FKP N 136-17 Hil S Sec
FKP N 136-17 Hil S Sec
FKP N 136-17 Hil S Sec
SKRIPSI
PENELITIAN KUALITATIF
Oleh:
SKRIPSI
PENELITIAN KUALITATIF
Oleh:
ii
iii
iv
MOTTO
vi
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
limpahan karuniaNya, sehingga dapat terselesaikannya skripsi dengan judul
“Stigma Keluarga yang Memiliki Anggota Keluarga dengan Gangguan Jiwa:
Skizofrenia”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga.
Bersama ini perkenankan saya mengucapkan terima kasih dengan hati yang
tulus kepada:
1. Dr. Ah. Yusuf S., S.Kp., M.Kes., selaku pembimbing I yang telah
memberikan dukungan, bimbingan dan pengarahan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
2. RR. Dian Tristiana, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, nasehat, pengarahan dan mendengarkan
dengan sabar atas keluh kesah dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima
kasih atas bantuan ibu dalam meminjamkan alat perekam suara (MP3) yang
telah menjadi alat penelitian. Semoga Allah membalasnya bu.
3. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan Program Studi Pendidikan Ners.
4. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan pada kami untuk
menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Hanik Endang Nihayati, S.Kep., Ns., M.Kep. dan Aria Aulia Nastiti,
S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen penguji seminar proposal dan skripsi yang
telah memberikan saran dan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini
6. Kedua orang tua tercinta saya Bapak Hambali dan Ibu Ahsanatul Munawaroh,
S.Ag dan kedua adikku tersayang Muhammad Syifaut Tamam dan
Muhammad Syihabuddin Ridho yang telah memberikan doa sepanjang
waktu, menguatkan, memberi dukungan, motivasi, perhatian dan membantu
dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa pula alm. Mbah Misni
atas do’a, kasih sayang, perhatian, ketulusan dalam merawat saya sejak kecil,
serta seluruh keluarga besar Bani Tauhid yang telah memberikan semangat
dan do’a yang selalu kalian berikan sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi
ini.
7. Segenap Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah
memberikan ilmu, pengalaman dan pengarahan. Terima kasih telah
mengajarkan dan memotivasi untuk menjadi calon perawat yang profesional.
8. Segenap staf pendidikan, akademik, sekretariatan, perpustakaan dan
khususnya Pak Hendy yang telah dengan sabar mencarikan skripsi dan tesis
di koleksi Ruang Baca Henderson Fakultas Keperawatan Universitas
vii
Airlangga. Terima kasih atas segala bantuan yang diberikan dari awal
pembuatan proposal hingga menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. dr. Adi Wirachijanto, M.Kes selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Menur.
Terima kasih telah memberikan ijin dan membantu dalam melakukan
penelitian ini.
10. Pak Habib, Bu Rusta dan Bu Ima selaku Perawat RSJ Menur yang telah
membimbing, memberikan arahan, dan bantuan dalam penyelesaian skripsi
ini di RSJ Menur.
11. Pak Habib, Bu Hera, Bu Rusta, dan Bu Rose selaku penguji uji etik penelitian
di RSJ Menur yang telah memberikan masukan dan saran sebelum
dilakukannya penelitian.
12. Bu Nur dan Bu Salmi selaku staf bagian Diklat-Lit RSJ Menur. Terima kasih
telah membantu segala urusan yang berkaitan dengan perijinan penelitian di
RSJ Menur.
13. Bu Sampini selaku pegawai RSJ Menur yang selalu siap sedia membantu
dalam proses penelitian di RSJ Menur.
14. Seluruh Responden di wilayah kerja Ruangan Wijaya Kusuma, Rumah Sakit
Jiwa Menur, Surabaya yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
berpartisipasi dalam penelitian ini.
15. Teman-temanku yang turut membantu terjun langsung dalam penelitian Elin
Suryani, Inka Noveliana, Retno Dewi P., Uswatun Khasanah, Indah Agustina,
Dyah Eka Widyaningrum, dan Imawati Annisa S. Terima kasih atas bantuan
kalian semoga Allah memberikan jalan kemudahan untuk kalian ya.
16. Kepada sahabat tercinta dari Ika Pratiwi, Etik Trisusilowati, Alfita Nadziir,
Ayu Susilawati, Retno Dewi P. yang selalu mendengarkan keluh kesah
dengan sabar, menjadi tempat bercerita, penghibur dan penyemangat di saat
susah maupun senang. Sampai jumpa di jalan sukses ya, jangan lupakan
masa-masa indah kita bersama.
17. Teman seperjuangan dalam konferensi Mar’atus Sholihah, Zeinidar Auliyaun
Nashiroh, Fani Lailatul Hikmah dan Rifky Octavia Pradipta. Terima kasih
atas inspirasi dan pengalaman yang diberikan saat di Brunei, dari situ saya
sedikit bisa belajar bagaimana menulis karya tulis atau paper. Salam sukses
untuk kita semua.
18. Kepada sahabatku SMA, Dwi Ayu Kurniawati, Mufrihatul Hayati, Umi
Afiatus Solikha dan Elin Suryani yang selalu memberikan semangat dalam
mengerjakan skripsi dan memotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini supaya
bisa bercuap-cuap dan sharing dengan pengalaman yang didapatkan.
19. Sahabatku di Bem Unair 2015, Mitha Ayu Paramedhita, M. Hamami, serta
kementerian Pemuda Bem Unair 2015 lain yang selalu memberikan inspirasi
kepada mahasiswa di UNAIR untuk terus berkarya dan berprestasi.
20. Teman seperjuangan dosen pembimbing Imawati Annisa Safitri, Dyah Eka
Widyaningrum, dan Winda Kusumawardani yang selalu siap membantu
viii
dalam penelitian di RSJ Menur dan selalu memberi semangat Aulia Faridatul
Umam, Ardhiana Novi Wulandari, Manis Aero dan Vita Ardani memberikan
dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
21. Kepada Keluarga Yagmur wa Bahar, Munjayana, Rodhiatul Ardhani, Vika
Maulidiyah (selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi),
Hernita Riski, Anisaul Makarimah, dan Siti Mei Sarah (selalu memberikan
tawa dan canda setiap hari), Miftahul Ulumiah (teman sekamar dengan rela
ikhlas meminjamkan headset dalam proses pengerjaan verbatim), Inayatul
Khoeriyah, Khoirunnisa Firdausa, Nabela, dan Yousida Hariani, Terima kasih
telah menampung diri ini dalam lingkaran kebahagiaan kalian selama 2 tahun
ini
22. Kepada Ustadz dan Ustadzah Lembaga Kursus Al Qur’an Al Falah Surabaya
selalu memberikan doa, dan penyemangat, khususnya Mbak Hanifah, Dek
Nabilah, Bu Binti, dan Kibti yang selalu mendengarkan curhatan saya
bagaimana lika-liku dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga menjadi berkah,
Insyaallah.
23. Kepada santri-santri Lembaga Kursus Al Qur’an Al Falah yang senantiasa
dengan tulus memberikan doa kepada saya untuk penyelesaian skripsi ini.
24. Kepada Mbak Silfia Desi A angkatan 2011 Fakultas Keperawatan UNAIR
yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada saya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
25. Untuk keluarga Klodan KKN BBM ke 53 Universitas Airlangga, yang selalu
memberikan pengalaman terjun langsung ke masyarakat dan selalu
memberikan senyum manis terbaik untuk masyarakat.
26. Teman-teman seperjuangan wahai Arolas, Angkatan 2012 yang telah
memberikan dukungan, informasi dan semangat baik secara langsung ataupun
tidak demi terselesainya skripsi ini. Semoga pertemanan yang kita jalin dan
ilmu yang kita amalkan bisa bermanfaat. Vardgivare 2012. Arolas Istimewa.
27. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa
saya sebutkan satu-persatu
Semoga segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan
di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Amin Yaa Rabbal „Alamiin
ix
ABSTRAK
Penelitian Kualitatif
ABSTRACT
Qualitative Research
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ......................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................iv
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .......................................v
MOTTO ................................................................................................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vii
ABSTRAK ...............................................................................................................x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xv
DAFTAR TABEL .................................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah ...............................................................................8
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................................8
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................10
1.4.1 Tujuan umum .............................................................................10
1.4.2 Tujuan khusus ............................................................................10
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................10
1.5.1 Manfaat teoritis ..........................................................................10
1.5.2 Manfaat praktis ...........................................................................11
xii
xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
BAB 1
PENDAHULUAN
Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa terkucilkan, dan
gangguan jiwa berat (skizofrenia) dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit.
Setelah membaik dan dipulangkan ke rumah, tidak ada penanganan khusus yang
sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang
sampai pasien benar-benar sembuh dan dapat bersosialisasi dengan orang lain
secara normal. Ketika di rumah, dukungan dan perawatan dari keluarga dan
dengan perawatan, maka stigma terhadap gangguan jiwa akan semakin kompleks
gangguan jiwa mendapat perawatan (Cooper, Corrigan, & Watson, 2003). Dalam
karena takut mendapat stigma (Substance Abuse and Mental Health Services
Administration, 2003 dalam Park, et al, 2014). Stigma tidak hanya terjadi pada
penderita gangguan jiwa, namun juga pada anggota keluarga yang terkait juga
diri secara fisik dan sosial dan membatasi diri untuk menggunakan kesempatan
bahwa keluarga juga mengalami beban dalam merawat anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Beban yang dirasakan berupa beban finansial dalam biaya
perawatan, beban psikologis dalam menghadapi perilaku pasien serta beban sosial
yang mengalami gangguan jiwa (Yosep, 2010; Leafley, 1989 dalam Park & Park,
secara khas yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik dan gangguan tersebut
tidak berhubungan dengan orang tersebut akan tetapi dengan masyarakat. Secara
umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
dibagi menjadi dua bagian, yaitu gangguan jiwa berat atau kelompok psikosa dan
gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa
termasuk dalam kelompok gangguan jiwa berat (Maslim, 2002; Maramis, 2010;
Yusuf, 2015).
merupakan salah satu jenis penyakit kejiwaan yang dapat menurunkan kualitas
kimia yang mengatur kesenangan dan kepuasan) pada sel otak yang membuat
tidak logis, waham yang menyebabkan berperilaku agresif, dan sering berteriak-
teriak histeris. Walaupun gejala pada setiap penderita bisa berbeda, tetapi secara
seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO memperkirakan
1,7/1000. Hal ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat
(psikotis). Angka gangguan jiwa berat di Jawa Timur adalah sekitar 2,2/1000. Jika
dihitung dengan penduduk Jawa Timur sebanyak 38 juta lebih, dan gangguan jiwa
berat dialami oleh penduduk dewasa (sekitar 70%), maka gangguan jiwa berat di
Jawa Timur adalah 2,2/1000 x (70% x 38 juta) = sekitar 58.520 orang (Yusuf,
2015). Kami telah melakukan studi pendahuluan di Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya pada bulan Maret 2016, bahwa jumlah seluruh pasien skizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya adalah 18.774 jiwa, sedangkan pasien
skizofrenia RSJ Menur yang memiliki keluarga berjumlah 17.835 keluarga (RSJ
Menur, 2016).
2010). Angka pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa berat sebesar
dengan 14,3 % atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang pernah dipasung
terhadap penderita gangguan jiwa berat akibat stigma (Thornicroft, et al, 2008).
designates the bearer as “spoiled” and therefore as valued less than “normal”
membawa sesuatu yang buruk dan oleh karena itu dinilai lebih rendah
dibandingkan dengan orang normal. Pengertian yang diberikan oleh Goffman ini
Keluarga juga akan mengalami tekanan berat selama tinggal dengan Orang
merawat dan memberikan dukungan sosial demi kondisi ODS yang lebih baik.
Keluarga juga dihadapkan dengan stigma masyarakat mengenai ODS yang dapat
berdampak pada timbulnya rasa malu hingga penarikan diri secara sosial, selain
itu biaya perawatan yang tinggi serta perubahan peran dan tanggung jawab antar
hingga depresi, dan pada akhirnya dapat menjadikan keluarga ataupun keluarga
Pada beberapa kasus, keluarga yang tidak memahami gangguan jiwa dan
memasung penderita gangguan jiwa, dan membawanya ke dukun atau tempat non
merupakan penyakit kutukan dan yang masih ada serta dipertahankan oleh
yang penuh stress dengan perasaan berduka dan trauma sehingga membutuhkan
perhatian dan dukungan dari tenaga kesehatan yang profesional. Dampak lain dari
stigma pada anggota keluarga adalah harus menyesuaikan kebiasaan klien seperti
lain, defisit perawatan diri, makan dan kebiasaan tidur yang ke semuanya dapat
menguras konsentrasi dari keluarga (Lee, 2003). Dengan demikian stigma bagi
merupakan aib bagi anggota keluarganya (Hawari, 2009). Stigma keluarga adalah
orang lain atau masyarakat memiliki persepsi negatif, sikap, emosi dan
keluarga (Park & Park, 2014). Sedangkan menurut Larson & Corrigan (2008)
stigma keluarga adalah sebuah kasus stigma khusus yang dialami oleh individu
stigma. Stigma dirasakan oleh setiap anggota keluarga (Corrigan & Watson, 2003)
fisik dan sosial serta membatasi kesempatan anggota keluarga untuk dapat
keluarga merupakan persepsi negatif oleh masyarakat atau orang lain yang
keluarga, baik berupa emosi, sosial, interpersonal yang dapat menurunkan kualitas
hidup keluarga.
menjelaskan bahwa stigma keluarga dengan gangguan jiwa yang dialami oleh
menyorot tiga poin yang relevan, pertama, stigma keluarga termasuk prasangka
dan diskriminasi yang dialami oleh individu dengan keluarga dengan gangguan
bagi perawat, hal tersebut karena memiliki implikasi pada praktik keperawatan
yaitu stigma keluarga memiliki pengaruh negatif pada status kesehatan keluarga,
kondisi medis pasien saja, belum banyak membahas tentang gambaran stigma
keluarga gangguan jiwa. Oleh karena itu, Peneliti ingin mengeksplorasi stigma
Gambar 1.1 Identifikasi masalah tentang stigma keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan gangguan jiwa: skizofrenia (2016)
gangguan jiwa, stressor yang dihadapi berbeda dengan keluarga yang memiliki
masalah kesehatan lain. Keluarga harus mampu mengatur waktu dengan baik,
merawat anggota keluarga gangguan jiwa dan dirinya sendiri, serta memberikan
dukungan sosial yang baik untuk anggota keluarga dengan gangguan jiwa:
skizofrenia.
yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa: skizofrenia yang mana
dapat berdampak timbulnya rasa malu dan masih menganggap bahwa hal tersebut
sosial atau membatasi aktivitas sosialnya. Selain itu, beban yang dirasakan oleh
adalah beban secara ekonomi, beban fisik, psikologis, sosial, kultural dan
spiritual. Serta perubahan peran dan tanggung jawab antar anggota keluarga
Hal ini yang membuat stigma tersebut memiliki keunikan tersendiri karena
sehingga penelitian ini ingin menjawab secara kualitatif tentang “Stigma keluarga
10
skizofrenia
memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa: skizofrenia. Serta, hasil dari
11
1. Bagi keluarga
2. Bagi Peneliti
skizofrenia.
4. Bagi Masyarakat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stigma
Kata stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda atau cacat.
Menurut The American Heritage Dictionary (2012), stigma adalah "sebuah aib
Hal ini berasal dari stigma latin atau stigmat-, yang berarti "tanda tato" atau
stigma yang brand, tanda, dan noda. Kata brand didefinisikan sebagai nama
yang diberikan untuk produk atau layanan, tanda adalah yang membedakan
2006).
Stigma adalah fenomena sangat kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat
dengan nilai yang ditempatkan pada beragam identitas sosial (Heatherton, et al,
2003). Menurut Chaplin (2004), stigma adalah suatu cacatan atau cela pada
or a mark that designates the bearer as “spoiled” and therefore as valued less
than normal people”. Stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan
pemiliknya membawa sesuatu yang buruk dan oleh karena itu dinilai lebih
12
13
simpulan bahwa seseorang yang dikenai stigma tidak diperlakukan sama dengan
orang lain. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi yang membuat orang yang
untuk mendapatkan perawatan dan kepedulian yang tepat (Cooper, Corrigan, &
Watson, 2003). Menurut Hawari (2001) dalam kaitannya dengan gangguan jiwa
bahwa jika ada salah satu anggota keluarga yang menjadi penderita skizofrenia,
1. Diri: berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang kita sebut
stigmatisasi diri
masyarakat
14
masyarakat
(diskriminasi)
apa yang orang alami seperti sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya,
tidak dapat diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus
mental. Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnya tetapi hanya
15
Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma
berikut:
1. Labelling
(Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan
individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang
dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi
2. Stereotype
Stereotype adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu (Judd, Ryan &
16
Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip
tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok
tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
3. Separation
stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Berdasarkan
mendapatkan stigma.
4. Diskriminasi
17
1. Stigma struktural
2. Stigma masyarakat
1. Perspektif
Misalnya, seseorang yang memberikan stigma pada orang lain. Perspektif yang
dan penerima stigma (target). Seseorang yang memberikan stigma pada orang
18
2. Identitas
Aspek stigma yang berikutnya adalah identitas. Identitas ini terdiri dari
dua hal, yakni identitas pribadi dan identitas kelompok. Stigma dapat diberikan
pada orang yang memiliki ciri-ciri pribadi. Misalnya perbedaan warna kulit,
cacat fisik, dan hal lain yang menimbulkan kenegatifan. Hal yang lain adalah
identitas kelompok. Seseorang dapat diberi stigma karena dia berada di dalam
kebanyakan.
3. Reaksi
Aspek reaksi terdiri dari 3 sub aspek yang prosesnya berjalan bersamaan
Aspek tersebut yakni aspek kognitif, afektif, dan behavior. Aspek kognitif
prosesnya lebih lambat dikarenakan ada pertimbangan dan tujuan yang jelas.
Aspek berikutnya adalah aspek afektif. Sifat dari aspek afektif yakni
primitive, spontan, mendasar dan tidak dipelajari. Aspek afektif pada orang
Hasil akhir dari kedua proses tersebut adalah aspek behavior. Aspek
yang memiliki pikiran buruk dan perasaan terancam pada orang yang terkena
19
berinteraksi.
meliputi:
dikenai stigma memiliki hal yang membuat masyarakat enggan untuk menjalin
stigma.
prasangka dan stereotype terhadap dirinya itu benar dan merupakan identitas
pribadi.
20
Respon adalah reaksi, tanggapan atau jawaban atas stimulus yang ada
masyarakat
dan pekerjaan
Pada individu, stigma berdampak pada individu, seperti: harga diri rendah,
21
seseorang atau grup tersebut merasa terkucilkan, tidak berguna, terisolasi dari
dukungan fisik, emosional, finansial dan bantuan yang paling rendah dalam
dalam rumah tangga, penurunan kesehatan fisik dan mental pada keluarga
depan, stress, dan merasa tidak dapat menanggulangi masalah (Carol, et al,
2004). Menurut Mohr & Regan (2000), keluarga akan mengalami pengalaman
keuangan, defisit perawatan diri, makan dan kebiasaan tidur yang kesemuanya
22
lama, maka akan mempengaruhi konsep diri dalam kelompok atau masyarakat.
Larson & Corrigan (2008) stigma keluarga adalah sebuah kasus stigma khusus
yang dialami oleh individu sebagai konsekuensi akibat kaitannya dengan anggota
keluarga yang mengalami stigma. Menurut Park & Park (2014) stigma keluarga
dibentuk dari orang lain atau masyarakat memiliki persepsi negatif, sikap, emosi
keluarga
Keluarga dengan anggota yang memiliki gangguan jiwa bisa mengalami malu
23
2. Shame (Malu)
untuk penyakit gangguan jiwa. Malu ini dapat menyebabkan anggota keluarga
3. Contamination (Kontaminasi)
cara. Anggota keluarga dapat menghindari situasi sosial, dan dapat menghabiskan
pekerjaan atau dalam situasi rumah tangga (Larson & Corrigen, 2008).
Dalam stigma keluarga terdapat tiga konsep diantaranya menurut Park &
Park, 2014:
1. Antecendents
Salah satu contoh fenomena ini adalah terjadinya kejadian negatif dalam
keluarga. Secara khusus, ini mengacu pada terjadinya riwayat atau situasi
negatif, peristiwa, kejadian, masalah, atau penyakit dalam satu keluarga, yang
mempengaruhi baik seluruh keluarga atau satu anggota. Hal ini dapat termasuk
yang terlibat dalam tindakan kejahatan atau memiliki anggota keluarga yang
24
sakit. Jika penyakit memerlukan beban pengasuh tinggi, hal ini dapat terjadi
dengan tak terduga, masalah perilaku kronis atau konflik dengan tetangga, maka
yg bisa kuat dan akan lebih mungkin menyebabkan keluarga yang mendapatkan
keluarga
Salah satu yang nyata berbeda dari norma masyarakat pada umumnya.
Keluarga dengan orang tua yang homoseksual, keluarga orang tua tunggal,
mengetahui aspek negatif keluarga, seperti kejadian negatif yang mereka masuk
di dalamnya, penyakit dari anggota keluarga, atau karakteristik dari biasa atau
struktur keluarga.
2. Attributes
a. Orang lain memiliki persepsi negatif, sikap, emosi, dan menghindari sikap ke
keluarga, atau karena tidak biasa dalam karakteristik atau struktur keluarga
(Corrigan et al., 2006; Larson & Corrigan, 2008; Phelan, Bromet, & Link,
25
mereka, atau berbeda dari norma-norma sosial pada umumnya (Brickley et al,
2009; Hinshaw, 2005; Pirutinsky, Rosen, Shapiro Safran, & Rosmarin, 2010);
dan
c. Orang lain percaya bahwa anggota keluarga secara langsung atau tidak
mampu mempengaruhi efek negatif pada orang lain, atau berbeda dari norma-
norma sosial pada umumnya (Corrigan, et al.; Larson & Corrigan; Van Dam;
Waller, 2010).
3. Consequences
Terkait hal itu, merasa malu, ketakutan, kecemasan, rasa putus asa, rasa bersalah,
khawatir, dan perhatian yang berlebihan (Brickley et al, 2009;. Dalky, 2012;
Larson & Corrigan, 2008; Mwinituo & Mill, 2006; van Dam, 2004; Werner et al,
2010.; Wong et al., 2009). Selain itu, secara sosial, keluarga bisa merasakan
yang buruk, beban keluarga dan sebagainya (Larson & Corrigan; Lefley, 1989;
Pirutinsky et al, 2010.; van Dam). Karena itu, keluarga mungkin menghindari
atau pindah ke daerah lain, dan bisa menyebabkan isolasi sosial pada keluarga
26
(Corrigan et al, 2006;. Mwinituo & Mill, 2006). Akhirnya, keluarga tidak
2.3 Keluarga
dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota (Sudiharto,
2007).
Pola interaksi keluarga yang berfungsi: bersifat terbuka dan jujur, (selalu
pendapat, apa yang disampaikan jelas dan berkualitas, selalu meminta dan
27
melakukan validasi
2. Struktur Peran
sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi
sebagainya.
3. Nilai-nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar
atau tidak mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga
Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem
nilai dalam keluarga. Budaya adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat
(Murwani, 2007).
perkawinan yang direncanakan yang terdiri suami, istri, dan anak-anak baik
lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu
termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak,
28
tinggal bersama.
5. Keluarga orang tua tinggal, keluarga yang terdiri dari pria atau wanita,
mungkin karena telah bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak
pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama berbagi hak dan
7. Keluarga Serial (Serial Family), keluarga yang terdiri dari pria dan wanita
yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian
keluarga.
terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan
yang sah
29
1. Fungsi Afektif (The affective function), fungsi keluarga yang utama untuk
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
2009). Peran merujuk kepada beberapa perilaku yang kurang lebih bersifat
peran dalam situasi sosial tertentu (Mubarak, dkk. 2009). Peran keluarga
30
adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks
dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan
keluarga yaitu
1. Peran Formal
perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara
sistem. Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-
ibu antara lain sebagai provider atau penyedia, pengatur rumah tangga perawat
anak baik sehat maupun sakit, sosialisasi anak, rekreasi, memelihara hubungan
31
memuaskan
obat di rumah
perilaku negatif
sebuah keluarga baru, keluarga yang menikah atau prokreasi dan perpindahan
dari keluarga asal atau status lajang ke hubungan baru yang intim.
32
kelahiran anak pertama hingga bayi berumur 30 bulan. Biasanya orang tua
bergetar hatinya dengan kelahiran anak pertama mereka, tapi agak takut juga.
ibu dan bayi tersebut mulai mengenal. Ibu dan ayah tiba-tiba berselisih dengan
tua baru.
keluarga dimulai ketika anak pertama berusia 2,5 tahun dan berakhir ketika
anak berusia 5 tahun. Sekarang, keluarga mungkin terdiri tiga hingga lima
orang, dengan posisi suami - ayah, istri – ibu, anak laki-laki – saudara, anak
33
(hubungan perkawinan dan hubungan orangtua dan anak) dan diluar keluarga
Keluarga dengan anak usia sekolah. Tahap ini dimulai ketika anak
pertama telah berusia 6 tahun dan mulai masuk sekolah dasar dan berakhir
pada usia 13 tahun, awal dari masa remaja. Keluarga biasanya mencapai
tahun, tahap kelima dari siklus kehidupan keluarga dimulai. Tahap ini
berlangsung selama 6 hingga 7 tahun, meskipun tahap ini dapat lebih singkat
jika anak meninggalkan keluarga lebih awal atau lebih lama jika anak masih
dengan tanggung jawab ketika remaja menjadi dewasa dan semakin mandiri,
34
Keluarga yang melepaskan anak usia dewasa muda. Permulaan dari fase
kehidupan keluarga ini ditandai oleh anak pertama meninggalkan rumah orang
tua dan berakhir dengan rumah kosong, ketika anak terakhir meninggalkan
rumah. Tahap ini dapat singkat atau agak panjang, tergantung pada berapa
banyak anak yang ada dalam rumah atau berapa banyak anak yang belum
orang tua suami/isteri yang sedang sakit dan memasuki masa tua, membantu
anak untuk mandiri di masyarakat, penataan kembali peran dan kegiatan rumah
tangga.
tahap usia pertengahan dari bagi oarngtua, dimulai ketika anak terakhir
meninggalkan rumah dan berakhir pada saat pensiun atau kematian salah satu
pasangan. Tahap ini biasanya dimulai ketika orangtua memasuki usia 45-55
tahun dan berakhir pada saat seorang pasangan pensiun, biasanya 16-8 tahun
kemudian.
35
Keluarga dalam masa pensiun dan lansia Tahap terakhir siklus kehidupan
keluarga dimulai dengan salah satu atau kedua pasangan memasuki masa
pensiun, terus berlangsung hingga salah satu pasangan meninggal, dan berakhir
Life Review.
Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada
salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. Keluarga juga
derajat kesehatan anggota keluarga, yaitu (Bailon & Maglaya, 1998 dalam Efendi
pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang mempengaruhi serta
persepsi keluarga terhadap masalah. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan
dan perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga. Apabila menyadari
36
perubahan keluarga perlu dicatat kapan terjadi, perubahan apa yang terjadi, dan
yang benar tentang tindakan dalam mengatasi masalah sehingga keluarga mampu
yang sakit.
dari pemeliharaan lingkungan, arti penting hygiene sanitasi serta sikap keluarga
anggota keluarga.
37
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia,
yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik dan gangguan itu tidak hanya terletak
di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim,
variasi penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan
penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai dengan adanya
penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala gangguan jiwa
yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap
38
dan perinatal.
Terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan antar
Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri dan pola
kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan
keagamaan.
(ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah pasien pengidap gangguan jiwa yang sudah
39
terdeteksi penyakitnya oleh dokter. Dengan kata lain orang tersebut sudah
dibagi menjadi dua yaitu psikosis berupa bisikan dan persasaan paranoid serta
Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa
berat/kelompok psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan
mental emosional yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan
sebagainya.
tetapi pada PPDGJ III ini disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi
simtomatik)
2. F10 – F19: gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
40
stress
10. F90 – F98: gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada
2.5 Skizofrenia
Ada beberapa macam gangguan jiwa salah satunya yang banyak diderita
yang ditandai oleh adanya penyimpangan yang sangat dasar dan adanya
perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi emosi yang tidak wajar
41
kepuasan) pada sel otak yang membuat penafsiran abnormal terhadap suatu hal
(Maramis, 2005).
pernah dirawat di rumah Sakit akan kambuh 50 - 80%, harapan hidup pasien
skizofrenia 10 tahun lebih pendek dari pada non pasien skizofrenia (Puspitasari,
2009).
Emil Kraeplin yakni dementia praecox. Skizofrenia sendiri berasal dari kata
Yunani schitos yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berati otak
1. Diatesis-stres model
2. Faktor biologis
42
bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia (Kaplan
3. Genetika
umum 1% pada orang tua resiko 5% pada saudara kandung 8% dan pada anak
12% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah
dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%.
Pada kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%
4. Faktor psikososial
a) Teori perkembangan
perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan
terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan sosial pada penderita
b) Teori belajar
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang
c) Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam menimbulkan
43
Sadock, 2004) :
1. Skizofrenia paranoid
a) Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang
b) Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini : pembicaraan
2. Skizofrenia terdisorganisasi
3. Skizofrenia katatonik
44
mutism
(mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan
5. Skizofrenia residual
b) Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya gejala negatif atau dua
atau lebih gejala yang terdapat dalam kriteria A, walaupun ditemukan dalam
tidak lazim)
campuran dari dua karakteristik (baik gejala postif maupun gejala negatif) (APA,
45
1. Gejala positif, yaitu tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada,
namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Gejala postitif adalah gejala
2. Gejala negatif, yaitu menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti
perasaan yang datar, tidak adanya perasaan yang bahagia dan gembira,
2004).
yang aneh; atau waxy flexibilty, yaitu orang lain dapat memutar atau
46
1. Fase prodromal
fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau akibat
melewati periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang individu mulai
menarik diri secara sosial dari lingkungannya. Fase prodromal ini berlangsung
untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai akibatnya
episode psikis dapat ditandai oleh adamya kesenjangan yang semakin besar
3. Fase Residual
terjadi setelah fase aktif, tidak disebabkan oleh gangguan afek atau
1. Terapi Farmakologi
untuk perawatan rumah sakit jangka panjang apabila dikonsumsi pada saat
47
pemeliharaan atau secara teratur setelah episode akut (Kane, 1996; Sheitman,
hidupnya. Terapi farmakologi juga harus ditunjang dengan pemberian terapi lain
2. Terapi psikososial
menjalin hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan skizofrenia merusak
lingkungan sosialnya, mampu merawat diri sendiri, tidak bergantung pada orang
3. Rehabilitasi
intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-
48
berhubungan dengan cara yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga
memacu pemecahan masalah dan keterampilan koping yang baik (Nevid, et al,
2005).
Tabel 2.1 Keaslian penulisan stigma keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan gangguan jiwa: skizofrenia
Metode
No Judul Artikel; Penulis; (Desain, Sampel,
Hasil Penelitian
. Tahun Variabel, Instrumen,
Analisis)
1. Experiences of Stigma D : cross sectional study Caregiver yang merawat
and Discrimination S : anggota keluarga penderita skizofrenia
among Caregivers of dengan anggota keluarga mengalami stigma, yang
Persons with skizofrenia mana sangat berkaitan
Schizophrenia in I: MCESQ (Modified dengan dukungan sosial,
China: a Field Survey Consumer Experiences of kekerabatan, tingkat
(Yin, et al 2014) Stigma Questionnaire) pendidikan penderita, dan
A: socio-demographic faktor di lingkup
characteristics, keluarga. Diskriminasi
deskriptive anayses of lebih jarang dilaporkan
stigma and oleh caregiver.
discrimination, bivariate
correlation, regression
analyses
49
mental. Keluarga
mengambil peran utama
dalam mendukung
kerabat dengan penyakit
mental. Layanan
terencana bahwa stigma
dapat dimanfaatkan
dengan dilaksanakan
program pendidikan
berfokus pada dukungan
anggota keluarga yang
menghadapi stigma
keluarga; program
pendidikan untuk
mengurangi stigma dalam
kesehatan jiwa
profesional; program
siaran radio untuk
mengurangi stigma
masyarakat melalui
forum interaktif dengan
menceritakan
pengalaman pribadi.
3. Stigma dan D : Studi Literatur Menunjukkan penderita
Penanganan Penderita yang diduga menderita
Gangguan Jiwa yang gangguan jiwa yang
Dipasung dipasung lebih banyak
(Lestari & Wardhani, dilakukan oleh keluarga
2014) sebagai alternatif terakhir
untuk penanganan
gangguan jiwa, setelah
segala upaya pengobatan
medis dilakukan
keluarga. Namun
ketidaktahuan keluarga
dan masyarakat sekitar
atas deteksi dini dan
penanganan paska
pengobatan di Rumah
Sakit Jiwa menyebabkan
penderita tidak tertangani
dengan baik. Selain itu
penderita gangguan jiwa
seringkali mendapat
stigma dari lingkungan
sekitarnya. Stigma karena
menderita gangguan jiwa
melekat pada penderita
50
sendiri maupun
keluarganya. Stigma
menimbulkan
konsekuensi kesehatan
dan sosial-budaya pada
penderita gangguan jiwa,
seperti penanganan yang
tidak maksimal, dropout
dari pengobatan,
pemasungan dan
pemahaman yang berbeda
terkait penderita
gangguan jiwa.
4. Stigma Masyarakat D : Mix-method Bentuk-bentuk stigma
terhadap Skizofrenia (kualitatif dan kuantitatif yang ditunjukan oleh
(Ariananda, 2015) deskriptif) masyarakat terhadap
S : 390 orang penderita skizofrenia.
I : Kuisioner terbuka Bentuk stigma
masyarakat terhadap
penderita skizofrenia
yakni, masyarakat
menggambarkan
penderita skizofrenia
sebagai orang dengan
gangguan jiwa,
masyarakat merasa takut
saat bertemu dengan
penderita skizofrenia,
berbicara sendiri,
masyarakat menunjukan
perilaku menghindar saat
bertemu dengan penderita
skizofrenia.
5. Pengalaman Family D : Penelitian Kualititatif Penelitian ini menghasilkan
Caregiver Orang dengan Pendekatan tiga tema besar. Tema besar
dengan Skizofrenia Fenomenologi. pertama adalah masalah
(Gitasari & Savira, S : Partisipan penelitian yang dihadapi caregiver
2015) berjumlah 6 orang. selama merawat, yang
terdiri dari empat sub tema
I : peneliti dengan
yakni mendapat perlakuan
wawancara semi dan sikap negatif, dampak
terstruktur merawat ODS (Orang
A : Analisis Dengan Skizofrenia) pada
Fenomenologis caregiver, beban finansial,
Interpretatif serta kerugian akibat
merawat ODS. Tema besar
kedua adalah usaha yang
dilakukan caregiver untuk
mengatasi masalah selama
51
52
mempengaruhi efek
negatif kepada yang lain,
atau berbeda dari norma
sosial pada umumnya.
Family Unusualness
A
n Kejadian negatif atau riwayat kejadian negatif (misal : penyakit
t atau kriminal)
e Berbeda dengan norma yang ada di masyarakat (misal : orangtua
c homoseks, keluarga single parent, keluarga minoritas atau
e keluarga yang anggota keluarganya pseudo-religions)
n
d
e
n
t Stigma Keluarga
A Orang (yang lain) memiliki persepsi negatif, sikap, emosi, dan sikap
t menghindari ke keluarga (dan setiap anggota keluarga)
t Orang (yang lain) percaya bahwa ketidakbiasaan keluarga adalah
r menyebabkan kerugian, membahayakan, tidak sehat, dapat
i mempengaruhi mereka dari pandangan negatif, atau berbeda dari
b norma sosial pada umumnya
u Orang (yang lain) percaya bahwa anggota keluarga secara langsung
t atau tidak langsung terkontaminasi oleh masalah anggota keluarga
e
53
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Stigma Keluarga yang Memiliki Anggota Keluarga
dengan Gangguan Jiwa: Skizofrenia dengan Model Konsep Stigma
Keluarga (Park & Park, 2014)
Stigma keluarga disebabkan oleh tingkat kebiasaan yang tidak wajar oleh
terjadi karena budaya dari masyarakat setempat, seperti kejadian negatif, penyakit,
atau kejadian yang lain dengan keluarga tunggal (single family). Atau dengan
keluarga yang berbeda pada umumnya dalam struktur dan karakteristik. Terdapat
tiga atribut dalam stigma keluarga yaitu (1) Orang lain yang memiliki persepsi
negatif, sikap, emosi, dan sikap menghindari ke keluarga (dan setiap anggota
keluarga); (2) Orang lain yang percaya bahwa ketidakbiasaan keluarga adalah
dari pandangan negatif, atau berbeda dari norma sosial pada umumnya; (3) Orang
lain percaya bahwa anggota keluarga secara langsung atau tidak langsung
terdiri dari diabaikan dan tidak dihormati, rasa takut, kegelisahan, sebuah perasaan
dipecat atau kehilangan tempat tinggal, memiliki reputasi yang buruk, beban
rahasia keluarga, pindah ke daerah yang lain, dan isolasi sosial. Dari ketiga
BAB 3
METODE PENELITIAN
dan sampling, instrumen atau bahan penelitian, tempat dan waktu penelitian,
diwujudkan dalam kata-kata disajikan dalam bentuk informasi yang detail dan
dalam penelitian ini adalah fenomenologi deskriptif, yaitu suatu metode ilmiah
tertentu, sebebas mungkin dari perkiraan yang belum teruji (Speziale & Carpenter,
Penelitian ini dilakukan secara bebas tanpa terikat yang bertemakan stigma
hasil penelitian yang telah ada merupakan pendukung dalam menjustifikasi hasil
penelitian.
mendalam dari partisipan yang terlibat secara langsung merawat anggota keluarga
54
55
3.2.1 Populasi
sekelompok individu yang memiliki karakteristik yang sama atau relatif sama.
Populasi pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan gangguan jiwa: skizofrenia yang dirawat dan menjalankan rawat inap
skizofrenia yang akan dipilih dalam penelitian ini. Dalam penelitian kualitatif,
yang dibuat oleh peneliti. Kriteria yang ditentukan peneliti dalam pemilihan
56
b) Jika terdapat lebih dari satu family caregiver di dalam keluarga, maka
dipilih salah satu yang paling utama untuk menjadi partisipan penelitian.
penelitian
atau bahasa daerah (bahasa Jawa) yang dimengerti oleh partisipan dan
peneliti
g) Partisipan dalam kondisi sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara.
jika saturasi telah tercapai dimana tidak ada lagi informasi baru yang
3.2.3 Sampling
57
pedoman wawancara, alat perekam suara (MP3) dan catatan lapangan (field note)
Menur Surabaya.
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2016 sampai Agustus 2016 dan
58
Alat pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari adalah
peneliti, pedoman wawancara, alat perekam suara (MP3), alat tulis dan catatan
sedang berlangsung.
Alat tulis dan catatan lapangan (field note) merupakan alat pengumpulan
dari partisipan. Selanjutnya, yaitu alat perekam suara (MP3) digunakan untuk
59
1. Tahap persiapan
surat keterangan lulus uji etik dan surat ijin penelitian dari Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga. Surat lulus uji etik dan surat ijin kemudian
diserahkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur yang ditujukan kepada Direktur
mendapatkan ijin dari bagian Diklat RSJ Menur yang selanjutnya dianjurkan
meminta ijin kepada kepala ruangan. Setelah mendapatkan ijin penelitian dari
60
2. Tahap pelaksanaan
a) Fase Orientasi
menyiapkan alat tulis dan alat perekam suara yang akan digunakan. Alat
perekam suara (MP3) diletakkan di atas meja antara peneliti dan partisipan
agar selama wawancara proses perekaman bisa berjalan dengan baik dan
jelas. Setelah terjalin kepercayaan antara partisipan dan peneliti maka peneliti
b) Fase Kerja
61
dari peneliti.
c) Fase Terminasi
3. Tahap Terminasi
kemudian peneliti menanyakan apakah hasil verbatim sesuai dengan apa yang
penelitian.
62
memudahkan dalam menganalisa data terhadap kata kunci dari partisipan satu
analisis data dalam Collaizi cukup sederhana, jelas dan terperinci untuk
informasi dengan membaca jurnal dan buku yang telah ada. Cara yang akan
63
skizofrenia
1978 dalam Speziale & Carpenter, 2003). Peneliti membaca hasil verbatim
pernyataan dalam verbatim yang signifikan dan sesuai dengan tujuan khusus
peneliti dan memilih kata kunci pada pernyataan yang telah dipilih dengan
64
kelompok tema (Collaizi, 1978 dalam Speziale & Carpenter, 2003). Peneliti
kategori-kategori yang serupa ke dalam sub-sub tema, sub tema dan tema.
hasil penelitian.
(Collaizi, 1978 dalam Speziale & Carpenter, 2003). Peneliti kembali kepada
tema. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah gambaran tema yang
65
penelitian sehingga dapat dilihat secara jelas gambaran tentang proses dan
jalannya penelitian.
Populasi
Keluarga yang memiliki
anggota keluarga skizofrenia di
RSJ Menur Surabaya
Purposive sampling
Subyek Penelitian
Sampel yang mewakili penelitian
ini sesuai dengan kriteria inklusi
Prosedur pengumpulan
data :
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Pelaksanaan
3. Tahap Terminasi
Analisis data :
Metode sembilan langkah menurut (Collaizi, 1978
dalam Speziale & Carpenter, 2003)
Hasil Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian Stigma Keluarga yang Memiliki Anggota
Keluarga dengan Gangguan Jiwa: Skizofrenia
66
Report (1978, dalam Polit & Hungler, 1997), yaitu meliputi prinsip beneficience,
1. Prinsip Beneficience
dalam kegiatan penelitian (Milton, 1999; Loiselle, et al, 2004). Dalam prinsip ini,
jiwa.
67
perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam
penelitian.
3. Prinsip Otonomi
kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam
persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri
68
ketepatan (Speziale & Carpenter, 2005), terdapat empat kriteria keabsahan data
1. Credibility (Kepercayaan)
pengalamannya (Lincoln & Guba, 1985 dalam Magnee, 2004). Tujuan prosedur
ini adalah untuk memvalidasi keakuratan hasil laporan transkrip kepada partisipan
penelitian untuk membaca kembali verbatim wawancara dan atau kisi-kisi hasil
apakah verbatim hasil wawancara dan kisi-kisi hasil analisis tema telah sesuai
69
2. Dependability (Kebergantungan)
data (Polit & Hungler, 1997). Dalam penelitian ini dependability dilakukan
dengan cara melakukan inqury audit, yaitu suatu proses audit yang dilakukan oleh
external reviewer untuk meneliti dengan kecermatan data-data dan dokumen yang
adalah dosen pembimbing skripsi yang memeriksa cara dan hasil analisis yang
data hasil penelitian yang telah diperoleh untuk digunakan selama proses analisis
data.
3. Confirmability (Kepastian)
pandangan, pendapat dan penemuan dari penelitian (Polit & Hungler, 1997).
penerapan audit trail. Peneliti mengumpulkan secara sistematis material dan hasil
dokumentasi penelitian, dalam hal ini adalah transkrip wawancara dan field notes,
partisipan terkait hasil verbatim wawancara dan atau kisi-kisi hasil analisis tema
70
4. Transferability (Keteralihan)
pada tempat atau kelompok lain yang memiliki karakteristik serupa. Salah satu
cara yang diterapkan oleh peneliti untuk menjamin transferability hasil penelitian
ini adalah dengan cara menggambarkan tema-tema hasil penelitian kepada sampel
lain yang tidak terlibat dalam penelitian yang memiliki karakteristik serupa,
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Bab ini dibahas tentang hasil penelitian yang telah dilakukan, meliputi
keluarga menderita gangguan jiwa, keluarga yang tinggal serumah, serta analisis
Kusuma yang terletak di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Rumah Sakit Jiwa
Menur adalah Badan Layanan Umum Daerah yang terletak di Jalan Raya Menur
luas tanah 38.000,00 m2 dan luas bangunan 25.307 m² (LAKIP RSJ Menur,
2014).
Visi dari Rumah Sakit Jiwa Menur adalah menjadi rumah sakit jiwa kelas A
kesejahteraan bersama (LAKIP RSJ Menur, 2014). Rumah Sakit Jiwa Menur
(rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya promotif,
71
72
Provinsi Jawa Timur dan menjadi satu-satunya rumah sakit di Surabaya yang
khusus untuk rehabilitasi mental, psikologi dan penyembuhan kejiwaan. Selain itu
juga menjadi pusat rujukan kesehatan jiwa yang paripurna. Fasilitas pelayanan
yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, meliputi: 1. Pelayanan jiwa
diantaranya rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat, 2. Pelayanan umum dan
spesialis jantung, paru, syaraf, psikiatri, THT, kulit dan kelamin, 3. Poliklinik
lainnya. Rumah sakit ini memiliki beberapa ruang rawat inap seperti Ruang Puri
Gelatik, dan Ruang Puri Mitra. Jumlah TT (Tempat Tidur) yang tersedia sebanyak
Penelitian ini dilakukan kepada keluarga klien gangguan jiwa yang sedang
Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 23 Juni - 3 Juli 2016 dengan jumlah
partisipan sebanyak 8 orang yang telah disesuaikan dengan kriteria inklusi dan
73
Lama
anggota
Jenis Pendidikan keluarga
No Inisial Usia Agama Pekerjaan
kelamin Terakhir menderita
gangguan
jiwa
1 P1 Perempuan 61 Katolik Wiraswasta SPK 15 tahun
Ibu Rumah
2 P2 Perempuan 61 Islam SD 16 tahun
Tangga
Ibu Rumah
3 P3 Perempuan 33 Islam SMA 30 tahun
Tangga
4 P4 Perempuan 60 Islam Wiraswasta SMA 3 tahun
penelitian ini berjumlah 8 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan
dengan rentang usia 30 – 73 tahun. Agama yang dianut partisipan yaitu enam
orang bergama islam, satu orang beragama katolik dan satu orang beragama
kristen. Pekerjaan partisipan bervariasi yaitu: tiga orang wiraswasta, dua orang ibu
rumah tangga, satu orang swasta, satu orang pensiunan dan satu orang karyawan
swasta. Sebagian besar partisipan, yaitu: enam orang memiliki pendidikan terakhir
SMA, satu orang memiliki pendidikan terakhir SMP dan satu orang memiliki
74
keluarga gangguan jiwa dengan lama anggota keluarga menderita gangguan jiwa:
keluarga gangguan jiwa sejak pertama kali anggota keluarga gangguan jiwa
4. 3 Gambaran Tema
pertanyaan wawancara dan catatan lapangan (field note) selama proses wawancara
tema yaitu sikap, persepsi, dan pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa.
Sikap adalah keadaan mental yang diatur melalui pengalaman yang memberikan
pengaruh dinamik atau terarah terhadap respons individu pada semua objek dan
(penerimaan) langsung dari sesuatu (KBBI). Sedangkan, tanda dan gejala adalah
manifestasi yang dirasakan oleh seseorang akibat sebuah penyakit atau kelainan.
75
Optimis
Positif Menyadari
Bekerja keras
Tema 1 :
Sikap
Mengacuhkan diri
Kasar
Keluarga melihat Gejala
anggota keluarga emosional Pemarah
gangguan jiwa
Perilaku kekerasan
Tema 2 :
Gangguan Pola Makan
Persepsi
fisik berlebihan
Gangguan
sosial Menarik diri
Halusinasi
Tanda &
Gejala
Waham
Penyebab
gangguan Gangguan proses berpikir
jiwa
Gangguan intelegensi
76
keluarga dengan ganguan jiwa didapatkan tiga tema, yaitu sikap, persepsi, dan
Tema 1: Sikap
dengan sub tema positif dan negatif. Untuk sub tema positif terdapat tiga kategori,
yaitu optimis, menyadari dan bekerja keras. Sedangkan pada sub tema negatif
terdapat tiga kategori, yaitu mengacuhkan diri, berontak dan tidak percaya akan
bahwa anggota keluarga tersebut bisa seperti orang normal, satu partisipan
keluarga gangguan jiwa tidak baik, satu partisipan menyatakan telah bekerja keras
yang terdiri dari tiga kategori, yaitu satu partisipan menyatakan anggota keluarga
anggota keluarga gangguan jiwa memberontak atas apa yang kebijakan aturan
yang diberikan orang tuanya, dan satu partisipan menyatakan bahwa anggota
Sikap positif
optimis, yang disampaikan oleh partisipan satu, yang dijelaskan dalam transkrip
“...Saya lihat itu saya optimis (tangan dilipat di perut) ya.. dia karena kan
77
“...Pokoknya dia itu, abis mukuli saya, mecah-mecahi piring, terus dia minta maaf
bekerja keras, yang disampaikan oleh partisipan tujuh, yang dijelaskan dalam
“Saya mati-matian kuliahin dengan baik kalo dia butuh apa selalu tersedia,
Sikap negatif
“...dia itu ya merasa juga lek dirinya itu kok gitu (terdiam) jadi dia itu maunya itu
ya kok, orang ngomong itu kadang gak cocok ya sama dia, engkuk dia maunya
bawah ini:
“...dia nggak mau, nggak seneng, sama aturan orang tua ngelawan...” (L5)
tidak percaya akan kemampuan yang disampaikan oleh partisipan satu, melalui
78
“Yah saya pikir dia itu bisa, tapi kalo rutin minum obat, terus bisa apa,, disiplin,
Tema 2: Persepsi
dengan sub tema gejala emosional yang terdiri dari tiga macam kategori, yaitu
menyatakan bahwa anggota keluarga gangguan jiwa tidak bisa menahan emosi.
Lima partisipan menyatakan bahwa anggota keluarga gangguan jiwa juga sering
jiwa suka makan berlebihan di saat anggota keluarga tersebut kambuh. Sub tema
Kasar
emosional, salah satu kategori gejala emosional adalah kasar, disampaikan oleh
“Pikiran nopo kok kuasar, juahatt, opo-opo nguamuk. Opo-opo nguamuk. Nek
Pemarah
79
oleh partisipan satu, dua, tiga, lima, dan enam yang dijelaskan dalam transkrip
”...kalau sudah ngeblank gini lama-lama emosi ngomong iya ditanya wes marah
“...kalo minta sesuatu nggak dikasih kan ngamuk toh mbak ...... ” (P3)
Perilaku kekerasan
disampaikan oleh partisipan dua, tiga, empat, lima, enam, dan delapan yang
“...setelah kejadian e itu kan bapak kan sering mukul... mukul adekku toh mbak
“....saya sudah dipukul (kedua tangan mengepal) dua kali. Dikuamplengi. ” (P4)
“...saya lari lari untuk minta tolong tetangga ditekek gini, dipukuli (tangan
Persepsi keluarga melihat anggota keluarga gangguan jiwa, yaitu sub tema
gangguan fisik, meliputi pola makan berlebihan yang disampaikan oleh partisipan
80
“...mari mangan mie, engkuk kepingin anu, nasi goreng, gak wetengmu loh, isok
Persepsi keluarga melihat anggota keluarga gangguan jiwa, yaitu sub tema
gangguan sosial, meliputi kategori menarik diri disampaikan oleh partisipan tiga,
“iya, sering menyendiri. Nggak bisa umpamane dijak kumpul gitu jarang mau...”
(P3)
“...Anaknya juga pendiam, nggak ada ngomong, nggak banyak omong...” (P6)
dengan dua kategori yaitu waham dan halusinasi. Dua partisipan menyatakan
tanda gejala anggota keluarga gangguan jiwa adalah sering bicara sendiri, dan
bicara ngelantur. Tiga partisipan menyebutkan bahwa tanda dan gejala gangguan
pahlawan, dan tidak mau menerima barang dari tetangga karena dianggap sebagai
oleh partisipan dua, tiga, dan delapan melalui transkrip wawancara di bawah ini:
81
“...lapor neng digoleki polisi Amerika, terus unutunge hiiiahahha (tertawa) kulo
niki dijak teng kantor polisi peng telu, nggih ngoten niku lapor. Lapor. Lapor...”
(P2)
“...sering opo jenenge ngomong dewe, sembarang ngelantur. Jadi kan kita yoo
oleh partisipan tiga, tujuh, dan delapan melalui transkrip wawancara di bawah ini:
“...dia loh sering dikasih jajan, dikasih dikasih uang, dikasih apa sama tetangga.
Tambah yang ngasih itu dimusuhi....wong ok senengane musuhi wong ae...” (P3)
“...kalo dia habis makan dia tinggalkan separuh, bawa ke laut separuh...” (P7)
Keluarga berhak mengetahui penyebab gangguan jiwa itu seperti apa dan
yang mendalam yang disampaikan oleh partisipan satu, dua, tiga, dan empat
82
“ ...dia kan masih SMA kelas 3, terus hamil duluan ya situ minta dinikahi ya tak
nikahno ya. Terus melahirkan ditinggal istri e (tangan menunjuk lalu ke dahi)
“...... kan nggada pacaar. Bujang kaleh tahun. nah kaleh tahun niku dipek bojo
“....Sakit yaa, karna kan dulu kan bapak itu kan punya toh mbaak.. pokoknya
kena sinden gara-garanya kan sawah, rumah, tanah itu terjual. Uangnya
habiss. ” (P3)
“..punya temen perempuan (mikir). Terus itu tuh ndak tau gimana ngilang..”
(P4).
“....kena narkoba, pemakai narkoba, iya kalo jenis-jenisnya saya ndak tahu. . ”
(L5).
bawah ini:
“.......sebenere dee itu pinter memang yo kepintaren yoo terus akhire nggak
berikut:
83
“.....Padahal dia loh sering dikasih jajan, dikasih dikasih uang, dikasih apa.
“....orang gila itu seperti itu kan gak sadar apa seng dilakukan ndak sadar...”
(P3)
“....Mungkin dulunya ibu punya pengalaman menyakitkan hati saat kecil sering
berikut:
gangguan jiwa didapatkan empat tema, yaitu jenis perawatan yang dilakukan
Rumah Sakit Jiwa, pengikatan, berinteraksi baik, dan meredam. Pada tema
selanjutnya, sumber daya pendukung terbagi menjadi dua sub tema sumber
kategori BPJS dan jamkesmas. Pada sub tema melibatkan sumber daya meliputi
84
Pada tema kepatuhan terhadap aturan perawatan terdapat dua subtema yaitu
efektif dan tidak efektif. Pada sub tema kontrol didapatkan kategori pasien tidak
patuh. Tema ketujuh yaitu upaya keluarga dalam memberikan perawatan dengan
sub tema cara membawa ke rumah sakit jiwa, didapatkan kategori membujuk
dan memaksa, sub tema mencari pengobatan alternatif yang terdiri dari kyai,
dukun, orang pintar dan rumah sakit jiwa. Sub tema upaya keluarga selanjutnya
orang lain.
85
Dibiarkan
Dibawa ke RSJ
Pengikatan
Tema 4: Menangani
Jenis Kekambuhan Mengajak
perawatan interaksi
Meredam
Efektif
Regimen
Tema 5: terapeutik
Tujuan khusus 1 Tidak efektif
Kepatuhan
Persepsi terhadap
Keluarga aturan
Kontrol Pasien Tidak patuh
perawatan
Tema 6: BPJS
Sumber daya Sumber
Cara merawat
pendukung pembiayaan
anggota Jamkesmas
keluarga
gangguan jiwa Keluarga
Orang lain
Melibatkan
sumber
daya Petugas kesehatan
manusia
Petugas
Keamananan
Dukun
Mencari
Pengobatan Kyai
alternatif
Orang pintar
Tema 7:
Upaya Rumah sakit
Keluarga
Mencari
sumber Orang lain
informasi
pengobatan Fasilitas kesehatan
Membujuk
Cara
membawa ke
RSJ Memaksa
86
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema menangani kekambuhan, yang meliputi
jaga perilaku dengan baik dan meredam. Satu partisipan menyatakan saat anggota
keluarga gangguan jiwa dibawa ke rumah sakit jiwa, satu partisipan menyebutkan
menyatakan dengan menjaga bicara yang baik anggota keluarga gangguan jiwa
akan baik, dan dua partisipan menyatakan jenis perawatan anggota keluarga
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema dibiarkan, yang disampaikan oleh
“.....yahh.. dibiarkan sak polah tingkahe gimana, karepe gimana. ......... cara
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema menangani kekambuhan, yang meliputi
“ ..kalau sudah ngeblank gini sulit, wes ndak terkontrol ya, ya harus e ini deh anu
87
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema menangani kekambuhan, yang meliputi
“...Nggeh diiket niku bapake jan e. Tiyang mboten angsal. “ojo-ojo mbok taleni,
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema menangani kekambuhan, yang meliputi
berbagai kategori, diantaranya jaga bicara yang baik disampaikan oleh partisipan
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema menangani kekambuhan, yang meliputi
gangguan jiwa terbagi menjadi dua sub tema yaitu regimen terapeutik dan kontrol.
