LP Hisprung Anak

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

KONSEP DASAR

A. Pengertian
Penyakit Hirschprung / Hisprung adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun
1886. Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus
spontan (Betz,Cecily&Sowden:2000)
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm
dengan berat lahir £3Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief
Mansjoeer,2000).
Ada beberapa pengertian mengenai Hisprung atau Mega Colon, namun pada intinya
samayaitu, penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak
mampunya spinkter rectum berelaksasi.

B. Etiologi
1. Karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam
dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukosa untuk berkembang
ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
2. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon.
3. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon
sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)
1. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
2. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak
dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,
gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Budi,
2010).
C. Patofisiologi
Penyakit Hirscprung, atau megakolon kongenital adalah tidak adanya sel-sel
ganglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan.
Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara
normal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut,
menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Penyakit
hirscprungdiduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun
etiologi sebanarnya tidak diketahui. Penyakit hairscprung dapat muncul pada sembarang
usia, walaupun sering terjadi pada neonatus.

Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat
lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi.
Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas.
Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau
busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 ).
D. Manifestasi Klinis
1. Masa neonatal
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Enggan minum
d. Distensi abdomen

2. Masa bayi dan kanak-kanak


a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Gagal tumbuh

E. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1. Rontgen perut (menunjukkan pelebaran usus besar yang terisi oleh gas dan tinja)
2. Barium enema
3. Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara mengembangkan
balon di dalam rektum)
4. Biopsi rektum (menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf)

b. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Hirschprung


1. Radiologi
 Pada foto polos abdomen memperlihatkan obstruksi pada bagian distal dan dilatasi
kolon proksimal.
 Pada foto barium enema memberikan gambaran yang sama disertai dengan adanya
daerah transisi diantara segmen yang sempit pada bagian distal dengan segmen
yang dilatasi pada bagian yang proksimal. Jika tidak terdapat daerah transisi,
diagnosa penyakit hirschprung ditegakkan dengan melihat perlambatan evakuasi
barium karena gangguan peristaltik.
2. Laboratorium
Tidak ditemukan adanya sesuatu yang khas kecuali jika terjadi komplikasi, misal :
enterokolitis atau sepsis.
3. Biopsi
Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah
terdapat ganglion atau tidak.Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak
ditemukan.
4. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi
pembusukan.

F. Penatalaksanaan Hirschprung
a. Pembedahan
Pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan
kolostomi loop ataudouble–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan
hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila
umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 Kg), satu dari tiga
prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan
menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus.
Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1
tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda
yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik
tersebut.
Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan saluran anal yang
dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan
prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung.
Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal
ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan
jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
b. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan
sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
c. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat
didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk.
Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
d. Perawatan
Perawatan yang terjadi :
a. Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga modifikasi diet dan
wujud feses adalah efektif.
b. Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam megakolon toksik-
Tidak memadatkan dan tidak menekan feses menggunakan tuba anorektal dan
nasogastric.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian.
1. Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan
seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
(Ngastiyah, 1997).
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut
kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir
dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga
yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam.
Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e. Imunisasi.
Tidak ada imunisasi khusus untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan
g. Nutrisi
Nutrisi kurang dari kebutuhan karena anak malas makan, mual dan muntah
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan
Sesak napas, distres pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak
yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan
pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang
menyemprot.
d. Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
e. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.kelemahan, kekuatan otot menurun.
f. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
g. Sistem integumen.
Gangguan integritas, karena luka terutama pada pasien dengan post op.
h. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.

C. Diagnosa Keperawatan pada Askep Hisprung


Pre Operatif
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya
daya dorong.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.

Post Operatif
1. Ganggau rasa nyaman :Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
berhungungan dengan luka post op
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka post op
3. Resiko komplikasi pascapembedahan
D. Perencanaan Keperawatan pada Askep Hisprung
Pre Operatif
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami
ganggguan eliminasi dengan kriteria
defekasi normal, tidak distensi abdomen
Intervensi : Rasional :
a. Lakukan Wash out a. Untuk mengencerkan feses sehingga
b. Monitor cairan yang keluar dari feses dapat keluar
kolostomi. b. Mengetahui warna dan konsistensi feses
c. Pantau jumlah cairan kolostomi. dan menentukan rencana selanjutnya
d. Pantau pengaruh diet terhadap pola c. Jumlah cairan yang keluar
defekasi. dapatdipertimbangkan untuk penggantian
cairan
d. Untuk mengetahui diet yang
mempengaruhi pola defekasi terganggu.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
dengan kriteria dapat mentoleransi diet
sesuai kebutuhan secara parenteal atau per
oral.
Intervensi : Rasional :
a. Berikan nutrisi parenteral sesuai a. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
kebutuhan. b. Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai
b. Pantau pemasukan makanan selama kebutuhan
perawatan. c. Untuk mengetahui perubahan berat badan
c. Pantau atau timbang berat badan.
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh
terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami
dehidrasi, turgor kulit normal
Intervensi : Rasional :
a. Monitor tanda-tanda dehidrasi. a. Mengetahui kondisi dan menentukan
b. Monitor cairan yang masuk dan langkah selanjutnya
keluar. b. Untuk mengetahui keseimbangan
c. Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan cairan tubuh
yang diprograrmkan. c. Mencegah terjadinya dehidrasi

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.


Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman
terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan
pola tidur.

Intervensi : Rasional :
a. Kaji terhadap tanda nyeri. a. Mengetahui tingkat nyeri dan
b. Berikan tindakan kenyamanan : menentukan langkah selanjutnya
menggendong, suara halus, b. Upaya dengan distraksi dapat
ketenangan. mengurangi rasa nyeri
c. Berikan obat analgesik sesuai c. Mengurangi persepsi terhadap nyeri
program. yamg kerjanya pada sistem saraf pusat

5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak
Tujuan : koping keluarga efektif dengan
criteria keluarga mengetahu kondisi klien
dan program serta informasi penngobatan
dan perawatan klien.
Intervensi : Rasional :
a. Kaji tingkat pengetahuan keluarga a. Mengetahui tingkat pengetahuandan
tentang status kesehatan klien. menentukan langkah selanjutnya
b. memberikan koping yang kua
c. meningkatkan koping klien
b. Berikan informasi yang tepat
tentang konsisi serta program
pengobatan dan perawatan klien
c. Berikan motivasi pada keluarga.

Post Operatif
1. Gangguan rasa nyaman :Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
berhungungan dengan luka post op
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman
terpenuhi dengan kriteria tidak nyeri,
tanda vital dalam batas normal

Intervensi : Rasional :
a. Lakukan observasi atau monitoring a. Mengetahui tingkat nyeri dan
tanda skala nyeri. menentukan langkah selanjutnya
b. Lakukan teknik pengurangan nyeri b. Upaya dengan distraksi dapat
seperti teknik pijat punggung (back mengurangi rasa nyeri
rub), sentuhan. c. Mengurangi nyeri , memberikan
c. Pertahankan posisi yang nyaman bagi kenyamanan pada pasien
pasien. d. Mengurangi nyeri
d. Kolaborasi dalam pemberian
analgesik apabila dimungkinkan.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka post op


Tujuan : Tidak terjadi infeksi dengan
criteria tidak terdapat tanda – tanda infeksi
Intervensi : Rasional :
a. Monitor tempat insisi. a. untuk mengetahui ada atau tidaknya
b. Ganti popok yang kering untuk tanda – tanda infeksi
menghindari konstaminasi feses. b. mencegah terjadinya iritasi akibat dari
c. Lakukan keperawatan pada feses
kolostomi atau perianal. c. Mencegah terjadiya infeksi
d. Kolaborasi pemberian antibiotik d. mencegah terjadinya infeksi dengan
dalam penatalaksanaan membunuh mikroorganisme
pengobatan terhadap
mikroorganisme.
.

3. Resiko komplikasi pasca pembedahan


Tujuan : tidak terjadi komplikasi
pembedahan dengan kriteria tidak terjadi
striktur ani, adanya perforasi, obstruksi
usus, kebocoran,denganmempertahankan
status pascapembedahan agar lebih baik
dan tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Intervensi : Rasional :
a. Monitor tanda adanya komplikasi a. Mengetahui adanya komplikasi
seperti: obstruksi usus karena b. eristaltic yang baik menunjukan tidak
perlengketan, volvulus, kebocoran adanya komplikasi
pada anastomosis, sepsis, fistula, c. perubahan ttv akan menujnukan
enterokolitis, frekuensi defekasi, adanya proses peradangan sebagai
konstipasi, pendarahan dan lain-lain. respon dari komplikasi tyang terjadi
b. Monitor peristaltik usus.
c. Monitor tanda vital dan adanya
distensi abdomen untuk
mempertahankan kepatenan
pemasangan naso gastrik.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz Alimul Hidayat. 2005. Pengantar Keperawatan Anak II Edisi I. Salemba Medika. Jakarta
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI : Jakarta
Nelson. 1998. Ilmu Kesehatan Anak: Ilmu Pediatric Perkembangan edisi kedua. EGC. Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai