Laporan Pendahuluan Ket

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

OLEH :
AULIA RIZKY
2019.04.088

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2019
1.1 Konsep Teori
A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu keadaan dimana hasil konsepsi berimplantasi,
tumbuh dan berkembang diluar endometrium kavum uteri. Bila kehamilan tersebut
mengalami proses pengakhiran (abortus) maka disebut kehamilan ektopik
terganggu (KET) (Achadiat, 2014).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi terjadi diluar
endometrium kavum uteri. Hamper 90% kehamilan ektopik terjadi di tuba uteria.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau rupture apabila masa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi (misalnya tuba) dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu (Saifudin, dkk, 2016).
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-
lokasi selain cavum uteri, seperti ovarium, tuba, seviks, bahkan rongga abdomen.
Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET). Merujuk pada keadaan dimana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun rupture yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien (Anik Maryunani. Asuhan
kegawatdaruratan dalam kebidanan, 2009).
B. Etiologi
Kehamilan ektopik terganggu dapat disebabkan oleh :
1. Faktor uterus
a. Tumor uterus yang menekan tuba
b. Uterus hipoplasia
c. Tuba sempit dan berlekuk – lekuk sering disertai dengan gangguan fungsi
silia endosalping.
2. Faktor Tuba
a. Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalping
b. Tuba sempit, panjang dan berlekuk – lekuk
c. Gangguan fungsi rambut getar (silia) tuba
d. Diventrikel tuba dan kelainan konginetal lainnya
e. Operasi plastic tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna (lumen tuba
menyempit)
3. Faktor ovum
a. Migrasi eksterna dari ovum
b. Perlekatan membrane granulose
c. Migrasi interna ovum (Anik Maryunani. Asuhan kegawatdaruratan dalam
kebidanan, 2009 : 41)
4. Faktor lain
a. Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
b. Fertilisasi in vitro
c. Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
d. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
e. Infertilitas
f. Mioma uteri
g. Hidrosalping (Rachimhadhi, 2015)
C. Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga
abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel
kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot
melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai
darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi.
Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot
yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai
desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus
endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh
darah di tempat tersebut.
Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat
implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami
hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda
kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun
berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium
menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya
bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.Karena
tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya
kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik
adalah:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
2. Abortus ke dalam lumen tuba
3. Ruptur dinding tuba.
(Anik Maryunani. Asuhan kegawatdaruratan dalam kebidanan, 2009 : 39)
D. Manifestasi klinis
Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan
haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal
atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan ektopik baru dapat ditegakkan pada usia
kehamilan 6 – 8 minggu saat timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang
muncul biasanya sama seperti gejala pada kehamilan muda, seperti mual, rasa
penuh pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu pada
pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan massa
adneksa (Saifiddin, 2002; Cunninghametal, 2015).
Dikenal dengan sebutan “trias” adapun gejala kliniknya adalah :
1. Amenorhoe
Lamanya amenorhoe bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan.
Dengan amenorhoe terdapat tanda hamil muda yaitu : morning sickness, mual-
mual, perasaan ngidam .
2. Terjadi nyeri abdomen
Nyeri abdomen disebabkan kehamilan tuba yang pecah. Rasa nyeri dapat
menjalar keseluruhan abdomen tergantung dari perdarahan didalamnya. Bila
rangsangan darah dalam abdomen mencapai diafragma dapat terjadi nyeri
didaerah bahu. Bila darahnya membentuk hematokel yaitu timbunan didaerah
Cavum Dauglass akan terjadi rasa nyeri dibagian bawah dan saat buang air
besar.
3. Perdarahan
Terjadinya abortus atau rupture kehamilan tuba terdapat pendarahan kedalam
cavum abdomen dalam jumlah yang bervariasi. Darah yang tertimbun dalam
cavum abdomen tidak berfungsi sehingga terjadi gangguan dalam sirkulasi
umum yang menyebabkan nadi meningkat, tekanan darah menurun, sampai
jatuh kedalam ke keadaan syok. Hilangnya darah dari peredaran darah umum
yang mengakibatkan penderita tampak anemia, ekstrimitas dingin, berkeringan
dingin, kesadaran menurun dan pada abdomen terdapat tumpukan darah. Setelah
kehamilannya mati, desidua dalam cavum uteri dikeluarkan dalam bentuk
desidua seperti seluruhnya dikeluarkan bersama dalam bentuk perdarahan hitam
seperti menstruasi (Anik Maryunani. Asuhan kegawatdaruratan dalam
kebidanan, 2009)
E. Pemeriksaan penunjang
1. Tes kehamilan
Yang dimaksut tes kehamilan disini adalah reaksi imunologik untuk
mengetahui ada atau tidaknya hormone human chorionic gonadotropin (HCG)
dalam air kemih.
2. Kuldosentesis
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam
kavum Douglas ada darah atau cairan lain. Cara ini tidak digunakan pada
kehamilan ektopik belum terganggu.
a. Teknik
1) Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
2) Vulva dan vagina dibesihkan dengan antiseptic.
3) Speculum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan
tenakulum, kemudian dilakukan traksi ke depan swhingga forniks
posterior ditampakkan.
4) Jarum spinal no 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglas dan dengan
sempit 10 ml dilakukan pengisapan.
b. Hasil
1) Positif
Apabila dikeluarkan darah tua berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil. Darah ini
menunjukkan adanya hematokel retrouterin. Untuk memudahkan sifat
pengamatan sifat darah, sebaiknya darah yang dihisap disemprotkan
pada kain kasa.
2) Negative
Apabila cairan yang dihisap bersifat :
a) Cairan jernih, yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal
atau kista ovarium yang pecah.
b) Nanah, yang mungkin berasal dari penyakit radang pelviks atau
radang apendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
c) Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
3. Nondiagnostik
Apabila pada pengisapan tidak berhasil dikeluarkan darah atau cara lain.
4. Ultrasonografi
Aspek yang terpenting dalam penggunaan ultrasonografi pada penderita yang
diduga mengalami kehamilan ektopik adalah evaluasi uterus. Atas dasar
pertimbangan bahwa kemungkinan kehamilan ektopik yang terjadi bersama-
sama kehamilan uterin adalah 1:30.000 kasus, maka dalam segi praktis, maka
dalam segi praktis dapat dikatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan kantung gestasi intrauterine, kemungkinan
kehamilan ektopik dapat disingkirkan.
5. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostic terakhir unntuk
kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostic yang lain
menragukan. Melalui prosedur laparoskopik, lat kandungan dalam dapat
dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
Douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin
mempersulit vistualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk
dilakukanlaparotomi. (Srawono Prawirohardjo, Ilmu Bedah Kebidanan, 2009)
F. Penatalaksanaan
Bagaimana sikap bidan / perawatan kebidanan dalam menggapai kahamilan
ektopik terganggu, Kehamilan ektopik tergantung merupakan masalah klinis yang
memerlukan penanganan spesialistik, sehingga rujukan merupakan langkah yang
sangat penting. Dengan gambaran klinis kehamilan ektopik terganggu, kiranya
bidan dapat menegakkan diagnosis kemungkinannya sehingga sikap yang paling
baik diambil adalah segera merujuk penderita (ibu) kefasilitas yang lebih lengkap
seperti puskesmas, dokter atau langsung ke rumah sakit. Sebagai gambaran
penanganan spesialistis tersebut yang akan dilakukan adalah penatalaksanakaan
kehamilan ektopik terganggu tergantung dalam beberapa hal, antara lain : lokasi
kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba
berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan
pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan
ektopik terganggu. Tentu saja penatalaksanaan penderita dengan kehamilan ektopik
yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan dengan kehamilan ektopik
yang menyebabkan syok.
Adapun prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik adalah sebagai berikut :
1. Segera rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap (rumah sakit)
2. Obtimalisasi keadaan umum ibu dengan pemberian cairan dan trasfusi darah
untuk mengkoreksi hipofolemia dan anemia, pemberian oksigen atau bila
dicurigai ada infeksi deberi juga antibiotic (pada keadaan syok segera diberikan
infuse cairan dan oksigen sambil menunggu darah. Kondisi penderita harus
diperbaiki, control tekanan darah, nadi dan pernafasan).
3. Penatalaksanaan yang ideal adalah menghentikan sumber perdarahan segera
dengan penatalaksanaan bedah (operasi/laparatomi) setelah diagnosis dipastikan
(Anik Maryunani, Asuhan kegawatdaruratan dalam kebidanan, 2009)
G. Penanganan KET
1. Upaya stabilisasi dengan merestorasi cairan tubuh dengan larutan kristaloid NS
atau RL (500ml dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama.
2. Kemoterapi. Kriteria khusus diobati dengan cara ini kehamilan di pars
ampullaris tuba belum pecah, diameter kantung gestasi ≤ 4 cm, perdarahan
dalam rongga perut ≤ 100ml, tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan
metotrexate 1mg/kg IV dan sitrovorum vactor 0,1mg/kg IM berselang-seling
setiap hari selama 8 hari.
3. Kuretase.
4. Laparatomi. Memperhatikan berbagai hal diantaranya kondisi penderita,
keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik,
kondisi anatomik organ pelvik, kemampuan teknik bedah micro dokter operator,
dan kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat.
5. Salpingektomia. Pada kondisi yang buruk seperti syok.
H. Pathway

Faktor Uterus Faktor Tuba Faktor Ovarium

Kehamilan Ektopik

Operasi Eksplorasi Laparatomi

Masalah Keperawatan :

Kurang pengetahuan
Nyeri kerusakan integritas jaringan.

