Eka Penkes Terapi Okupasi
Eka Penkes Terapi Okupasi
Eka Penkes Terapi Okupasi
1. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk
melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan
kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk
membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009), adalah:
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi
gerakan.
f. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui kemampuan mental
dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
g. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di lingkungan
masyarakat.
3. Aktivitas
Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi, sangat dipengaruhi
oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh
kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat dan kreativitasnya).
a. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak badan, olahraga, permainan tangan,
kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi, pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari,
seperti dengan mengajarkan merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel), praktik pre-
vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton bioskop atau
drama), diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan
lingkungan) (Muhaj, 2009).
b. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang secara produktif yaitu
sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional
maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
1) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan hanya sekedar
menyibukkan klien.
2) Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya dengan klien.
3) Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya terhadap upaya
penyembuhan penyakitnya.
5) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat meningkatkan
atau setidaknya memelihara kondisinya.
6) Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
8) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan kemampuan klien.
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi sebagai berikut:
a. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang disertai dengan kesulitan
berkomunikasi.
f. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada membayangkan.
5. Karakteristik aktivitas terapi
Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari aktivitas terapi okupasi, yaitu:
mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu melibatkan klien
walaupun minimal, dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup,
dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.
6. Analisa aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi okupasi, meliputi: jenis
kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan
dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan
disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap sarana pendukung dan klien
maupun perawat, pelaksanaan dari kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai
klien atau tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien.
a. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan
kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
b. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara
tentang masalah klien maupun keluarga.
c. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan
yang ingin dicapai.
d. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi.
e. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan tingkah laku selama
aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan akan
dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai
melaksanakan kegiatan.
9. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari kondisi klien dan
tujuan terapi.
a. Metode
1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi dengan
kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan kegiatan yang
sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar
antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan
Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993,
dalam Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10 orang. Jika
anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi
informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok
sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik terjadi
pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu
banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas,
dan seringkali bertingkah laku irrasional.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan frekuensi
kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian, pertama: ½-1 jam
yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja
dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
PUSTAKA
Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 2600 SM orang-orang di cina berpendapat bahwa penyakit timbul karena ketidak aktifan
organ tubuh. Socrates dan plato (400 SM) mempercayai adanya hubungan yang erat antara tubuh
dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan
sebagai salah satu cara pengobatan pasiennya.
Di mesir dan yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan adalah salah suatu media
terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain music, bermain boneka untuk anak-anak, bermain
bola.
Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia. Socrates
berkata bahwa seseorang harus membiasakan diri dengan selalu bekerja secara sadar dan jangan
bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagi pengalihan perhatian atau pikiran
sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka okupasiterapi mulai berkembang dan diterapkan pada
abad 19. Philipina pinel memperkenalkan terapi kerja pada tahun 1786 disuatu rumah sakit jiwa
diparis. Dia mengatakan bahwa dengan okupasi/pekerjaan pasien jiwa akan dikembalikan kearah
hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya. Juga sekaligus memelihara dan mempraktikan
keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Pada tahun 1982 Adolf Meyer dari amerika melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan baik yaitu
dengan mengerjakan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar terapi pasien
neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. Isterinya adalah seorang pekerja sosial mulai
menyusun suatu dasar yang sistematis tentang pengguanaan aktivitas sebagai program terapi pasien
jiwa.
Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal yang berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah
satu terapi khususnya untuk pasien mental terutama dari amerika, eropa dan lain-lain. Risetpun
masih tetap dilakukan guna lebih mengefektifkan penggunaan okupasiterapi untuk terapi pasien
mental.
Terapi okupasi adalah prilaku atau kegiatan – kegiatan individu yang akan dilakukan pada area kerja,
perawatan diri dan rekreasi.
Terapi okupasi adalah suatu aktifitas – aktifitas yang secara disadari dapat dilihat, direncanakan dan
menyenangkan.
Terapi okupasi adalah ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan
suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah belajar fungsi dan
keahlian yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan.
Prinsip :
Pasien tidak merasa dipaksa, tetapi memahami kegiatan ini sebagai suatu kebutuhan dan akhir suatu
keahlian yang dapat dijadikan bekal hidup.
Okupasiterapi adalah terapan medic yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan
menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang
sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah berbagai macam kegiatan
yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi.
Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan okupasiterapi adalah dengan maksud
sebagai berikut:
• Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
• Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnose dan penetapan terapi lainnya.
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot
dan koordinasi gerakan.
4. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di rumahnya, dan memberi
saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai langkah dalam pre-
cocational training. Dari aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan
kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lain-lainnya dari si pasien dalam mengarahkannya kepekerjaan
yang tepat dalam latihan kerja.
7. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama masa rawat
dengan berguna.
8. Mengarahkan minat dan hoby agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.
Program okupasiterapi adalah bagian dari pelayanan medik untuk tujuan rehabilitasi total seseorang
pasien melalui kerja sama dengan petugas lain dirumah sakit. Dalam pelaksanaan okupasiterapi
keliahatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya, sehingga dibutuhkan adanya
kerjasama yang terkoordinir dan terpadu.
Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia
dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau
pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi,
mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah
yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan okupasiterapi, baik bagi penderita fisik maupun
mental
Aktivitas dalam okupasiterapi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis, terapi,
maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien waktu mengerjakan suatu
aktivitas dan dengan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah terapi dan rehabilitasi
selanjutnya dari pasien tersebut.
Penting untuk diingat bahwa aktivitas dalam okupasiterapi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya
sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penyelesaian suatu aktivitas adalah sangat penting
karena dalam kesempatan tersebutlah terapis dapat mengarahkan pasien. Melalui diskusi
tersebutlah pasien belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.
Melalui aktivitas pasien diharapkan akan berkomunikasi lebih baik untuk mengekpresikan dirinya.
Melalui aktivitas kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu
sendiri. Dengan menggunakan alat-alat atau bahan-bahan dalam melakukan suatu aktivitas pasien
akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalam hal kemampuan dan kelemahannya.
Mengerjakan suatu aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang terjadinya intraksi diantara
anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi, dan menilai kemampuan diri masing-masing
dalam hal keefisiensiannya berhubungan dengan orang lain.
E. Aktifitas
Aktivitas yang digunakan dalam okupasiterapi sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh konteks
terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis
sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat dan kreativitasnya).
1. Jenis
• Olahraga
• Permainan
• Kerajinan tangan
• Praktik pre-vokasional
2. Karakteristik aktivitas
Aktivitas dalam okupasiterapi adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang
secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber
kepuasaan emosional maupun fisik.
Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam okupasiterapi harus mempunyai karakteristi
sebagai berikut :
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan hanya sekedar
menyibukan pasien
b. Mempunyai arti tertentu bagi pasien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya terhadap
upaya penyembuhan penyakitnya.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat meningkatkan
atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.
f. Harus dapat member dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan
kemampauan pasien.
a) Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor, halus dan
sebagainya.
k) Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan
keterampilan pasien, dan sebagainya.
3. Analisa aktivitas
Untuk dapat mengenal karakteristik maupun potensi atau aktivitas dalam rangka perencanaan terapi,
maka aktivitas tersebut harus dianalisa terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisa adalah sebagai
berikut:
a. Jenis aktivitas
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi)
• Karakteristik bahan:
Taktil
Pendengaran
Pembauan
Penglihatan
Perabaan
• Warna
Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
• Banyaknya bagian
e. Persiapan pelaksanaan:
f. Pelaksanaan
Konsentrasi
Ketangkasan
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lain-lain
j. Apakah ada kontra indikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati- hati, karena
dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat
riskan memberikan benda tajam)
1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya
2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang lain.
3. Tingkah lau tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitive
5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami
kemunduran
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas dari pada dengan
percakapan
7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikannya dari pada
dengan membayangkan
9. Dan sebagainya
Dokter yang mengirimkan pasien untuk okupasaiterapi akan menyertakan juga data mengenai pasien
berupa diagnosa, masalahnya dan juga akan menyatakan apa yang perlu diperbuat dengan pasien
tersebut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak untuk keperluan diagnose, atau untu
terapi, atau untuk rehabilitasi
Setelah pasien berada diunit okupasiterapi maka terapis akan bertindak sebagai berikut:
1. Koleksi data
Data biasa didapatkan dari kartu rujukan atau status pasien yang disertakan waktu pertama kali
pasien mengujungi unit terapi okupasional. Jika dengan mengadakan interview dengan pasien atau
keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data ini diperlukan untuk menyusun
rencana terapi bagi pasien. Proses ini dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.
3. Penentuan tujuan
Dari masalah dan latar belakang pasien maka dapat disusun daftar tujuan terapi sesuai dengan
prioritas baik jangka pendek maupun jangka panjangnya
4. Penentuan aktivitas
Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas yang dapat mencapai tujuan terapi
tersebut. Dalam proses ini pasien dapat diikut sertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang kan
dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya.
Dalam hal ini harus diingat bahwa aktivitas itu sendiri tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi
hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba mengatasinya dengan
bimbingan terapis. Pasien itu sendiri harus diberitahu alasan-alasan mengenai dia harus mengerjakan
aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.
5.Evaluasi
Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini perlu
agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada.
Dari hasil evaluasi dapat direncanakan kemudian mengenai peneyesuain jenis aktivitas yang kan
diberikan. Namun dalam hal tertentu penyesuain aktivitas dapat dilakukan setelah bebrapa waktu
setelah melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien.
Hal-hal yang perlu di evalausi antara lain adalah sebagi berikut:
c. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan sendiri
d. Kerjasama
k.Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya
tersebut
q. Kerapian bekerja
BAB II
PELAKSANAAN
materi latihan dipilih dan ditentukan dengan memperhatikan karakteristik atau cara khas masing –
masing klien
C. Penentuan waktu. Kapan latihan diberikan pagi, siang atau sore hari dan berapa lamanya.
D. Penetuan tempat disesuaikan dengan keadaan klien, materi latihan dan alat yang digunakan.
2. Metode
Okupasiterapi dapat dilakukan baik secara indivisual, maupun berkelompok, tergantung dari keadaan
pasien, tujuan terapi dan lain-lain:
• Pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk
evaluasi pasien
• Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu
kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelomppok bila dia dimasukan
dalam kelompok tersebut
• Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien
lebih efektif
• Pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hamper bersamaan, atau dalam melakukan
suatu aktivitas untuk tujuan tertentu bagi bebrapa pasien sekaligus.
Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus
mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut
aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakaukan,
dan kemampuan terapis mengawasi.
3. Waktu
Okupasiterapi dilakukan antara 1 – 2 jam setiap session baik yang individu maupun kelompok setiap
hari,dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianya tenaga dan fasilitas, dan
sebagainya. Ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ½ - 1 jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan
1 – 1 ½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut,
antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan
tujuan terapi.
4. Terminasi
Keikut sertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat diakhiri dengan dasar bahwa
pasien :
5. IMPLEMENTASI
- Pertahankan tingkat fungsional klien untuk melakukan aktivitas hidup sehari – hari.
- Bantu klien untuk berwaspada, gunakan petunjuk dan penguatan yang positif
- Pertahankan diet yang seimbang dan pastikan asupan cairan yang adekuat
- Membuat persediaan oto dan kondisi tubuh umumnya, berfungsi sebagaimana mestinya
sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.
- Hindari atau batasi situasi yang memalukan secara social dukung dan jaga martabat pasien.
6. EVALUASI HASIL
Klien mempertahankan kemampuannya melakukan aktivitas sehari – hari dalam lingkungan yang
berstruktur
Klien menunjukkan perawatan diri yang baik pada segi nutrisi maupun dirinya
Klien menunjukkan hubungan sosialisasi yang baik pada keluarga dan lingkungan sekitar.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang materi terapi okupasi diatas dapat kami simpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
Pengertian : terapi okapasi adalah usaha penyembuhan melalui kesibukan atau pekerjaan tertentu.
Fisik: Kecepatan bergerak dan kekuatan pemeliharaan daerah gerak sendi kontrol otot
Intelektual: Menyelesaikan masalah yang dihadapi meningkatkan daya kreativitas, integrasi antara
otot dan pengetahuan pasien, ekspresi perasaan klien.
Sosial dan Emosi : Peningkatan hubungan yang sehat di dalam kelompok. Menjalankan aturan main
dalam kelompok, memimpin dan mengikuti kepemimpinan orang lain.
Tujuan : terapi okupasi tidak hanya sebatas aktivitas fisik, tetapi mencakup pengembangan
intelektual, social, emosi, maupun kreatifitas.
Diversional : Terapi okupasi dapat di gunakan untuk mengalihkan perhatian agar tidak terjadi
neorosis ( kegagalan individu memecahkan masalah atau tuntutan dimasyarakat yang membuatnya
terganggu dalam pemeliharaan maupun penyesuaian diri )
Pemulihan Fungsional : Membuat persediaan otot, dan kondisi tubuh umumnya berfungsi
sebagaimana mestinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Latihan dan Prefokasional. : Memberi peluang persiapan menghadapi tugas, pekerjaan atau profesi
yang sesuai dengan kondisinya.
SARAN-SARAN
- Dapatkan tim yang jelas tentang tujuan dan tindakan terapi dari tim medis.
- Berikan informasi yang jelas kepada keluarga maupun klien tentang tujuan dan tindakan yang
akan di lakukan.
DAFTAR ISI
http://wdnurhaeny.blogspot.com/2010/02/terapi-okupasi-dan-rehabilitasi-wnes.html
http://blogkugratis.blogspot.com/2009/04/terapi-okupasi_10.html
http://fkunhas.com/l/askep+pada+okupasi.html
http://www.bloggoup.com/search/skripsi%20okupasi/
5. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rehabilitasi adalah tindakan restorasi bagi kesehatan
individu yang mengalami kecacatan menuju kemampuan yang optimal dan berguna baik segi
fisik, mental, sosial, dan ekonomik, di rumah sakit-rumah sakit, dan pusat-pusat rehabilitasi
tertentu Rehabilitasi menurut WHO Expert Commitee on Medical Rehabilitation (1969).
Penggunaan secara terpadu dan terkoordinasi dari tindakan medis, sosial, pendidikan dan
vokasional untuk melatih kembali individu ke arah kemungkinan tertinggi dari tingkat
kemampuan fungsionalnya. Kegiatan ini diberikan dengan menggunakan sejumlah kegiatan
dimana bertujuan membantu pasien mengembangkan kemampuan kerja dalam kehidupan
sehari-hari sebagai bekal bagi dirinya di masyarakat setelah pulang dirawat di rumah sakit.
Terapi okupasi merupakan salah satu jenis kegiatan rehabilitasi. Berdasarkan hasil penelitian
dalam Jurnal tahun 2006 oleh Rika Sabri, dkk. dari 27 anak autis yang melakukan terapi
okupasi yang baik, ada 25 anak (92,6%) yang mengalami kemajuan. B. Tujuan Untuk
mengetahui konsep terapi okupasi dan peran perawat dalam terapi okupasi.
6. 6. 5 BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Terapi Okupasi 1. Pengertian Terapi kerja atau terapi
okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan
tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang
masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk
seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto,
2009). 2. Tujuan Terapi Okupasi Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto
(2009), adalah: a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental. 1) Menciptakan kondisi
tertentu sehingga klien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan
dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya. 2) Membantu melepaskan dorongan emosi
secara wajar. 3) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya. 4) Membantu
dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi. b. Terapi khusus untuk
mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi gerakan. c.
Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya. d. Membantu klien
menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah. e. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara
dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki. f. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar
dicoba klien untuk mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan
bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
7. 7. 6 g. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di
lingkungan masyarakat. 3. Indikasi Terapi Okupasi Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan
bahwa indikasi dari terapi okupasi sebagai berikut: a. Klien dengan kelainan tingkah laku,
seperti klien harga diri rendah yang disertai dengan kesulitan berkomunikasi. b.
Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap rangsang tidak
wajar. c. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang
mengalami kemunduran. d. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian. e.
Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas. f. Orang yang mudah belajar
sesuatu dengan praktik langsung daripada membayangkan. 4. Karakteristik Aktivitas Terapi
Riyadi dan Purwanto (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari aktivitas terapi okupasi,
yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu melibatkan
klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat memberi
dorongan hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien. 5. Analisa
Aktivitas Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi
okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau pekerjaan
sehari-hari, maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi klien, sarana
atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan,
persiapan terhadap sarana pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan dari kegiatan
yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau tidak disukai yang disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien.
8. 8. 7 6. Jenis Aktivitas dalam Terapi Okupasi Menurut Creek (2002) okupasi terapi bergerak
pada tiga area, atau yang biasa disebut dengan occupational performance yaitu, activity of
daily living (perawatan diri), productivity (kerja), dan leisure (pemanfaatan waktu luang).
Bagaimanapun setiap individu yang hidup memerlukan ketiga komponen tersebut. Individu-
individu tersebut perlu melakukan perawatan diri seperti aktivitas makan, mandi,
berpakaian, berhias, dan sebagainya tanpa memerlukan bantuan dari orang lain. Individu
juga perlu bekerja untuk bisa mempertahankan hidup dan mendapat kepuasan atau makna
dalam hidupnya. Selain itu, penting juga dalam kegiatan refresing, penyaluran hobi, dan
pemanfaatan waktu luang untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat disela- sela kepenatan
bekerja. Semua itu terangkum dalam terapi okupasi yang bertujuan mengembalikan fungsi
individu agar menemukan kembali makna atau arti hidup meski telah mengalami gangguan
fisik atau mental. Jenis terapi okupasi menurut Creek (2002) yaitu: a. Aktivitas Sehari-hari
(Activity of Daily Living) Aktivitas yang dituju untuk merawat diri yang juga disebut Basic
Activities of Daily Living atau Personal Activities of Daily Living terdiri dari: kebutuhan dasar
fisik (makan, cara makan, kemampuan berpindah, merawat benda pribadi, tidur, buang air
besar, mandi, dan menjaga kebersihan pribadi) dan fungsi kelangsungan hidup (memasak,
berpakaian, berbelanja, dan menjaga lingkungan hidup seseorang agar tetap sehat). b.
Pekerjaan (Productivity) Kerja adalah kegiatan produktif, baik dibayar atau tidak dibayar.
Pekerjaan di mana seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya biasanya menjadi
bagian penting dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya posisinya dalam
masyarakat, dan rasa nilai sendiri sebagai anggota yang ikut berperan. Pekerjaan yang
berbeda diberi nilai-nilai sosial yang berbeda pada masyarakat. Termasuk aktivitas yang
diperlukan untuk dilibatkan pada pekerjaan yang menguntungkan/menghasilkan atau
aktivitas sukarela seperti minat pekerjaan, mencari pekerjaan dan
10. 10. 9 3. Sebagai peran model sosial: perawat harus dapat menampilkan perilaku yang dapat
dipelajari oleh pasien, pasien mengidentifikasikan dan meniru terapi melalui role playing,
terapi mengidentifikasikan tingkah laku yang diinginkan (verbal – nonverbal) yang akan
dicontoh pasien. 4. Sebagai konsultan: perawat menentukan program perilaku yang dapat
menghasilkan respon terbaik dari pasien, perawat bekerja sama dengan pasien dan keluarga
dalam merencanakan rencana tersebut. C. Pelaksanaan 1. Proses Terapi Okupasi Secara
umum proses terapi okupasi melalui tiga tahap yaitu: a. Assessment Adalah proses dimana
seseorang terapi memperoleh pengertian tentang pasien yang berguna untuk membuat
keputusan dan mengkontruksikan kerangka kerja atau model dari pasien. Proses ini harus
dilakukan dengan adekuat untuk menentukan jenis okupasi yang diberikan pada pasien. b.
Treatment Setelah dilakukan assessment dengan detail, maka dilakukan treatment yang
terdiri dari tiga tahap yaitu : 1) Formulasi pemberian terapi 2) Impelementasi terapi yang
telah direncanakan 3) Review terapi yang diberikan dan selanjutnya dilakukan evaluasi c.
Evaluasi Dari hasil evaluasi ini perawat dapat menentukan apakah pasien mengalami
kemajuan dan dapat melanjutkan divokasional training. 2. Metode Okupasiterapi dapat
dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok, tergantung dari keadaan pasien,
tujuan terapi dan lain-lain: a. Metode individual dilakukan untuk: Pasien baru yang bertujuan
untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien
11. 11. 10 Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam
suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelomppok bila dia
dimasukan dalam kelompok tersebut Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan
tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien lebih efektif b. Metode kelompok dilakukan
untuk: Pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir bersamaan, Beberapa
pasien sekaligus dalam melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Sebelum
memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus
mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan
menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti
dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan
jenis aktivitas yang akan dilakaukan, dan kemampuan terapis mengawasi. 3. Tahapan Terapi
Okupasi Kelompok Setiap akan melakukan terapi okupasi kelompok harus direncanakan
dahulu. Terapis melakukan kontrak kepada kelompok. Terapis dan kelompok
mempertimbangkan tempat, lokasi yang kondusif, alat, dan bahan yang harus disiapkan.
Menurut Untari (2006) adapun tahapan aktivitas terapi okupasi kelompok, yaitu: a. Orientasi
Orientasi sangat membantu pasien untuk mengikuti kelompok terapi. Tujuan orientasi adalah
meyakinkan bahwa pasien mempunyai orientasi yang baik tentang orang, tempat, dan
waktu. Orientasi memerlukan waktu kurang lebih 5 menit. Aktivitas yang dilakukan selama
tahapan orientasi adalah terapis melakukan orientasi kegiatan yang akan dilakukan oleh
kelompok terapi.
12. 12. 11 b. Tahap Pendahuluan (Introduction) Tahap pendahuluan adalah tahap perkenalan
baik dari terapis maupun pasien. Terapis memperkenalkan diri baru kemudian masing-
masing pasien menyebutkan nama dan alamatnya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan
melemparkan balon yaitu pasien harus menyebutkan nama apabila mendapatkan bola yang
telah dilempar. Setiap kali seorang pasien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak
semua pasien untuk bertepuk tangan. Tahap pendahuluan memerlukan waktu 5-10 menit. c.
Tahap pemanasan (Warm-up activities) Setelah melakukan proses memperkenalkan diri,
terapis mengajak pasien untuk aktivitas pemanasan (warm-up activities). Tahap ini
memerlukan waktu 5-10 menit. Aktivitas yang digunakan adalah latihan fisik sederhana
(simple physical exercise). Tujuannya adalah meningkatkan perhatian dan minat pasien
melalui gerakan dasar tubuh dan agar pasien mampu mengikuti aturan atau instruksi
sederhana seperti berputar, turunkan tangan, dan lain-lain. d. Tahap aktivitas terpilih
(selected activities) Tahap ini memerlukan waktu 10-20 menit. Mempertimbangkan
kebutuhan kognitif, motorik, dan interaksi yang akan dikembangkan. Biasanya aktivitas yang
dipilih adalah aktivitas dengan aturan sederhana dan aktivitas yang dilakukan sebaiknya
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Terapis memberikan pujian setiap kali pasien
selesai melakukan terapi okupasi dengan baik dan mengajak anggota kelompok bertepuk
tangan. e. Tahap Terminasi Tahap ini menandakan bahwa terapi okupasi akan berakhir.
Terapis dan pasien mengumpulkan material (alat-bahan) bersama-sama dan mengadakan
diskusi kecil tentang jalannya proses terapi okupasi.
13. 13. 12 BAB III KESIMPULAN Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni
pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan.
Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang,
pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak
tergantung pada pertolongan orang lain.
14. 14. 13 DAFTAR PUSTAKA Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Sabri Rika, dkk. 2006. Pengaruh Terapi Autis Terhadap Kemajuan
Anak Autis Sekolah Khusus Autisme di Kota Padang. E-journal
http://rikasabri.files.wordpress.com/2008/01/artikel-penelitian.pdf Creek, J. 2002.
Occupational Therapy & Mental Heal. London: Churchil Livis Stone
http://klinikotcponorogo.blogspot.com/2012/01/terapi-okupasi.html
Log inRegister
Forumotion
Share :
Home
Calendar
FAQ
Search
Memberlist
Usergroups
Register
Log in
Search...
BAB I
PENDAHULUAN
Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu “occupation” umumnya
dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki maksud dan tujuan yang unik dalam kehidupan
seseorang. Okupasi, yang dalam Bahasa Indonesia maknanya sepadan dengan “pekerjaan”, juga
merupakan pokok pada identitas dan kompetensi seseorang, dan yang mempengaruhi bagaimana
seseorang mempergunakan waktunya serta bagaimana ia membuat keputusan. Bahkan okupasi
(occupation) telah didefinisikan oleh Law, Polatajko, Baptiste, dan Townsend (1997) sebagai berikut:
“Activities.....of everyday life, named, organized, and given value and meaning by individuals and
culture. Occupations is everything people do to occupy themselves, including looking after
themselves.....enjoying life.....and contributing to the social and economic fabric of their
communities.....”
Terapi okupasi pertama kali dikembangkan dan diterapkan oleh Philippine Pinel pada abad ke-19 di
sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Dengan pekerjaan, pasien penyakit jiwa akan dapat dikembalikan ke
arah hidup yang normal, bahkan bisa kembali seperti sebelum sakit. Adolf Meyer (1892), seorang
psikiater di Amerika, melakukan upaya secara terstruktur dimana pasien neuro-psikiatrik diberikan
aktivitas yang berguna ternyata menjadi dasar terapi okupasi. Meyer telah menyusun suatu dasar
sistematis penggunaan aktivitas sebagai terapi.
Pada umumnya orang mengetahui tugas Ot adalah memberikan aktivitas motorik halus padahal area
yang dikerjakan OT sangat luas dan sekarang untuk OT di negara maju seperti Amerika dan Canada
sudah menjurus pada bidang sub spesialis pada area tertentu misalnya khusus pada bidang sensory
integration, memory training, social skills training, dll. Secara umum OT adalah salah satu profesi
kesehatan yang membantu individu dengan gangguan fisik, mental dan atau sosial dengan
menggunakan berbagai macam aktivitas terapeutik yang telah diprogram dan diadaptasi sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi anak untuk meningkatkan performa anak dalam hal aktivitas yang
bersifat produktif baik di rumah maupun di sekolah seperti ketrampilan menulis, membaca, dll,
aktivitas bantu diri (self care) seperti mandi, berpakaian, makan, minum, memakai sepatu, dll serta
meningkatkan kemampuan bermain (play and leisure) dan interaksi sosial.
Pengertian aktivitas yang bersifat terapeutik adalah aktivitas yang memang telah dianalisis secara
mendalam sehingga memiliki dampak terapeutik untuk meningkatkan performa anak dalam 3 area
intervensi diatas yaitu area produktivitas (productivity), ketrampilan bantu diri/merawat dirinya
sendiri (self care) dan aktivitas rekreasi anak yaitu bermain. Ketiga area tersebut adalah domain yang
sangat esensial bagi anak untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam aktivitas kesehariannya
baik di rumah, sekolah dan di masyarakat.
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai oleh psikopatologi yang disruptif dan
melibatkan aspek kognisi, persepsi dan aspek lain perilaku. Ekspresi dari manifestasi penyakit ini
bervariasi diantara pasien tetapi efeknya selalu berat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Skizofrenia mengenai segala lapisan kelas dan umumnya muncul pada usia kurang dari 25 tahun, lalu
selanjutnya menetap sepanjang hidup. Meskipun didiagnosis sebagai penyakit tunggal, skizofrenia
mungkin terdiri atas suatu kumpulan gangguan dengan etiologi beragam, dan bervariasi dalam
manifestasi klinis, respons pengobatan dan perjalanan penyakitnya.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia adalah 1%, pada
studi lain didapatkan rentang yang tidak jauh berbeda yaitu 0,6-1,9 %. Skizofrenia ditemukan pada
semua lapisan masyarakat dan area geografis, prevalensi maupun insidensinya secara kasar sama di
seluruh dunia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan bahwa jumlah
penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk
Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan
remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita
tidak hanya dari kalangan kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan
menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa (Sutatminingsih, Raras. 2002). Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan,
seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka
tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat,
seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).
Jadi, dengan pekerjaan maka seseorang akan dapat “menikmati hidup”, dimana pekerjaan dapat
mengalihkan perhatian atau pikiran seseorang dari hal-hal yang kurang menyenangkan, sehingga
menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan pekerjaan, seseorang juga akan
memberi kontribusi terhadap struktur sosial dan ekonomi komunitasnya sehingga dia menjadi lebih
nyaman berada ditengah-tengah komunitas itu dan akan memudahkan adaptasi dengan
lingkungannya. Secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan menggerakkan seluruh otot
tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat. Dari semua hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa perkerjaan sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik dan jiwa seseorang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya penyakit. Skizofrenia
hebefrenik dan katatonik sering lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau
gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia paranoid memiliki perkembangan
gejala yang konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-
waham sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga didapatkan gangguan proses
pikir, gangguan afek, dan emosi.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin subakut, tetapi
mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid, mudah
tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III, maka
skizofrenia paranoid dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
• Sebagai tambahan :
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar tentang diri pasien, yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-
kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejalakatatonik secara relatif tidak
nyata / tidak menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa preokupasi satu atau lebih delusi atau
sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali muncul pada usia lebih tua daripada pasien
skizofrenik hebefrenik atau katatonik. Kekuatan ego pada pasien skizofrenia paranoid cenderung
lebih besar dari pasien katatonik dan hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi
yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe
skizofrenik lain.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.Mereka
juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi sosial.Kecerdasan mereka tidak
terpengaruhi oleh gangguan psikosis mereka dan cenderung tetap intak.
Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25
tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan halusinasi banyak
sekali.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir
berikut Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya
mulai 15-25 tahun)..
• Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2
atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan
hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan
(giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku
tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal
dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu
penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling penting
adalah gejala psikomotor seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan
kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam mulut dan meleleh keluar, air
seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan
bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai
dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan stereotipi, manerisme, grimas dan
neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau
kolaps dan kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga
penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya)
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir
berikut :
• Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
• Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta
aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh
stimuli eksternal)
o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh
tertentu yang tidak wajar atau aneh);
o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya
untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya);
o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi
yang dapat dibentuk dari luar); dan
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah),
dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis
skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-
gejala lain.
o Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk
skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah satu dari dua bentuk skizofrenia
katatonik, yaitu stupor katatonik dan excited katatatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat
diam dalam postur tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak melakukan gerakan spontan,
hampir tidak bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat defekasi maupun
buang air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut pasien karena tidak ada gerakan mulut,
bila diberi makan melalui mulut akan tetap berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan
mengunyah, pasien tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien dicoba digerakkan pasien
seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk, kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi awal.
Bisa juga didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi berdoa dan berguman sangat
halus berulang-ulang.
Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa tujuan, stereotipik dengan
impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak, meraung, membenturkan sisi badannya berulang ulang,
melompat, mondar mandir maju mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya secara tiba-tiba
tanpa alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien biasanya meneriakka kata atau frase yang aneh
berulang-ulang dengan suara yang keras, meraung, atau berceramah seperti pemuka agama atau
pejabat.Pasien hampir tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik sendiri
dengan kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat tidurnya.
Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah satu dari kedua diatas, pada
kebanyakan kasus gejala tersebut bisa bergantian pada pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang
tidak dapat diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba berteriak,
meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke dinding, dan akhirnya dalam waktu
kurang dari satu jam kemudian kembali lagi ke posisi stupornya.
Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk
menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan
karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah kedangkalan
emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Permulaan gejala mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir
berikut :
• Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan
perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau
manifestasi lain dari episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi
yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali.Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai
menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang
jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri
dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif,
kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan
fungsi sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
• Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas
menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau
isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
• Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria
untuk diagnosis skizofenia;
• Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang
nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia;
• Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan
skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe
lain skizofrenia.Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis,
dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika waham atau
halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated).
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu
tipe.PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut
PPDGJ III yaitu:
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
• Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
• Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizzofrenia) selama
12 bulan terakhir ini;
• Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya);
dan
• Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode
depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
• Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif. Bila
gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai.
Skizofrenia lainnya
• Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, kriteria diagnosisnya sama
dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan
akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
• Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu
dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman
halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
• Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental
dan autisme
• Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi pada wanita dan pasien-
pasien dengan gejala paranoid.
2. Keterampilan (skill)
a. AktivitaS sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum, berpakaian mandi, dan lain-lain.
b. Pre-academic skill.
c. Keterampilafl sosial.
d. Keterampilan bermain.
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik.
b. Situasi keluarga.
c. Dukungan dan komunitas.
Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua prinsip kerja, yaitu sebagai
berikut.
a. Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk menghilangkan dan perasaan
cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat didalam melakukan latihan.
b. Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak Cerebral Palsy),
meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan motorik kasar (gross motor)
maupun motorik halus, (fine motor) serta meningkatkan konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun
sikap.
B. Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi
Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum
penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana.
Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam
kecacatan (Cerebral Palsy atau Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan
dan penderita itu sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi/dihindarkan untuk segi keamanan penderita.
Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan, agar sesual
dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang diberikan di bagian terapi okupasi
adalah sebagai berikut.
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas mi dibenikan agar pendenita dapat mandini tanpa
tergantung orang lain.
2. Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi, koordinasi,
motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan.
3. Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam mencapai suatu hasil
yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan dan kerumah tangga yang isesuaikan
dengan kapasitas penderita.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut untuk kreatif,
selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta onang tua dalam proses latihan. Pada hal ini
diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada orang tua penderita untuk berlatih
di rumah.
Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Aktivitas Adalah Sebagai Berikut:
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor, halus, dan
sebagainya.
b. Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d. Cara pemberian instruksi bagaimana.
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai.
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g. Apakah perlu konsentrasi.
h. lnteraksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan.
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j. Berapa lama dapat diselesaikan.
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan
keterampilan pasien.
3. Analisis aktivitas.
Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam rangka perencanaan terapi,
maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai
berikut.
a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi).
c. Bahan yang digunakan:
1) Khusus atau tidak
2) Karekteristik bahan:
a) mudah ditekuk atau tidak,
b) mudah dikontrol atau tidak,
c) menimbulkan kekotoran atau tidak,
d) 1 atau tidak,
3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
a) taktil,
b) pendengaran,
c) pembauan,
d) penglihatan,
e) perabaan,
f) gerakan sendi,
g) dan sebagainya.
4) Warna
5) Macam-macamnya dan namanya
6) Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
1) Banyaknya bagian
2) Rumit atau sederhana
3) Apakah membutuhkan pengulangan
4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
3) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu
4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
1) Konsentrasi
2) Ketangkasan
3) Rasa sosial di antara pasien
4) Kemampuan mengatasi masalah
5) Kemampuan bekerja sendiri
6) Toleransi terhadap frustasi
7) Kemampuan mengikuti instruksi
Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara mereka.
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan,
komprehensi, dan lain-lain.
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lain-lain.
j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati-hati karena
dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat
riskan memberikan benda tajam).
k. Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.
H. Pelaksanaan
1. Metode terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok, tergantung
dan keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.Metode individual dilakukan untuk:
a. pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk
evaluasi pasien;
b. pasien yang beluni dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik di dalam suatu
kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelompok bila dia dimasukkan
dalam kelompok tersebut.
c. pasien wang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat niengevaluasi pasien
lebih efektif.
2. Metode kelompok dilakukan untuk: pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir
bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu bagi beberapa pasien
sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok, maka terapis
harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan
tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk
ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan
dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.
3. Waktu. Okupasiterapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi balk yang individu maupun kelompok
setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianva tenaga dan fasilitas,
dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan
dan 1-1½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut,
antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan
tujuan terapi.
4. Terminasi. Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat dasar bahwa
pasien:
a. Dianggap telah mampu mengatasi persolannya
b. Dianggap tidak akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi okupasi juga dapat merupakan bagian dari rehabilitasi medik untuk pasien-pasien dengan
penyakit fisik maupun gangguan mental. Disini, terapi okupasi merupakan terapi medik yang terarah
dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi, dalam rangka memulihkan kembali fungsi
seseorang sehingga mampu mandiri semaksimal mungkin.
Pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa, aktivitas dalam terapi okupasi biasanya dilakukan untuk
membantu dalam mendiagnosis, terapi, evaluasi, maupun rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengamati pasien saat mengerjakan suatu aktivitas, saat berinteraksi dengan kelompoknya,
dan dengan menilai hasil pekerjaannya. Dalam pengamatan tersebut dapat dikumpulkan data-data
yang berguna untuk mendukung ke arah suatu diagnosis tertentu serta menetapkan terapi lainnya.
Manfaat terapi didapat dengan membantu dalam melepaskan dorongan-dorongan emosional secara
wajar dan produktif. Dengan memberikan terapi okupasi secara periodik maka akan dapat dilakukan
evaluasi terhadap hasil pengobatan. Sedangkan tujuan rehabilitasi diperoleh dengan menciptakan
suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat
berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitar. Disamping itu juga dapat membantu
menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
Sebagaimana telah dipahami, bahwa pada sebagian penderita gangguan skizofrenia digambarkan
memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan disertai dengan terjadinya deteriorasi dari taraf fungsi
sebelumnya. Deteriorasi atau kemunduran tersebut mungkin sudah dimulai sejak fase prodromal
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum onset penyakit, yang mencakup
terdapatnya keruntuhan taraf fungsi dalam bidang pekerjaan, aktivitas sosial (pergaulan sosial), serta
penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri.
Pada penderita dengan skizofrenia sering terdapat beberapa gejala secara bersama-sama seperti
gangguan bentuk dan isi pikiran, arus pikiran, persepsi, afek, serta gangguan pada perilaku yang
dapat bermanifestasi sebagai perilaku katatonik maupun gejala-gejala negatif. Pada penderita
skizofrenia dengan gejala-gejala negatif seperti sikap apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya akan mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Selain itu bisa juga terjadi suatu perubahan yang
konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku seseorang yang
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Pada proses penyembuhan pasien skizofrenia mendapat terapi kognitif yang menekankan pada
komunikasi dan terapi okupasi yang menekankan pada suatu kegiatan atau karya. Kurangnya aktifitas
pasien akan membuat pasien lebih asyik dengan dunia sendiri sehingga bisa memicu terjadinya
kekambuhan.
Telah pula diyakini bahwa cara yang paling efisien dalam penanganan pasien dengan skizofrenia
adalah melalui kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi
keluarga, dan terapi okupasi. Hal ini telah dibuktikan setidaknya dari sebuah penelitian mengenai
terapi okupasi pada pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-
resistant schizophrenia) yang dilakukan oleh Buchain dkk. di Sao Paulo, Brazil.
Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 ini menggunakan rancangan penelitian acak terkontrol
(randomized controlled trial) dengan melibatkan 26 orang pasien skizofrenia yang resisten terhadap
pengobatan, yang kemudian diikuti dan dievaluasi selama 6 bulan. Secara acak, mereka terbagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok penelitian
menerima penanganan psikofarmakologi dengan Clozapine yang disertai dengan sesi terapi okupasi,
sedangkan kelompok kontrol hanya menerima Clozapine. Untuk mengevaluasi hasil akhirnya
digunakan skala Interactive Observation in Occupational Therapy (EIOTO). Pada penelitian tersebut
didapatkan bahwa intervensi terapi okupasi ternyata efektif sepanjang periode observasi, terutama
setelah memasuki bulan ke-4 hingga akhir penelitian. Sehingga disimpulkan bahwa kombinasi
Clozapine dan terapi okupasi tampaknya lebih efektif dibandingkan hanya Clozapine saja pada pasien
dengan skizofrenia yang resisten pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan
suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan
meningkatkan kemampuan, dan mempermudah mempelajari keahlian atau fungsi yang dibutuhkan
dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Juga untuk meningkatkan produktivitas,
mengurangi dan atau memperbaiki ketidak normalan (kecacatan), dan memelihara atau
meningkatkan derajat kesehatan
Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi, sebaiknya dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk
oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan
observasi dan tes sederhana.
Tujuan terapi okupasi:
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya
untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser, R.A.,Marder, S.R., Weinberger, D.R. 2005.
Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatry.
162:441–449.
2. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi Keempat. Jilid Pertama.
Jogjakarta : Pustaka Pelajar
3. Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. FamilySupport Predicts
Psychiatric Medication Usage Among Mexican AmericanIndividuals with Schizophrenia. Social
Psyciatry and Psychiatric Epidemology,41. 624-631.
4. Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 777-
83
5. Kaplan H.I, Sadok B.J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta, 1998 : 227-
229
6. Kaplan H.I, Sadok B.J. Comprensive Textbook Of Psychiatry, William & Walkins. 5th Edition, USA,
1998 : 128
7. Maramis, W. F. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan.
8. Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPGDJ-III, Jakarta, 2001 :
65
9. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima.
Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga
10. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Direktorat Kesehatan Jiwa
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993.
11. Occupational therapy practice framework: Domain and process, In American Journal of
Occupational Therapy, vol. 56(6), 2002; p609-639
12. Budiman A, Siahaan H B; Okupasiterapi, Dalam Makalah Pelatihan Terapi Keluarga dan Terapi
Relaksasi, Ciloto, 1993; hal. 1-9.
13. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; Skizofrenia, Gangguan Skizotipal
dan Gangguan Waham, Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III,
Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Cetakan I, 1993; hal. 103-136.
14. Buchain P C, et all; Randomized controlled trial of occupational therapy in patients with
treatment-resistant schizophrenia, In Rev Bras Psiquiatr, vol. 25(1), 2003; p26-30.
Sasaran : Keluarga pasien gangguan jiwa dengan Halusinasi di Ruang Bima RSUD
Banyumas
Tanggal :
1. Latar Belakang
Gangguan jiwa adalah suatu keadaan yang komplek yang memerlukan perawatan secara menyeluruh
.. Peran keluarga diarahkan untuk membantu menemukan masalah yang dialami oleh pasien,
memberikan dukungan emosional dan mencarikan pilihan pemecahan masalah. Banyak pilihan terapi
yang bisa digunakan. Gangguan jiwa yang terjadi di era globalsasi dan persaingan bebas ini
cenderung semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan
seseorang yang di cintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan,krisis
ekonomi, tekanan dalam pekerjaan diskriminasi meningkatkan resiko terjadinya gangguan jiwa
( Suliswati, 2005 ).
Terapi Okupasi membantu menstimulasi pasien melalui aktifitas yang disenangi pasien. Satu jenis
terapi okupasi yag diindikasikan untuk pasien halusinasi adalah aktifitas mengisi waktu luang.
Aktifitas ini bertujuan utuk memberi motivai dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta
mengalihkan perhatian pasien dari halusinasi yang dialami sehngga pikiran pasien tidak terfokus
dengan halusinasinya ( Djunaedi & Yitnarmuti, 2008). Aktifitas mengisi wakyu lung yang diberikan
adalah berupa aktifitas sehari-hari, yaitu aktifitas mengisi waktu luang seperti menyapu,
membersihkan tempat tidur, dan membuat kerajinan. Aktifitas waktu luang dapat membantu pasien
mencegah terjadinya stimuli panca indra tanpa ada rangsang dari luar dan membantu pasien untuk
berhubungan dengan orang lain atau lingkungannya secara nyata ( Creek, 2010).
Setelah mengikuti proses penyuluhan kesehatan, keluarga pasien mampu memahami dan
berperan serta dalam terapi Okupasi pada klien dengan gangguan jiwa
3. Tujuan Instruksional khusus :
Setelah mengikuti proses penyuluhan, keluarga klien dengan gangguan jiwa mampu menjelaskan :
4. Materi (terlampir)
5. Metode
Ceramah
Simulasi
Tanya jawab
6. Media
Laptop
Leaflet
LCD
7. Setting Tempat
Penyaji didepannya
8. Pengorganisasian
1) Moderator :
2) Penyaji :
3) Fasilitator :
4) Observer :
9. Evaluasi
b. Hasil penyuluhan : memberi pertanyaan pada keluarga pasien yang mengikuti penyuluhan
di bangsal Sakura RSU Banyumas:
Proses Penyuluhan
1 Pendahuluan
Menyampaikan tujuan
2 Kegiatan inti
Menjawab pertanyaan
3 Penutup
LAMPIRAN MATERI
TERAPI KOGNITIF
A. Pengertian
Terapi kognitif sebenarnya adalah bagian dari terapi modalitas dalam keperawatan khususnya
keperawatan jiwa. Dikatakan sebagai bagian dari terapi modalitas karena pasien masih dianggap
memiliki potensi, kekuatan atau kemampuan secara kognitif, intelektual, daya pikir dan intelegensia,
hanya selama ini belum termanfaatkan dengan baik bagi perubahan dirinya. Terapi kognitif ini
berfokus pada masalah, orientasi pada tujuan, kondisi dan waktu saat itu. Terapi ini memandang
individu sebagai pembuat keputusan.
Terapi kognitif telah menunjukkan kefektifan penanganan dalam masalah klinik misalnya cemas,
schizophrenic, substance abuse, gangguan kepribadian, gangguan mood. Dalam prakteknya, terapi ini
dapat diaplikasikan dalam pendidikan, tempat kerja dan seting lainnya. Syarat dilakukannya terapi
kognitif adalah pasien sudah menyadari akan isi atau proses fikirnya yang perlu diperbaiki dan
memiliki kemauan untuk berubah.
B. Tujuan