Long Case Pterigium

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 39

Long Case

PTERIGIUM NASALIS GRADE II OS

Oleh:

Dokter Muda Stase Bagian Mata


Periode 11 Maret 2019 – 15 April 2019
Nia Githa Sarry 0408
Nyimas Shafira 040
Saraswati Annisa 04084821820033
Rifqoh Trikurnia 0408
Levanya Anbalagan 040
Nurul Izzah Samsir 040

Pembimbing:
dr. Linda Trisna, Sp.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus:
PTERIGIUM NASALIS GRADE II OS

Oleh:
Nia Githa Sarry 0408
Nyimas Shafira 040
Saraswati Annisa 04084821820033
Rifqoh Trikurnia 0408
Levanya Anbalagan 040
Nurul Izzah Samsir 040

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode 11 Maret 2019 – 15 April 2019.

Palembang, April 2019

dr. Linda Trisna, Sp.M(K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
PTERIGIUM NASALIS GRADE II OS untuk memenuhi tugas ilmiah yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di
Departemen Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Mohammad
Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Linda Trisna, Sp.M(K) selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada para residen, teman-teman
dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus
ini. Penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun
penyajiannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak guna penyempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, April 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN .....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................3
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................37

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pterigium seperti segitiga yang tumbuh dari arah temporal
maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata
pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini
mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva
bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh
jaringan hialin dan elastik.1
Terbentuknya pterigium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat
sinar ultraviolet, kelembapan yang rendah, dan lingkungan yang banyak angin.
Dugaan ini didasari karena pterigium sering terdapat pada orang yang sebagian
besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu,
atau berpasir Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Kasus pterygium yang
tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Kasus pterigium sering
ditemukan ni Australia bagian utara dan biasanya pada pasien dengan profesi petani
dan peselancar yang banyak menghabiskan waktu di luar ruangan, tetapi pterigium
dapat mengenai siapa saja.Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah
ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan
rentang umur 20-49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.
Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan
pasien usia tua.1,2
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi
resiko kekambuhan.1,2

3
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. MS
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Palembang
Tanggal Pemeriksaan: 20 Maret 2019

a. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh terdapat selaput berwarna putih pada mata
kiri yang terasa mengganjal sejak ±7 hari yang lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ±1 tahun yang lalu, pasien mengeluh muncul selaput
berwarna putih pada mata daerah dekat hidung pada mata kiri yang
terasa mengganjal. Pasien mengaku selaput putih yang muncul semakin
lama semakin meluas. Keluhan lain pada pasien ini adalah mata terasa
gatal dan berair saat terpapar sinar matahari. Keluhan melihat lain
seperti nyeri (-), mata merah (+), kotoran mata (-), mata berair-air (-),
perih (-), seperti melihat dalam terowongan (-), pandangan ganda (-),
sulit membuka dan menutup mata (-), benjolan pada kelopak mata (-),
seperti melihat asap (-), seperti melihat benda berterbangan (-), dan
seperti melihat tirai (-). Keluhan lain seperti nyeri ulu hati, sakit kepala,
mual muntah disangkal. Pasien belum pernah berobat mata sebelumnya.

4
Sejak ±7 hari yang lalu pasien mengeluh mata kiri terasa perih
dan rasa mengganjal seperti kelilipan semakin dirasakan. Pasien juga
mengeluh mata kabur (+), mata merah (+), berair-air (+). Keluhan
penurunan penglihatan pada mata disangkal. Keluhan melihat lain
seperti nyeri (-), kotoran mata (-), perih (-), seperti melihat dalam
terowongan (-), pandangan ganda (-), sulit membuka dan menutup mata
(-), benjolan pada kelopak mata (-), seperti melihat asap (-), seperti
melihat benda berterbangan (-), dan seperti melihat tirai (-). Keluhan
seperti nyeri ulu hati, sakit kepala, mual muntah disangkal. Pasien juga
mengaku sering terpapar debu, iritan, dan sinar matahari secara intens
(+) saat bekerja. Kemudian pasien berinisiatif berobat ke Rumah Sakit
Khusus Mata Masyarakat Palembang untuk mengetahui tentang
keluhannya.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit mata yang sama sebelumnya disangkal
 Riwayat mata merah sebelumnya disangkal
 Riwayat trauma pada mata disangkal
 Riwayat operasi pada mata disangkal
 Riwayat memakai kacamata / lensa kontak disangkal
 Riwayat menderita darah tinggi disangkal
 Riwayat menderita kencing manis disangkal
 Riwayat alergi disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Terdapat keluhan mata yang sama pada keluarga pasien, yaitu pada
kakak kandung pasien

b. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
5
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 85 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7o C
Status Gizi : Baik

b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus 6/9 ph 6/6 6/9 ph 6/6


Tekanan intraocular 15,0 mmHg 17,0 mmHg

Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Terdapat jaringan
fibrovaskular nasal yang
Tenang berbentuk segitiga
terbalik dengan puncak
telah melewati limbus

6
kornea kurang dari 2 mm
dan tidak melebihi
pinggiran pupil mata
Kornea Jernih Jernih
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, refleks cahaya Bulat, sentral, refleks
(+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm

Lensa Jernih Jernih


Refleks Fundus RFOD (+) RFOS (+)
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d ratio 0.3, merah normal, c/d ratio 0.3,
a/v 2:3 a/v 2:3
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
Retina Kontur pembuluh darah baik, Kontur pembuluh darah
eksudat (-), darah (-) baik, eksudat (-), darah (-)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Slit Lamp

d. Diagnosis Banding
 Pterigium Nasalis Grade II OS
 Pseudopterigium Nasalis OS
 Pingeukula Nasalis OS

e. Diagnosis Kerja
Pterigium Nasalis Grade II OS

f. Tatalaksana
1. Informed Consent
2. KIE
 Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan pada pasien
kemungkinan disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya
sinar matahari, dan udara yang panas.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput putih yang terdapat pada
kedua mata pasien bersifat lebih sensitif terhadap paparan iritan
7
(debu, cahaya sinar matahari, udara panas) sehingga pada bagian
tersebut akan lebih mudah mengalami proses peradangan, sebagai
contoh, rasa nyeri atau kemerahan lebih mudah terjadi pada bagian
tersebut.
 Menjelaskan kepada pasien untuk menggunakan kacamata
pelindung untuk mencegah iritasi pada mata atau menggunakan topi
lebar saat beraktivitas di luar rumah pada siang hari.
 Menjelaskan kepada pasien untuk menggunakan obat secara baik
dan benar.
 Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggosok mata ketika
terasa mengganjal, perih ataupun gatal.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa kelainan pada matanya ini dapat
bersifat progresif (selaput putih bisa mencapai ke tengah mata) dan
dapat mengganggu penglihatan. Oleh karena itu, kelainan ini hanya
dapat ditangani dengan melakukan pembedahan dengan melakukan
pengangkatan selaput tersebut. Selain itu juga mengatakan pada
pasien bahwa kelainan mata ini dapat berulang meskipun sudah
dilakukan pembedahan.

3. Farmakologi
 Artificial Tears ED 6 x 1 gtt OS

4. Non Farmakologi
 Rujuk ke dokter spesialis mata untuk dilakukan tindakan
pembedahan: Eksisi pterigium + Autograft Konjungtiva OS

g. Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

8
LAMPIRAN

Gambar 1. Okuli dekstra dan sinistra kondisi terbuka

Gambar 2. Okuli dekstra dan sinistra kondisi tertutup

Gambar 3. Okuli dekstra


Gambar 4. Okuli sinistra

Gambar 5. Okuli sinistra dengan slit lamp

2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama
konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena
fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari
pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut
sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral. Konjungtiva dapat
dibagi menjadi 3 bagian:3
a. Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni
konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang
dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai
ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona
transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis,
transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada
seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat
pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara
tarsal dan forniks.
b. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sklera dan melekat lebih erat
pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral
dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3 mm dari konjungtiva
bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.
c. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra
superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar,
maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika
otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva3

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan. Ketiga lapisan


tersebut yaitu:3
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing
daerah dan dalam bagian-bagian. Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis
epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel, yaitu
lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari
sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel yaitu
lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel
polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva
memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan
2
ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan
ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan.
Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak
menghasilkan reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh
dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul
Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler
yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan
kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini
mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva.
Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan
ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah
forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan
sepanjang batas bawah tarsus inferior).3

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal3

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah


muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya
berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di
3
canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan
modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.3
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni
arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri
ciliaris anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-
cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar
diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang
merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang
merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva
posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus
kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris
anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial
dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan
sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus kornea pada
konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang
mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.3

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva3

4
3.2 Anatomi Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea
terdiri dari lima lapis, yaitu:1
1. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.1
2. Membran Bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.1

3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.1
5
4. Membrane descement

 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma


kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.

 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,


mempunyai tebal 40µm.1

5. Endotel
 Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.1
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.1
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi. Kornea merupakan bagian mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk kornea dilakukan oleh kornea.1

6
Gambar 4. Anatomi Kornea3

3.3 Etiologi
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling
mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar
sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Ada beberapa
konsep tentang patofisilogi tentang pterigium, diantaranta:3,4
a. Konsep patogenesis awal. Hubungan antara perkembangan pterigium dan
gaya hidup tertentu, seperti bekerja di luar ruangan atau terkena paparan
sinar matahari atau debu. Semuanya dapat berperan memunculkan iritasi
kronis pada mata. Kongesti vaskular konjungtiva sering terjadi di daerah
tubuh pterygium yang menyebabkan gangguan aktivitas rektus medial, yang
mendasari daerah pertumbuhan pterygium ke arah nasal, dapat
menyebabkan potensi terjadinya gangguan aliran darah terkait dengan
pertumbuhan pterigium.
b. Konsep warisan. Laporan awal menyebutkan kemungkinan pola dominan
autosomal dari warisan, sesuai dengan kasus kejadian pterigium dalam
keluarga. Namun, tidak dapat diverifikasi apakah pterigium itu sendiri

7
diwariskan, sebagai sifat independen, atau pada individu beresiko terkena
jika rentan terkena efek okulodermal cahaya matahari. Deteksi keterlibatan
gen supresor tumor potensial di pterygium sementara diteliti,
c. Peran UV. Korelasi epidemiologi yang kuat antara perkembangan
pterygium dan paparan sinar matahari telah menyebabkan asumsi bahwa
beberapa bagian dari radiasi matahari mungkin memiliki peran patogenetik
langsung. Bentuk periorbital, termasuk bagian superior orbital, adanya alis
dan hidung menonjol menyiratkan bahwa mata relatif terlindung dari
paparan cahaya langsung dari atas. Di sisi lain, mata relatif terlindungi dari
penyebaran cahaya dari bawah atau lateral. Laporan awal peningkatan
kemungkinan terjadinya pterigium adalah kombinasi paparan cahaya
matahari dengan paparan debu atau pasir, sehingga mengarah ke
peradangan permukaan mata secara kronis.
d. Stres oksidatif. Peningkatan UVR terkait stres oksidatif telah dilaporkan
dalam kasus pterygium, dibandingkan dengan konjungtiva normal,
menyebabkan induksi protein. Yang terakhir ini telah berkorelasi dengan
oksidasi DNA dan down-regulasi p53. Telah dinyatakan bahwa adanya
deposit besi di bagian head pterygium di kornea dapat disebabkan oleh
adanya stres oksidatif yang mempengaruhi sel-sel epitel lokal dan
mengakibatkan homeostasis besi terganggu.
e. Keterlibatan virus. Meskipun laporan awal menyebutkan kemungkinan
menular dari pterygium tentang masalah ini buktinya tidak konklusif.
Namun, munculnya PCR sebagai alat penelitian memungkinkan
penyelidikan rinci untuk DNA virus dalam sampel dari kedua pterygium
dan konjungtiva normal. Keberadaan virus diketahui menyebabkan infeksi
oculodermal, seperti Herpes Simpleks Virus (HSV), dan Human Papilloma
Virus (HPV), diperiksa. Hasil dari beberapa penelitian menunjuk ke arah
keterlibatan HPV dalam pterigium meskipun perbedaan regional dan ras
besar telah dilaporkan.

8
3.4 Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial
growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.5,6
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah
epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.5,6
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan
degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh
epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami
degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan
hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular
sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari
sel goblet.5,6
9
3.5 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium
dan progresifitasnya.
a. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3, yaitu:3,7
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm
dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas
ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata
serta kebutaan

b. Berdasarkan stadium, pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:3,7


- Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
- Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
10
- Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

c. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:3,8
- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskularisasi dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari
pterigium).
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.
Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

Gambar 5. Pterigium stadium 19 Gambar 6. Pterigium stadium 29

Gambar 7. Pterigium stadium 33 Gambar 8. Pterigium stadium 43

11
3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala atau asimtomatik pada tahap awal, sampai dengan gejala kemerahan yang
signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi. Pterigium akan bergejala pada penglihatan
ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Selain
itu, kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga
dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan
mengalami penglihatan ganda atau diplopia.3,7

b. Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium mungkin terjadi
unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva
yang mencapai kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal
dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal, serta di lokasi lainnya. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel
kornea anterior disebut “Stocker’s line”.3,7
Sebagai progresifitas penyakit, meningkat ukuran lesi dan menjadi lebih
jelas terlihat tidak menyenangkan dari sisi kosmetik bagi pasien. Pertumbuhan lebih
lanjut dapat menyebabkan gangguan visual karena dapat menyebabkan astigma
atau perambahan langsung ke sumbu visual. Pterigium terdiri dari tiga bagian:7,10
- Caput
- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),
- Collum (bagian limbal),
- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan kantus.

12
Gambar 9. (A) Cap; (B) Apeks; (C) Corpus10

3.7 Diagnosis Banding

1. Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi. Keadaan ini
tampak sebagai nodul kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di
daerah aperture palpebrae. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastik
bening, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Penebalan terbatas pada
konjungtiva bulbi. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik.1,3
Pinguekula sangat sering pada orang dewasa, terutama yang matanya sering
mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Pada umumnya tidak
diperlukan terapi, tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal lemah
(mis., prednisolone 0.12 %) atau obat anti inflamasi non steroid.1,3

13
Gambar 6. Pingueculum3

2. Pseudopterigium
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini merupakan
suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Biasanya terjadi pada luka
bakar akibat zat kimia pada mata. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat
masuk di antara konjungtiva dan kornea.1,11
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu
didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea.1,11

14
Gambar 7. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjunctiva
bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal8

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum

Reaksi tubuh dalam Iritasi atau


Proses
Sebab proses penyembuhan kualitas higienitas
degeneratif
dari luka air yang kurang.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya
dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak

Dewasa &
Usia Dewasa Anak-anak
anak-anak
Konjunctiva
Bisa terjadi darimana Terbatas pada
Lokasi yang dapat
saja konjuntiva bulbi
mencapai kornea

3.8 Penatalaksanaan
Hanya ada sedikit konsensus dalam komunitas oftalmologi yang meneliti
tentang manajemen medis dan bedah yang optimal pada peterigium. Pada awal
proses penyakit, dokter sering mengambil pendekatan konservatif, membatasi
terapi untuk pebobatan secara lubrikasi. Karena radiasi UV diyakini menjadi faktor

15
risiko penting, dokter harus merekomendasikan bahwa pasien dengan peterigium
stadium awal menggunakan kacamata pelindung yang tepat. Jika lesi tumbuh terus,
intervensi bedah menjadi lebih penting.10
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan
yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.10
1. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topikal lubricating
drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta
sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-
inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu,
penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan
radiasi ultraviolet lebih lanjut.3,12
2. Terapi pembedahan
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler:12,13
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan
corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan gunting
konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah menyerang kornea
sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi
bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus
mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma
yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.10,12,13
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang
digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium: 10,12,13
16
a. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali
konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. Namun teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan.
b. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
c. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
e. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
f. Amnion membran grafting: membran amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera telanjang, dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu membran
amnion graft menempel pada jaringan episklera dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autograft konjungtiva.3,10

17
Gambar 8. Teknik operasi eksisi peterigium: A, diseksi head dari kornea;
B, eksisi jaringan peterigium dibawah konjungtiva; C, direct closure atau
penjahitan konjungtiva setelahnya; D, teknik bare sclera-menjahit
konjungtiva ke jaringan episklera; E, free conjunctival graft setelah
dilakukan eksisi pterigium3

3. Terapi adjuvant
Tingkat kekambuhan yang tinggi setelah operasi menjadi sebuah masalah,
dan terapi medis ajuvan telah dimasukkan ke dalam manajemen
penyembuhan dari pterigium. Penelitian telah menunjukkan bahwa