Resiko infeksi
1.2 Konsep Askep
A. Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan.
Alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis serta penanggung jawab pasien
(Wantyah, 2010: hal 17)
B. Keluhan Utama
Pasien PJK biasanya merasakan nyeri dada dan dapat dilakukan dengan skala
nyeri 0-10, 0 tidka nyeri dan 10 nyeri paling tinggi. Pengkajian neri secara
mendalam menggunakan pendekatan PSRST, meliputi prepitasi dan penyembuh,
kualitas dan kuantitas, ntensitas, durasi, lokasi, radiasi/penyebaran, onset
(Wantiyah, 2010: hal 18)
C. Riwayat Kesehatan Dahulu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien antara lain apakah
klien pernah menderi ata hipertensi atau diabetes melitius, infark miokard atau
penyakit jantung koroner itu sendiri sebelumnya. Serta ditanyakan apakah pernah
MRS sebelumnya (Wantiyah, 2010: hal 17).
D. Riwayat Kesehatan Sekarang
Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa systim PQRST. Untuk membantu
klien dalam mengutamakan masalah keluhannya secara lengkap. Pada klien KET
umumnya mengalami nyeri dada (Wantiyah, 2010: hal 18)
E. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga ada yang menderita penyakit
jantung koroner. Riwayat penderita KET umumnya mewarisi juga faktor-faktor
risiko lainnya, seperti abnormal kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah
(A. Fauzi Yahya 2010: hal 28)
F. Riwayat Psikosial
Pada klien KET biasanya yang muncul adalah menyangkal, takut, cemas dan
marah, ketergantungan, depresi dan penerimaan realistis ( Wantiyah, 2010:hal
18).
G. Pola Aktibitas dan Latihan
Hal ini perlu dilakukan pengkajian pada pasien dengan KET untuk menilai
kemampuan dan toleransi pasien dalam melakukan aktivitas. Pasien KET
mengalami penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(Panthee & Kritpracha, 2011: hal 15)
H. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan umum kilen mulai pada saat pertama kali bertemu dengan klien
dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Kesadaran klien juga diamati apakah
kompos mentis, apatis, samnoleh, delirium, semi koma atau koma. Keadaan
sakit juga diamati apakah sedan , berat, ringan atau tampak tidak sakit.
2. Tanda-tanda vital
Kesadaran compos mentis, penampilan tampk obesitas, tekanan darah
180/110 mmHg, frekuensi nadi 88x/i, frekuensi nafas 20x/i, suhu 36,2°C
(Gordon, 2015: hal 22)
3. Pemeriksaan Fisik Persistem
a. Sistem Persyarafan
Meliputi kesadaran, ukuran pupil, pergerakan seluruh ekstermitas dan
kemampuan menanggapi respon verbal maupun non verbal (Aziza, 2010:
hal 13)
b. Sistem Penglihatan
Pada klien KET matam mengalami pandangan kabur (Gordon, 2015: hal
22)
c. Sistem Pendengaran
Pada klien KET pada sistem pendenganran telinga, tidak mengalami
gangguan (Gordon, 2015: hal 22)
d. Sistem Abdomen
Bersih, datar dantidak ada pembesaran hati (Gordon, 2015: hal 22)
e. Sistem Respirasi
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui secara dini tanda dan gejala tidak
adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Pengkajian meliputi persentase fraksi
oksigen, volume tidakl, frekuensi pernafasan dan modus yang digunakan
untuk bernapas. Pastikan posisi ETT tepat pada tempatnya, pemeriksaan
analisa gas darah dan elektrolit untuk mendeteksi hipoksemia
(Aziza,2010: hal 13)
f. Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian dengan tekhnik inspeksi, auskultrasi, palpasi dan perkusi
perawat melakukan pengukuran tekanan darah, suhu, denyut jantung dan
iramanya, pulsasi prifer, dan tempratur kulit. Auskultrasi bunyi jantung
dapat menghasilkan bunyi gallop S# sebagai indikasi gagal jantung atau
adanya bunyi gallop S4 tanda hipertensi sebagai komplikasi. Peningkatan
irama napas merupakan salah satu tanda cemas atau takut (Wantiyah,
2010:hal 18)
g. Sistem Gastrointestinal
Pengkajian pada gastrointestinal meliputi isnpeksi, auskultasi bising usus,
palpasi dan perkusi abdomen (nyeri, distensi) (Aziza, 2010: hal 13)
h. Sistem Muskuluskeletal
Pada klien KET adanya kelemahan dan kelelaha otot sehingga timbul
ketidak mampuan melakukan aktifitas yang diharapkan tau aktifitas yang
biasanya dilakukan (Aziza, 2010: hal 13)
i. Sistem Endokrin
Biasanya terdapat peningkatan kadar gula darah (Aziza, 2010: hal 13)
j. Sistem Integumen
Pada klien KET akral terasa hangat, turgor baik (Gordon, 2015: hal 22)
k. Sistem Perkemihan
Kaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang,
observasi dan palpasi pada daerah abdoemn bawah untuk mengetahui
adanya retensi urine dan kaji tentang jenis cairan yang keluar (Aziza,
2010: hal 13)

1.3 Diagnosa keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan kulit sekunder akibat sectio
caesaria ditandai dengan pasien mengeluh nyeri pada daerah bekas operasi.
2. Resiko perdarahan b/d tindakan eksplorasi
3. Ansietas yang berhubungan dengan kritisituasi, ancaman yang dirasakan dari
kesejahteraan maternal yang ditandai dengan pasien mengatakan sulit tidur

1.4 Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan kulit sekunder akibat sectio
caesaria ditandai dengan pasien mengeluh nyeri pada daerah bekas operasi
Tujuan : Nyeri berkurang
Intervensi :
a. Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal
setiap 6 jam
b. Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 6 jam
c. Kaji stress psikologis ibu dan respons emosional terhadap kejadian
d. Terapkan tehnik distraksi (berbincang-bincang)
e. Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dan sarankan untuk mengulangi bila
merasa nyeri
f. Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman
g. Kolaborasi dalam pemberian analgetika
Rasional
a. menentukan tindak lanjut intervensi.
b. Nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi,
pernafasan meningkat
c. Ansietas sebagai respon terhadap situasi dapat memperberat ketidaknyamanan
karena sindrom ketegangan dan nyeri.
d. Mengalihkan perhatian dari rasa nyeri
e. Relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga nmengurangi penekanan
dan nyeri.
f. Mengurangi keteganagan area nyeri.
g. Analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan penghilangan
nyeri.
2. Ansietas yang berhubungan dengan kritisituasi, ancaman yang dirasakan dari
kesejahteraan maternal yang ditandai dengan pasien mengatakan sulit tidur
Tujuan : Ansietas berkurang, pasien dapat menggunakan sumber/system pendukung
dengan efektif.
Intervensi :
a. Kaji respons psikologi pada kejadian dan ketersediaan sitem pendukung.
b. Tetap bersama ibu, dan tetap bicara perlahan, tunjukan empati.
c. Beri penguatan aspek positif pada dari ibu
d. Anjurkan ibu pengungkapkan atau mengekspresikan perasaan.
e. Dukung atau arahkan kembali mekanisme koping yang diekspresikan.
f. Berikan masa privasi terhadap rangsangan lingkungan seperti jumlah orang
yang ada sesuai keinginan ibu.
Rasional
a. Makin ibu merasakan ancaman, makin besar tingkat ansietas.
b. Membantu membatasi transmisi ansietas interpersonal dan mendemonstrasakan
perhatian terhadap ibu/pasangan.
c. Membantu membawa ancaman yang dirasakan/actual ke dalam perspektif.
d. Membantu mengidentifikasikan perasaan dan memberikan kesempatan untuk
mengatasi perasaan ambivalen atau berduka. Ibu dapat merasakan ancaman
emosional pada harga dirinya karena perasaannya bahwa ia telah gagal, wanita
yang lemah.
e. Mendukung mekanisme koping dasar dan otomatis meningkatkan kepercayaan
diri serta penerimaan dan menurunkan ansietas.
f. Memungkinkan kesempatan bagi ibu untuk memperoleh informasi, menyusun
sumber-sumber, dan mengatasi cemas dengan efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : PT. Bina
Ustaka Sarwono Prawirohardjo

Achadiat, M. 2014. Prosedur tetap obstetr & genekologi. Jkarta: EGC

Marmi, Dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Bedah. Jakarta : PT. Bina Ustaka Sarwono
Prawirohardjo

Saifudin, Abdul Bahri. 2012. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
Neonatal. JHPIEGO. Jakarta.

Rachimhadhi T. 2015. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Maryunani, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan. Jakarta : CV. Trans
Info Media

Cunningham, F, G, Mc. Donal Pc. Gant Nf, 2015. Obstetri William. Edisi ke 18. EGC.
Jakarta.

Pudiastuti, Ratna Dewi. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Hamil Normal Dan Patologi.
Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai