secara
eksplisit dalam kalimat atau paragraf tertentu dalam bukunya, namun dengan
pemahaman tersebut maka university pedagogy dapat ditulis dan sebut secara singkat
sebagai pedagogi universitas dalam pengertian pedagogi “di dalam” konteks universitas.
Penggunaan istilah pedagogy ketimbang education menyiratkan fokus dan
kecenderungan bahwa diskursus yang ia bawa sampai pada level “operasional” praksis
pembelajaran di dalam kelas (micro level). Kalau menggunakan istilah education, maka
sebagaimana terdapat misalnya dalam banyak diskursus dalam educational studies atau
kajian pendidikan, lingkup bahasannya lebih banyak pada soal kebijakan pendidikan
(education policy), manajemen pendidikan, kurikulum dan sejenisnya yang besar-besar.
Sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan pada analisis kritis terhadap pendidikan,
ulasan Monica McLean (2006: 2) sejalur dan merupakan upaya lebih lanjut dari
perkembangan gerakan pedagogi kritis. Ia menyatakan banyak terinspirasi dari gagasan
Paulo Freire, Michael Apple, dan Henry Giroux yang sama-sama menggunakan cara
pandang paradigmatik Marxian sebagai pisau analisis terhadap praksis pendidikan.
Dengan mendasarkan pada analisis kritis itulah McLean memfokuskan analisisnya pada
dunia perkuliahan (universiter) dengan menyatakan bahwa:

42
Current policy interventions construct university education as a technical-
rational pursuit and overemphasize its economic purposes. Higher education
teaching and learning should rather be constructed as intellectually
challenging and for emancipatory as well as economic purposes. Habermas’s
theories are resources both for critique and for thinking about alternative,
principled approaches to developing university pedagogy in the conditions of
the twenty-first century. (Monica McLean, 2006: 3)

Bagi McLean, Habermas dengan teori-teori sosial kritisnya amat penting sebagai
pisau analisis terhadap praksis pendidikan di universitas, sampai pada ranah
pembelajaran di dalam kelas. Sebagaimana kutipan pendek di atas, McLean sudah
menggunakan istilah-istilah khas dari kalangan Mazhab Frankfurt, yaitu rasionalitas
teknis (technical-rational), yang dengan demikian artinya: pendidikan di universitas
sudah diarahkan dan dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan teknis.
Habermas bagi McLean cukup menjanjikan sebagai sumber untuk melakukan kritik
terhadap praksis pendidikan di universitas, selain itu juga menujukkan alternatif
terhadap kondisi sosio-kultural yang ada. Teori Kritis menurut McLean menawarkan
sebuah teori yang dapat menjadi kerangka kerja (framework) dalam mengkritik tujuan,
praktik dan kebijakan (policy) dari pedagogi universitas sekarang ini, dan sekaligus
menjadi dasar bagi tujuan emansipasi dan keadilan sosial melalui praksis pedagogi
universitas. Selanjutnya McLean (2006: 9) menyatakan:

Critical theory is normative: the purpose of critique is to delineate a more


just and free future. “Critical” refers not only to a critique of social
conditions, but also to Kant’s idea of self-reflective examination of the limits
and validity of our own knowledge and understandings. Critique involves
reflection on what we take for granted, identifying the constraints of injustice,
and, freeing ourselves to consider fairer alternatives. Yet, it is important to be
quite clear that critical theory does not aim to produce definitive knowledge,
nor does it posit straightforward, inevitable progress. Critical theory
constructs arguments, which should always be kept open, about how we are
doing and what it would be wise to do; it aims, in particular, to put brakes on
moves by the powerful and inhumane to distort human life.

43
Dari kutipan tersebut, menurut McLean, Teori Kritis memiliki daya dan energi untuk
mengkritik kondisi sosial sebagai cara untuk menggambarkan visi masa depan yang
lebih berkeadilan sosial dan bebas. Tidak hanya itu, kritik dari Teori Kritis juga
ditujukan pada ranah epistemologi, yakni mengenai kebenaran pengetahuan dan
pemahaman terhadap realitas sosial. Hal tersebut ditunjukkan misalnya dengan
kritiknya terhadap hegemoni pengetahuan yang didasari oleh paradigma positivistik.
Jadi, tidak sekadar berupaya untuk mengungkap penindasan terselubung dan
tersembunyi saja. Sebagaimana diulas oleh McLean (2006: 8), Horkheimer pada 1937
menolak argumen dasar positivisme dalam metodologi penelitian, bahwa teknik-teknik
dapat menunjukkan kebenaran objektif tentang dunia sosial dan politik. Horkheimer
mengajukan Teori Kritis yang bertujuan untuk membangun pengetahuan dari tujuan
spekulatif untuk memahami kesalingkaitan dan kesalingbergantungan subjek manusia
dan dunia objektif. Horkheimer menyatakan, pengetahuan tersebut akan menunjukkan
jalan pada pemahaman kritis terhadap masyarakat dan juga sebagai panduan praktis
bagi aksi politik dan sosial.
Dalam hal ini Monica McLean mengacu khusus dan terutama kepada Jürgen
Habermas, karena ia menyediakan gambaran teoretik yang cukup luas mengenai
kejelasan agenda politik masa depan, yatu masyarakat yang berbasis pada kesetaraan,
kebebasan, demokrasi, otonomi dan pemberdayaan kolektif (McLean, 2006: 10).
Habermas juga menawarkan pandangan bahwa pendidikan adalah solusi untuk masalah
yang dihadapi manusia, dan sebagai bidang kajian, pendidikan secara tradisional cukup
luas dan interdisiplin, oleh karenanya sesuai dengan bidang kajian Habermas yang juga
menggabungkan kajian epistemologi, psikologi, sosiologi, etika, filsafat dan politik
sebagai fondasi bagi pandangan optimistik dalam upaya mengembangkan kualitas hidup
manusia. Hal penting yang diambil oleh McLean untuk membangun pemikirannya
mengenai pedagogi universitas dari Habermas adalah: (1) argumen bahwa modernitas
adalah proyek yang belum usai dan dianggap cukup menjanjikan bagi tumbuhnya
otonomi, keadilan, demokrasi dan silidaritas; (2) konsep kolonisasi dunia
kehidupan (lifeworld); dan (3) gagasan mobilisasi rasio komunikatif (communicative
reason).

44
Dua hal terakhir tersebut menunjukkan dua sisi dari tatanan sosial modernitas, di
satu sisi terjadi praktik kolonilasi dunia kehidupan oleh uang dan kekuasaan, dan di sisi
lain terdapat potensi bagi terbangunnya tatanan masyarakat yang adil dengan
mengandalkan rasio komunikatif. Di sinilah Habermas mengidealkan hadirnya
pencerahan (enlightenment), yang ia nyatakan sebagai proyek modernitas yang belum
“sepenuhnya” terwujud, dengan bertumpu harap pada rasio komunikatif. Oleh karena
itu bahasa menjadi harapan bagi Habermas dalam upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup individu dan masyarakat yang lebih baik. Ia membuat dua asumsi yang saling
berhubungan, yaitu (1) bahwa tujuan bahasa adalah untuk menghasilkan makna dan
mencapai pemahaman antara satu dan lainnya mengenai makna tersebut; dan (2) bahwa
tiap pengguna bahasa memiliki kemampuan untuk memproduksi makna dan motivasi
untuk menghasilkan kesepakatan dengan yang lain mengenai bagaimana tindakan
tersebut adalah kapasitas untuk rasio komunikatif (McLean, 2006: 10).
Jadi, melalui bahasa diharapkan terjadi percakapan yang mendasarkan pada rasio
(akal sehat, akal budi) hingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sosial untuk
kehidupan yang lebih baik. Inilah yang disebut sebagai teori Tindakan Komunikatif
(theory of communicative action) dari Jürgen Habermas, sebagaimana ditulis oleh
McLean (2006: 10-11) dengan mengutip Habermas sebagai berikut:

For Habermas the potential for emancipatory change is in the creation of


“ideal speech situations” in which people, free from constraints and power
relations, rationally discuss and reach agreements about social matters.
Intersubjectivity rather than the individual subject becomes the prime focus:
“Participan in interaction… coordinate their plans for action by coming to
and understanding about something in the world (1987, p. 296).

Namun, para pengkritik Habermas pun mempertanyakan, apakah mungkin


“ideal speech situations” tersebut dapat terwujud? McLean (2006: 11) sendiri
menyatakan bahwa komunikasi akan terdistorsi atau menyimpang ketika dunia
kehidupan (lifeworld) dikolonisasi (colonized). Apakah dunia kehidupan itu? Bagi
Habermas, sebagaimana dikemukakan oleh McLean, dunia kehidupan sangat luas,
kompleks, yang menyusun praktik, adat atau kebiasaan, dan gagasan-gagasan individual

45
dan kelompok. Sementara itu kolonisasi merujuk pada invasi yang tidak tepat terhadap
kehidupan individu atau kolektif oleh uang dan kekuasaan. Pada fenomena kolonisasi
tersebut, konsensus sulit dicapai karena memang perbincangan tidak menghasilkan apa-
apa kecuali kehilangan makna dan motivasi. Tapi kondisi tersebut bagaimanapun juga
mengundang perlawanan, yaitu dalam bentuk rasio dan tindakan komunikatif
(communicative reason and action). McLean (2006: 11) menyatakan bahwa konsep
“rasio komunikatif” memuat gagasan Habermas mengenai potensi mawas diri dan
pembebasan diri dan kelompok, melepaskan diri dari dunia kehidupan sebelumnya,
menuju pada kesepakatan yang rasional dan tanpa paksaan melalui penggunaan bahasa
sehari-hari yang cakap.

Kritik terhadap Jürgen Habermas


Salah satu kritik terhadap Habermas adalah gaya tulisannya yang terkenal sulit
dipahami, selebihnya McLean (2006: 11-12) merujuk pada kritik yang diajukan oleh
Anthony Giddens (1985) misalnya, yang menyatakan bahwa pemikiran Habermas sulit
untuk ditempatkan pada satu sisi tertentu. Hal itu karena Giddens menganggap bahwa
Habermas telah merevisi konsepsi teoretis Marx terlalu banyak bagi kalangan Marxis,
namun ia juga tetap dianggap terlalu Marxist bagi kalangan pemikir dan penganut
postmodernisme. Dari kalangan Marxis, tentunya termasuk pada pendahulu dari
kalangan Mazhab Franfurt menyatakan bahwa dominasi “rasionalitas teknologis”
diartikan bahwa semua hal menjadi subjek dari kalkulasi dan prediksi, bahwa manusia,
alam dan produksi semuanya berubah menjadi objek manipulasi, dan menjadi rapuh di
hadapan kontrol yang tak terbatas dan penyesuaian (adjustment).
Habermas juga menyatakan hal yang sama, bahwa satu sisi modernitas memang
menghalangi terjadinya debat etis dan politis serta kerjasama serius dalam memecahkan
problem sosial. Hanya saja, ia juga berargumen, bahwa kondisi tersebut juga
memungkinkan untuk mempertanyakan ide-ide dan norma yang diterima, hingga kita
dapat memiliki lebih banyak pilihan untuk mengambil dan mengembangkan potensi
untuk dapat menjadi rasional secara politis dan etis. McLean (2006: 12) juga
menyatakan, bahwa mungkin Habermas sendiri memiliki pertanyaan yang mungkin

46
belum terjawab, yaitu: apakah rasional dan benar untuk mempercayai bahwa akal budi
(rasio) masih memiliki potensi untuk menjadi kekuatan pendorong bagi terbangunnya
dunia yang lebih baik. McLean juga menjelaskan bahwa penekanan Habermas pada
bahasa sebagai alat untuk mencapai pemahaman rasional melalui tindakan komunikatif
juga ditentang oleh para “relativist” yang percaya bahwa rasio selalu bersifat lokal dan
kontingen (tidak tentu, tidak pasti). Para “relativist” ini juga familiar disebut sebagai
para pemikir dan penganut gagasan atau paradigma berpikir posmodernis.
Kritik lain juga datang dari Edward Said, sebagaimana dikemukakan oleh
McLean (2006: 13), bahwa Said mengkritik Habermas yang tidak menyangkutkan
analisis Teori Kritisnya terhadap fenomena rasisme, ketidakadilan gender, perlawanan
dalam bentuk anti-imperialisme, dan sejenisnya. Di sisi lain, penafian tersebut juga
dapat dipahami bahwa Habermas relatif “menganggap remeh” mengenai kesulitan-
kesulitan yang muncul dalam upaya untuk membangun kondisi ideal tersebut. Dengan
kata lain, apakah kondisi ideal yang memungkinkan terwujudnya pemahaman yang
bermakna melalui tindakan komunikatif dapat terjadi? Mengingat, sebagaimana
dikemukakan oleh McLean, bahwa relasi kuasa yang tidak simetris terjadi dalam ras,
gender dan kelas sosial, dan cita-cita mewujudkan pencerahan Barat (Western
Enlightenment) oleh Habermas juga mengindikasikan posisi dominasi nalar pikir Barat
di atas tradisi budaya pikir lainnya. Ada konsensus yang ingin dicapai dalam sebuah
perbincangan rasional juga cenderung menimbulkan dominasi pendapat dan
pengetahuan. Dari banyak kritik yang diajukan tersebut, McLean (2006: 14) sendiri
menyatakan tidak mudah untuk menjawabnya, ia menyatakan pendapatnya dikaitkan
dengan dunia pendidikan:

With all these criticism mind, I think that the principles that Habermas
outlines are a foundation for thinking about action based on people coming
together to examine social conditions and to agree about how to improve
them. This is particularly so for education. In Habermas’s terms, education
is a “public sphere”—an area of social and political life—that depends, at
some level and to some degree, on society coming to agreements about what
it is for and how this should be achieved. It seems to me that weather or not
it is explicit, “an argument”, with which we can choose to engage, is implied

47
in the arrangements are, in any case, constantly made, for example between
students and academics, between managers and academics, and between
vice-chancellors and organs of the state. This does not mean that education
should not accommodate, indeed encourage, a good deal of “dissensus”.

Apa yang diungkapkan McLean dalam kutipan panjang di atas berupaya untuk
menempatkan kembali posisi gagasan teoretik dari Habermas, yaitu bahwa Habermas
berupaya untuk membangun fondasi berpikir mengenai tindakan atau aksi yang
didasarkan hadirnya orang-orang untuk mengkaji kondisi sosial dan kemudian
menyepakati tentang bagaimana cara untuk mengatasinya. Hal yang tidak jauh berbeda
juga dalam dunia pendidikan yang dapat dikatakan sebagai “ruang publik” (public
sphere), meminjam istilah yang diajukan oleh Jürgen Habermas.

Universitas Emansipatif dan Transformatif


Berkaitan dengan pedagogi universitas, Monica McLean (2006: 8), sebagaimana
diulas sedikit di depan, bahwa ia menggunakan beberapa konsep teori sosial kritis dari
Habermas untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam kampus dan
bagaimana memperbaikinya ke depan. Orientasi Teori Kritis secara umum yang ingin
membuka selubung ideologis, praktik eksploitasi, dehumanisasi dan lainnya dilakukan
dengan melakukan kritik terhadap fenomena sosial dan kemudian berupaya untuk
merubahnya, di sinilah konsep emansipasi (emancipation) atau pembebasan dan
transformasi atau perubahan (transformation). Arah emansipasi dan transformasi ini
jugalah yang dituju oleh Monica McLean dalam analisisnya atas pedagogi universitas.
Di sinilah Habermas (Monica McLean, 2006: 15) mengarahkan “emansipasi” dan/atau
“transformasi” sebagai pemandu dan acuan dalam memformulasikan beberapa
pertanyaan mengenai pedagogi dan universitas yang menjadi refleksi terhadap
penyelenggaraan pendidikan bagi calon guru pendidikan jasmani sebagai berikut:

a. Praksis perkuliahan jenih apakah yang dapat dikatakan sebagai emansipatoris

atau telah melakukan transformasi?

48
b. Bagaimanakah seharusnya bentuk pedagogi universitas yang ditunjukkan untuk

mecapai keadilan sosial?


c. Jenis institusi, kurikulum, pedagogi dan perilaku akademik bagaimanakah yang
sesuai dengan tujuan tersebut?
d. Apakah konsep “kolonisasi dunia kehidupan”—dari Habermas—dapat
menjelaskan apa hambatan universitas dalam mencapai emansipasi atau
transformasi?
e. Apakah gambaran rasio komunikatif (communicative reason) dari Habermas

memberi kita dasar harapan bagi jenis pedagogi yang dibangun oleh gagasan
Teori Kritis?
f. Apakah ide modernitas sebagai proyek yang belum selesai dari Habermas dapat
membantu kita menggambarkan kontur emansipasi/transformasi dari pedagogi
universitas?

Adanya upaya emansipasi dan transformasi tersebut terjadi karena McLean


mendasarkan pada konsepsi Teori Kritis bahwa dunia pendidikan, sebagaimana yang
lazim dinyatakan oleh para pedagog kritis, merupakan arena produksi dan reproduksi
sosio-kultural. Bentuk-bentuk dominasi dan hegemoni dunia pendidikan atau yang
dalam istilahnya Habermas adalah “kolonisasi” telah menjadikan emansipasi dan
transformasi sebagai satu jalan untuk membangun kondisi sosio-kultural yang adil,
demokratis, bebas dan damai. Habermas sendiri, sebagaimana dikatakan oleh McLean
(2006: 16), menyatakan bahwa semua praksis pendidikan memproduksi dan
mereproduksi dunia kehidupan, memediasi individu dan masyarakat, termasuk bidang
ekonomi dan tata pemerintahan. Secara khusus Habermas menempatkan universitas di
antara struktur sosial dan struktural dunia kehidupan dan bentuk-bentuk lain yang sudah
terinstrumentalisasi (terbakukan).
Bagi Habermas yang menyatakan bahwa proyek modernitas belum selesai,
universitas ia anggap sangat penting posisinya di tengah masyarakat (karena memang
universitas adalah salah satu produk institusionalisasi dan legitimasi pengetahuan
modernitas). Ia juga menyatakan bahwa kita harus menilai kembali secara kritis “ide

49
tradisional” universitas sebagai institusi yang otonom dari negara dan publik, kemudian
ia mengajukan gagasan bahwa pusat baru universitas mestinya berangkat dari hubungan
struktural antara proses pembelajaran di universitas dan proses pengambilan keputusan
yang demokratis. Ujarnya, bentuk baru tersebut harus didasarkan pada argumentasi dan
komunikasi kritis yang dilakukan oleh para intelektual dan oleh masyarakat (McLean,
2006: 16). Pada tatanan modernitas di mana gelar akademik dan ijazah dianggap
penting, maka posisi universitas sangat strategis dalam memengaruhi dan berimplikasi
terhadap dunia kehidupan (lifeworld) (budaya, kepribadian dan integrasi terhadap
masyarakat) melalui empat fungsinya, yaitu fungsi teknikal, profesional, kultural dan
kritis. Habermas menyatakan empat fungsi tersebut dengan merujuk pada Talcott
Parsons, selengkapnya sebagaimana dituliskan oleh McLean (2006: 16) sebagai berikut:

a. the first concerns technical knowledge or the generation of technically


exploitable knowledge for producing wealth and services;
b. the second is the academic preparation of public service professionals—
professionals and vocational knowledge;
c. the third is the transmission, interpretation and development of cultural
knowledge (which he also referes to as the “task of general education”,
1989: 121);
d. the fourth concerns critical knowledge or what he refers to as “the
enlightenment of the political public sphere” (1989: 118).

Jika berefleksi dari empat fungsi tersebut dengan arah dari universitas-universitas di
Indonesia, kita akan memperoleh gambaran abstrak dari tugas utama akademisi dan
kampus-kampus di Indonesia, yaitu penelitian, pendidikan (pengajaran) dan pengabdian
pada masyarakat. Di Indonesia sendiri sebenarnya diskursus mengenai perguruan tinggi
belum banyak berkembang, hingga tema-tema orientasi kampus mau ke mana, tugas
dan fungsinya apa dalam upaya membangun tatanan sosial masyarakat masa depan, dan
lainnya tidak banyak diperbincangkan. Agaknya apa yang diungkapkan oleh Habermas
sebagaimana ditulis oleh Monica McLean di atas wilayahnya lebih abstrak dan/atau
ideologis ketimbang tugas kampus di Indonesia yang terangkum dalam Tri Dharma
Perguruan Tinggi (meneliti, mendidik, mengabdi pada masyarakat). Terlepas dari yang

50
dituliskan oleh Monica McLean mengenai jejak historis universitas dengan merujuk
pada Delanty (McLean, 2006: 28-32), maka fungsi universitas dan jenis perguruan
tinggi lain di Indonesia sekarang ini (1998-2012) lebih banyak sebagai institusi
penghasil tenaga teknis dan profesional. Dengan kata lain, lebih menekankan fungsi
teknis dan profesional ketimbang fungsi pengembangan keilmuan dan daya-daya kritis
politik dalam konteks yang lebih luas.
Sementara itu McLean (2006: 17) sendiri menyatakan, bahwa berdasarkan pada
komitmennya atas tujuan dan nilai-nilai dasar dari Teori Kritis serta pemahamannya
terhadap sistem global pendidikan tinggi sekarang ini mengarahkannya kepada tujuan
utama dari universitas sekarang ini, yaitu:

a. to re-balance the emphasis in university education on economic wealth and


individual prosperity to take ini, as equal partners, the other traditional aims
of education: individual fullfilment and transformation, and citizenship in a
democracy;
b. to address the inequities of the connections between origins and destinies in
terms of class, ethnicity, gender and disability;
c. to address complex and serious global problems, in particular, poverty, the
environment and conflict.

Apa yang diajukan oleh McLean tersebut agaknya didasarkan tidak hanya pada
ide-ide yang ia ambil dari Habermas saja, melainkan juga dari kritik yang dilakukan
oleh Edward Said (dalam McLean, 2006: 13) misalnya yang mengusulkan agar Teori
Kritis juga banyak menganalisis kritis mengenai konflik antar etnis, gender, bahkan
sampai pada isu-isu lingkungan hidup yang karena perspektif analisisnya adalah Teori
Kritis, maka diskursus lingkungan hidup pun juga ditelisik pada isu-isu eksploitasi,
keadilan sosial, dan sejenisnya. Hal tersebut jelas terlihat dari tujuan universitas yang
kedua dan ketiga di atas, ia menyoal tentang kelas sosial, etnisitas, gender, kelompok
minoritas berkebutuhan khusus, juga masalah-masalah global, seperti kemiskinan,
lingkungan hidup dan konflik sosial. Sementara itu, tujuan yang pertama di atas, dapat
ditafsirkan sebagai upaya menyeimbangkan peran agensi dan struktur dalam upaya
mencapai transformasi sosial.

51
Pedagogi Kritis
Pendidikan bukanlah ruang yang bebas dari intervensi dan praktik politik,
bahkan pendidikan adalah arena pertarungan pengetahuan, budaya dan nilai-nilai. Pada
lingkup mikro, ketika seorang guru misalnya, menentukan sendiri pengetahuan apa
yang akan ia berikan pada anak didiknya, maupun ketika ia melakukan negosiasi
pengetahuan yang akan ia berikan tersebut dengan anak didiknya, di situlah “praktik
politik” terjadi, yakni dengan adanya pengambilan keputusan dan sikap. Adanya praktik
komunikasi dan relasi antar-guru, siswa, institusi sekolah, masyarakat juga
menunjukkan bahwa pendidikan adalah aksi budaya dan sosial, karena bahasa
komunikasi dan substansi komunikasi adalah produk budaya dan praktik berkomunikasi
adalah bentuk tindakan atau aksi sosial.
Jika dilihat implikasi sekarag ini banyak terjadi praksis serta kebijakan
pendidikan yang mengabaikan perkembangan penting dalam masyarakat.
Penyimpangan-penyimpangan ini terjadi karena di antara kita banyak yang tidak benar-
benar memahami makna berbagai perubahan tersebut bagi kehidupan kita ke depan.
Misalnya, berapa dari kita yang memahami arti filsafat Pancasila sebagai landasan
kehidupan berbangsa bagi pendidikan kita?
Pedagogi kritis sebenarnya bukan hal yang baru, setiap waktu banyak pakar
mengkritisi pendidikan dari muali sistem sampai implementasi dalam tataran mikro
operasional, semua itu pada dasarnya menjadi khasanah bagi kita untuk terus mencari
upaya yang makin baik dalam meningkatkan mutu pendidikan bukan hanya dalam
konteks output tapi juga dalam konteks peningkatan mutu kehidupan masyarakat dalam
struktur sosial, politik dan ekonomi yang adil, egaliter dan sejahtera serta
memanusiakan manusia manusiawi. Terlepas dari dimensi politik ideologi dan teori
yang rumit, implementasi pembelajaran di kelas dapat mengambil manfaat dari
pedagogi kritis ini untuk meningkatkan mutu pembelajaran dalam membantu generasi
mendatang memiliki karakter yang baik serta kapabilitas produktif yang tinggi dengan
basis nilai yang dapat menjadikan manusia manusiawi.
Menurut R.H. Ennis (1991) berfikir kritis adalah berpikir seara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai

52
atau dilakukan. Mengetahui kecenderungan dan dan kemampuan sangat penting supaya
seseorang dapat berpikir kritis. Hal ini akan membantu menyadari tentang disposisi dan
kemampuan tersebut sehingga dapat dipastikan ia dapat menerapkan pola berpikir kritis
di dalam kelas atau kehidupan sehari-hari.
Pendidikan mempunyai dua dimensi yang saling bertautan. Pertama, pendidikan
merupakan suatu hak asasi manusia berarti bahwa manusia tanpa pendidikan tidak dapat
mewujudkan kemanusiaannya. Selanjutnya ia hanya menjadi manusia apabila berada di
dalam hubungan dengan sesamanya. Pendidikan sebagai suatu proses kemanusiaan
dalam kebersamaan dengan sesama manusia.
Kedua, pendidikan merupakan suatu proses berarti bahwa pendidikan
merupakan suatu peristiwa memanusia. Peristiwa tersebut berarti merupakan suatu
proses perubahan. Perubahan hakikat manusia yang memanusia akan “kebebasan dari”
dan kesadaran dari “ketergantungan pada.” Seorang seniman dan filsuf besar Kahlil
Gibran dari Lebanon dengan sangat tepat menyatakan bahwa manusia mempunyai
kesadaran akan keterikatannya kepada orang tuanya tetapi sekaligus dia mempunyai
kebebasan dari keterikatan tersebut.
Upaya untuk membangun kesadaran kritis tersebut sampai pada level
transformasi individual, sejatinya juga menyisakan tanya dan soal. Misalnya, dengan
penekanan pada transformasi pada dimensi individual peserta didik, bagaimana dengan
transformasi sosial pada lingkup yang lebih luas, yaitu sekolah dan masyarakat;
bagaimana juga penekanan pada agensi (agency) ini dapat memberi kontribusi bagi
perubahan struktur (institusi, sistem, sekolah); apa benar iya “hanya” dalam tempo
sebelas hari sudah bisa menghasilkan bentuk transformasi individual yang “luar biasa”,
atau jangan-jangan penggalian data ini hanya untuk menunjukkan telah dicapainya
perubahan atau transformasi pada dimensi individu si siswa-siswi tersebut? Para lulusan
“dibiarkan” untuk bergerak dalam bentuk melawan dan melakukan negosiasi di dalam
struktur sekolah. Bahkan detail-detail bentuk aktivitas yang dilakukan Orang Muda
tersebut di masyarakat juga belum tergambarkan dengan jelas.
Secara bahasa pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata
yaitu Pais yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead), jadi

53
pedagogi berarti lead the child atau memimpin anak. Dalam perkembangannya
pedagogi sering dimaknai sebagai pendidikan/ilmu mendidik (ilmu mendidik anak yang
belum dewasa), sedangkan mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi.
Meskipun demikian penggunaan istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai
pendidikan dalam arti umum/luas (Education) tanpa membedakan tingkatan usia
kematangan seseorang.
Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang
berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan
dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia). Pedagogi kritis (critical pedagogy)
dapat dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan
mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik
dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.
Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks
perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk
mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan
dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek
pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui
konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical
consciousness). konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang
berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara
masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada,
untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas
tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali
lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan
lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep
penting yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Problem
posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut terkait dengan
seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat terjadi
meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan

54
dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian
yang menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran
akan pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mempu dalam
menghadapi tantangan perubahan yang cepat.
Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yaitu
rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Banyaknya
pelajar Indonesia masih belajar dalam taraf menghafal saja. Dimana hanya berbekal
hafalan tidak membuat tambahnya suatu kecerdasan maupun tambahnya kedewasaan
seseorang.Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan
pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola dana. Bagaimana agar pelajar
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan
kontrol dari guru. Sedangkan pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana ada
upaya agar tercukupi. Dengan buruknya sarana dan prasarana pendidikan dan kurikulum
yang kurang efektif. Semua itu berasal dari hal yang terpisah-pisah, yaitu sistem
pendidikan dan taraf kemampuan SDM pendidikan .Untuk meningkatkan alokasi dana
pendidikan yang memadai dengan meletakkan pembangunan pendidikan sebagai
perioritas pertama.
Mochtar Buchori dalam tulisannya “Memuliakan kehidupan bangsa” (2010),
memberikan ajakan utuk mengedepankan masalah bangsa sebagai salah satu tujuan
pendidikan. Hasil refleksi mendalam tentang carut-marut masalah yang sedang
menimpa bangsa Indonesia tersebut dari masalah korupsi, makelar kasus, kesewenang-
wenangan dimulai dengan alenia berikut ini:

“Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta


didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada
tiga tujuan yang harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat
menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara bermakna, dan
kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan.”

Aliran pedagogik yang dimaksud tidak lain adalah aliran pedagogik kritis.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa pedagogik kritis secara umum menjawab relevansi

55
pendidikan bagi berbagai permasalahan masyarakat dunia, terutama dalam upayanya
untuk menggugat keadilan sosial bagi masyarakat yng tersingkirkan oleh sistem.
Kedua, data statiska berikut ini memperkuat alasan mengapa pedagogik kritis
sangat relevan bagi Indonesia. Sekitar 40 juta, atau 17,75% dari total penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan; dan sekitar 100 juta, atau 42% dari total
penduduk Indonesia berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Hanya 55% dari
siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu menyelesaikan pendidikan
menengah pertama. Sementara dari 28 juta penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun,
hanya 17,2% yang mengenyam pendidikan tinggi, dengan hanya 3,3% di antara mereka
berasal dari keluarga tidak mampu. Data statistik ini dengan gamblang memaparkan
bahwa siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu yang melanjutkan ke
pendidikan tinggi jumlahnya sangat tidak proporsional dengan presentase jumlah
penduduk miskin di Indonesia. Ini adalah sebagai satu dari terlalu sedikit pedagogik
secara langsung menggugat keterkaitan antar pendidikan dan keadilan sosial pedagogik
kritis merupakan pilihan pedagogik yang relevan bagi Indonesia.
Ketiga, perjalanan sejarah pendidikan formal di Indonesia merupakan gambaran
pendidikan yang digunakan secara struktural untuk mengkondisikan generasi demi
generasi yang tidak lebih berdaya untuk menikmati kelangsungan hidup yang lebih baik
generasi sebelumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan formal untuk
masyarakat Indonesia ditujukan secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan sumber
daya manusia dengan ketrampilan terbatas, sesuai dengan kepentingan pemerintah
Belanda. Selain itu, sebagai bagian dari praktik penjajahan devide et impera, akses ke
pendidikan dibedakan berdasarkan latar belakang sosial ekonomi (selain juga ras dan
agama).
Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz (1994: 24)
seorang filsuf sosial memaparkan bahwa kontradisi mungkin tidak atau tak akan
dirasakan sangat berbeda denagn mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa
dipahami. Jika ada kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam
pengalaman masa. Dikarenakan adanya realitas kehidupan yang menjadi sumber dari
ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material dan

56
penjelasannya juga harus universal dan cara mengubahnya juga membutuhkan suatu
kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan jstru karena tidak
terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh
disharmoni suatu totalitas material.
Postmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan
dunianya, realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Padahal, hanya dengan hidup
secara total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya
akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, semakin
objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, maka kian
dewasalah cara berpikirnya. Filsuf Jerman, Goethe dalam David Seamon dan Arthur
Zajonc (1998), pernah mendeskripsikan bahwa manusia mengetahui dirinya sebanyak
pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri
dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru
dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.
Dengan melakukan gugatan terhadap cita-cita pedagogis dan mengenali lebih
jauh suatu filsafat humanis yang membut manusia sadar akan realitasnya. Itulah tujuan
proses pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan oleh Karl Marx. Konsep
manusia Karl Marx, yang awalnya banyak dipengaruh Hegel, bertugas untuk dengan
tegas membedakan yang esensial dari proses realitas yang tampak, dan untuk
menangkap hubungan antara keduanya. Lebih jauh Hegel pernah mengatakan:

“Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak
menghancurkan objektivitas yang tumpul dan kehidupannya di balik bentuk dan
benda-benda serta hukum-hukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya
memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia sedang menuju bukan hanya pada
kebenaran diri sendiri, melainkan juga pada kebenaran dunia. Dengan
pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh kebenaran
ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial
merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya” (Robert Stern, 2013).

Berbeda dengan dialektika historis, pandangan postmodernisme tidak hanya


abstrak, tetapi ‘berkutat’ ataupun bermain, pada wilayah ‘permainan bahasa’, dan tidak

57
realistik. Paradoks dari tinjauan bahasa ala postmodernis seperti Jacques Derrida,
misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa yang anti-realistik yang menyangkal
kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang independen dari diskursus denagn
praktik-praktik sosial, entah praktik-praktik ini melestarikan ataupun menentang
dominasai yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme ‘duniawi’ ala Michel Foucault
dan Deleuze memberikan arti penting yang sentral terhadap relasi ini. Keduanya
mencoba mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Foucault sebagaimana dikutip
Hamid Anwar (2012) mengatakan:

“Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan
tanda-tanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang
mengusung dan membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang
berbentuk bahasa: SEJARAH ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN
RELASI-RELASI MAKNA”.

Sementara Deleuze dan Guttari berpolemik menentang ‘imperalisme penanda’


(imperalism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang
pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan
(utterance). Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai
‘pengetahuan-kuasa’, “Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan
pengetahuan yang berkolerasi dengannya dan juga saat yang bersamaan tak ada
pengetahuan tanpa mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-
relasi kuasa” (Hamid Anwar, 2012)
Ini menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata terjadi bukan pada
aras bahasa atau makna, melainkan dalam wilayah yang lebih konkret dan nyata, yaitu
ekonomi atau kekuatan-kekuatan produktif sebagaimana dipahami filsafat historis-
dialektis. Sebagian situasi dan masalah cenderung membutuhkan pemikiran bercabang
dan sebagian yang lain membutuhkan pemikiran terpusat. Dan sebagian individu
memiliki kecenderungan untuk memberikan solusi terpusat dan sebagian yang lain
solusi bercabang terlepas dari masalah apapun yang sedang dihadapi. Mengingat
intruksi lebih menghargai pemecahan masalah secara terpusat. Dalam sudut lain,

58
kreatifitas sangat diperlukan kemampuannya untuk menghasilkan sebuah pokok pikiran
yang akan membuat peserta didik dapat lebih berpikir kritis dalam menanggapi
problematika yang terjadi di masa kini. Juga, pemikiran bercabang mampu
menghasilkan solusi terbaik bagi anak-anak didik.
Pedagogik kritis sebenarnya adalah proses penyadaran terhadap diri dan
masalah-masalah yang mempengaruhi keberadaan dan kondisi diri dalam masyarakat.
Kata conscientizacao yang diperkenalkan oleh Freire adalah sebuah proses
pembelajaran yang berupaya untuk melawan kenyataan yang membelenggu. Pemikiran
kritis yang dimaksud oleh Freire adalah pemikiran yang bertujuan untuk membawa
seseorang untuk berdialog dengan masa lalu, menyadari keberadaan dunia-dunia lain
diluar yang dialaminya, dan membayangkan masa depan yang tidak semata-mata
mereproduksi kondisi saat ini.

Makna dan Interpretasi Jamak Pedagogi Kritis


Stanley Aronowitz (1991) dalam bukunya "Postmodern Education: Politics,
Culture, and Social Criticism" yang ditulis bersama Henry A. Giroux berpendapat
bahwa tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Freire berupaya mengaitkan tiga
bagian, yaitu refleksi diri, munculnya kesadaran atas kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi kehidupan dan kesadaran diri, dan upaya pembentukan kondisi untuk
kehidupan yang baru. Lebih lanjut dalam buku yang serupa Henry A. Giroux (1991),
walaupun pada dasarnya sependapat dengan Aronowitz, beranggapan bahwa kehidupan
yang baru harus secara aktif diarahkan kepada perubahan sosial menuju kehidupan yang
lebih adil. Sementara keberpihakan McLaren terhadap perombakan kelas sosial melalui
pendidikan lebih bergaris keras hubungannya dengan paham Marxisme.
Keterkaitan antara pedagogik kritis dan keadilan sosial memang tidak selalu
gamblang dan bahkan hilang dalam beberapa versi. Studi kultural dan gerakan
antiglobalisasi dianggap cukup sejalan dengan pedagogik kritis dalam hal keterkaitan
antara tujuan pendidikan dan keadilan sosial. Namun peleburan antara pedagogik kritis
dan postmodernisme, misalnya, merupakan salah satu jenis adaptasi yang dianggap
menjauhkan keadilan sosial dari pedagogik kritis, karena strata sosial hanya menjadi

59
satu dari masalah perbedaan seperti ras, gender, ideologi politik, dan orientasi seksual
seseorang.
Selain itu, rentang interpretasi bagaimana masalah-masalah ketidakadilan sosial
menjadi bagian dari pendidikan juga terbentang luas. Ada yang beranggapan pedagogik
kritis seharusnya menuntut komunitas sekolah untuk menjadi aktivis pembela kelompok
masyarakat yang tersisihkan.
Ada yang beranggapan bahwa pendidik tidak seharusnya mengindoktrinasi
peserta didik mereka untuk menjadi aktivis, namun memberi kebebasan bagi peserta
didik untuk menginterpretasikan sikap dan jenis tindakan seperti apa yang ingin mereka
ambil. Banyak pula yang beranggapan ahwa melakukan kegitan bakti sosial sudah
merupakan sebuah upaya pengenalan peserta didik terhadap dampak kemiskinan,
terlepas dari apakah peseta didik mendalami akar dari ketidakadilan sosial. Demikian
juga halnya dengan interpretasi makna pendidikan yang memerdekakan. Ada yang
mengartikan sebagai kebebasan berpakaian, kebebasan mengemukakan pendapat,
kebebasan memilih beberapa kegiatan belajar, sampai pada kebebasan memilih untuk
tidak mengikuti kegiatan belajar.
Keterkaitan antara pendekatan pedagogik kritis seperti praksis, dialog, refleksi
pada praktiknya juga belum tentu sejalan dengan tujuan pedagogik kritis. Dalam
kenyataannya, pendidikan yang menggunakan dialog, diskusi, analisis, dan sebagainya
untuk mengemukakan pemikiran reflektif, kritis, dan kreatif, belum tentu bersinergi satu
sama lain dalam sebuah rangkaian pendidikan yang memerdekakan, demokratis, dan
berkeadilan sosial. Konstruktivisme, misalnya, yang juga merupakan pendekatan
pendidikan yang anti terhadap sistem banking dan menggunakan dialog, refleksi,
diskusi, dan praksis, pada praktiknya belum tentu mengungkap masalah-masalah
ketidakadilan sosial dan hegemoni kekuasaan yang dijunjung oleh pedagogik kritis.

Keterkaitan Antara Pedagogik Kritis dan Keadilan Sosial


Keberadaan pendidikan alternatif, khususnya yang ditargetkan untuk kelompok
masyarakat yang tidak mampu, memang berupaya untuk menggugat masalah
ketidakadilan sosial uang tercermati dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

60
Selain itu statistik pendidikan seperti yang dijabarkan sebelumnya secara gamblang
memaparkan masalah ketimpangan akses bagi kelompok masyarakat yang kurang
mampu. Dan masalah ini cukup menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan.
Hampir setiap tahun pada masa peralihan tahun ajaran, di berbagai medi massa
muncul berita-berita tentang semakin tidakn terjangkaunya pendidikan tinggi dan
pendidikan berkualitas bagi siswa-siswi yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Perubahan status dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara
dan munculnya standar internasional, nasional, dan reguler pada tingkat sekolah dasar
dan menengah ditengarai sebagai contoh privatisasi dan komersialisasi pendidikan yang
semakin mendiskriminasi peserta didik berdasarkan latar belakang ekonomi mereka.
Berdasarkan lasan inilah maka pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
(UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi disambut baik oleh para kritikusnya.

Sekolah: Mekanisme Reproduksi Sosial atau Mobilitas Sosial

Menurut teori fungsionalis, strata kerja dan masyarakt diperlukan karena adalah
sangat berpengaruh siapa yang duduk di posisi tertentu karena posisi tertentu
membutuhkan talenta maupun keahlian khusus, dan beberapa posisi tertentu memiliki
fungsi yang lebih penting dari yang lain. Namun yang menjadi masalah adalah, siapa
saja yang mendapatkan akses terhadap posisi-posisi penting dalam masyarakat,
bagaimana seseorang mengakses posisi tersebut, dan apabila dua orang memiliki
kesamaan kualifikasi, apakah mereka mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mendapatkan posisi tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi inti dari perdebatan apakah sekolah
merupakan mekanisme bagi perbaikan status sosial (upward social mobility) ataukah
justru mereproduksi status sosial yang sudah ada (social reproduction). Dalam
masyarakat modern, sekolah merupakan sarana yang dapat digunakan oleh individu
untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang dapat meningkatkan modal
kompetitif mereka dalam mencari pekerjaan, memperoleh pendapatan, dan kehidupan
yng lebih baik. Menjamurnya sekolah dipengaruhi oleh pandangan popular bahwa

61
pendidikan memberikan kesempatan untuk mobilitas sosial, oleh tuntutan
perkembangan industri terhadap kemampuan pekerja yang lebih baik, dan kompetisi
antara berbagai kelompok kepentingan yang melihat sekolah sebagai sebuah sarana
untuk memperkokoh kekuasaan, kekayaan, maupun reputasi kelompok.
Namun sekolah juga dilihat sebagai replika struktur yang sudah ada dalam
masyarakat. Sekolah, melenggangkan strata yang ada dalam dunia kerja ke dalam
sekolah melalui kurikulum yang tersirat (hidden curriculum) dan pembagian siswa ke
dalam jalur-jalur pendidikan (tracking), baik dalam bentuk kelas akselerasi, kelas
unggulan, kelas IPA dan IPS. Sistem penjurusan ini sering yang menentukan jenis,
kualitas, dan akses yang didapatkan siswa terhadap jenis sarana, prasarana, dan guru
yang mempengaruhi keterbukaan atau keterbatasan akan kesempatan-kesempatan di
masa depan.

Modal Finansial, Modal Kultural, dan Modal Sosial

Teori modal budaya dan modal sosial menyatakan bahwa kemampuan dan
aspirasi seorang individu untuk meraih kondisi sosial yang lebih baik (upward mobility)
dipengaruhi oleh jaringan budaya dan sosial yang dimilikinya atau dapat diakses oleh
dirinya. Stanton-Salazar (2001) membedakan jaringan sosial ke dalam dua jenis
berdasarkan status sosial ekonomi keluarga. Dibandingkan dengan komunitas
menengah, jaringan sosial kelompok sosial ekonomi lemah “cenderung kecil, homogen,
sangat rapat, dan terbatas secara geografis, dengan sedikit akses menuju institusi dan
jaringan sosial yang dimiliki seseorang mempengaruhi kecenderungan mereka daam
menyelesaikan masalah pribadi, keluarga, dan akademik.
Dibandingkan dengan orang tua dari kelompok enengah ke bawah, orag tua
yang berasal dan kelompok ekonomi lebih mapan memiliki modal budaya yang
memungkinkan mereka untuk menginvestasikan lebih banyak waktu dan sarana
pendukung bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga melihat pendidikan sebagai
tanggung jawabyang harus dinagi bersama dengan guru, sehingga mereka lebih terlibat
dalam memberikan dukungan untuk kegiatan belajar anak. Kedekatan ini menyebabkan

62
anak lebih mudah untuk beradaptasi antara dunia sekolah dan dunia rumah, karena
pilihan kata dan cara berkomunikasi yang digunakan anak, baik di sekolah maupun di
rumah banyak memiliki kesamaan. Sementara orang tua murid yang berasal dari
keluarga tidak mampu lebih terintitimidasi dalam hubungan mereka dengan guru dan
cenderung mengambil jarak dengan pihak sekolah.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa latar belakang sosial ekonomi
mempengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan anak dalam keluarga, dari cara
berkomunikasi dengan anak, pembentukan lingkungan ramah bagi anak, kontrol
terhadap aktivitas, dan pemantauan interkasi antara anak dengan unia luar. Harapan
orang tua terhadap anak juga dipengaruhi oleh kemampuan, sikap, dan tingkah laku
yang dihargai dalam pekerjaan mereka. Kebanyakan orang tua yang berasal dari latar
belakang sosial ekonomi rendah memiliki pekerjaan yang tidak otoritas, menuntut
kepatuhan dan tingkah laku yang sesuai dengan harapan atasan mereka (Asef Umar
Fakhrudin, 2009).

Resistensi Budaya terhadap Reformasi Pendidikan

Sejak tahun 1998, sebagai bagian dari reformasi dan desentralisasi, sistem
pendidikan nasional juga mengalami perubahan, baik dari segi pengayaan kurikulum
metode pembelajaran, sertifikasi guru, manajemen maupun pembiayaan sekolah.
Namun, upaya-upaya ini mengalami hambatan karena anggaran yang tidak mencukupi,
infrastruktur dan fasilitas yang kurang menunjang, kurangnya sekolah dan guru yang
berkualitas, ketidakseimbangan distribusi guru dan sekolah untuk daerah-daerah
terpelosok, rendahnya insentif untuk menjadi guru dan penilaian guru yang lebih
bersifat kuantitatif dibandingkan kualitatif.
Hambatan-hambatan terhadap reformasi pendidikan ini disebabkan oleh dua
alasan. Pertama, seperti diindikasikan sebelumnya, upaya untuk mengubah sistem
pendidikan di Indonesia belum secara fundamental mempertanyakan kembali, mengkaj
secara mendalam tujuan pendidikan formal yang telah tertanam oleh sejarah, dan
mereformasi tujuan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Padahal sekolah, telah dan tanpa

63
disadari digunakan sebagai perangkat untuk memproduksi strata sosial yang telah
tecipta.
Kedua, berabad-abad penjajahan bangsa Indonesia dilanjutkan dengan puluhan
tahun dibawah pemerintahan yang otoriter, telah menyebabkan pendidikan tidak
relevan, pendekatan pembelajaran yang tidak efektif, ketergantungan pada pusat, dan
kurangnya inovasi-inovasi pendidikan. Dalam berbagai upaya reformasi pendidikan,
belum diupayakan pendekatan maupun mekanisme yang secara khusus membongkar
tujuan, budaya, struktur dan kepemimpinan pendidikan formal yang sudah mendarah
daging.

Tantangan Praktis bagi Penerapan Pedagogik Kritis


Penerapan pedagogik kritis dalam bidang keilmuan non-sosial masalah-masalah
yang diangkat oleh pedagogik kritis sebagian besar berkisar pada masalah-masalah
sosial, sehingga praktik penerapannya lebih dekat dengan ilmu-ilmu sosial. Hal ini tentu
menyulitkan penerapan pedagogik kritis untuk topik-topik ilmu alam pada tahap
pendidikan dasar dan menengah, karena hegemoni dalam kedua bidang keilmuan ini
baru dapat ditelusuri pada tingkat dominasi teori dan mazhab keilmuan yang keduanya
sulit untuk dipahami tanpa terlebih dahulu mengenal landasan-landasan ilmu alam.
Misalnya, selama ini dianggap sebagai upaya memberikan informasi atau upaya untuk
memperagakan cara menggunakan sesuatu atau untuk member pelajaran melalui mata
pelajaran tertentu.
Mengacu pada constructivism, belajar adalah peristiwa di mana pembelajar
terus-menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam
struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Pandangan ini sejalan dengan
pandangan Raka Joni (1993), ahli pendidikan Indonesia yang mengungkapkan titik
pusat hakikat belajar sebagai ‘pengetahuan-pemahaman’ yang terwujud dalam bentuk
pemberian makna secara konstruktivistik oleh pembelajar kepada pengalamannya
melalui bentuk pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan
kognitif di dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui alat indera.

64
Kategori tantangan umum adalah resistensi budaya terhadap reformasi
pendidikan, kemampuan teknis pendidik, dan tuntutan kurikulum nasional. Termasuk
dalam kategori tantangan khusus bagi penerapan pedagogik kritis adalah makna dari
interpretasi jamak pedagogik kritis, penerapannya dalam bidang keilmuan non-sosial,
dan komitmen guru untuk menjadi pendidik.
Masyarakat masa depan dengan ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kesempatan
menerima arus informasi yang padat dan cepat, dan sebagainya, tentulah memerlukan
warga yang mau dan mampu menghadapi segala permasalahan serta siap menyesuaikan
diri dengan situasi baru tersebut. Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi
baru yang sanggup menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Keberhasilan
antisipasi terhadap masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia yang
dihasilkan oleh pendidikan.
Selain itu terdapat pula tantangan-tantangan yang sifatnya cukup umum bagi
pendidikan yang berupaya untuk memperluas kesempatan belajar bagi siswa yang
berasal dari keluarga kurang mampu, yang tercakup dalam pedagogik kritis. Tantangan-
tantangan ini berkaitan dengan pengaruh struktur dan kondisi sosial masyarakat
terhadap sekolah yang berkaitan dengan peran sekolah sebagai wadah eproduksi sosial
atau mobilitas sosial terhadap individu yang berkaitan dengan pengaruh latar belakang
ekonomi terhadap modal kultural dan modal sosial seorang siswa.
Secara bersama-sama tantangan ini menggambarkan mengapa sampai saat ini
pedagogik kritis masih dan mungkin akan terus menjadi salah satu bentuk pendidikan
alternatif. Pedagogik kritis bukanlah tidak relevan terutama untuk menjawab masalah-
masalah mendesak dalam masyarakat. Namun penerapan pedagogik kritis sulit untuk
dikelola karena penerapannya secara meluas menuntut perombakan pada tatanan
masyarakat dan perombakan terhadap pemahaman tentang apa yang selama ini
dipahami sebagai pendidikan di sekolah. Tidak heran jika pedagogik kritis lebih
memilih untuk bergerak di luar sitem pendidikan formal.

65
BAB IV
PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA KONTEMPORER

Satu hal yang luar biasa, saat ini dapat dilihat betapa manusia telah
melakukan pencapaian prestasi yang mengagumkan dalam upayanya mengungkap
rahasia semesta. Berbagai disiplin ilmu baru bermunculan sebagai sebuah jawaban
terhadap segala rintangan yang dihadapi manusia dalam upayanya menaklukkan
alam. Namun dari sekian pencapaian kemajuan yang berhasil diraih, seringkali
manusia terlupa dan tersudut dalam sebuah kegalauan tatkala dihadapkan pada satu
pertanyaan, yaitu pertanyaan tentang keberadaannya sendiri. Sehingga barangkali
benar kalau sebagian orang berkata bahwa rahasia terbesar bagi manusia adalah
justru dirinya sendiri. Berbagai upaya dilakukan untuk mencoba mencari realitas
terdalam dari eksistensi manusia, namun pada kenyataan hal itu sampai saat ini
merupakan pergulatan yang tidak pernah selesai.

Sungguh manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Ia bisa tersenyum


dalam sedihnya, bisa menangis dalam gembiranya, dan bisa meratap dalam segala
kelebihannya. Berbagai tontonan kontradiktif bisa dimunculkan dalam dimensi
kemanusiaan menjadi sebuah untaian yang sangat rumit dan susah untuk dimengerti.

Siapakah sebenarnya manusia dan bagaimanakah kedudukannya dalam


realitas atau jagad raya ini? Demikianlah pertanyaan yang meliputi seluruh
pemikiran para filsuf. Pertanyaan itu adalah merupakan pertanyaan abadi karena
pada dasarnya terkandung dalam hati setiap insan sepanjang masa. Jika manusia
mencoba diamati dalam eksistensinya yang konkrit atau caranya berada, maka
nampaklah ia bukan ‘monade’ atau barang yang terpisah, tanpa berhubungan dengan
apapun juga, seperti yang pernah diajarkan oleh Filsuf G.W. Leibnitz. Manusia tidak
dapat dimengerti kecuali sebagai sesuatu yang serba terhubung dengan segala
sesuatu. Manusia tidak bisa dibicarakan, kecuali dengan mengakui kesatuannya

66
dengan segala sesuatu. Manusia tidak bisa memiliki pengertian yang lebih jelas
tentang dirinya kecuali dengan menunjuk hubunganya dengan alam (Burhanudin,
1988: 19).

Manusia adalah makhluk yang berbadan, hal itu sudah jelas bagi semua
orang. Badanya bersatu dengan realitas sekitarnya, yang menyebabkan ia bisa
berjalan, bertindak dan sebagainya. Berbagai gerakan yang indah dan kompleks bisa
diperagakan oleh manusia yang hal itu tidak bisa disamai piawainya oleh makluk
apapun. Saat ini manusia dengan kecanggihan ilmu yang telah diraihnya berupaya
untuk merekayasa sebuah ciptaan yang tidak lain adalah sebuah upaya mencoba
untuk mengurai rahasia pada tubuhnya sendiri. Berbagai bentuk robot mencoba
dikreasikan sebagai manipulasi terhadap bentuk gerak manusia. Namun tetap saja,
ternyata kerahasiaan bentuk kinerja gerak belum bisa terpecahkan. Hal itu baru jatuh
pada taraf perbincangan biomekanik, belum pada ruang lain dalam perspektif
saintifik, apalagi pada dataran makna, sungguh masih terlalu jauh untuk bisa
dikatakan tuntas.

Dalam konteks ke Indonesiaan, tradisi akademis yang konsen dengan


permasalahan ilmu gerak tubuh pada manusia lebih dikenal dengan sebutan Ilmu
Olahraga. Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk
memelihara gerak (yang berarti mempertahankan hidup) dan meningkatkan
kemampuan gerak (yang berarti meningkatkan kualitas hidup). Seperti halnya
makan, gerak (olahraga) merupakan kebutuhan hidup yang sifatnya terus menerus;
artinya olahraga sebagai alat untuk mempertahankan hidup, memelihara dan
membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan. Olahraga merupakan alatuntuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan fungsional jasmani, rohani dan sosial.
Struktur anatomis-anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional, dan
kecerdasan intelektualnya, maupun kemampuannya bersosialisasi dengan
lingkungannya, nyata lebih unggul khususnya pada generasi muda yang aktif
mengikuti kegiatan olahraga daripada yang tidak aktif mengikutinya (Renstrom &
Roux, dalam Bloomfield, J, Fricker, P. A. & Fitch, K.D., 1992).

67
Sampai saat ini wacana yang berkembang dalam masyarakat bahwa olahraga
adalah suatu bangunan budaya yang sangat luhur. Dalam olahraga terkandung nilai-
nilai yang sangat pantas untuk ditauladani dan diinternalisasikan dalam kehidupan
yang sesungguhnya, seperti sikap toleransi, fairplay, disiplin, patuh pada peraturan,
menghargai terhadap kemenangan musuh, dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa
konsep dinyatakan bahwa olahraga dapat digunakan sebagai sarana untuk
membangun karakter bangsa. Pertanyaan filosofis yang muncul selanjutnya adalah,
benarkah hal itu mengandung kebenaran?

Sekian banyak potret suram dalam dunia olahraga saat ini dapat disaksikan
dari berbagai media. Olahraga kini telah mengalami krisis etika. Penggunaan obat
perangsang , penyuapan, pengaruh dukun dan politik menyusup sampai ke arena
pertandingan. Uang dan kekuatan (gaib atau tak gaib) dimanfaatkan, tanpa malu.
Satu tujuan pasti yang ingin dicapai, yakni untuk kemenangan (Gunawan
Muhammad,1997: 41). Belum lagi beberapa argumentasi yang menafikan eksistensi
jasmani dalam ke-akuan manusia. Sebut saja dalam tradisi Cartesian; jasmani
dipandang hanya selayaknya mesin yang tidak mempunyai satu kekuatan apa tanpa
adanya perintah operasional dari dataran mind. Sehingga melalui argumentasi ini
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
gerak tubuh terhadap pembentukan konsep mind. Karena tubuh hanyalah bentuk
operasionalisasi dari mind, tubuh tidak akan berdaya tanpa adanya.

Berbeda halnya dengan apa yang diungkapkan oleh seorang tokoh


eksistensialis Jean Paul Satre, bahwa dasar ontologis dari raga manusia mempunyai
orde atau tatanan yang tersendiri diantara ada yang lain. Oleh karena itu maka raga
manusia janganlah diinterpretasikan sekedar sesuatu objek yang terdapat diantara
objek yang lain, tetapi ia adalah pintu gerbang (gateways) bagi kita untuk
menjelajahi, menjamahi segala objek di dunia ini. Dengan demikian maka cara
beradanya manusia di dunia ini tidaklah sekedar ada, tetapi ia mengada dalam artian
suatu cara berada yang mempunyai makna, mempunyai nilai berkat struktur hakikat
dari raganya (Burhanudin, 1988: 43).

68
Dalam undang-undang No. 19 tahun 2004 dibeberkan bahwa secara struktur
olahraga dibagi menjadi 3 ruang, yaitu: olahrga prestasi; olahraga pendidikan;
olahraga rekreasi dan terapi. Namun pada kenyataan, ketika kita mengamati
fenomena yang muncul—bahwa setiap kali perbincangan olahraga dimunculkan,
maka yang selalu dijadikan sandaran adalah olahraga prestasi. Sementara yang lain
seolah menjadi tidak penting. Coba kita lihat saja bagaimana keadaan olahraga
pendidikan di Indonesia. Olahraga pendidikan yang lebih lazim dikenal dengan
pendidikan jasmani sampai saat ini masih menjadi sesuatu hal yang dianggap orang
sangat tidak penting dan hanya menghabiskan waktu saja. Begitu pula halnya
dengan olahraga terapi maupun rekreasi, nasibnya pun tidak kelihatan lebih baik.
Sebagai sebuah tuntutan terhadap konsep olahraga prestasi yang mengemuka, maka
terminologi ”kemenangan” menjadi suatu hal yang mengemuka dalam dunia
olahraga. Akibatnya-berbagai upaya harus dilakukan walau terkadang harus
bersinggungan dengan wilayah etis maupun moral. Sebut saja satu contoh mengenai
berbagai upaya pendekatan sains dalam mencoba melakukan optimalisasi
pencapaian prestasi olahraga (biomedis). Tanpa ragu-ragu dan justru dianggap
sebagai sebuah kemajuan tatkala saat ini melalui pendekatan teknologi orang bisa
menentukan bagaimana bentuk tubuh seseorang sesuai yang diaharapkan tatkala
dilahirkan. Lantas bagaimana pertimbangan moral terhadap hal itu?

Berangkat dari kenyataan yang beraneka ragam mengenai fenomena


keolahragaan dalam kaitanya dengan sistem tata nilai sosial, maka menempatkannya
pada suatu conditio sine quanon untuk mendapatkan sebuah telaah ulang. Hal inilah
yang kiranya menjadi pertimbangan kuat bagi peneliti untuk mencoba mengurai
jalinan sistem olahraga dengan bidikan filsafat nilai sebagai perspektifnya.

Pendidikan jasmani dalam Perspektif Sosiologi Olahraga


Pendidikan jasmani sebagai sebuah mata ajar di sekolah tentu mengandung
kontent yang beragam dalam hal objek dan subjek kajian. Lewat pendidikan
jasmani, subjek didik yang mana adalah siswa berdiri dalam suatu ikatan komunal
yang di namakan kelas. Kelas sebagai organisasi kelompok tidak lepas dari

69
dinamika sosial yang selalu menyertainya. Dinamika ini muncul manakala guru,
sebagai inisiator materi ajar menyampaikan tiga ranah yang menjadi objek kajian
pendidikan jasmani, yakni play, games, dan sport. Lewat ketiganya anak belajar
untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan artifisial, berinteraksi,
berkomunikasi, dan bergerak.
Olahraga menurut Weiss adalah penemuan komunal tentang siapa dirinya,
sedangkan permainan menekankan pada pembentukan badan yang sempurna.
Filosof melihat bahwa apa yang mengikat semua elemen permainan menjadi sebuah
kesatuan berkaitan dengan usaha manusia yaitu kegiatan kelompok dalam rangka
pencarian wahyu dalam dirinya. Olahraga dilihat sebagai refleksi asal-usul manusia
dan merupakan visi tujuan filosofis (Algozin, 1976: 190-196)

Cakupan yang akan menjadi bahasan di dalam penelitian ini adalah olahraga
yang lebih bersifat generik, tidak terbatas pada pengertian sempit seperti olahraga
kompetitif-elit untuk mencapai prestasi, tetapi juga jenis aktivitas jasmani lainnya
yang bersifat dasar, seperi latihan kalistenik dan kebugaran. Karena itu, istilah
olahraga di sini meliputi aneka kegiatan keolahragaan dengan pelaku dan tujuan
yang beragam, meliputi olahraga pendidikan, olahraga kesehatan, olahraga adaptif,
olahraga rekreatif, olahraga rehabilitatif, serta olahraga kompetitif.

Kemudian apakah olahraga itu? Olahraga, tidak hanya tentang latihan demi
kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, sekedar menghabiskan waktu
luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah
aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis sangat alami, yang dapat diamati
sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih (Scaht,
1998: 124). Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu
sendiri. Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang
membantu perkembangan hubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya
dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan
bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa duniawi tampak pula
pada ekspresi naratig tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusia,

70
situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi
dan kekuasaan, kecantikan visual, dan campuran dari kekuatan persaingan
(Pramono, 2003: 139).

Satu diantara objek kajian penjas adalah olahraga. olahraga merupakan


bentuk dominasi gerak yang paling terstruktur dan memiliki aturan yang telah
dibakukan. Lantas mengapa olahraga harus ditinjau melalui perspektif sosiologis?
Demikian kiranya pertanyaan awal yang akan dikemukakan tatkala kita menjumpai
mata kuliah ini. Lantas apa pula pengertian sosiologi olahraga itu? Menurut Selo
Sumarjan, Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur
sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur
Sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu
kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-
kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik
antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara
segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidpuan politik, antara segi kehidupan
hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan
ekonomi dan lain sebagainya.

Sementara itu, makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak


badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau
rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu
ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus
seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika
Serikat)

Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa


segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina
potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota
masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak

71
dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan
Pancasila.

Mencermati perkembangan olahraga saat ini, kita akan dihadapkan pada


sesuatu yang sangat rumit. Tidak bisa kita melakukan proses analisa parsial pada
ruang olahraga saja. Namun lebih jauh olahraga sudah merajut hubungan yang erat
dengan berbagai elemen sosial yang lain. Bahkan sebagian orang menyatakan
bahwa olahraga sudah menjelma menjadi sebuah budaya tersendiri ataupun lebih
jauh lagi sudah menjelma menjadi sebuah miniatur sosial. Bagaimana tidak, dalam
ruang olahraga saat ini bisa kita cermati betapa rumitnya struktur yang terbangun
seperti layaknya sebuah sosial/ masyarakat. Oleh sebab itu, masalah-masalah yang
muncul dalam olahraga, pun akhirnya tidak berhenti pada masalah-masalah aktivitas
fisik semata. Namun lebih jauh sudah berkembang menjadi selayaknya
permasalahan sosial. Maka dalam hal ini diperlukan sebuah pisau analisa yang
mampu menembus ke ruang itu. Pendekatan biosaintifik tidak akan mampu sampai
pada dataran itu. Harus ada pendekatan yang lebih relevan dalam hal ini. Untuk
itulah, maka sosiologi olahraga hadir mencoba menjawab tantangan yang ada.

Tingkatan Sosial dalam Olahraga


Satu hal yang menjadi ciri khas sosial adalah adanya tingkatan sosial.
Disukai atau tidak, dikehendaki atau tidak tingkatan sosial akan muncul dalam
sebuah masyarakat. Dalam wacana umum sosiologis, tingkatan sosial sering
diungkapkan dengan istilah kasta. Faktor yang menyebabkan munculnya tingkatan
sosial diantaranya adalah:
1) Agama
Seseorang yang memiliki pemahaman/ ilmu keagamaan yang relatif tinggi akan
mendapatkan tingkatan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ada penggolongan
Kiyai, pendeta, santri, umat/ awam, dsb. Dalam sebuah thesisnya Clifford
Gheertz menggolongkan umat islam di jawa dalam tiga golongan struktur, yaitu
kiyai, santri, dan abangan.

72
2) Pendidikan
Dalam ruang formal maupun informal, strata pendidikan maupun penguasaan
keilmuan akan menentukan tingkatan sosial seseorang. Semakin tinggi tingkatan
strata keilmuannya, maka semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang akan
diterimanya dalam ruang masyarakat maupun institusi formal. Contohnya saja;
seorang yang sudah memperoleh gelar doktor akan mendapatkan tingkatan
sosial yang tinggi baik di institusi pendidikan maupun masyarakat.

3) dan lain-lain; masih banyak lagi faktor penyebab yang lain.

Dalam perkembangannya, seperti yang telah disebutkan dalam pengantar


bahwa olahraga saat ini sudah menjadi miniatur sosial-maka permasalahan yang
berkaitan dengan tingkatan sosial pun tidak bisa dihindarkan. Dalam dunia olahraga
tingkatan sosial muncul dalam berbagai sisi;

1. cabang olahraga
Secara garis besar dari kecabangan yang menjadi pilihan untuk dilakukan oleh
masyarakat, olahraga dipilah menjadi dua, yaitu olahraga elit dan olahraga
rakyat. Olahraga elit adalah olahraga yang dimainkan oleh kelas-kelas sosial
tertentu. Sebuat saja adalah kaum kaya, seperti; golf, polo, bowling, dsb.
Sementara olahraga rakyat adalah olahraga yang dimainkan oleh orang
kebanyakan/ umum, seperti; sepak bola, voli, tenis meja, bulu tangkis, dsb.

2. atlet
Dari sisi atlet muncul berbagai macam jenis tingkatan; misal:

1) dari tingkatan umur muncul kategori; kelompok umur, junior, senior.


2) Dari ruang lingkup event muncul; lokal (popda, dsb), nasional (PON, dsb),
internasional.
3) Dari lingkup pertandingan dan motivasi bertanding muncul istilah
profesional dan amatir

73
4) Dalam ruang beladiri dan tinju muncul tahapan kelas berdasarkan berat,
sabuk, dsb.
Tumin menganalisa tingkatan sosial dalam olahraga dalam berbagai macam;

1 Kuno
Bahwa tingkatan sosial itu sudah ada sejak sangat lama. Seperti layaknya
ungkapan bahwa tanpa harus mempertimbangkan seberapa lengkapnya unsur
kebudayaan yang ada, namun kebudayaan lahir semenjak manusia itu ada.
Demikian pula kiranya dengan tingkatan sosial. Semenjak manusia ada, dan
terjadilah interaksi sosial antar individu di dalamnya—disana dimulailah
kemunculan tingkatan sosial. Contoh yang paling konkrit dalam dunia olahraga
adalah pada waktu pelaksanaan olimpiade kuno. Pada saat itu peserta yang
diperbolehkan turut serta hanyalah kaum laki-laki. Ada tingkatan sosial yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan.

2 Sosial
Yang dimaksutkan dengan ini adalah bahwa adanya tingkatan sosial itu
membawa karakteristik dari sebuah sosial itu sendiri. Dimana ada sebuah ruang
sosial maka disanalah bisa dipastikan adanya tingkatan sosial. Entitas tingkatan
sosial dalam sebuah ruang sosial hampir dipastikan tidak bisa ditolak
keberadaannya.

3 Akibat
Mengandaikan kata ”akibat” tentunya tidak akan bisa dilepaskan dari ungkapan
sebab. Dalam hal ini dimaknai bahwa tingkatan sosial itu berada dalam sebuah
rentetan peristiwa sebab akibat. Sebuah kemunculan tingkatan sosial merupakan
akibat dari sebuah struktur, yang tentu saja akan segera menjadi penyebab bagi
munculnya sebauah tingkatan sosial yang lain. Contoh; pada zaman dahulu
orang kulit hitam (negroit) dianggap sebagai kasta rendahan (budak). Oleh sebab
itu (akibatnya) mereka tidak diperkenankan untuk mengikuti olahraga dalam
event apapun.

74
4 Dimana-mana/ beraneka ragam
Bahwa, tingkatan sosial itu akan merealisasikan dirinya dalam berbagai macam
bentuk dan diruang manapun dalam sebuah struktur sosial.

Perempuan dalam Olahraga

Sampai saat ini, walaupun kata emansipasi sudah sangat sering kita dengar,
namun pada kenyataan perdebatan mengenai eksistensi perempuan dalam struktur
masyarakat masih seringkali diperdebatkan. Entah dengan harapan apa, namun
segala bentuk perjuangan dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat
perempuan, pun senantiasa masih kita lihat banyak dilakukan orang. Dalam realitas
yang nyata banyak orang menyatakan bahwa keberadaan perempuan dalam struktur
sosial cenderung dalam posisi yang dirugikan. Marginaliasi peran dan
pembelengguan etis menempatkannya pada posisi yang tidak menguntungkan,
second class, dan sub-ordinat dari kaum laki-laki.

Perempuan dalam berbagai hal senantiasa menjadi perbincangan yang


menarik untuk disimak. Pergulatan wacana yang mempertentangkan keberadaan
kaum perempuan dalam struktur tata sosial seolah intensitasnya tidak pernah
mereda. Ketegangan semakin muncul dikarenakan sekian banyak orang berpihak
mengatas namakan pada satu sisi yang dikatakan cenderung dirugikan. Sebut saja
perempuan-dalam sekian banyak perbincangan dengan disertai fakta menunjukkan
bahwa kaum perempuan lebih banyak pada posisi yang merugi dalam struktur
budaya yang berkembang.

Dapat disimak dan disaksikan bahwasanya eksploitasi dan marginalisasi


peran perempuan dalam segala lini sosial seolah hal yang tidak terbantahkan lagi.
Contohnya saja dalam dunia kerja, misalnya ketika mendengar kata ‘direktur’,
senantiasa yang terbayangkan adalah sosok laki-laki, sementara kalau disebutkan
kata ‘sekretaris’ niscaya hal yang biasa terbayang adalah sosok perempuan yang
cantik, seksi, dan penuh daya tarik. Begitu pula kalau dicermati lebih lanjut dengan
beberapa predikat seperti; ‘pilot dan pramugari’, ‘dokter dan perawat’, serta banyak

75
lagi hal yang lainnya. Nampak jelas disana, walaupun bukan sebuah kepastian,
namun predikat sub-ordinat senantiasa akrab dilekatkan pada sosok perempuan.

Seperti halnya di institusi sosial lain dimana pergulatan wacana mengenai


kesetaraan gender senantiasa hangat untuk dibicarakan, begitu pula dengan yang
mengemuka di dunia olahraga. Pertarungan konsep mengenai kesetaraan gender
lebih makin terasa dalam dunia olahraga dikarenakan sampai saat ini olahraga
senantiasa difahami terkait erat dengan tradisi maskulin. Ketika mencoba untuk
dicermati lebih lanjut, ternyata permasalahan olahraga dan wanita sampai saat ini
masih saja berlanjut. Berbagai faktor seperti halnya mitos, etika, struktur budaya
sampai pada tafsir keagamaan telah menyudutkan wanita pada posisi yang tidak
lazim untuk secara utuh terjun dalam dunia olahraga.

Sisi kebudayaan yang hampir-hampir tidak pernah dibicarakan dalam


kerangka ketidakadilan relasi jender adalah olahraga. Padahal, sebagai aktivitas
budaya, olahraga menyimpan persoalan ketidakadilan jender yang bersifat akut.
Berbagai praktik ketidak adilan secara nyata mengejawantah dalam dunia olahraga,
namun seringkali hal itu diabaikan begitu saja. Untuk itu, dalam penelitian ini tujuan
yang ingin dicapai adalah memperoleh gambaran tentang citra seorang perempuan
dalam dunia olahraga, baik itu berangkat dari hasil refleksi kaum perempuan itu
sendiri, masyarakat, maupun pandangan ahli yang tertuang dalam berbagai literatur.
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi perspektif baru sebagai dasar bagi
pengembangan dunia olahraga dalam perspektif sosial.

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas kaum


perempuan dalam ruang sosial adalah memahami akan perbedaan antara konsep
seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala, testis, menghasilkan sperma,
dan yang lainnya. Sementara manusia perempuan adalah manusia yang memiliki

76
rahim, melakukan sistem reproduksi yaitu melahirkan, menyusui, dan sebagainya.
Alat-alat tersebut melekat pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan selamanya,
bersifat kodrati dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan konsep gender adalah
konsep yang memilahkan antara kaum laki-laki dan perempuan atas dasar pensifatan
yang dikonstruksikan secara sosial, tidak melekat scara permanen dan bisa
dipertukarkan. Contohnya adalah sifat feminim (lemah lembut, emosional, sensitif,
cantik dst) yang secara sosial cenderung dilabelkan pada wanita. Demikian pula
sebaliknya (Mansour Fakih, 1997:7-8). Pada tahap selanjutnya, konsep gender-lah
yang dalam perbincangan sosial sering memicu ketimpangan dan ketidak adilan,
salah satunya dalam dunia olahraga.

Perubahan yang paling dramatis dalam dunia olahraga adalah meningkatnya


partisipasi kaum wanita. Hal ini terjadi di hampir semua negara industri besar.
Perubahan juga terjadi di negara miskin walaupun dalam skala yang tidak begitu
besar. Pada pertengahan tahun 1970-an manusia sadar akan keuntungan olahraga.
Kesadaran ini membuat kaum wanita mencari kesempatan untuk berlatih dan
berolahraga. Banyak publikasi tentang gerakan kaum wanita dipengaruhi oleh ide
tradisional tentang feminisme yaitu bertubuh ramping dan menarik bagi pria, juga
ada penekanan pada perkembangan kekuatan fisik dan kompetensi (Coakley, 2004:
244).

Sejak akhir tahun 1970-an partisipasi olahraga kaum wanita meningkat


secara dramatis. Hal ini merupakan hasil dari meningkatnya kesempatan karena UU
persamaan hak, gerakan kaum wanita, gerakan kesehatan jasmani, dan
meningkatnya publikasi kepada atlet wanita. Kesetaraan gender dalam olahraga
secara intergral terkait dengan isu ideologis dan budaya. Kesetaraan gender tidak
akan pernah tercapai tanpa merubah cara berpikir masyarakat mengenai
maskulinitas-femininitas dan bagaimana olahraga diatur serta dimainkan.
Berlakunya ideologi gender dan fakta bahwa olahraga telah dibentuk oleh nilai dan
pengalaman kaum pria, maka kesetaraan gender yang nyata tergantung pada

77
perubahan definisi mengenai maskulinitas-femininitas dan cara kita melakukan
olahraga (Coakley, 2004: 279).

Ketika berbicara mengenai hubungan antara gender dan olahraga, maka isu
yang diangkat akan berhubungan dengan kesetaraan dan keadilan sebagaimana
halnya dengan ideologi serta budaya. Sejarah penggunaan istilah kesetaraan gender
pada olahraga mulai menguat pada tahun 1999 ketika publikasi olahraga melalui
media memuat daftar teratas atlet abad 20. Gender adalah prinsip utama dalam
kehidupan sosial sehingga ideologi gender mempengaruhi cara berpikir kita dan
orang lain, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana
kehidupan sosial diatur pada semua level dari keluarga sampai masyarakat.
Kecenderungan mengabaikan ideologi merupakan masalah serius ketika
membicarakan keadilan dan isu kesetaraan di dalam olahraga. Hal ini disebabkan
karena kesetaraan dan keadilan tidak dapat dicapai kecuali kita mengubah ideologi
gender yang digunakan pada masa lampau. Perlu diketahui bahwa kemunculan
ideologi gender dalam masyarakat mempengaruhi hidup kita dalam kaitannya
dengan olahraga dan beberapa strategi untuk mengubahnya (Coakley, 2004: 263).

Perempuan dalam Dua Aliran Besar Sosiologi


Membicarakan perempuan dalam konsep sosiologis tidak dapat dilepaskan
dari beberapa teori yang melingkupinya. Dalam tradisi keilmuan sosiologi, ada dua
aliran klasik yang senantiasa dijadikan rujukan. Pertama adalah aliran struktural
fungsional. Menurut aliran ini proses transformasi sosial terjadi karena adanya
pematangan fungsi dari masing-masing struktur sosial yang ada. Teori ini lebih
menekankan pada keteraturan/order,mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifest dan keseimbangan/equilibrium. Masyarakat menurut teori ini merupakan
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian/elemen yang saling berkaitan dan
menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya

78
kalau tidak fungsional maka struktur tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.
Salah satu tokohnya adalah Robert K. Merton berpendapat bahwa objek analisa
sosiologi adalah fakta sosial seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses
sosial,organisasi kelompok, pengendalian sosial, dll.
Penganut teori fungsional ini memang memandang segala pranata sosial
yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan
negatif. Satu hal yang dapat di simpulkan adalah bahwa masyarakat senantiasa
berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada fungsional bagi sistem
sosial itu. Masyarakat dilihat dalam kondisi:dinamika dalam keseimbangan. Ketika
dikaitkan dengan diskursus gender, aliran ini mempengaruhi lahirnya sebuah aliran
yang senantiasa akrab disebut sebagai aliran nature. Aliran nature percaya bahwa
membicarakan masalah gender tidak bisa dilepaskan dari perbincangan mengenai
sex. Bahwa pembagian peran maskulin dan feminim yang dilekatkan pada pria dan
wanita terkait erat dengan fungsi biologis masing-masing. Wanita dilabeli dengan
predikat feminism yang becirikan halus, sensitif, emosional, penuh perhatian bukan
semata merupakan konstruksi social yang memojokkannya. Namun adalah sebuah
keterkaitan dengan fungsi alamiahnya untuk menjadi seorang ibu (Ratna
Megawangi, 1999).

Sementara aliran klasik sosiologis yang kedua senantiasa dikenal dengan


istilah Teori Konflik. Menurut aliran ini, proses transformasi sosial terjadi karena
adanya konflik antar kelas sosial. Teori ini di bangun dalam rangka menentang
langsung terhadap teori fungsionalisme struktural.Tokoh utama teori ini adalah Ralp
Dahrendorf. Teori ini bertentangan dengan fungsionalisme struktural yaitu
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai pertentangan
yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini menilai bahwa keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya pemaksaan
/tekanan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep teori ini adalah
wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Dahrendorf berpendapat

79
bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok
kepentingan dan kelompok semu,posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur
dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik. Sementara itu Berghe
mengemukakan empat fungsi dari konflik yaitu:

1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas


2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4. Fungsi komunikasi, sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak
mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya konflik,posisi dan batas antara
kelompok menjadi lebih jelas.

Dikaitkan dengan analisis gender yang berkembang, Menurut Ratna


Megawangi (1999), aliran ini melahirkan aliran spesifik baru yang mencoba
menjelaskan munculnya persoalan gender, yaitu aliran nurture. Menurut penganut
aliran nurture, bahwa perbedaan peran gender muncul atau hadir sebagai sebuah
hasil rekayasa sosial murni. Sehingga merupakan sesuatu yang dapat dirubah dan
bisa dilawan. Pelabelan perempuan terhadap peran feminis yang serba lemah
disinyalir adalah ulah dari konsep sosial yang memegang teguh budaya patrialkal.

Kata gender menjadi ruang konflik yang tak henti-hentinya diperdebatkan


dalam wacana sosial. Sementara apa yang dimaksutkan dengan gender itu sendiri,
serta apa yang menjadikannya rentan untuk diperdebatkan seringkali salah untuk
diterjemahkan orang. Terlebih lagi dalam dunia olahraga, pertentangan tentang kata
keseteraan gender menjadi lebih sengit. Hal ini ditengarai karena dunia olahraga saat
ini cenderung pada paradigma maskulinitas yang sangat memungkinkan munculnya
bias gender. Lantas apa sebenarnya gender itu sendiri? Perhatikan tabel berikut:

80
Tabel 3. Distribusi Deskripsi Gender dalam Olahraga

Laki-laki Perempuan Kategori

Mempunyai penis Vagina

SEX
Testis Ovarium

Memproduksi sperma Melahirkan

Jaqun Menyusui

Dsb Dsb

Gagah Lembut

GENDER
Tegas Sopan

Bertanggung jawab Cengeng

Rasional Emosional

Pemberani Penakut dan lemah

Kasar Sensitif

Egois Khawatir

Dsb Dsb

Seturut dengan apa yang di jabarkan pada tabel 1 di atas sex adalah konsep
yang membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan dengan mendasarkan pada
sesuatu yang sifatnya biologis, kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan. Sementara
gender adalah konsep yang memilahkan antara laki-laki dan perempuan dengan
mendasarkan pada sesuatu yang merupakan hasil konstruksi sosial, bukan kodrati

81
dan bisa dipertukarkan. Gender seringkali juga disebut sebagai pembagian peran
ataupun pelabelan (stereotype).

Dalam wacana sosiologis dari kedua konsep di atas, gender-lah yang


menjadi pusat perbincangan. Karena hal itulah yang terkait erat dengan hasil
interaksi sosial.

Menurut Ratna Megawangi, ada dua teori yang berkembang dalam


menganalisis wacana gender. Yang pertama yaitu teori Nature. Teori ini di
pengaruhi oleh teori struktrukturak fungsional. Menurut teori ini membicarakan
masalah gender tidak bisa melepaskan dari potensi biologis. Artinya bahwa
stereotype gender yang dilekatkan pada seseorang memang sudah sesuai dengan
fungsi strukturnya. Misalnya saja, kenapa seorang perempuan lebih lemah lembut,
sensitif, relatif gampang khawatir, hal ini terkait erat dengan fungsi strukturnya
untuk menjadi seorang ibu. Sementara teori yang kedua adalah teori Nurture. Teori
ini dipengaruhi oleh teori klasik sosial konflik. Menurut teori ini, perbedaan gender
yang terjadi merupakan murni hasil rekayasa sosial. Jadi kenapa perempuan
disudutkan pada posisi yang lemah dikarenakan kekalahnnya dalam pergulatan
memperebutkan eksistensi dalam struktur masyarakat oleh kaum laki-laki. Untuk itu
perlu perjuangan yang lebih serius untuk bisa merubahnya.

Sementara itu dalam dunia olahraga, apakah memang pembagian peran


antara laki-laki dan perempuan bisa disamakan? Hal ini masih menjadi
perbincangan yang yang senantiasa layak untuk dikaji dan diselesaikan. Walaupun
dalam wacana sosial ataupun keilmuan yang lain, tidak akan pernah ada kata selesai.
Kebenaran yang muncul pada suatu titik akan segera menjadi tesis baru yang
mengundang sejuta tanya yang mempertanyakan kebenarannya.

Adalah seorang Antonio Gramsci, seseorang filsuf berkewarganegaraan


italia yang mengungkapkan teori hegemoni budaya. Menurutnya, hegemoni adalah
sesuatu yang muncul dari perlawanan kelas sosial dan membentuk serta
mempengaruhi pikiran orang. Itulah hegemoni, hegemoni adalah seperangkat ide-

82
ide sebagai alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok subordinat dalam kepemimpinan mereka (Yolagani, 2007:2).
Melalui teori ini, nampak dengan jelas akan apa yang mendasari kemunculan carut
marut perdebatan gender yang terjadi, salah satunya dalam dunia olahraga. Aliran
nurture dengan jelas memandang bahwasannya label feminis pada sosok perempuan
adalah sebuah upaya untuk melemahkan posisi perempuan dalam strata sosial.
Status ini senantiasa direproduksi dan dihegemonikan dengan berbagai jalan salah
satunya dari ruang olahraga.

Pertanyaan selanjutnya adalah, lantas bagaimana dengan konsep adil gender


itu? Konsep adil gender sebenarnya dalam hal ini oleh penulis dimunculkan sebagai
sebuah counter wacana terhadap beberapa jargon “persamaan hak” yang kerapkali
salah kaprah untuk diterjemahkan. Jargon persamaan senantiasa dimaknai bahwa
perempuan dan laki-laki memang dalam cara pandang sosial benar-benar bisa untuk
mengambil peran yang sama. Hal ini tentu saja bisa dengan jelas ditebak berafiliasi
pada aliran nurture, dimana peran gender semata-mata hanya merupakan hasil
konstruksi sosial yang sangat memungkinkan untuk dirubah dan dilawan. Lantas
bagaimana dengan para penganut ideology yang berada di sisi yang lain, yaitu
ideology nature? Apakah mereka salah?

Walaupun sering terdengar bahwa kata adil tidak mesti sama, namun dalam
tataran praktis hal itu sangat sulit untuk diwujudkan. Pola pikir kuantitatif
menghegemoni kecenderungan konsep pada umumnya. Sehingga istilah adil juga
senantiasa dikaitkan dengan tafsiran persamaan. Untuk menjembatani hal itu,
semestimya ketika tidak ada satu teoripun yang diyakini mempunyai tingkat
kebenaran mutlak dalam hal ini, maka kata adil semestinya lebih bisa didekatkan
pada penafsiran kebebasan. Kebebasan mensyaratkan makna penghargaan atas
sebuah pilihan. Dalam kaitannya dengan konsep gender, adil semestinya dimaknai
dengan sebuah pengakuan dan toleransi yang penuh akan sebuah model konsep
gender yang diakui dan diyakini sepenuhnya oleh seseorang. Bahwa seseorang
memilih untuk menjadi seorang feminim maupun maskulin adalah sebuah

83
kebebasan individual yang tidak bisa diganggu gugat. Aplikasinya dalam dunia
olahraga, bahwa semestinya kita membebaskan semua predikat olahraga beserta
semua aktivitas didalamnya dari berbagai label gender yang melingkupinya.
Biarkan semua orang bebas melakukan pilihan bagi dirinya dengan segala bentuk
konsekuensi yang ada padanya. Misalnya saja sepakbola-senantiasa dalam wacana
umum dikaitkan dengan peran-peran maskulin. Hal ini harus dilepaskan, hilangkan
pandangan miring terhadap perempuan ketika memilihnya ataupun menghindarinya
berdasarkan konsep ideology gender yang difahaminya. Dengan demikian kiranya
kata timpang ataupun bias tidak perlu untuk muncul lagi, karena semuanya
dikembalikan pada kebebasan individu masing-masing.

Sport Marketing

Rumitnya menganalisa permasalahan sosiologis seringkali akan


menambatkan kita pada satu permasalahan besar yang seolah tidak bisa dihindarkan,
yaitu permaslahan ekonomi. Tak bisa disangkal bahwa kemenangan kapitalisme
global telah menempatkan semua lini kehidupan bermasyarakat pada satu poros
besar yaitu ekonomi. Demikian pula dengan masalah olahraga. Seolah memang
tidak terhindarkan bahwa olahraga saat ini juga sudah menjalin hubungan timbal
balik dengan dunia ekonomi. Tanpa suport ekonomi yang kuat, maka dunia
olahraga-pun terasa berat untuk bisa meningkat. Di sisi lain, olahraga juga sudah
menjadi organ ekonomi yang cukup krusial.

Olahraga dalam sebuah sistem ekonomi menempati 3 dimensi penting, yaitu:

1. sebagai komoditas
Dunia entertainment adalah sebuah dunia yang sangat menjanjikan
dengan ke-glamouran-nya. Sekian banyak ruang audisi yang dibuka saat ini
dalam dunia entertainment di Indonseia yang dibanjiri oleh peserta demi satu

84
keinginan yaitu menjadi artis. Terkenal dan banyaknya penghasilan menjadi satu
daya tarik yang seolah terlalu sulit untuk ditolak oleh siapapun.

Hal itu kiranya juga sudah merambah dunia olahraga. Sudah bukan hal
yang aneh ketika ratusan bahkan ribuan orang berjubel ngantri untuk
mendapatkan tiket pertandingan olahraga. Dan yang lebih fantastis lagi adalah
nilai kontrak yang dikantongi sejumlah atlit (contoh saja sepakbola) mencapai
pada level yang tidak pernah diduga sebelumnya, milliaran dolar. Satu hal yang
tidak diduga banyak orang mungkin, ketika kita menyaksikan sebuah
pertandingan bola di televisi, dibalik itu terjadi percaturan dan persekongkolan
bisnis yang luar biasa rumit untuk mendapatkan hak siar.

2. sebagai media
Media merupakan salah satu faktor penentu dalam sebuah sistem
marketting. Karena melalui medialah proses estetikasi barang produk akan
tercipta. Image yang terbangun melalui promo dalam ruang media akan
menentukan tingkat pemasaran.

Dalam sistem industri olahraga saat ini, selain menjadi komoditas,


olahraga juga telah menjelma menjadi sebuah media pasar yang sangat efektif.
Sekian banyak produk bermutu ditawarkan melalui, lewat, maupun dengan
olahraga. Dapat kita cermati bahwasannya hampir semua event keolahragaan di
negara kita di sponsori oleh berbagai macam produk pabrikan. Dan yang sedikit
aneh adalah justru kebanyakan produk yang sebenarnya tidak begitu sesuai
dengan dunia olahraga (sebut saja rokok). Dalam sebuah ungkapannya Coackley
menyatakan bahwa, sampai pada saat ini tidak ada media pasar yang melebihi
efektivitasnya dibandingkan olahraga. Karena olahraga merupakan media yang
lintas batas. Di beberapa negara iklan yang berkaitan dengan rokok dan
minuman keras dilarang untuk tampil di media, salah satunya televisi. Namun
ketika iklan itu numpang/ menggunakan media olahraga sebagai pirantinya, hal
itu tidak bisa ditolak lagi. Hal yang nyata adalah ketika iklan rokok dan

85
sejumlah minuman keras ditempel di mobil balap. Negara-negara yang
menyatakan larangan buat iklan produk itu tidak bisa melawannya lagi. Bahkan
tidak jarang event balap justru di gelar di negara-negara itu.

3. sebagai ruang profesi/ sebagai pasar


Dalam wacana sosiologis, memandang olahraga bukanlah semata
menjadi aktivitas fisik belaka. Namun lebih jauh olahraga adalah sebuah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, maka olahraga adalah suatu kesatuan sosial yang
didalamnya hadir sebuah masyarakat. Pada perbincangan sistem ekonomi,
olahraga saat ini sudah menjadi sebuah ruang yang menjanjikan berbagai macam
profesi bisa berkembang. Dari menjadi seorang atlet, pelatih, tukang potong
rumput, sampai pada tukang pijit. Dan bukan hanya sekedar profesi sambilan,
pada kenyatannya profesi yang muncul dan terbuka dalam dunia olahraga sudah
bisa dikatakan menjanjikan untuk menopang hidup.

Selain dikatakan sebagai ruang profesi, dunia olahraga sudah dikatakan


menjadi pasar tersendiri. Betapa tidak, berbagai macam produk olahraga dibuat
dan sirkulasinya sangat kencang untuk dilempar ke pasar olahraga. Bahkan
bukan hanya produk barang olahraga semata. Karena efektivitas media yang
digunakan dalam memasarkan produk adalah olahraga (sebut saja atlit), maka
masyarakat konsumen olahraga meresponnya dengan sangat antusias.

Kekerasan dalam Olahraga


Wajah kekerasan senantiasa terlalu akrab dengan dunia olahraga di tanah air.
Entah kenapa, namun ternyata ungkapan fair play dan sportifitas terkadang hanya
menjadi slogan semata. Bentrok antar suporter, perkelahian antar pemain, ataupun
penganiayaan wasit menjadi hal yang sangat wajar dalam berbagai pentas
keolahragaan.
Berbagai perbincangan dirajut guna menganalisis permasalahan yang ada,
namun pada kenyatannya sampai pada saat ini belum berhasil menyelesaikan
masalah. Dari berbagai sisi terjadi aksi tuding saling menyalahkan. Sang

86
penyelenggara menyalahkan pihak keamanan, pihak keamanan menyalahkan
ketidak dewasaan suporter, pihak suporter menyalahkan aturan dan sistem
pelaksanaan, dan seterusnya selayaknya lingkaran setan yang tidak ada putusnya.

Dalam perspektif sosiologis fenomena kekerasan dalam olahraga dapat


dianalisis dengan menggunakan dua perspektif teoritis.

1. Struktural fungsional: menurut perspektif teori ini kekerasan dalam dunia


olahraga terjadi karena tidak berjalanya sebuah struktur sesuai dengan fungsinya
lagi. Ketika wasit sudah tidak adil, ketika atlit sudah tidak fair, dan ketika
penonton sudah tidak tertib lagi.
2. sosial konflik; menurut pandangan teori ini bahwa kekerasan yang muncul
dalam ruang olahraga semata-mata karena peraturan yang tidak benar. Ketidak
jelasan, ketidak tegasan, serta deskriminasi peraturan yang akhirnya memicu
sebuah gagasan untuk perlu adanya sebuah perlawanan.

Olahraga dan Politik


Manusia adalah makhluk politik, demikian salah satu tesis tentang hakikat
manusia yang diungkapkan oleha salah seorang ahli. Hal ini difahami sebagai
bahwa dalam segala hal manusia pada kenyataan tidak bisa terlepas dari berbagai
macam kepantingan—sehingga senantiasa berstrategi untuk dapat mencapainya. Hal
inilah yang terkadang dibahasakan sebagai perilaku politik dalam diri manusia.
Dalam definisi kekinian, tingkah laku politis seringkali lebih difahami atau
dikaitkan dengan perilaku politik praksis. Politik praktis dimaknai sebagai sebuah
tindakan yang secara langsung ditujukan untuk menguasai, memenangkan, ataupun
mendominasi sebuah konteks. Contoh yang paling nyata dalam konsep ini adalah
perilaku politik yang dilakukan oleh para simpatisan partai di Indonesia.

Terkait dengan perilaku politik praktis di Indonesia, nampaknya tidak


terlepas pada persoalan urusan kenegaraan saja. Secara nyata terlihat bahwa perilaku
politik praktis mengimbas pada ruang-ruang yang pada semestinya justru dapat

87
dihindarkan, seperti dalam institusi pendidikan, lembaga-lembaga keberagamaan,
begitu juga dengan dunia olahraga tentu saja. Dengan jelas dapat dilihat dengan cara
lihat orang awam, bahwa saat ini lembaga-lembaga keolahragaan menjadi ruang
politik praktis yang intensitas pertentangannya dapat dikatakan cukup tinggi.
Contoh konkrit dalam fenomena kekinian adalah; kisruh dalam pencalonan ketua
umum PSSI. Nampak dengan jelas bahwa disana hampir tidak terlihat lagi motivasi
dari masing-masing personal untuk mengembangkan sepakbola secara murni,
namun terlebih mereka cenderung menggunakan PSSI sebagai wadah untuk
bertarung secara politis.

Hal yang lebih jauh bisa diperhatikan kenapa fenomena pertarungan politis
sangat lekat dengan sepakbola. Hal ini menjadi suatu hal yang lumrah dengan dapat
disaksikannya bahwa sepakbola saat ini telah menjadi olahraga massa yang
mempunyai daya magnet sangat kuat. Bahkan—di Brasil, kekuatan sepakbola
disejajarkan dengan kekuatan agama, atau dengan bahasa lain sering dikatakan
bahwa di brazil sepakbola telah menjadi sebuah agama baru. Ungkapan tersebut
dimunculkan karena pada kenyataan melalui sepakbola mampu mengikat massa
dalam sebuah tali ideologis yang merekatkan meraka dalam sebuah ikatan yang
sangat kuat. Berdasarkan hal inilah maka tidak heran jika sekian banyak langkah-
langkah politis yang dilakukan oleh sejumlah orang maupun partai dengan
melakukan pendekatan terhadap lembaga keolahragaan sepakbola. Mengingat
bahwa esensi dari kekuatan politik adalah merupakan kekuatan massa. Sebagai
contoh kongkrit adalah begitu banyaknya saat ini dana APBD yang dikucurkan oleh
seorang bupati ataupun gubernur untuk menghidupkan kesebelasan yang dimiliki
daerahnya. Terkadang besaran jumlah kucuran dana tersebut pada kisaran nominal
yang sangat fantastis dibandingkan pendanaan untuk program kegiatan yang lain.
Dari hal ini dapat ditebak bahwa ujung-ujung pengharapan yang akan didapat dari
kebijkan kepala daerah itu adalah untuk meraih jumlah suara secara gratis dari para
pendukung kesebelasan sepakbola yang didaninya.

88
Hal yang demikian yang senantiasa harus disadari oleh para praktisi maupun
akademisi keolahragaan. Bahwa seringkali olahraga cenderung lebih banyak
dimanfaatkannya dalam hubungannya dengan politik. Akibatnya nilai-nilai alamiah
dari olahraga terkadang harus tergeser karena tertimpa oleh tendensi lain yang lebih
besar-yaitu cita-cita politis dari sebagian orang ataupun golongan.

Olahraga dalam Dimensi Sosial


“Darimana anda belajar dasar moral? “ Dari Sport”, jawab Albert Camus
sastrawan Prancis pemenang hadiah nobel ini-sebelum ia mendadak mati karena
kecelakaan mobil. Dimasa kecilnya yang melarat di Aljazair, dan juga dimasa
remajanya yang penuh kenangan, Camus sangat menyukai dengan pertandingan
bola. Ia menonton dan pernah bermain menjadi penjaga gawang. Di bawah gawang
itu sepenuhnya ia terlibat dalam pertandingan, tapi sekaligus bisa sendirian untuk
mengamati dan merenungkan (Gunawan Muhammad, 1997: 79).
Sport yang di Malaysia diterjemahkan “sukan” memang lebih luas maknanya
dibandingkan sekedar olahraga. Dalam sport tidak hanya tubuh yang diolah, tapi
juga sikap. “He is a good sport”, kata orang Britania tentang seseorang yang bisa
menerima kekalahan dengan hati bersih dan berniat menang tanpa menjegal.

Lebih mendalam bagi Camus hal itu merupakan ajaran yang layak. Dan ia
belajar moralitasnya dari sport. Tapi kini orang mungkin akan mengejeknya. Sport
kini telah mengalami krisis etika. Penggunaan obat perangsang, penyuapan,
pengaruh dukun dan politik menyusup sampai ke arena pertandingan. Uang dan
kekuatan (gaib atau tak gaib) dimanfaatkan, tanpa malu. Satu tujuan pasti yang ingin
dicapai, yakni untuk kemenangan (Gunawan Muhammad, 1997: 80).

Benarkah itu keadaan kini yang tengah terjadi? Lantas sampai saat ini jargon
“Jaga Sportifitas” masih senantiasa disenandungkan dalam kancah olahraga
manapun. Homo Ludens, demikian tesis yang diungkapkan oleh Johan Huizinga
untuk memberikan gambaran pada karakteristik dasar manusia yang tertuang dalam
aktifitas bermain. Diyakini bahwa konsep “bermain” pada manusia merupakan

89
fundamen dari aktifitas olahraga pada khususnya, serta entitas karakteristik manusia
pada umumnya. Melalui homoludens, Huzinga mengungkapkan betapa banyaknya
nilai-nilai dari kebermainan manusia yang melampaui dimensi biologis, logis,
maupun estetika. Namun saat ini, nilai-nilai tersebut patut untuk kita pertanyakan
kembali keberadaannya.

Sekian banyak potret suram yang terjadi dalam dunia olahraga dapat kita
ikuti dari berbagai media yang terus berkembang. Dari kasus penganiayaan wasit,
bentrok antar suporter, pemecatan pelatih karena kekalahan, tidak fairnya proses
seleksi atlet, sampai pada konspirasi tingkat tinggi dalam pemilihan kepengurusan
organisasi olahraga. Dan semua itu justru terjadi pada saat ini dimana dikatakan
olahraga sudah masuk dalam sebuah tatanan yang bisa dibilang modern.
Industrialisasi—demikian orang biasa menyebutnya, ketika olaharaga sudah bukan
lagi sekedar aktifitas fisik yang sederhana. Lebih jauh olahraga telah menjadi
dimensi kehidupan baru dalam celah peradaban yang memuat elemen-elemen yang
kompleks seperti layaknya sebuah dapur produksi.

Sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan memang, ketika olahraga mau
tidak mau harus bersinggungan dengan berbagai elemen kehidupan social dan
menyedotnya dalam sebuah puasaran yang bernama industri. Namun yang
menjadikan pertanyaan adalah, “apakah ketika olahraga sudah dalam posisi yang
seperti itu, haruskah kehilangan nilai-nilai keluhuran dasarnya?”. Sangat disadari,
bahwa setiap mesin produksi dalam sebuah subsistem insustry, selain ia
menghadirkan barang jadi namun disisi yang lain menimbulkan banyak reduksi
berupa limbah dan polutan. Lantas bagaimana dengan industri olahraga? Apakah
lebih banyak sisi produktifnya atau jangan-jangan justru lebih banyak pada proses
reduksi nilai dan selanjutnya hanya difermentasikan menjadi limbah dan polutan
olahraga?

Di beberapa negara dan salah satunya di Indonesia, olaharaga diyakini


sebagai salah satu proses pembentukan karakter nasional/ ”National Caracter

90
Building’. Namun disisi yang lain, seringkali tidak disadari oleh semua orang
bahwa olahraga muncul sebagai ruang kontroversial yang senantiasa luput untuk
disadari. Nuansa hedonis akan kemenangan kerap kali menenggelamkan makna
terdalam dari olahraga yang semestinya harus dijaga. Sebagai bentuk keseriusan
dalam mengurusi masalah olahraga, pemerintah Indonesia mengamanatkan perihal
ini dalam undang-undang keolahragaan no.19 tahun 2004. Dalam undang-undang
tersebut dibeberkan bahwa secara struktur olahraga dibagi menjadi 3 ruang, yaitu:
olahrga prestasi; olahraga pendidikan; dan olahraga rekreasi. Namun pada
kenyataan, ketika kita mengamati fenomena yang muncul—bahwa setiap kali
perbincangan olahraga mengemuka, maka yang selalu dijadikan sandaran adalah
olahraga prestasi. Sementara yang lain seolah menjadi tidak penting. Coba kita lihat
saja bagaimana keadaan olahraga pendidikan di Indonesia. Olahraga pendidikan
yang lebih lazim dikenal dengan pendidikan jasmani sampai saat ini masih menjadi
sesuatu hal yang dianggap orang sangat tidak penting dan hanya menghabiskan
waktu saja. Begitu pula halnya dengan olahraga terapi maupun rekreasi, nasibnya
pun tidak kelihatan lebih baik. Dari sinilah kiranya kalo kita boleh membuat
praduga sementara bahwa semua permasalahan dalam dunia olahraga itu muncul.
Tatkala segala ego dan kepentingan bertarung, ketika segala cara halal ataupun tidak
digunakan, serta ketika segala situasi bisa direkayasa dan dikondisikan—hanya ada
satu tujuan utama, yaitu ”prestasi”, ”menang”. Hal tersebut lantas menenggelamkan
pendidikan jasmani.

Pendidikan jasmani tidaklagi menempati locus utama di ranah sekolah,


tergantikan dengan apa yang disebut dengan olahraga. Fenomen ini patut
diwaspadai karena telah terjadi pergeseran posisi dalam perspektif anggota
masyarakat yang dalam hal ini terwakili oleh guru pendidikan jasmani dan siswa.
Sebagaimana di ungkapkan David Kirk (2010) pada halaman pengantar buku
”Physical Education Futures” yang mengutarakan ”can we imagine a future in
which physical education in schools no longer exists?” Bila kita perhatikan dan
kemudian ditautkan dengan kenyataan saat ini, pemikiran tersebut selayaknya

91
mendapat tempat dalam perenungan kita akan esensi pendidikan jasmani. Contoh
faktualnya tatkala seorang guru penjas hendak penyampaikan materi mengenai
permainan target dalam kontruksi model pembelajaran pendekata taktis, tentu tujuan
dari TGfU (teaching games for understanding) adalah untuk menyasar ranah
kognisinya terlebih dahulu, baru kemudian ranah gerak. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, mayoritas anak akan meminta gurunya untuk segera memberikan
kesempatan pada mereka untuk berolahraga seperti sepakbola, sebab dalam benak
mereka yang diikuti adalah pelajaran olahraga, dan olahraga belumlah dikatakan
begitu manakala tidak ada aktivitas tubuh melalui bentuk-bentuk ragam olahraga
komunal seperti sepakbola. Dalam konteks tersebut anak cenderung untuk mencari
sebuah kemenangan ketimbang perubahan kebugaran dan sosialnya.

Pertanyaan yang selanjutnya hadir adalah, ”Apakah konsep prestasi/


kemenangan itu serta merta hadir bersamaan dengan hadirnya konsep olahraga,
ataupun lebih mendasar lagi, yaitu bersamaan dengan kehadiran umat manusia?
Dalam era yang serba global saat ini, tidak fair ketika kita hanya menimpalkan
kecurigaan akan terjadinya pergeseran nilai olahraga pada satu ranah saja. Patut
untuk dirunut pula jalinan-jalinan antara olahraga dengan elemen-elemen sosial lain
yang senantiasa berkembang yang bermuara pada sekolah, secara khusus pada
wilayah pendidikan jasmani sehingga dikemudian hari tidak muncul lagi
pembelokan paradigma tujuan pendidikan jasmani.

Olahraga Berbasis Komunitas


Tak pelak olahragalah, sebuah produk budaya yang saat ini ketenarannya
susah untuk dicarikan tandingannya. Keterjebakkan olahraga dalam sebuah ruang
kontroversif menjadikannya semakin intens dibicarakan orang. Sebagian orang
berdecak kagum akan keelokannya, sementara sebagian besar yang lain dengan
penuh semangat mencercanya. Bagai seorang selebritis, olahraga berhasil menyerap
ruang pro-kontra menjadi sebuah energi yang kian melambungkan kepopulerannya.
Berdasarkan fakta sejarah, olahraga merupakan entitas tertua dalam rentang
hidup manusia. Sekian banyak ahli setuju bahwa konsep homoludens/ kebermainan

92
manusia seperti apa yang disampaikan Huzinga adalah merupakan cikal bakal
olahraga. Dari berbagai bukti sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa
kebermainan manusia tersebut hadir bersamaan dengan hadirnya manusia. Untuk itu
Huizinga menyatakan bahwa entitas bermain itu lebih tua dari kebudayaan.

Dalam konteks kekinian dapat dilihat bahwasannya olahraga telah


mengalami evolusi yang demikian luar biasa. Berangkat dari sekedar aktivitas ludic
yang sederhana, olahraga saat ini telah bermetamorfosis menjadi sebuah entitas
yang sedemikian kompleksnya. Keterkaitan olahraga dengan berbagai dimensi
social yang melingkupinya, menjadikan olahraga tidak semata hanya sebagai sebuah
produk budaya, namun lebih jauh juga sudah menjadi bangunan budaya tersendiri.

Begitu banyak orang membicarakan mengenai budaya sampai terkadang


sulit untuk diahami apa sebenarnya makna dari budaya itu sendiri. Ungkapan yang
paling sering didengar adalah bahwa budaya adalah semua bentuk hasil dari budi
dan daya manusia. Namun apakah sesederhana itu pengertian dari budaya? Tentu
saja tidak—saat ini suatu hasil karya bisa diakui sebagai sebuah bentuk budaya
tatkala memenuhi beberapa prasyarat. Misalkan saja kalau mengikuti pendapat
Koentjaraningrat, bahwa suatu budaya bisa diurai dalam 7 (tujuh) unsurnya,yaitu;
system religi, system mata pencaharian, system tata pemerintahan, adat istiadat,
ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa, serta seni. Dari berbagai analisis mengenai
olahraga yang termuat di jurnal-jurnal, penelitian, ataupun buku-buku terbaru-tanpa
harus menyebut dan mengutipnya satu persatu, bisa ditarik sebuah kesimpulan
bahwa olahraga ternyata bisa terelasikan dengan semuanya. Hal ini semakin
menegaskan bahwa olahraga sudah menjelma menjadi sebuah entitas budaya.

Bentuk perwujudan olahraga yang berkembang di Indonesia saat ini dapat


dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu olahraga prestasi, olahraga pendidikan dan,
olahraga rekreasi. Hal ini diperkuat dengan di ratifikasinya undang-undang no.3
tahun 2005 tentang system keolahragaan Nasional. Namun, dengan sebuah
pengamatan yang lebih mendalam, akan terlihat sekian banyak ketimpangan yang

93
bisa didapati. Bahwa dalam penafsiran yang semestinya, pembagian ketiga bidang
olahraga tersebut tidak ditempatkan pada sebuah posisi struktur dimana
menunjukkan satu bidang lebih penting dibandingkan yang lainnya. Hal yang secara
nyata nampak adalah bahwa ketika diskusi tentang wacana olahraga digelar,
senantiasa satu bidang yang menjadi sandaran orang adalah olahraga prestasi.
Padahal, kalau mau dikaji lebih mendalam, dua bidang yang lain ruang garapannya
relative lebih luas dan menyentuh secara langsung dengan realitas kemasyarakatan.

Sekilas tergambar bahwa telah terjadi proses elitisasi dalam ruang olahraga.
Olahraga telah menjelma menjadi sebuah ruang ekslusif yang mensyaratkan
berbagai macam hal atas keterlibatannya. Mendengar kata olahraga senantiasa yang
terbayang adalah sosok citra seorang atlet. Dalam diskursus keolahragaan terbentuk
sebuah kategori dengan sendirinya berupa kriteria seseorang untuk dapat
mengikutinya. Muncul bahasa penerimaan dan penolakan terhadap diri seseorang
dalam ruang olahraga. Dan akhirnya jargon “sport for all” menjadi ungkapan yang
kosong belaka.

Dalam piramida pengembangan olahraga di Indonesia, olahraga prestasi


memang menempati posisi puncak. Konsekuensi logis kemudian yang ada
semestinya adalah sekup wilayah perbincangannya lebih sempit dan merupakan
dampak dari sebuah keberhasilan pembangunan landasan dibawahnya yang relative
menuntut perhatian pengembangan yang lebih luas. Bahwa sesuatu yang tidak logis
tatkala kecenderungan yang muncul adalah perbincangan olahraga prestasi hadir
mewakili seluruh bangunan keolahragaan. Ukuran kemenangan tim ataupun
kontingen senantiasa dijadikan dasar untuk mengadili keberhasilan ataupun
kegagalan dari sebuah institusi keolahragaan.

Membicarakan mengenai bangunan dasar dari piramida system keolahragaan


di Indonesia, bahasa lain yang bisa digunakan adalah pembicaraan mengenai
konstruk pembudayaan olahraga dalam masyarakat. Ruang inilah yang menentukan
perbincangan olahraga pada level yang selanjutnya. Semakin luas pembangunan

94
pondasi dasar pyramid akan mempunyai konsekuensi logis pula dengan semakin
luasnya ruang prestasi yang berada pada puncak pyramid. Persoalan yang muncul
kemudian adalah, lantas bagaimana proses pembudayaan itu bisa diwujudkan dalam
konteks masyarakat kita yang sementara pula sarat dengan berbagai permasalahan?
Hal inilah yang selanjutnya mencoba untuk dipaparkan dalam artikel ini.

Olahraga dalam Budaya


Secara umum para pemikir sepakat bahwa fenomena kebudayaan suatu yang
khas insani. Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dasn serba ganda dari
manusia dala alam dunia. J.W.M Bakker SJ menyimpulkan bahwa kebudayaan
adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Terlingkup di
dalamnya usaha memanusiakan bahan alam mentah serta hasilnya. Dalam bahan
alam, alam diri dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial, nilai-nilai
diidentifikasikan dan diperkembangkan sehingga sempurna.
Membudayakan alam, memanusiakan hidup, menyempurnakan hubungan
keinsanian merupakan kesatuan yang tak terpisahkan (man humanizes himself in
humanizing the world around him)(Bakker: 1992: 22). Adapun kebudayaan
Indonesia sekarang, betapa banyak pun ragam dan coraknya, adalah hasil pula dari
perkembangan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya itu terdapat banyak
sekali pengaruh dari luar, dan pengaruh tersebut membri corak dan sifatnya sendiri
yang khusus untuk semua masa. Hal itu kiranya juga sangat nampak dan bisa
disimak dalam budaya olahraga. Menurut Antoni Reid (1992:198-277), bahwa di
Asia Tenggara (termasuk Indonesia tentunya) aktivitas pemanfaatan waktu luang
(bermain=olahraga) lebih dulu berkembang. Hal ini karena didukung oleh kondisi
alam yang beriklim lunak serta makanan pokok seperti beras, ikan, serta buah-
buahan yang yang tersedia secara lebih pasti dibandingkan sebagian besar belahan
dunia lainnya. Untuk itu, masyarakat Asia Tenggara mempunyai keuntungan
alamiah untuk terbebas dari perjuangan terus menerus untuk bertahan hidup.
Beberapa aktivitas olahraga yang muncul pada waktu itu diantaranya adalah
menunggang kuda atau gajah, sepak raga, perahu, dsb. Sekian banyak bentuk

95
olahraga dalam kemasan budaya pada waktu dulu dimainkan oleh masyarakat
Indonesia dari segala lapisan.

Berbeda hal nampaknya dengan yang terjadi saat ini. Olahraga-olahraga


lokal yang dulunya bisa mewakili budaya rakyat saat ini sudah tidak banyak
dimainkan lagi. Sekian banyak olahraga yang datangnya dari luar pada kenyataan
lebih banyak disenangi dan dimainkan, seperti bolavoli, basket, golf, tenis dsb. Dari
hal inilah dapat disimak dengan jelas proses eksklusifikasi olahraga dimulai.
Karena dari olahraga-olahraga itu dengan jelas mengindikasikan pemenuhan
beberapa persyaratan untuk dapat mengikutinya. Contohnya, bolavoli tentunya
akan lebih akrab diterima pada orang-orang dengan batasan tinggi badan, begitu
pula dengan basketball. Sementara seperti tenis dan golf tentunya akan mewakili
beberapa kelas sosial yang bisa dibilang sebagai ”the have” saja yang bisa
mengikutinya. Ada semacam proses keterasingan kebudayaan yang dialami oleh
masyarakat indonesia dalam fenomena ini. Posisi masyarakat turun dari sebagai
pelaku dan pencipta budaya olahraga menjadi sekedar resipien kebudayaan (Fauzi
Rizal dan M. Rusli Karim, 1991: 15).

Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Maslow


Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang
membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting
hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau
didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu
dipenuhi. Kebutuhan Maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting
dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan
nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada
tingkat di bawahnya. Lima (5) kebutuhan dasar Maslow disusun berdasarkan
kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis

96
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan
kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain
sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa
sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari
lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan
bakat dan minatnya (Komunitas Perpustakaan Online, 2006:1)

Mencermati hirarki kebutuhan Maslow di atas dan mencoba dikaitkan dengan


realitas masyarakat Indonesia, maka kiranya tidak perlu harus memerlukan rujukan
yang terlalu banyak dapat segera untuk ditentukan bahwasannya masyarakat Indonesia
saat ini masih berada pada level pertama. Setiap hari dari media dapat disimak proses
penggusuran dan aksi perlawanan sebagai sebuah wujud permasalahan perumahan yang
belum tuntas di Indonesia. Di sisi lain, sering pula kita saksikan bagaimana sekian ribu
orang berebut dalam pembagian sembako maupun bantuan penyokong kehidupan yang
lain. Hal ini semakin mempertegas bahwa permasalahan pangan yang juga merupakan
kebutuhan paling dasar belum berhasil dilewati oleh bangsa kita.

Strategi Pembudayaan Olahraga


Melihat beberapa penjelasan mengenai masyarakat Indonesia beserta konstruk
budaya yang berkembang di dalamnya, nampaknya ada beberapa langkah yang bisa
diambil dalam membangun kebudayaan olahraga di Indoneisa, diantaranya adalah:
1. Olahraga harus mempunyai efek ekonomis bagi rakyat

97
Mencoba maembagun sesuatu dalam konstruksi kerakyatan, maka kiranya tidak bisa
lepas dari analisis kondisi rakyat itu sendiri. Bahwa secara jelas di atas disimpulkan
bahwa masyarakat Indonesia masih berada pada posisi terendah dari piramida
kebutuhan, maka dalam upaya melakukan pengembangan budaya olahraga juga
harus disesuaikan dengan hal itu. Sebuah upaya yang sia-sia ketika menawarkan
aktivitas olahraga kepada masyarakat yang masih harus bergelut untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal itu hanya akan menjadi masalah baru. Sementara olahraga
hadir semestinya justru sebagai ruang baru yang mampu membantu menyelesaikan
masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Langkah kongkrit untuk hal ini bisa
ditempuh melalui jalan diantaranya adalah: 1) pembudayaan event-event lokal;
adanya event olahraga lokal yang digelar tentunya akan berfungsi pada
pembentukan konsentrasi massa. Dalam sebuah konsentrasi massa yang massif
maka berbagai kebutuhan akan muncul. Hal itu akan memicu upaya pemenuhan
yang berimbas menggerakkan sebuah konsep roda ekonomi baru; 2) pembangunan
industri peralatan olahraga berbasis kerakyatan. Diketahui bersama bahwa
sesederhana apapun aktivitas olahraga, disana memerlukan berbagai perlengkapan.
Kalau hal itu bisa dirintis pemenuhannya dari produktivitas masyarakat local
tentunya akan menjadi sumber pendapatan yang cukup potensialbagi masyarakat.
2. Olahraga harus dikembangkan berangkat dari akar budaya masyarakat
Berbagai bentuk olahraga tentunya berkembang berangkat dari cirikhas
kemasyarakatan dimana olahraga itu dilahirkan. Ukuran net dan ring bolabasket
tentunya sudah barang tentu merupakan penyesuaian dengan karakter fisik orang-
orang kaukasia dimana olahraga itu digagas dan dikembangkan untuk pertama
kalinya. Kalau mau ditelusur debih lanjut, sebenarnya olahraga yang khas dilahirkan
oleh ras dikawasan Asia juga sangat beragam. Seandainya olahraga ini yang dipilih
sebagai pemicu dalam rangka pemberdayaan olahraga tentunya akan lebih efektif,
karena akan lebih memungkinkan keterlibatan bagi semua unsur rakyat.
3. Pembangunan infrastruktur olahraga yang inklusif
Saat ini, kalau kita melihat berbagai fasilitas olahraga yang dibangun senantiasa
berbasis pada kondisi masyarakat tertentu. Misalnya saja di kampus-kampus,

98
perumahan, lingkungan perkantoran, serta beberapa daerah wisata. Hal ini seolah
memberikan batasan tegas terhadap siapa yang yang berhak dan tidak berhak untuk
melakukan aktivitas olahraga. Sementara kalau membicarakan olahraga, sebenarnya
potensi ke Indonesiaan justru banyak yang tersebar di pinggiran (masyarakat
bawah). Seandainya diberikan akses bagi masyarakat secara luas untuk bisa
melakukan olahraga dengan didukung dengan fasilitas yang memadai niscaya tidak
pernah akan muncul kata-kata “dari 200 juta lebih masyarakat Indonesia, mencari 11
orang pemain bola saja kok susah”.

99
BAB V
KONTEKSTUALISASI PENDIDIKAN
DALAM PENDIDIKAN JASMANI

Hak dan Kewajiban Pendidikan


Dewasa ini, sekolah-sekolah tampil dalam persaingan untuk menyediakan
pendidikan bermutu. Beberapa tahun terkahir, kita menyaksikan munculnya sekolah-
sekolah yang mengusung predikat tertentu. Sekolah berpredikat demikianlah yang
dianggap paling bermutu. Banyak orang tua merasa bangga bila menyekolahkan
anaknya di sana.
Selain itu, muncul gejala lain. Orang tua merasa cukup dengan menitipkan
anaknya di sekolah yang dianggap bermutu itu. Tugas orang tua menjadi tak lain
daripada melunasi segala kewajiban administrasi. Lebih parah lagi jika orangtua
menjadi super-sibuk sehingga kurang memiliki waktu untuk ada bersama anak-anaknya,
menjadi pendamping dalam proses belajar mereka. Sekolah menjadi satu-satunya pihak
yang dipercaya untuk menentukan perkembangan anak. Tak heran bila guru
mendapatkan banyak tuntutan dari pihak orang tua murid. Selain dari orang tua, guru
juga sering mendapat tekanan dari Negara. Pergantian kurikulum, misalnya, tak pelak
lagi menuai banyak persoalan bagi guru.

Kita lantas bertanya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab untuk
pendidikan anak? Apakah sekolah yang terwakili oleh guru? Ataukah pemerintah?
Orang tua? Di zaman ini, guru sering dianggap sebagai aktor intelektual di balik
pendidikan. Guru adalah segala-galanya begitu tafsiran khalayak awam. Guru harus
menjalankan banyak tugas dalam waktu yang bersamaan, baik secara tugas
administrative ataupun tugas pengajaran. Menjadi terlupakan ketika dari kedua tugas
tersebut, guru melaksanakan tugas memperbarui wawasan dan keterampilan
mengajarnya. Harapan yang terlalu tinggi ini bisa membuat guru terpuruk karena tidak
mampu memenuhi ekspektasi yang tinggi. Dampaknya adalah terjadinya mistifikasi

100
profesi guru. Mistifikasi dalam hal ini dipahami sebagai euphoria berlebihan dalam
mengidealkan berfungsinya peranan guru dalam masyarakat. Mistifikasi membuat guru
dipaksa menjalankan sejumlah peran. Ketika ada kasus penculikan siswa di sekolah,
tugas guru adalah menjadi satpam. Jika ada anak bermasalah di rumah, guru harus
tampil sebagai psikolog dan orang tua yang memperhatikan perkembangan anak
didiknya. Bila terjadi aksi kekerasan di sekolah dan di luar sekolah, gurulah yang paling
bertanggungjawab atas lahirnya tragedi tersebut. Menjadi sebuah klimaks tatkala ada
siswa yang tidak lulus ujian nasional, guru menjadi sosok yang paling bertanggung
jawab.

Terkait hal ini, prestasi sekolah pun sering ditakar dengan seberapa besar
persentasi kelulusan. Sekolah dengan angka kelulusan rendah diidentikkan dengan
sekolah yang tidak bermutu. Fakta ini menyeruakkan kenyataan bahwa bagaimana
pendidikan di pojokkan sebagai peran yang dimainkan oleh pihak tertentu saja.
Karenanya, kita perlu mencari apa sebenarnya hakikat pendidikan. Apakah pendidikan
sama dengan pengajaran di sekolah sehingga segala-galanya harus diperankan oleh
guru? Untuk itulah perlu kiranya digali mengenai pendidikan sebagai aktivitas
fundamental.

Pendidikan sebagai Aktivitas Fundamental


Pendidikan sebagai sebuah fenomena manusiawi. Fenomena, dalam Bahasa
Yunani phainomenon. Sebagai sebuah fenomena, pendidikan menjadi realitas yang
menampakkan diri. Dalam mengkajinya, perlu kiranya membahasakan fenomena
macam apa pendidikan itu. Kita bisa berkata bahwa seorang ibu sedang menjemput atau
mandi. Akan tetapi, kita tidak mungkin berkata bahwa seseorang sedang mendidik. Jika
kita bertanya kepada seorang anak: sedang apakah ibu? Tidak mungkin kita akan tidak
pernah mendapat jawaban ibu sedang mendidik. Kita bisa menunjuk kegiatan seperti
mandi, makan, minum, meloncat dan tertawa. Tetapi bisakah kita menunjuk satu
perbuatan tertentu yang begitu saja kita sebut mendidik. Kiranya jelas, tidak ada satu
pun perbuatan yang an sich sudah berupa pendidikan. Akan tetapi semua perbuatan bisa
menjadi pendidikan, karena pendidikan tidak dibatasi dengan perbuatan ini atau itu. Jika

101
demikian, apakah kriteria untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kegiatan pendidik.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya pendidikan diberi arti tertentu, yaitu
membawa anak ke taraf insani. Akan tetapi sampai sejauh ini, kita tidak menemukan
suatu perbuatanyang dengan sendirinya, menurut strukturnya sendiri, sudah merupakan
kegiatan mendidik. Karena itu mendidik serupa dengan perbuatan manusia lain yang
sifatnya mendalam, bersifat fundamental karena menyentuh aspek mendasar dari
manusia, baik aspek logika, afeksi, dan psikomotor. Asumsi lainnya adalah perbuatan
tersebut mampu menyentuh akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup
kita. Perbuatan itu keluar dari sikap fundamental juga. Sikap ini adalah kesanggupan,
kemauan dasar, kesiap-sediaan untuk melaksanakan moral atau kesusilaan dalam setiap
perbuatan. Semua sikap ini mengubah, menentukan, membangun hidup manusia, baik
hidupnya sendiri maupun sesame. Pendidikan sebagai aktivitas fundamental yang
menjelma dalam berbagai bentuk tindakan particular yang tak terhitung jumlahnya itu
memiliki arah dan tujuan utama yakni mengantar manusia muda ke taraf insani. Di sini
pendidikan dimaknai sebagai kompleks perbuatan yang bersifat mendidik. Berbagai
perbuatan tersebut dapat terangkum dalam dua kata, hominisasi dan humanisasi.

Pendidikan sebagai Hominisasi dan Humanisasi


Hominisasi adalah penjadian manusia. Hominisasi berlangsung pada setiap
manusia dari lahir hingga akhir hidupnya. Hominisasi ini pertama-tama berarti
perkembagan biologis. Gerak menjadi manusia sejalan dengan perkembangan biologis.
Janin dalam kandiungan ibu tentu saja bisa kita pandang sebagai subjek. Namun tetap
tidak bisa diingkari bahwa di sana janin mengalami proses penjadian sehingga pada
saatnya mendapat bentuk manusia dalam proporsi kecil dan akhirnya lahir sebagai bayi.
Tindakan yang manusiawi tidak begitu saja muncul segera setelah manusia dilahirkan.
Setelah berupa bayi, manusia baru itu, meskipun sungguh-sungguh manusia, belum bisa
bertindak selayaknya manusia. Dia bertumbuh, berproses, dan hanya dengan lambat
laun dia bisa sampai ke kemanusiannya. Artinya, menjadi manusia selalu merupakan
hasil dari sebuah proses belajar. Hal ini terjadi lewat sosialisasi dan interaksi yang
pertama-tama berlangsung dalam keluarga.

102
Secara bertahap, kebertubuhan manusia perlu dimengerti dalam keterkaitan yang
erat dengan aspek psikologisnya. Manusia tidak kita dekati melulu sebagai makhluk
biologis. Manusia adalah seorang pribadi. Dengan demikian hominisasi sebetulnya
mengacu pada perkembangan biologis dan psikologis manusia. Hominisasi mengantar
manusia ke tingkat minimal. Hominisasi sebagai perkembangan biologis dan psikologis
terkait erat dengan humanisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Pada basisnya tidak
ada hominisasi tanpa humanisasi. Humanisasi menunjuk pada perkembangan yang lebih
tinggi. Humanisasi adalah tingkat kebudayaan yang (lebih) tinggi. Disini, manusia
mengangkat alam menjadi alam manusiawi.

Humanisasi sebagai pemanusiaan kultural memiliki empat dimensi. Pertama,


dimensi ekonomis. Manusia terlibat dalam mengolah materi atau barang-barang agar
berguna baginya. Ia mengolah materi yang terserak dan terhampar di alam dan
menjadikannya alat, sesuatu yang bisa digunakan. Kedua, dimensi teknik. Manusia
memanfaatkan potensi yang ada pada barang-barang itu. Disini, dia bekerja dengan cara
mengikuti hukum alam. Kesibukan manusia dalam hal ini jika dikembangkan akan
menjadi apa yang dipahami oleh khalayak sebagai ilmu teknik. Hasil pekerjaan manusia
pada aspek ini disebut barang teknik. Ketiga, dimensi kebudayaan dalam arti sempit,
yaitu ekspresi diri, rasa, cinta, dan jiwa manusia saat mengolah dan mengangkat alam.
Ekspresi paling dominan di sini adalah penggunaan budi untuk mengolah dunia materi.
Keempat, dimensi civilization atau peradapan sebagai proses mempersantun ekspresi
dalam budi bahasa dan ungkapan yang berkeadaban. Dalam dan dengan bagian
kebudayaan ini manusia mencari segala yang halus, enak, lincah, dan licin, sehingga
hidup meluncur degan lancarnya.

Bagaimana peran anak dalam pendidikan sebagai upaya membawa manusia


muda ke taraf insani itu? Apakah ia pasif dan menjadi sasaran belaka? Proses
pemanusian itu, demikian kita sebut terjadi dari pihak pendidik maupun pihak anak.
Pendidikan memanusiakan, jadi aktivitasnta bisa kita sebut pemanusiaan. Anak didik
memanusia, jadi inipun pemanusiaan. Pendidik memanusiakan, dan anak didik
memanusiakan diri. Keduanya mengadakan pemanusiaan. Proses ini mengantar anak

103
untuk bisa memanusia sendiri sebagai manusia purnawan. Akhirnya jelas, anak didik
tidaklah pasif. Ia tidak menjadi sasaran belaka dari perbuatan mendidik. Sampai di titik
ini, kita telah mendapat gambaran dasar perbuatan mendidik. Hal yang ingin dicapai
dalam perbuatan mendidik, apapun bentuk partikularnya, adalah pemanusiaan manusia
muda. Gambaran pemanusian manusia muda itu tidak lain adalah hominisasi dan
humanisasi.

Memanusiakan Manusia Muda dan Pengembang Tanggung Jawab


Pendidikan sebagai aktivitas fundamental telah menyadarkan kita bagaimana
setiap tindakan memiliki implikasi didaktis. Siapa pun dia, lewat tindakannya entah
sadar atau tidak, dapat mengambil bagian dalam actus mendidik. Semua tindakan dapat
menjadi tindakan mendidik. Dalam konteks keguruan, yang hingga saat ini terjadi
mistifikasi profesi guru, memperlihatkan bagaimana peran mendidik menjadi tugas guru
semata. Guru dituntut menjadi manusia setengah dewa untuk memenuhi segudang
tuntutan. Tuntutan itu datang baik dari orang tua maupun Negara. Pilihan menjadi guru
tak ubahnya menjadi actor rekaan dalam film-film yang siap menjadi penyelesai
terhadap segapa persoalan. Lewat teorema hominisasi dan humanisasi nampak
gamblang bahwa pendidikan sebenarnya bukan perkara gampang. Pendidikan adalah
sebuah tugas besar yang terlampau berat bila diletakkan hanya pada pundak guru.

Orang Tua
Kelahiran secara fisik sebagi proses biologis saja tidak mampu mengantar
manusia menjalankan kemanusiannya. Manusia muda yang dilahirkan secara fisik itu
perlu mengalami kelahiran secara rohani. Proses ini lebih lama, lebih penting, dan lebih
sulit. Kelahiran secara rohani mengantar manusia muda sedikit demi sedikit sehingga
patut disebut pribadi. Dengan demikian, proses ini mengantar manusia untuk memiliki
kepribadian. Mendidik adalah hak dan kewajiban orang tua. Sebab dengan orang tuanya
si anak merupakan kesatuan yang dibawa oleh kodrat sendiri. Si anak merupakan
kontinuasi dari hidup orang tuanya. Karena itu, orang tualah yang berhak dan wajib
mengisi hidup muda itu sehingga sungguh-sungguh merupakan kontinuasi, atau jika

104
mungkin penyempurnaan yang lebih lanjut. Hak dan kewajiban ini adalah bawaan dari
kodrat, tidak boleh dicabut oleh siapapun juga.
Karena itu, pendidikan pertama-tama berlangsung dalam keluarga. Setiap
tindakan dalam keluarga memiliki implikasi edukatif baik secara positif maupun
negatif. Karena pendidikan pertama-tama berlangsung dalam keluarga-keluarga, maka
sebetulnya masyarakat, yang terbentuk dari unit-unit terkecil bernama keluarga,
memiliki tanggung jawab yang utama dalam menjalankannya. Masyarakat adalah
sekolah kehidupan. Setiap komponen di dalamnya mengemban tugas mendidik. Apapun
yang dilakukan sebagai anggota masyarakat yang sarat dengan praktik kekerasan, terror,
main hakim sendiri, penindasan terhadap minoritas, penggunaan obat-obatan terlarang,
dan sebagainya. Lingkungan dalam kondisi demikian tentu saja tidak menjadi atmosfer
yang kondusif bagi pendidikan. Enam jam anak belajar di sekolah, selebihnya ia belajar
di tengah masyarakat. Di sekolah, anak diajari untuk tidak melakukan kekerasan.
Menjadi kontras sewaktu anak ke luar dari sekolah ia menyaksikan kekacauan yang
dilakukan aparat keamanan. Di televisi ia menyaksikan berita tawuran antar warga dan
pelajar. Lantas saat temannya yang lain melakukan kesalahan, dia bertindak main hakim
sendiri. Ia merasa harus memukul temannya hingga babak belur sebagaimana sering
dilihatnya dalam masyarakat.

Negara

Negara memiliki peran untuk mengakui, melindungi, dan membantu


pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua (hak dan kewajiban mendidik anak). Hak dan
kewajiban itu sangat fundamental. Keduanya ada pada level yang sama dengan hak-hak
kemerdekaan, berpikir bebas, beragama menurut keyakinan sendiri. Segala bentuk
pengabaian atas hak tersebut merupakan penindasan kemanusian, dan perkosaan
demokrasi. Di pihak negara, kewajiban-kewajiban itu jangan dipandang sebagai beban.
Sebab isi kewajiban tersebut adalah juga kepentingan negara, bahkan kepentingan yang
primer, karena perkembangan negara tergantung dari adanya pendidikan dan pengajaran
yang baik. Dengan demikian, harus diakui bahwa membangun sebuah bangsa yang kuat

105
mesti sejalan dengan menguatkan fondasi dasarnya, yakni pendidikan. Melalui
pendidikan, negara menyiapkan manusia muda untuk menjaga tenaga yang cakap untuk
ikut serta membangun kehidupan negara.

Sekolah
Konsep peletakan tugas negara dengan tekanan pada upaya melindungi hak dan
kewajiban utama melindungi hak dan kewajiban utama orang tua sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab untuk pendidikan. Dalam hal ini, negara melaksanakan
tugasnya mengenai pendidikan dengan memperkembangkan pengajaran yang baik.
Negara menyiapkan sarana dan prasarana serta tenaga guru yang memadai dan
kompeten demi proses pengajaran. Di sinilah peran sekolah sebagai wadah
pengejawantahan tugas negara dalam mengembangkan pengajaran. Sekolah tampil
sebagai entitas yang mengemban fungsi pengajaran. Lantas apakah pengajaran sama
sekali terpisah dari pendidikan?
Penegasan bahwa pendidikan mesti disertai pengajaran adalah krusial. Keduanya
tidak dapat dipisahkan. Sekolah tidak menjalankan fungsi pengajaran tanpa dimensi
pendidikan meskipun harus disadari bahwa pendidikan mendahului pengajaran. Karena
itu, tidak tepat menarik kesimpulan bahwa negara, lewat sekolah formal, menjalankan
fungsi pengajaran semata-mata. Dengan memberi pengajaran, negara (melalui sekolah)
dengan sendirinya juga turut serta memberi pendidikan.

Mistifikasi Profesi Guru


Fenomena mistifikasi profesi guru di satu sisi memperlihatkan tuntutan yang
berlebihan bahkan peletakan tanggung jawab sebesar-besarnya kepada guru untuk tugas
mendidik. Pendidikan begitu saja disamakan dengan pengajaran di sekolah sehingga
menjadi tugas guru semata-mata. Hal ini telah kita tolak dengan mengacu pada
pemikiran tentang orang tua sebagai yang paling berhak dan memiliki kewajiban utama
dalam mendidik. Hak dan kewajiban itu dilindungi negara. Di sisi lain, mistifikasi
profesi guru memperlihatkan optimism dan harapan masyarakat dan negara akan
keluhuran profesi guru. Salah satu hal yang bisa kita simpulkan ialah bahwa

106
bagaimanapun juga pendidikan guru sangat penting, sebab ia akan menjalankan fungsi
pengajaran yang tidak terpisahkan dari pendidikan. Calon guru mesti mengenyam
pendidikan khusus agar bisa menjalankan peran itu secara optimal. Guru mesti memiliki
dan memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi tertentu. Kesadaran serupa menggaris
bawahi pentingnya pendidikan guru, khususnya guru pendidikan jasmani. Karena, guru
pendidikan jasmani memiliki dualisme dalam menyasar aspek ragawi dan rohani dari
manusia muda yang terwakili oleh anak didik dalam jenjang sekolah. Pendidikan
khusus untuk calon guru diperlukan? Ada dua alasan yang melandasinya. Pertama,
pendidikan di universitas tidak dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga pengajar,
melainkan untuk menghasilkan ahli pengetahuan. Lulusan universitas umumnya tidak
dibekali dengan sikap, semangat, dam keterampilan pedagogis-didaktis yang penting
dimiliki oleh seorang tenaga pengajar atau calon guru. Kedua, perlunya pendidikan
guru, khususnya guru sekolah menengah, didasari kebutuhan pentingnya menyediakan
tenaga pendidik yang mampu mendampingi mereka dalam melalui masa mudanya
dengan beragam bekal edukasi dan kultur yang beradab. Hal ini penting pada masa
genting mereka menghadapi perubahan sosial masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Hal ini mendesak untuk
disadari saat ini ketika pemahaman tentang pendidikan cenderung direduksi kepada
pengajaran dan bahkan latihan kecakapan untuk menguasai keterampilan tertentu.
Globalisasi ekonomi saat ini menjadi factor yang besar pengaruhnya dalam hal ini.
Globalisasi ekonomi membawa dampak besar bagi pendidikan formal di sekolah-
sekolah. Di sini godaan untuk terjerumus dalam upaya memenuhi tuntutan ekonomi
pasar sangat besar. Anak mengenyam pendidikan di sekolah tertentu dengan harapan
kelak bisa laku di pasar kerja. Pertimbangan ini tentu saja sah. Akan tetapi, manusia
muda tidak hanya diarahkan untuk memiliki keterampilan agar laku di pasar kerja,
melainkan juga supaya menjadi semakin manusiawi. Karena itu, sekolah, dalam hal ini
guru, perlu memiliki kesadaran untuk membentuk konstruksi pengajaran yang tidak
pragmatis belaka tetapi harus inkulturatif dan progresif.

107
Terkait mistifikasi profesi guru, orang tualah yang pertama-tama mengemban
tugas mendidik, bukan guru. Mendidik pertama-tama adalah hak dan kewajiban orang
tua yang dilindungi negara. Guru mengambil bagian dalam tugas itu sebagai
perpanjangan tangan orang tua dan negara. Akan tetapi, kini kita menyaksikan
bagaimana dominasi negara nyaris absolut dalam hal pendidikan. Ada pergeseran
bahwa pendidikan adalah pertama-tama hak dan kewajiban negara. Pendidikan sebagai
aktivitas fundamental juga penting untuk disadari saat ini. Siapapun, melalui
tindakannya, entah secara sadar atau tidak, mengambil bagian dalam tugas mendidik.
Paparan negatif ragam peristiwa criminal di masyarakat kita merupakan input yang
sempurna bagi pendidikan anak Indonesia. Sebab, pendidikan sebagai aktivitas
fundamental meresapi segala tindakan. Ia tidak terikat pada suatu bentuk particular.
Karena itu, pendidikan sebetulnya tugas setiap anggota masyarakat. Masyarakat itu
sendiri merupakan sekolah kehidupan. Masyarakat, terbentuk dari unit terkecil yakni
keluarga, bertanggung jawab dalam proses pemanusian manusia. Dengan demikian, ada
asumsi bahwa kekacauan yang terjadi di kalangan pelajar tak lain adalah ceminan
kekacauan dalam masyarakat. Jika sampai pada titik ini ada yang memojokkan guru
karena kekacauan dan kemerosotan di kalangan kaum muda, perlu disadari bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah tugas setiap anggota masyarakat. Pemanusian manusia
muda adalah tugas orang tua, guru, pemerintah, seluruh anggota masyarakat dan juga
anak itu sendiri yang terus dimanusiakan dan juga memanusiakan dirinya. Tidak sulit
untuk menjadikan manusia cerdas, berpredikat cemerlang dalam akademis, namun jauh
di atasnya persoalan moral menjadi topik utama dalam pendidikan.

Konteks Sekolah
Sekolah secara umum diartikan sebagai suatu institusi yang diperuntukkan bagi
proses pengajaran, tempat belajar, atau bahkan sebagai tempat bagi individu atau
kelompok dalam berbagi pemahaman dan ide. Kinerja guru akan sangat dipengaruhi
dengan bagaimana guru tersebut menerima dan mengartikulasikan kondisi dari
lingkungan kerjanya.

108
Faktor-faktor kontekstual seperti karakteristik dari komunitas sekolah, kondisi
fisik dan demografi letak sekolah, organisasi dan budaya, siswa serta rekan sejawat
memberikan sentuhan yang berbeda. Kesemuanya saling berhubungan dan berpengaruh
satu dengan lainnya, memberikan kontribusi dengan caranya masing-masing yang
bermuara pada proses pengajaran dan belajar dalam bingkai lingkungan sekolah.

Ragam faktor kontekstual di atas akan membantu guru dalam menunjukkan


kinerjanya serta meningkatkan peluang siswa untuk dapat belajar secara efektif dengan
membangun kondisi positif. Dalam beberapa kasus tertentu, guru memiliki kekuatan
untuk mendominasi dan merubah lingkungan kerjanya, membuatnya menjadi
lingkungan yang memuaskan dan menguntungkan untuk mengajar dan belajar.

Perspektif Pendidikan jasmani di Sekolah


Dewasa ini sekolah diartikan sebagai institusi pembelajaran tempat bagi guru
untuk mededikasikan kemampuan terbaik dalam mengajar para anak didiknya. Sebelum
sampai kepada paparan mengenai pendidikan jasmani di sekolah, ada baiknya menelaah
kembali makna dari pembelajaran dan pengajaran. Pendidikan, yang diambil dari kata
Latin e-ducare, arti sejatinya adalah “menggiring keluar”. Apa yang digiring ke luar?
Tak lain adalah diri atau segenap potensi pembelajar itu sendiri. Dan, pendidikan atau
proses pembelajar itu sendiri merupakan proses informal, sehingga taka da dan tidak
mungkin ada pendidikan formal. Yang bersifat formal adalah pengajaran, yakni proses
transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan “mengeluarkan” potensi
intelektualitas dari dalam diri manusia. Akan tetapi intelektualitas dan pengetahuan itu
sendiri belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Masih ada berbagai potensi diri
lainnya yang tidak dapat dikeluarkan lewat proses pengajaran, tetapi hanya dapat
dilakukan lewat proses pembelajaran dan pelatihan. Lebih lanjut, semisal budi pekerti
dan pembentukan karakter yang memiliki sifat-sifat seperti integritas, kerendahan hati,
tenggang rasa, menahan diri, kesetiaan, keadilan, kesabaran, tidak dapat dan tidak
mungkin dilakukan lewat pengajaran. Pengajaran lebih kepada tataran teori, sementara
pendidikan itu sepenuhnya menyangkut potensi. Pengajaran mempersoalkan belajar
tentang, sementara pembelajaran menyoal belajar menjadi. Basis logika inilah yang

109
akan membawa pendidikan jasmani menjadi lebih mendalam, hal ini mendasari konten
kognisi, perilaku, dan gerak dari anak sebagai subjek utama dalam pendidikan jasmani.

Model Instruksional dalam Pendidikan jasmani


Sebelum masuk pada kajian mengenai model instruksional yang saat ini ada
dalam pendidikan jasmani, ada baiknya kita menengok pada tujuan Penjas. Seturut apa
yang tertera dalam Hetherington’s landmark paper, education of the physical (physical
training) to education through the physical (PE) bahwa esensi utama pendidikan
jasmani pada empat tujuan besar yang mengusung semangat developmentalisme, yakni:

1. Organic education. Perkembangan pada otot dan tulang.


2. Psychomotor education. Perkembangan keterampilan gerak.
3. Character education. Perkembangan moral, sosial, dan karakter pribadi.
Intellectual education.
4. The development of cognitive dengan berpusat pada pengembangan kognisi.

Paparan di atas menunjukkan satu dari sekian akar tujuan semangat pendidikan jasmani
di sekolah, baik pada tingkat dasar, menengah pertama dan atas. Tak pelak lagi untuk
mencapainya di butuhkan kerja keras dan upaya pembaruan pengetahuan-keterampilan
dari guru pendidikan jasmani agar mampu memenuhi ekspektasi yang dibebankan
kepadanya. Selanjutnya untuk menggapai tujuan yang telah disampaikan di atas, perlu
kiranya konseptor dan pelaksana utama yakni guru mengetahui ragam cara mengajar
dan mendidik siswanya, sehingga pusat kajian utama yang menjadi tujuan dapat
terpenuhi.

Guru membutuhkan metode yang sistematis namun konstrukif untuk mengajar.


Satu pendekatan yang telah mengalami evolusi adalah model instruksional pendidikan
jasmani yang dikembangkan oleh Michael W. Metzler, seorang pakar dan ahli Penjas
kenamaan dari Georgio State University, Amerika Serikat. Ia memperkenalkan tentang
8 model instruksional dalam pendidikan jasmani. Kedelapan pendekatan ini dinamakan

110
model. Model merupakan konstruksi pengajaran yang mencakup keluasan cakupan.
Dianalogikan sebagai sebuah cetak biru pembelajaran yang memuat:

1. Teori dan rasional

2. Asumsi mengenai pembelajaran

3. Tema dasar

4. Domain belajar dan domain interaksi

5. Syarat bagi perkembangan siswa

6. Validasi model (Metzler, 2005)

Nampak jelas bahwa detail yang ada pada sebuah model pembelajaran akan
memberikan tawaran yang lebih mendalam, karena guru ketika mengadopsi model
tersebut sekaligus akan mampu menganalisa kebutuhan siswanya. Jadi dalam satu kali
tatap muka, sangat dimungkinkan akan muncul lebih dari satu model. Sebagai ilustrasi,
model pendekatan taktis memiliki fokus utama pada pengembangan ranah kognisi,
selanjutnya ranah psikomotor menjadi target kedua yang diikuti oleh ranah afeksi.
Sebaliknya, model pengajaran personal dan sosial atau yang disebut dengan TPSR
memberikan kunci pertama pada wilayah afeksi yang diikuti oleh ranah psikomotor.

Sejak diperkenalkannya konsep model instruksional, model ini telah berkembang begitu
pesat. Fenomena bahwa anak lebih menyukai bermain ketimbang berada pada
lingkungan pembelajaran tradisional sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Johan
Huzinga dalam tesis homo ludensnya bahwa manusia adalah makhluk bermain. Hal
inilah yang mendorong lahirnya pembelajaran pendekatan taktik yang diperkenalkan
oleh Bunker and Thorpe pada tahun 1982 di Inggris. Pembelajaran tersebut adalah
sebuah medium untuk mengaktualisasikan pengajaran dan pembelajaran permainan.
Pembelajaran pendekatan taktik sangat mengutaman peran guru sebagai fasilitator dan
peran siswa untuk aktif dan terlibat dalam proses pembelajaran. Pembelajaran
pendekatan taktik menitikberatkan pada sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa

111
dan permainan untuk pembelajaran permainan yang berkaitan dengan olahraga yang
kuat berhubungan dengan pendekatan konstruktivisme pada pembelajaran.

Model TGfU Versi Orisinil


Model pembelajaran pendekatan taktik atau yang dikenal dengan Tactical
Approach kemudian dijelaskan melalui istilah yang difamiliarkan dengan Teaching
Games for Understanding (TGfU). Pendekatan ini sejak diperkenalkan tahun 1982
sontak menggeser pengajaran permainan dari sebuah pendekatan berbasis
perkembangan teknik atau konten dengan materi ajar yang sangat terstruktur ke
pendekatan yang lebih berbasis pada siswa yang berhubungan dengan taktik dan
kemampuan dalam konteks permainan.
Filosofi utama dari pendekatan taktik adalah agar siswa dapat menjadi pemain
yang terampil. Aspek kunci berikutnya yakni desain permainan yang terstruktur dengan
baik dimana siswa perlu membuat keputusan untuk mendapatkan pemahaman mereka
tentang permainan. Berikut adalah model asli dari pendekatan taktik (Linda dan Griffin,
2005).

1. Permainan

2. Apresiasi 6. Penampilan
Permainan
Siswa

5. Eksekusi
3. Kesadaran
keterampilan
Taktik

4. Membuat Keputusan yang tepat

Apa yang Bagaimana


dilakukan? melakukannya?

Gambar 6. Model Awal TGfU

112
Taktik berkembang melalui beberapa tahapan seperti yang telah tergambar pada gambar
6 di atas. Secara lebih khusus tahapan tersebut terbagi menjadi:

1. Langkah 1, permainan. Permainan diperkenalkan. Permainan sebaiknya


dimodifikasi sesuai dengan bentuk permainan yang lebih maju dan memenuhi
level perkembangan siswa

2. Langkah 2, apresiasi permainan. Para siswa diharapkan mengerti dan memahami


tentang peraturan dari permainan yang dimainkan yang meliputi batasan,
penskoran dan lain sebagainya.

3. Langkah 3, pertimbangan taktik. Siswa harus menyadari taktik-taktik permainan


untuk membantuk mereka dalam bermain dengan melibatkan prinsip permainan
yang kemudian berlanjut pada pertimbangan taktik.

4. Langkah 4, membuat keputusan yang tepat. Siswa fokus pada proses


pengambilan keputusan dalam permainan. Siswa dituntut untuk melakukan apa
yang harus dilakukan (pertimbangan taktis) dan bagaimana melakukannya
(seleksi respon dan eksekusi keterampilan yang tepat) untuk membantu mereka
membuat keputusan permainan yang tepat.

5. Langkah 5, eksekusi keterampilan. Pada langkah ini, fokus utama pada


bagaimana cara agar keterampilan dan gerakan yang spesifik dapat tercipta.

6. Langkah 6, penampilan. Di dasarkan pada kriteria tertentu tergantung pada


tujuan permainan, pelajaran, atau unit. Pada akhirnya, kriteria penampilan yang
spesifik ini memunculkan siswa yang bertransformasi menjadi pemain
permainan yang kompeten dan mahir.

Tanpa menafikkan prinsip pedagogi, model ini memperkenalkan empat prinsip utama
yakni sampling, representasi, eksagerasi, dan kompleksitas taktis.

1. Sampling. Mengacu pada memberikan kepada siswa kesempatan dalam


mengeksplor persamaan dan perbedaan diantara permainan. Fokus utama pada

113
berbagai bentuk permainan yang membantu siswa belajar mentransfer
pembelajaran mereka dari satu permainan ke permainan yang lain

2. Representasi. Meliputi pengembangan permainan yang dipadatkan yang


mengandung struktur taktikal yang sama dari bentuk yang lebih maju dari
permainan tersebut (jumlah pemain dikurangi, peralatan dimodifikasi). Sistem
klasifikasi permainan yang dideskripsikan oleh Bunker, Thorpe, dan Almond
(1984) dapat memfasilitasi proses representasi dengan adanya seleksi bergai
macam permainan dengan masalah taktikal yang serupa daripada seleki
pengajaran tradisional olahraga yang spesifik sebagai sebuah unit topik.

3. Eksagerasi. Ruang lingkupnya pada perubahan aturan sekunder permainan


menjadi lebih menekankan masalah taktik yang spesifik

4. Kompleksitas taktik melingkupi kesesuaian permainan terhadap level


perkembangan siswa. Beberapa masalah taktik terlalu kompleks untuk dipahami
pemain pemula, sebaliknya ketika siswa mengembangkan pemahaman mengenai
masalah taktik dan solusi yang sesuai, kompleksitas permaian dapat bertambah.
Maka, semua permainan dan bentuk permainan di desain untuk kesesuaian
dengan perkambangan siswa.

Bunker dan Thorpe (1982) menyatakan bahwa dalam permainan, mengetahui


apa yang dilakukan dan kapan hal itu dilakukan adalah sama pentingnya dengan
mengetahui bagaimana cara melakukannya. Lebih lanjut Kirk (1983) menghubungkan
ide ini dan memperkenalkan gagasan yang mengarah pada intelektualitas yang
mempertimbangkan bebagai macam prinsip permainan terkait dengan situasi yang
diberikan dalam sebuah permainan. Ide ini memberikan pemahaman yang lebih luas
tentang pelaksanaan permainan.

114
Rekonseptualisasi Pendekatan Taktis
Model pembelajaran taktis dan prinsip pendidikan yang terikat dengannya
cenderung mengalami stagnasi. Dalam cakrawala yang lebih luas tentang pengajaran
dan pembelajaran permainan ada pembenaran bahwa permainan melibatkan
pengoperasian tim sebagai jaringan kemampuan yang diikutsertakan dalam olahraga
strategi tinggi (semisal invasi dan net). Strategi dan pengetahuan taktik ini penting
sebagai komponen utama pada permainan. Kedua hal tersebut dapat diajarkan dengan
lingkungan pembelajaran yang terstruktur dan artifisial. Harapannya saat mereka
dihadapkan pada kondisi nyata dalam permainan tanpa adanya batasan yang berupa
modifikasi bentuk dan alat, maka mereka dapat mengembangkan struktur pengetahuan
mereka dengan proporsional.
Terkait secara spesifik dengan pembelajaran pendekatan taktik ini, Griffin
(1997) mengemukakan model tiga langkah yang disederhakan yang berfokus pada
komponen pelajaran esensial yakni permaina modifikasi, mengembangkan kesadaran
taktis dan pengambilan keputusan melalui bertanya, dan pengembangan keterampilan.
Dalam waktu bersamaan ia juga mengemukakan perlunya menilai penampilan bermain
siswa melalui penggunaan instrument penilaian otentik yang dikenal dengan Game
Performance Assessment Instrument (GPAI). Instrument ini dikembangkan sebagai alat
penilaian komprehensif bagi guru untuk dapat digunakan dan diadaptasi dalam
penilaian berbagai macam permainan. Guru dapat menggunakan GPAI sesuai tipe
permainan yang berbeda-beda untuk semua sistem klasifikasi TGfU.
Pembelajaran yang disituasikan ini berangkat dari kerangka teori konstruktivis
dalam pendidikan jasmani. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan membutuhkan
partisipasi dan langkah bermain secara gradual. Asumsi yang di bangun meliputi
struktur organisasi pembelajaran pendekatan taktik yang melibatkan partisipsi dalam
kurikulum pembelajarann yang berpusat pada siswa sebagai lawan dari kurikulum
pengajaran yang berpusat pada guru.
Dalam menggunakan perspektif pembelajaran yang disituasikan, Kirk dan
MacPhail (2002) memodifikasi dan memperluas aspek-aspek model asli TGfU. Dalam
perspektif siswa, konsep permainan, strategi berpikir, pengenalan isyarat, pemilihan

115
teknik, dan perkembangan keterampilan sebagai pertemuan taktik dan teknik. Lebih
jauh, kedua pakar tersebut menegaskan bahwa penampilan yang disituasikan
memberikan kepada siswa kesempatan untuk memperoleh pengalaman memainkan
permainan.
Pemikiran selanjutnya adalah merekonstruksi asumsi dasar dari pendekatan
taktik agar mempermudah guru dalam memecahkan masalah menggunakan pendekatan
ini. Sistem klasifikasi, masalah taktik dan level kerumitan taktik, bentuk permainan,
tanya jawab dan keterampilan pemecahan masalah adalah kerangka berpikir yang
menyemangati aplikasi TGfU. Seturut yang disampaikan oleh Light dan Fawns (2003)
bahwa menggunakan pembelajaran pendekatan taktik dalam pembelajaran menawarkan
pengalaman pembelajaran yang holistik bagi siswa yang berfokus pada pikiran dan
tubuh. Pelajaran pendidikan yang bernuansa TGfU lebih berdasarkan pada discourse
(persepsi dan pengambilan keputusan) dibanding pengajaran keterampilan sebagai
sebuah objek atau keadaan.
Pendekatan taktik ini diartikan sebagai sebuah gerakan baru pengajaran
permainan yang bertujuan akhir membantu siswa dan pemain untuk menikmati
partisipasi dan sebuah level kesuksesan sehingga mereka akan meningkatkan motivasi
dan memperoleh keuntungan darinya.
Para guru pendidikan jasmani perlu menyadari pengetahuan utama siswa untuk
mengindentifikasi celah dalam struktur pengetahuannya agar mampu menyesuaikan
pembelajaran dengan kesempatan praktik untuk menutup celah tersebut. Sebagai
contoh, guru yang mengetahui siswanya mempunyai kelemahan dalam aspek-aspek
tertntu mengenai pengetahuan taktik dapat membuat desain dan menyediakan
pembelajaran untuk mengisi kekosongan tersebut.
Pendekatan ini bukannya tanpa celah kelemahan. Berawal dari tesis bahwa
pengetahuan utama siswa merupakan bagian dari hasil pengalaman mereka sebelumnya
dalam konteks pendidikan jasmani, dan jika struktur pengetahuan mereka terlihat
kurang detail dalam strategi dan taktiknya, maka muncul keraguan akan bagaimana para
calon guru pendidikan jasmani diajarkan untuk mengajarkan aspek-aspek permainan ini.
Para calon guru dan guru perlu memastikan merekan dapat menerima semua komponen

116
pemahaman permainan. Kemudian mereka harus memutuskan bagaimana cara
mengajarkan contont knowledge tersebut dan educational knowledge. Namun, optimism
dari model ini masih sangat besar manakala potensi keterlibatan siswa dalam permainan
dan pengalaman bentuk permainan yang di kondisikan.
Model TGfU yang telah mengalami perubahan revisi atas pemikiran dan
penelitian daru David Kirk dan Ann MacPhail tersaji dalam gambar di bawah ini.

Menjadi
1. Bentuk permainan pembelajar yang
berpengalaman
6. Penampilan dalam komunitas
Pemunculan
pemahaman yang
disituasikan

siswa
2. Konsep Pengembangan
permainan keterampilan

3. Berpikir
4. Pengambilan keputusan
strategis
5. Eksekusi
gerak
What to do? How to do?

Sinyal Pemilihan
persepsi teknik

Gambar 7. Model Pembelajaran yang Telah Direvisi

Pembelajaran Pendekatan Taktik dan Aktivitas Kesenangan


Para praktisi pendidikan jasmani menerapkan model ini untuk satu tujuan yakni
pemahaman. Pembelajaran ini merunut kepada penginginan sesuatu yang kompleks,

117
tinggi namun dalam bingkai kesenangan. Apakah hal ini mungkin? Jawabannya
mungkin saja bahwa teknik pembelajaran taktik memiliki keunikan yang cocok untuk
memperoleh kesenangan. Pemahaman sendiri mungkin adalah katalis tunggal yang
penting untuk pengalaman gerakan khusus dan mungkin juga dimaksudkan untuk
memperoleh kesenangan yang akan membantu para guru memperoleh lenih banyak
muatan isi. Muara utama yang hendak dicapai dari pendekatan taktik yakni potensi
sebagai ilmu mendidik yang menyenangkan.
Kesenangan bukanlah tujuan sesungguhnya bagi para pencetus pembelajaran
taktik. Keduanya, Bunker dan Thorpe, menyadari adanya kelemahan latihan mekanistik
yang mematikan pikiran, yang dilakukan secara berulang-ulang yang bersifat
keterampilan. Apa yang bisa tergali lewat aktifitas fisik tidak nampak pada teknik yang
diisolir seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pendekatan holistik menempatkan
pembelajaran taktik dalam posisi yang baik untuk mengejar tujuan dari keinginan besar
yaitu kesenangan. Kontras dengan paparan sebelumnya, para guru pendidikan jasmani,
walau tidak semuanya, merasa nyaman dengan metode yang objektif, terukur, dan
bersifat umum. Muncul kecenderungan meremehkan metode subjektif, personal,
istimewa dan pribadi. Berfokus pada detak jantung dari pada detak hati, kesenangan otot
daripada sukacita kehidupan pribadi.
Akibatnyam kita telah mengembangkan alat dan mekanisme untuk mengukur sasaran,
apa saja dari calorimeter, skala untuk tes keterampilan, monitor detak jantung. Kita
masih berkutat pada perubahan objek bukan pada domain subjektif. Rasa senang
dimunculkan melalui aktifitas jasmani yang berkualitas. Rasa senang, pertama dan
terpenting, adalah pengalaman yang tak terlupakan. Kualitas subjektifnya merupakan
sentuhan yang berbeda dari biasanya. Refleksi mengenai kesenangan ini mengarah pada
kondisi pemenuhan. Terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang sebagai acuan
untuk mengarah pada kesenangan. Pertama, dari gerakan yang secara mekanis benar
menuju kepada gerakan yang ekspresif. Kedua, dari gerakan yang efektif menuju pada
gerakan yang inventif. Ketiga, dari gerakan yang inventif menuju gerakan yang kreatif.
Keempat, dari melihat lawan sebagai ancaman menuju lawan sebagai fasilitator.
Kelima, dari kendala hidup yang tidak layak menuju kepada pembebasan pengkondisian

118
yang baik. Keenam, dari gerakan estetis menuju gerakan sebagai hal yang indah.
Ketujuh, dari takut mengindari tugas motorik level sulit menuju memenuhi dan
mengatasi tantangan sesungguhnya.

119
120

Anda mungkin juga menyukai