18
tingkat kekambuhan menurun jauh dengan penambahan terapi ini.
Namun, bukan tanpa komplikasi sendiri.10
 MMC (Mitomycin C)
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, tingkat dosis yang aman dan efektif minimal
belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperatif dari MMC langsung ke scleral bed setelah peterigium
dieksisi, dan penggunaan tetes mata MMC topikal pasca operasi.
Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.10
 Iradiasi Beta
Iradiasi Beta juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel yang membelah dengan cepat
dari peterigium, meskipun tidak ada data tingkat kekambuhan yang
jelas tersedia. Namun, efek samping dari radiasi termasuk nekrosis dan
mencairnya sklera, endophthalmitis dan pembentukan katarak
sektoral.10

3.9 Komplikasi
Komplikasi pterygium diantaranya adalah iritasi, kemerahan, diplopia,
distorsi / penurunan penglihatan dan jaringan parut pada konjungtiva, kornea dan
musculus rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, reaksi terhadap
bahan jahitan, diplopia dan jaringan parut. Ablasi retina, perdarahan vitreous dan
perforasi bisa terjadi namun sangat jarang.12
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah kekambuhan
atau rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-
80%. Tanpa terapi tambahan yang efektif, ada risiko tinggi kekambuhan setelah
excisions diulang. Ada data luas untuk mendukung bahwa penggunaan transplantasi
membran amnion dalam mengurangi tingkat kekambuhan pada kedua pterigium
primer dan berulang. Operasi terdiri dari penghapusan menyeluruh jaringan
19
abnormal, memulihkan matriks di daerah eksisi melalui penggunaan membran
amnion yang menyediakan membran basement baru untuk epitelisasi cepat. Untuk
lebih mengurangi peradangan, suntikan subconjunctival kortikosteroid dapat
dipertimbangkan.12

3.10 Edukasi dan Pencegahan


Edukasi yang dilakukan antara lain menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana pengobatan, serta komplikasi yang bisa terjadi, menjelaskan
perlunya kontrol, menjelaskan prognosis penyakit yang diderita pasien, serta men
yarankan untuk menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan paparan sinar
matahari, memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktifitas di luar rumah
saat siang hari.3
Banyak penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani, yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet, dianjurkan
untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari. Hal ini dilakukan untuk
mencegah seseorang terkena pterigium.2,3

3.11 Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya penglihatan dan
kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan
kombinasi operasi dan sitostatik tetes mata atau beta radiasi. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau
transplantasi membran amnion.3,4

20
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. MS, 41 tahun datang dengan keluhan sejak ±1 tahun yang lalu muncul
selaput berwarna putih pada mata kiri yang terasa mengganjal. Pasien mengaku
selaput putih yang muncul semakin lama semakin meluas. Keluhan lain pada pasien
ini adalah mata terasa gatal dan berair saat terpapar sinar matahari. Sejak ±7 hari
yang lalu pasien mengeluh mata kiri terasa perih dan rasa mengganjal seperti
kelilipan semakin dirasakan. Pasien juga mengeluh mata terasa kabur, mata merah
ada, berair-air ada. Pasien juga mengaku sering terpapar debu, iritan, dan sinar
matahari secara intens saat bekerja. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya
disangkal. Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat operasi pada mata
disangkal. Riwayat penggunaan kaca mata / lensa kontak disangkal. Riwayat
menderita darah tinggi dan kencing manis disangkal. Riwayat alergi disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas
normal. Sedangkan dari pemeriksaan status oftalmologi didapatkan tajam
penglihatan mata kanan dan kiri pasien 6/9 dan setelah menggunakan pinhole
menjadi 6/6. Hal ini menunjukkan gangguan penglihatan pada pasien dikarenakan
adanya gangguan refraksi bukan karena kelainan organik pada media refrakta mata.
Pada mata kiri terdapat jaringan fibrovaskular nasal yang berbentuk segitiga
terbalik berjalan dari kantus media dengan puncak telah melewati limbus kornea
kurang dari 2 mm dan tidak melebihi pinggiran pupil mata. Pemeriksaan segmen
anterior lain dan segmen posterior dalam batas normal.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan berupa mata
merah tanpa penurunan visus. Keluhan mata merah tanpa penurunan visus dapat
didiagnosis banding dengan konjungtivitis, pendarahan subkonjungtiva, pterigium,
pinguekula, dan episkleritis. Diagnosis banding tersebut dapat disingkirkan satu
per satu dengan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi.
Pada anamnesis didapatkan keluhan muncul selaput berwarna putih pada
mata kiri yang terasa mengganjal dan semakin lama semakin meluas disertai mata

21
terasa gatal dan berair saat terpapar sinar matahari tanpa adanya penurunan visus.
Sedangkan pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan pada mata kiri terdapat
jaringan fibrovaskular nasal yang berbentuk segitiga terbalik berjalan dari kantus
media dengan puncak telah melewati limbus kornea kurang dari 2 mm dan tidak
melebihi pinggiran pupil mata. Temuan ini mengarahkan diagnosis pada pterigium.
Konjungtivitis dapat terjadi antara lain akibat virus, bakteri, maupun alergi.
Pasien dengan konjungtivitis biasanya mengeluhkan mata merah yang tidak disertai
penurunan visus. Selain itu, pasien juga biasanya mengeluhkan mata terasa perih
dan seperti ada yang mengganjal dan kotoran pada mata yang keluar terus menerus.
Keluarnya kotoran dari mata disebabkan adanya peradangan pada bagian
konjungtiva dari mata, dimana pada konjungtiva terdapat banyak kelenjar. Infeksi
konjungtiva menyebabkan terjadi hipersekresi dari kelenjar tersebut. Pada
konjungtivitis bakteri, sekret biasanya berwarna kuning, kental dan biasa keluar
dalam jumlah besar sehingga mata agak sulit dibuka. Pada konjungtivitis virus,
warna kotoran biasanya bening Sedangkan pada konjungtivitis alergi, biasanya
pasien memiliki riwayat atopi atau alergi pada keluarga, serta ada pajanan terhadap
alergen sebelum muncul gejala. Pada kasus pasien lebih mengeluhkan rasa
mengganjal pada mata dari pada mata merah dan tidak terdapat kotoran dari mata
yang keluar terus menerus yg mengarah ke penyakit konjungtivitis sehingga
diagnosis banding konjungtivitis dapat disingkirkan.
Pendarahan subkonjungtiva ditandai dengan adanya darah berwarna merah
segar pada konjungtiva bulbi tanpa disertai nyeri pada mata maupun penurunan
visus. Pendarahan subkonjungtiva dapat terjadi pada keadaan dimana pembuluh
darah rapuh seperti pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis
hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan, dan batuk rejan. Pada kasus tidak
terdapat darah berwarna merah segar pada konjungtiva bulbi sehingga diagnosis
banding pendarahan subkunjungtiva dapat disingkirkan.
Diagnosis banding lain mata merah tanpa penurunan visus yaitu episkleritis
dan skleritis. Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera, biasanya mengenai satu mata
dan terutama menyerang perempuan usia pertengahan dengan kelainan bawaan
22
rematik. Keluhan pasien dapat berupa mata terasa kering dengan sakit yang ringan,
mengganjal, dengan konjungtiva yang kemotik. Pada episkleritis, terdapat
gambaran khas yaitu benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu
di bawah konjungtiva. Diagnosis banding episkleritis pada kasus dapat
disingkirkan karena tidak adanya benjolan setempat dengan batas tegas dan warna
merah ungu di bawah konjungtiva. Pada kasus juga tidak terdapat nyeri hebat pada
mata dan tidak adanya benjolan yang berwarna sedikit biru jingga sehingga
diagnosis skleritis dapat disingkirkan.
Pinguekula dapat pula menyebabkan keluhan mata merah apabila terjadi
iritasi. Akan tetapi diagnosis banding pinguekula dapat disingkirkan karena tidak
adanya benjolan pada konjungtiva bulbi.
Beberapa penyebab mata merah lainnya seperti keratitis, uveitis, dan
glaukoma akut bisa dibedakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada keratitis,
pasien biasanya mengeluhkan mata silau, penglihatan kabur, nyeri serta sulit untuk
membuka mata. Gejala tersebut tidak terdapat pada pasien ini. Selain itu dari
pemeriksaan fisik, biasanya terlihat infiltrat pada kornea, peri corneal vascular
injection (PCVI), edema kornea dan bisa tampak ulkus pada kornea pasien.
Sedangkan pada uveitis, pasien juga bisa mengeluhkan nyeri pada mata, mata
merah, dan dari pemeriksaan fisik bisa tampak miosis dan hipopion. Dan pada
glaukoma, pasien mengeluhkan nyeri hebat pada mata disertai mual muntah, dan
penurunan penglihatan. Dari pemeriksaan fisik, tampak bilik mata depan dangkal
serta tekanan bola mata yang meningkat.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (gradasi klinis
menurut Youngson):1
 Grade I: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Grade II: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
 Grade III: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm)
23
 Grade IV: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
Sehingga pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan pterigium nasal grade
II OS. Patofisiologi pada kasus ini diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar
ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan angin yang banyak. Faktor lain
yang menyebabkan pertumbuhan pterigium antara lain uap kimia, asap, debu dan
benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi juga
menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini2, dimana pasien
mengaku kakak kandung pasien memiliki kondisi mata yang sama dengan pasien.
Faktor lingkungan yang mungkin dapat menyebabkan pertumbuhan pterigium pada
kasus ini berkaitan dengan pekerjaan pasien sehari-hari, yaitu berdagang di pinggir
jalan, dimana kontak dengan sinar ultraviolet, debu, dan kekeringan ini akan
mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea.2
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3
Pterigium pada kasus ini terjadi unilateral, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan pterigium dapat mengenai kedua mata karena mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Pterigium terdapat pada regio nasal, yang menurut literatur dijelaskan
bahwa semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Selain itu, daerah
nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva
lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.4
24
Indikasi operasi pterigium yaitu pterigium yang menjalar ke kornea sampai
lebih 3 mm dari limbus, pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus
dan tepi pupil, pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus, serta masalah kosmetik terutama untuk pasien wanita.4
Pada pasien ini, belum diindikasikan untuk dilakukan operasi karena belum
menyebabkan gangguan penglihatan, pterigium telah melewati limbus kornea
namun kurang dari 2 mm dan tidak melebihi pinggiran pupil mata. Pada pasien ini
diberikan obat tetes mata artificial tears sebagai lubricant pada mata yang kering
dan teriritasi karena kondisi lingkungan.
Prognosis quo ad vitam pada mata kiri pasien ini adalah bonam karena
pterigium tidak mengancam nyawa. Prognosis quo ad functionam pada mata kiri
pasien ini adalah dubia ad bonam karena belum mengenai aksis visual (belum
mencapai pupil). Prognosis quo ad sanationam pada mata kiri pasien ini adalah
dubia ad bonam dikarenakan menurut literatur apabila dilakukan eksisi pterigium
dengan autograft konjungtiva persentase kemungkinan terjadinya rekurensi
pterigium adalah 10% jika dibandingkan dengan teknik bare sclera yang tingkat
rekurensinya mencapai 60%.1
Edukasi yang dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi dan prognosis penyakit
yang diderita, serta menyarankan pasien memakai kacamata hitam atau topi lebar
saat beraktivitas di luar rumah dan saat bekerja pada siang hari.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas,Sidharta. 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI
2. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2009. Konjungtiva. Dalam Oftamologi
umum. Edisi 17. Jakarta: Widya Medika. Hal 123.
3. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Fourth edition. New Delhi:
New international publisher; 2007. p:51-54, 80-82
4. Detorakis ET, Spandidos DA. Pathogenetic mechanisms and treatment
option for ophthalmic pterygium: trends and perspectives. Yunani:
University of Crete; 2009. p:439-445
5. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of
pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.
2010;10(4):308-13
6. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313
7. Suprapto N, Irawati Y. Pterigium. Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Ed: Tanto C, Liwang F, Hanifa S, Pradipta E. Jakarta: media
Aesculapius. 2014. 370-371
8. Detorakis ET, Spandidos DA. Pathogenetic mechanisms and treatment
option for ophthalmic pterygium: trends and perspectives. Yunani:
University of Crete; 2009. p:439-445
9. Fransisco J, Verter G, Ivan R. Penyakit degeneratif konjungtiva. Dalam
Buku Vaugan dan Asbury’s General ophthalmology. Edisi 17. Jakarta: EGC;
2014. p:119-120
10. Aminlari A, Singh R, Liang D. Manajemen of pterigium. 2010. p:37-38
11. Solomon AS. Pterigium. Goldschleser eye research institute; 2006. p:664-
666
12. Raju VK, Chandra A, Doctor R. Management of pterygium – A brief review.
2008.

26
13. Leonard PK, Jocelyn LL, Donald. Current concepts and technique in
pterigium treatment. Singapore: National university of Singapore and
Singapore Eye Research Institue; 2007. p:308-312

27

Anda mungkin juga menyukai