Di dalam sub tema regimen terapeutik terdapat dua kategori yaitu efektif dan tidak
efektif. Lima partisipan menyatakan anggota keluarga gangguan jiwa tidak patuh
minum obat atau regimen terapeutik tidak efektif, dan tiga partisipan menyatakan
anggota keluarga gangguan jiwa patuh dalam minum obat atau regimen terapeutik
88
efektif. Pada sub tema kontrol dengan kategori tidak patuh dinyatakan oleh dua
Regimen terapeutik
gangguan jiwa yang memiliki sub tema regimen terapeutik dengan kategori tidak
efektif disampaikan oleh partisipan satu, tiga, enam, tujuh, dan delapan melalui
“...Dia itu gamau mbak, dikekang untuk minum obat ini. . ” (P3)
“...kalo di, dikasih minum obat sama keluarga (wajah marah) dia malah nggak
“ ..saya minumkan,, 3 hari itu. Ibu itu pinter kalo minum obat, saya ngasih, saya
lihat, Cuma pinter, gini-gini sendiri langsung dibuang. Kadang ngene mbak,
dimimik yoo,, maru ngono keluar rumah,, dimutahno ngene,, ibu itu pinter pokok
gangguan jiwa yang memiliki sub tema regimen terapeutik dengan kategori efektif
disampaikan oleh partisipan satu, tiga, lima melalui transkrip wawancara berikut:
“...kalau yang nyuruh orang lain seperti dokter gitu ya dia berobat. Dia minum
sendiri ” (P3)
89
Kontrol
anggota keluarga gangguan jiwa dengan kategori pasien tidak patuh disampaikan
oleh pertisipan satu, dan delapan melalui transkrip wawancara di bawah ini:
“...disuruh kontrol nggak mau.. nah itu,, mulai kumat lagi 3 bulan...” (P8)
gangguan jiwa memiliki dua sub tema sumber pembiayaan dan melibatkan
sumber daya manusia. Pada sub tema sumber pembiayaan terdiri dari kategori
BPJS dan Jamkesmas. Sedangkan sub tema melibatkan sumber daya manusia
terdiri dari kategori keluarga, orang lain, petugas kesehatan dan petugas
Sumber pembiayaan
wawancara berikut:
“...saya pake bpjs makanya saya ambil langsung kelas 1 itu...” (P7)
wawancara berikut:
90
keluarga, orang lain, petugas kesehatan dan petugas keamanan. Pada kategori
keluarga disampaikan oleh partisipan dua, empat dan enam yang dijelaskan dalam
“ ...nggeh langsung bingung (wajah terlihat serius), langsung kulo padoske tiyang
sepuh. . ” (P2)
“.......saya ngontak kakak saya, ngontak saudara-saudara saya, terus dia bilang,
“wes becik ngono gowoen po‟o nang kono (menur) gitu. .” (P4)
“....nah keluarga kita anak-anak saya ini umurnya dipindah aja biar ada
berikut:
“ ......jadi ya dari dokter ya ndak papa, asal bisa ngurus diri sendiri aja, minimal
disampaikan oleh partisipan tiga dan tujuh yang dijelaskan dalam transkrip
wawancara berikut:
91
“...................Kalo bawa ke rumah sakit mesti polisi yang bawa mbak...” (P7)
didapatkan beberapa sub tema, diantaranya cara membawa ke rumah sakit jiwa,
Sub tema selanjutnya yaitu cara membawa ke rumah sakit jiwa meliputi
dua kategori, membujuk dan memaksa. Satu partisipan menyatakan bahwa cara
membawa anggota keluarga gangguan jiwa dengan membujuk, dan satu partisipan
keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa dengan sub tema
cara membawa ke rumah sakit jiwa, yang meliputi berbagai kategori, diantaranya
berikut:
“...ayo ta leh nak rumah sakit ae mari, engkuk nang kono nak IRD wae, nanti anu
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema cara membawa ke rumah sakit jiwa,
“....waktu itu, saya bawa ke sini ndak mau jadi paksa, saya telepon ambulans
sini...”(P4).
92
kyai, orang pintar dan rumah sakit. Pada kategori dukun, disampaikan oleh
“ ....... terusan ono niku wonten tiyang omong, “kono loh nang dukun apik”. Tak
parani..” (P2)
“ ...iku sebelum dibawa ke poli jiwa, dulu saya bawa ke orang pinter, katanya di
“........tak bawa kesini (RSJ Menur), yah manut ae dibawa perlu berobat. . ” (P1)
“.......Terus akhire bapak dibawa kesini wes ben mari lah. ... ” (P3)
“....baru tau terus dibawa ke rumah sakit (garuk-garuk kepala).. ini sedang kayak
“..punya inisiatif ke rumah sakit melihat keadaan fisik anak sudah drop badannya
kurus (kepala mengangguk) itu. Mangkanya dibawa ke RSAL itu ya. ” (L6)
93
“ ...apa ya Ahh halusinasi nya ndak anu mulai dari situ dari situ, saya masukkan
lagi ke rumah sakit. Masuk ke rumah sakit maksud saya kalo sudah masuk rumah
“ ..Saya sama kakak saya, saya sama kakak saya yang punya inisiatif itu. Di bawa
ke menur..” (P8)
orang lain dan fasilitas kesehatan. Pada kategori orang lain, disampaikan oleh
partisipan dua dan empat yang dijelaskan dalam transkrip wawancara berikut:
menur...” (P2)
“....Terus suatu hari, tetangga saya itu bilang, gowoen nang menur, bawaen ke
wawancara berikut:
keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa didapatkan dua tema
yaitu respon kehilangan, dan beban keluarga. Pada tema kehilangan terdiri dari
lima kategori, yaitu menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima. Satu
94
masih belum bisa menerima kondisi anggota keluarga gangguan jiwa, dua
anggota keluarga gangguan jiwa. Sedangkan pada tema beban keluarga terdiri dari
sub tema beban obyektif dengan kategori finansial, tiga partisipan menyatakan
bahwa memiliki beban finansial dan sub tema beban subyektif dengan kategori
Menyangkal
Marah
Tema 7: Menawar
Respon Depresi
Kehilangan
Menerima
Perasaan keluarga
yang memiliki Beban obyektif Finansial
anggota keluarga Tema 8:
gangguan jiwa Beban keluarga Beban subyektif Takut
Sedih
Menderita
Kecewa
Jengkel
Khawatir
Malu
95
Fase menyangkal
keluarga gangguan jiwa disampaikan oleh partisipan tujuh yang dijelaskan dalam
“...Kok punya anak sakit gini (menangis) gitu loh apa yang terjadi?. .. ” (P7)
Fase marah
anggota keluarga gangguan jiwa disampaikan oleh partisipan tiga yang dijelaskan
“ ...Tapi kan kadang-kadang kan kita juga emosi toh mbak. Iku kan, kadanan nek
Fase menawar
kondisi anggota keluarga gangguan jiwa disampaikan oleh partisipan tiga, lima,
enam dan tujuh yang dijelaskan dalam transkrip wawancara di bawah ini:
“....Gak tak parani lagi yoo orang tuane awak e dewe nek itu yoo nggak keluar
“....Ya semua dari Allah ya toh, Cuma kita kok sampek terjadi anak saya sakit
“...saya sendiri kan juga punya adek kandung yang seperti itu,, jadi ya nggak
papa.. saya pikir yaa,, wes diterima (sambil tegak dan tertawa).. gimana lagi,
memang...” (L6)
96
“...Tapi kembali lagi kepada ee ya kekuasaan Tuhan bahwa bukan kehendak kita,
Fase depresi
anggota keluarga gangguan jiwa disampaikan oleh partisipan dua, tiga, dan enam
“......seng kulo kerasani ati kulo kok dike‟i penderitaan o‟ sa‟mono abote...” (P2)
“ .....kan seperti terbebani kan, seperti ke sini, ke sini kan orang kan mikir e seng
“.....kalo kaya gini anak saya sakit seumur hidup, buat apa saya hidup? Saya
gitu. ” (L6)
Fase menerima
gangguan jiwa disampaikan oleh partisipan satu, enam dan tujuh yang dijelaskan
“... lah iki Puji Tuhan ya, aku isek bisa kerja, dikasi Tuhan sehat (tangan kiri ke
“ ......... semua saya serahkan semua ke Tuhan ya, semua itu mungkin ya rencana
keluarga gangguan jiwa dengan sub tema beban subyektif yaitu kategori finansial
97
yang disampaikan oleh partisipan satu, dua, empat, dan lima melalui transkrip
wawancara berikut:
“......mangkae yowes minta uang yo tak kasih, semua bilang jangan dikasih yo
“...rokok e nem pak loh sedino sewengi. Aku sampek gudu nangis. Gak ono seng
“.saya ditinggal suami saya tanpa ditinggali pensiun. Gitu (sambil berbisik. ”
(P4)
Sub tema selanjutnya adalah beban subyektif, dengan kategori takut yang
“......Mboten waniii sak itik itik o. Niki aku gak wani guyon, nek omong-omong
“.......Mangkakno kulo mboten wani ngeloroi, sak itik-itik e, yowis tak sabari
Sub tema selanjutnya adalah beban subyektif, dengan kategori sedih yang
berikut:
“...kulo nggeh sedih mawon. Sediiih mawon.. piye toh kok mboten sedih..” (P2)
“....aduh mbaak,, sedih seru mbak aku iki. Opo maneh aku iki, wedok, anak
yang disampaikan oleh partisipan dua, lima dan delapan yang dijelaskan dalam
98
“.......ya Allah mbak, niku loh mbak ati kulo ngenes mbak. Saiki aku kelingan.
“..... .... ... ... tapi orang tua kan,, orang tua sakit .. ” (L5)
wawancara berikut:
“.......secara manusia saya kecewa, kecewa sekal ...bagaimana saya rasa jerih
payah saya bekerja rasanyaa cuapeek sekali gitu loh mbak ya. . ” (P7)
wawancara berikut:
“....saya yang down saya jengkel, saya gimana gitu loh. ” (P7)
yang disampaikan oleh partisipan dua dan lima yang dijelaskan dalam transkrip
wawancara berikut:
“....loh seng tak wedeni kan ngono, engkuk gek maksa-maksa, iyo nek pas gak
ndue bojo. Wes tau ndue bojo. Engkuk gek maksa-maksa merkosa, kan wedi aku
mbak ” (P2)
“..... kalo perasaan sedih sih ndak, Cuma khawatir aja. . ” (L5)
Sub tema selanjutnya adalah beban subyektif, dengan kategori malu yang
disampaikan oleh partisipan tiga, lima dan enam melalui transkrip wawancara
berikut:
99
jiwa didapatkan tiga tema, yaitu respon masyarakat, penyesuaian diri masyarakat
dan stigma masyarakat. Pada respon masyarakat terdiri dari sub tema respon
sedangkan sub tema respon masyarakat negatif terdapat dua kategori yaitu fisik,
dan musuh. Pada tema penyesuaian diri masyarakat memiliki dua kategori yaitu
jiwa. Pada tema penyesuaian diri didapatkan kategori adaptif dengan dinyatakan
oleh dua partisipan, dua partisipan juga mengungkapkan penyesuaian diri dengan
mengatakan penderita gangguan jiwa atau anggota keluarga gangguan jiwa sering
dihina, satu partisipan mengungkapkan gangguan jiwa adalah keturunan dan satu
masyarakat.
100
Menyadari
Afeksi
Positif
Tujuan khusus 2
Perhatian
Aspek- aspek Tema 9:
Stigma Respon masyarakat
Didukung
Negatif Dijadikan
Pandangan & musuh
perlakuan
masyarakat terhadap
penderita gangguan
jiwa Tema 10: Adaptif
Penyesuaian diri
Masyarakat
Maladaptif
Menghindar
Tema 11:
Stigma masyarakat
Menghina
Penyakit turunan
Meremehkan
dua sub tema yaitu positif dan negatif. Respon masyarakat positif diantaranya
101
“...pandangan masyarakat ini menyadari kan anak ini dari dulu anaknya sopaan,
wawancara berikut:
“.....Tapi tiyang-tiyang sae sedoyo. Sae, sae ne niku kadang-kadang, “wan.. “ “eh
“ ...ndelok ibu, urip dewe, nah pandangan e tetangga iku ngene, karepe kongkon
“....Nggeh toh piyambak e (anggota keluarga gangguan jiwa) nek metu saitik
102
dendam kale meriku (anggota keluarga gangguan jiwa)... terus namine Tonggo
keluarga gangguan jiwa didapatkan dua kategori, yaitu adaptif dan maladaptif.
Kategori adaptif ini disampaikan oleh partisipan satu dan lima melalui transkrip
wawancara berikut:
“......nek kate kumat, wes rokokan ae, jalan iku wes nunduuuk ae wes gak tolah
toleh, orang-orang itu pada tau kalau kumat e dewe ngono...” (P1)
“....mungkin sudah biasa (ketawa),, soale di tiap kampung,, itu kan bukan
sendiri,, pasti ada yang lain,, yang sakit gini ... ” (L5)
“ ...diginikan sama kenalan gitu, diginikan “loh wong poso-poso e tukuuu roti?”
gitu padahal ndak beli roti. Lah itu dibawa ... Loh kan dibawa iku
tersinggungnya. .. (P2)
“....Dikejar.. mboten ngertos beto nopo beto nopo mboten ngertos. Cuma
dinapaaken. ” (P4)
103
“....Kalo sama yang sakit ya jelas dihindari, kadang kan bau, risih. ... ” (L5)
oleh partispan empat, lima dan delapan melalui transkrip wawancara berikut:
“...yah wes biasa gitu, ndak gini, kadang-kadang diolok-olokan orang. ...... ” (P4)
“ ..kalo yang tidak menyadari ya kadang ya kalo mengolok sih gak pernah, Cuma
“...lah anak-anak kecil lak sering, nggak, sering nggojloki ibuk, kayak gila-
gangguan jiwa yang disampaikan oleh partispan satu melalui transkrip wawancara
berikut:
104
“....Apa-apa itu lek kayak gak dianggep kayak gak, diremehno kayak disalahno
apa padahal de‟e iku kan mampu, ngerti (tangan kiri menunjuk)...” (P1)
gangguan jiwa
gangguan jiwa didapatkan dua tema, yaitu stigma keluarga oleh masyarakat dan
Pada stigma keluarga oleh masyarakat terdiri dari sub tema respon masyarakat
tema respon keluarga meliputi kategori malu dan membatasi hubungan sosial.
Tema selanjutnya adalah sikap masyarakat ke keluarga yang terdiri dari sub tema
positif dan negatif. Sub tema sikap masyarakat positif dengan kategori kasihan,
memaklumi, tidak dibenci, prasangka, dan perhatian. Sedangkan pada sub tema
sikap masyarakat yang negatif meliputi kategori tidak peduli, menjadikan jera,
105
tidak suka terhadap keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa, satu
dua partisipan bahwa keluarga merasa malu memiliki anggota keluarga gangguan
106
Menyalahkan
Menghina
Respon
masyarakat ke Tidak
keluarga menghargai
Kasihan
Memaklumi
Positif
Tidak benci
Tema 13:
Sikap masyarakat Prasangka
ke keluarga
Perhatian
Tidak Peduli
Menjadikan jera
Negatif Marah
Lelah
Apatis
Tidak suka
Gambar 4.5 Tema 12 Stigma keluarga oleh masyarakat, dan Tema 13 Sikap
masyarakat ke keluarga: perlakuan masyarakat ke keluarga yang
memiliki anggota kelurga gangguan jiwa
107
gangguan jiwa mendapatkan tema stigma keluarga oleh masyarakat yang mana
didapatkan dua sub tema yaitu respon masyarakat ke keluarga dan respon
suka dan membicarakan orang lain di belakang. Sedangkan sub tema respon
Respon masyarakat
wawancara berikut:
“....... ya itu aku ya itu wes kesalahan disalahno sama saudara-saudara sama
temen-temen, “kamu memange salahmu, arek durung kerjo gurung kuliah sekolah
gurung mari kok ngerabino, gak kuat (menggelengkan kepala) pikirane iku
berikut:
tetangga makanan basi gitu. .. itu orang tua kan sakit .. ” (L5)
wawancara berikut:
108
“ ...kalo saya sapa itu “mbak..” gak ada respon e ngono loh mbak.. mek mensem
wawancara berikut:
“...... mangkae saudara-saudaraku tuh ndak mau semua deket sama saya ....” (P1)
wawancara berikut:
“....dadi gak seneng saya toh,, ada yang nggak suka...”.“....iya beda ya
“...kalo yang tidak menyadari ya kadang ya kalo mengolok sih gak pernah.. cuma
“....stigma masyarakat juga muncul (tangan menunjuk),, “adek e kok gak di..”.
Respon keluarga
kategori malu disampaikan oleh partisipan lima dan delapan melalui transkrip
wawancara berikut:
109
“ ...secara moral malu ya ada (nunduk) tapi balik lagi tergantung orangnya kuat
apa ndak ya,, kalo istri kuat,, orang tua perempuan kuat,, orang tua laki-laki ndak
kuat (ketawa) .. ”
“.....adek yang perempuan ya, yang belum kawin,, kadang-kadang kan secara
mental e pacaran, maen ke rumah.. punya family beban moral juga. .. ” (L5)
“ ..setiap pagi kan ibu ganggu orang,, jadi saya itu sungkannya itu banyak sama
“....jadi kalo saya pengen ngomong, tapi kok ealah mbuh aras-arasen
ngomong. . ” (P8)
Sikap masyarakat ke keluarga terdapat dua sub tema positif dan negatif.
Sub tema positif pada sikap masyarakat ke keluarga gangguan jiwa yaitu kategori
kasihan dijelaskan partisipan dua, tiga, enam dan delapan melalui transkrip
“ ...Yah kasihan, yah kasihan ibu saya, yoo kasihan anak-anaknya, yang kok gak
bar-bar. . ” (P3)
“ ..... Semua itu ya kasihan ya, ko bisa gini kok bisa gini...Semua kasihan sama
saya. ” (L6)
“.....yang seneng kalo lihat saya itu kasihan, kasihan saya. . ” (P8)
110
“...ya ndak tahu. Dia tuh sudah ndak gunjingkan saya, yaa ndak ngomong-
“...Yaa Cuma ditanya aja, nangndi kok suwe gak ketok rek. Gitu. Biasa. Mondok
“...saya kadang-kadang ngasih apa gitu, kadang termasuk uang untuk transport
kemana. ” (P6).
peduli dijelaskan partisipan dua dan lima melalui transkrip wawancara di bawah
ini:
“....Ngerawat niku nak sakite, nek saiki dulur mboten perduli sedoyo...” (P2)
“....saudara, saudara kadang-kadang kalo hal semacam ini, Cuma status,, iya
hanya status saudara.. kalo dapat semacam ini, ngurus ini sana sini
111
“ .....pas ketemu saya itu cuek, ya kayak seneng gitu, iya saya bukan su‟udzon seh,
gangguan jiwa didapatkan lima tema, yaitu beban keluarga, keretakan hubungan
sosial.
Pada tema beban keluarga terdapat beberapa sub tema diantaranya beban
obyektif dan beban subyektif. Beban obyektif terdiri dari beban fisik, beban
112
finansial dan beban waktu. Lima partisipan menyatakan bahwa merasakan beban
dan dua partisipan menyatakan beban waktu dalam merawat naggota keluarga
gangguan jiwa. Sub tema selanjutnya adalah beban subyektif, yang terdiri dari
kategori beban psikologis, beban pikiran dan beban moral. Enam partisipan
memiliki anggota keluarga gangguan jiwa menyatakan beban pikiran, dan beban
didapatkan dua kategori yaitu keteteran dan membolos kerja. Tema selanjutnya
adalah status kesehatan keluarga juga didapatkan dua kategori yaitu penurunan
status kesehatan fisik dan timbul penyakit. Selanjutnya, tema hubungan sosial,
Kekerasan fisik
Tema 17:
Penurunan fisik
Status kesehatan
Tema 18: Jarang disapa
keluarga Timbul penyakit
Hubungan sosial
dijauhi
Gambar 4.6 Tema 14 Beban Keluarga, Tema 15 Keretakan Hubungan Keluarga, Tema 16 Gangguan Aktivitas Keluarga, Tema 17
Status Kesehatan Keluarga, dan Tema 18 Hubungan Sosial: Dampak yang dirasakan keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan gangguan jiwa
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
114
gangguan jiwa mendapatkan tema beban keluarga, yang terdiri dari dua sub tema
yaitu beban obyektif dan beban subyektif. Beban obyektif terdiri dari kategori
beban fisik, beban finansial, beban waktu, sedangkan beban subyektif terdiri dari
Beban obyektif
terdiri dari lelah fisik yang diungkapkan oleh partisipan satu dan delapan dalam
“ ....sekarang aja ya masih bisa tapi, terasa wes capek wes ini mikir itu juga ndak
“...pulang kerja ke duduk, terus dapat setengah hari ke sini, ke sidayu.. jadi kan
awak pegel kabeh, terus duwek barang yo.. pegel awak iyooo. ” (P8)
diungkapkan oleh partisipan dua, tiga dan empat dalam transkrip wawancara
berikut:
“...Ngantek rong tahun lorone. Gak iso opo-opo mbahe. Nggeh mbahe enggeh
“....ojo-ojo mbok jotos, aku ojo mbok jotos aku ibu ojo mbok jotos” (tangan
“.....adek saya kan dipukul bapak itu .... sampek tangannya sobek jahitan kan,
dipukul pakek kayu ... (anak)...” Punya istrinya dipukuli sampek buta. Ibu saya
115
“....saya sudah dipukul (kedua tangan mengepal) dua kali... ..... . Terus saya
sampek lali, kalo keluar saya minta tolong sama orang, habis saya dipukuli lagi.
Pada sub tema beban obyektif didapatkan kategori beban waktu yaitu
mengrobankan waktu yang disampaikan oleh partisipan tiga dan lima dalam
“...Terus saya kan posisi ngerawat bapak jadi kan kita dibagi. Waktunya juga....
lah..” (L5)
didapatkan diantaranya tidak bekerja yang disampaikan oleh partisipan dua dalam
“....ojo rokok an, ojo ngono” rokok e nem pak loh sedino sewengi. Aku sampek
gudu nangis. Gak ono seng mergawe (nada rendah)... . mboten wonten seng
merdamel. ” (P2)
yang disampaikan oleh partisipan dua, empat, lima dan delapan melalui transkrip
“ ..waktu saya itu untuk uang, soalnya saya ditinggal suami saya tanpa ditinggali
116
Beban subyektif
Pada sub tema beban subyektif terdiri dari beban psikologis didapatkan
diantaranya tidak kuat mental yang diungkapkan oleh partisipan lima dalam
“...bapak e meninggal bukan karena anu, tapi pusing,, kan nggak kuat mental
kan. .. ” (L5)
diungkapkan oleh partisipan dua, tiga, enam, tujuh dan delapan dalam transkrip
wawancara berikut:
“...kulo nggeh sedih mawon. Sediiih mawon.. piye toh kok mboten sedih. ” (P2)
“....Sopo neng seng tak jaluki tulung iki sopo, ni kan bingung mbak (sedih
“....ya perasaan sedih, aku sedih kecewa ya (menunduk), semua saya serahkan
semua ke Tuhan ya, semua itu mungkin ya rencana Tuhan ya (wajah pasrah) .. ”
(P7)
“...aduh mbaak,, sedih seru mbak aku iki. Opo maneh aku iki, wedok, anak
partisipan dua, tiga, empat, lima, enam, dan delapan melalui transkrip wawancara
berikut:
117
“...Posisinya kan kasihan toh mbak, tua-tua semua gitu loh. Kalo saya, lah
kadang-kadang adek saya yang kesana. Terus saya kan posisi ngerawat bapak
“....sini itu kan dicabang (nada meninggi) toh uteke, ngono loh mbak.. bar
“ mikir namanya anak,, mikir kok punya anak yang punya penyakit gini, sampe
“....si Junaidi Abdillah ini mungkin dendamnya masalahnya ini ndak bisa
meneruskan. Sekarangpun masih ingat juga marah. Sampai sekarang waah.. jadi
nggak menyadari kalau bapak itu ndak kerja, ndak punya penghasilan. ” (L6)
“.... ... awak pegel mikir, ibu ngono pisan, tak amuk i pisan mbak ” (P8)
“....adek yang perempuan ya, yang belum kawin,, kadang-kadang kan secara
mental e pacaran, maen ke rumah.. punya family beban moral juga. ” (L5)
gangguan jiwa mendapatkan tema keretakan hubungan keluarga, yang terdiri dari
“....Terus akhire kan ibu saya pisahne dari bapak wes berakhir, takute ibu
dibunuh toh mbak. Kan orang gila itu seperti itu kan gak sadar apa seng
118
ini:
“......meninggal e bukan karena anu, tapi pusing,, kan nggak kuat mental kan..”
(L5)
“....minggat mbahe kakung (bapak) kesah, dadi anu kesah sedoyo...” (P2)
“... ayah saya sudah ndak tinggal sama ibu, wong nggak mau nang, ayah saya
partisipan tiga dan empat yang dijelaskan melalui transkrip wawancara berikut:
Iyaa ndak ada seng kerja, ini ngurus anak di rumah ini juga ibu rumah tangga...”
(P3)
“....yah mengganggu, ini pun mengganggu saya besok minggu itu, punya itu
punya saya dipesenin orang 150. ... terima pesanan kue..” (P4)
119
“...dampak e opo toh, ya seperti butuh pengorbanan.. iya perlu untuk kerja gini,,
“...Kalo sekarang ya saya sudah usia segitu ya 61 kan udah rasae itu
berikut:
“...yah ini, saya sakit jantung.... .... ada kalo ga 1 tahun. Jantung saya lemah..”
(P4)
gangguan jiwa mendapatkan tema hubungan sosial dengan kategori jarang disapa
dan dijauhi.
“ ....kalo saya sapa itu “mbak..” gak ada respon e ngono loh mbak.. mek mensem
tok biasa wes mari ngono..” .... Iya beda pandangannya, jarang nyapa..” (P8)
120
“......mangkae saudara-saudaraku tuh ndak mau semua deket sama saya ...” (P1)
untuk dirinya bisa bekerja dan anaknya dapat menjalankan peran dalam
tetap merawat anggota keluarga gangguan jiwa sampai kapanpun, tiga partisipan
bersama dengan anggota keluarga gangguan jiwa dan dapat bekerja membiayai
keluarganya.
121
Kembali ke
semula
Tema 19:
Kesembuhan
Tidak mengganggu
warga
Dapat bekerja
Tema 20:
Menjalankan
peran
Tujuan khusus 4 Anak sulung
Keluarga diberi
Harapan keluarga umur panjang
terhadap anggota Tema 21:
keluarga gangguan Tetap merawat
jiwa
Merawat dengan baik
Kebutuhan spiritual
Tema 22:
Keyakinan/
agama
Berdoa
Tinggal bersama
Tema 23:
Mewujudkan
keinginan
Rencana bekerja
warga.
kembali ke semula atau normal disampaikan partisipan tiga, empat, tujuh, dan
122
“....Ya harapanku (senyum, kaki diluruskan) iku de‟e iku isa normal sembuh
“....yah saya berdoa semoga dia bisa kembali ke masyarakat seperti dulu
(berkaca-kaca, mau menangis), gitu aja ndak ada lain-lain kok mbak .. ” (P4)
“....mudah-mudahan saat ini dia bisa sadar, sadar sepenuhnya dari hatinya ya
toh. ” (P7)
“....saya harapan saya itu mbak ya (berkaca-kaca),, saya pengen ibu itu
sembuh. .” (P8)
“......nggak ganggu orang (senyum tertawa) saya maunya mbak ya. ” (P8)
tema dapat menjalankan peran seperti semula dengan kategori dapat bekerja dan
anak sulung.
harapan keluarga dengan kategori dapat bekerja yang disampaikan oleh partisipan
“....yaa pengennya dia itu bisa kerja, iso baik yaa biasa seperti dulu. .. ” (P7)
harapan keluarga dengan kategori sebagai anak sulung yang dapat menggantikan
123
“....Harapan saya suatu saat kalo dia masih bisa dipulihkan, disembuhkan, yah
dia bisa menduduki kedudukannya sebenarnya sebagai anak sulung, ya gitu aja
heheh...” (P8)
tema tetap bisa merawat dengan kategori diberi umur panjang dan merawat
dengan baik.
“ ...Terus nggeh nuwun teng Gusti Allah ben paringi umur panjang, pokoke mboh
berangkang mboh piye leh nggolek duwek anggo ngopeni lare kaleh toh niki kale
niku. Bapak e karo anak e... Utowo kulo urip teruss terusan ngopeni anake
keluarga gangguan jiwa dengan kategori merawat dengan baik yang disampaikan
oleh partisipan tujuh dan delapan dalam transkrip wawancara di bawah ini:
“....Harus rawat anak saya dengan baik. Gitu loh ya toh.. nanti suatu saat gitu,
“....pokoke saya ingin ngeramut ibu saya.. kasihan mbak ibu saya itu..” (P8)
124
“.....saya itu rindu ya kalau ada tempat nampung de‟e memperkuat iman...” (P8)
“.....Cuma ya setiap malam saya minta pertolongan pertama sama Allah...” (L6)
“....Saya minta sama yang Maha Kuasa untuk memberi betul-betul dia diberi
ketenangan, dibuka hatinya..” .....” oh ya keluarga, anak cucu saya, yang lain
berusaha.
“......saya pengen tinggal serumah sama ibu, ntah di rumah sana bah iku
ngontrak...” (P8)
“....Niki mengke nek saget kulo karep kulo bade sadeyan nopo-nopo nak saget...”
(P2)
125
BAB 5
Bab pembahasan ini akan menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan,
membandingkan hasil penelitian yang telah didapatkan dengan konsep, teori dan
hasil penelitian yang sesuai dengan konteks penelitian untuk dilakukan analisis
penelitian.
jiwa dan harapan keluarga terhadap anggota keluarga gangguan jiwa: skizofrenia
gangguan jiwa dapat digambarkan dari enam tema, yaitu sikap, persepsi, tanda
dan gejala gangguan jiwa, respon kehilangan, beban keluarga, reaksi keluarga saat
gangguan jiwa digambarkan dari lima tema, yaitu respon masyarakat, penyesuaian
diri masyarakat, stigma masyarakat, stigma keluarga oleh masyarakat, dan sikap
125
126
mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu
memiliki dua aspek sikap positif dan negatif, kedua aspek tersebut dari jawaban
keluarga sama, tiga partisipan memiliki sikap positif dan tiga partisipan lain
Wawan & Dewi (2010) sikap positif kecenderungan dalam bentuk tindakan
optimisme adalah cara berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu
masalah. Optimis ini juga dapat membantu dalam meningkatkan kesehatan secara
127
keluarga gangguan jiwa dengan sikap yang bisa membubuhkan dan mendukung
sebuah kekuatan keluarga untuk membuat anggota keluarga menjadi lebih baik.
Menurut Scheir & Carver (dalam Seligman & Martin. 1995) optimisme ini dapat
positif dari keluarga, dimana tempat terbaik bagi anggota keluarga gangguan jiwa
adalah berada di tengah keluarga dan orang yang menyayanginya (Tarjum, 2004).
dari anggota keluarga gangguan jiwa untuk meminta maaf ke keluarga yang
disakiti. Sikap positif juga ditunjukkan saat keluarga mengatakan ia sudah kerja
jiwa untuk menyekolahkan sampai lulus hingga akhirnya salah satu anggota
orang-orang di sekitarnya. Lahirnya sikap negatif tidak hanya terjadi pada anggota
keluarga gangguan jiwa akan tetapi juga pada caregiver atau keluarganya,
gangguan jiwa (Gitasari & Savira, 2015). Berdasarkan hasil wawancara yang
128
gangguan jiwa mengacuhkan dirinya, berontak terhadap aturan keluarga dan tidak
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Persepsi yang
kurang atau negatif dapat menjadikan pengetahuan yang kurang dan sikap yang
negatif terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (Lestari, 2012).
suatu respon yang menyatu dalam diri individu (Walgito, 2010). Persepsi
yang dilakukan oleh peneliti menghasilkan gejala emosional, gangguan fisik dan
gangguan sosial.
sebagai respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Berdasarkan
hasil penelitian bahwa keluarga mempersepsikan sebagai respon yang datang dari
kasar, dan melakukan perilaku kekerasan baik itu ke warga atau ke keluarganya
sendiri.
gangguan ini tidak dapat menolak dorongan dari dalam dirinya untuk melakukan
129
hal-hal yang sebenarnya membahayakan diri sendiri atau orang lain. Depkes RI
(2000) menyatakan gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang
pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Keluarga
melihat anggota keluarga gangguan jiwa menarik diri, sering menyendiri, serta
Pada tema pengetahuan didapatkan tiga sub tema yaitu tanda dan gejala,
penyebab gangguan jiwa, dan tiga kategori yaitu gangguan penggunaan zat
Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa tanda dan gejala keluarga yaitu
dari sumber internal (pikiran, perasaan) dan stimulus eksternal (Dermawan &
Rusdi, 2013). Tanda dan gejala halusinasi adalah sebagai berikut menyuruh untuk
kecemasannya.
adalah berupa waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan dengan realitas (Dialami, 2010). Tanda dan gejala menurut Direja,
(2011) waham adalah terbiasa menolak makan, tidak ada perhatian pada
perawatan diri, ekspresi wajah sedih dan ketakutan, gerakan tidak terkontrol,
130
mudah tersinggung, isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan
keluarga gangguan jiwa sering bicara sendiri, isi pembicaraan tidak sesuai dengan
gangguan persepsinya.
masih beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh santet, guna – guna
atau kekuatan supra natural. Salah satu penyebab gangguan jiwa adalah
di San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis
mereka kecil (sexual abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance
abuse). Pada partisipan delapan menjelaskan pengalaman ibunya saat kecil sering
tersebut tidak hanya cukup sampai saat masa kecil dan berlanjut sampai masing-
masing berkeluarga satu sama lain, dan partisipan merasa sejak saat dia duduk di
131
atau perpisahan, sehingga secara mental tidak kuat dalam melakukan penyelesaian
penggunaan zat psikoaktif, yang dimaksud adalah kecanduan minuman keras dan
menanggulangi stres akan tekanan hidup nyatanya justru dapat memicu terjadinya
gejala gangguan kejiwaan pada pemakainya (Ana, 2016). Hal tersebut selaras
dengan penelitian ini bahwa pada anggota keluarga partisipan satu dan lima
gangguan intelegensi. Selaras dengan yang dijelaskan oleh Yosep (2008) bahwa
132
Faktor ekonomi yang rendah juga dapat menyebabkan salah satu anggota
keluarga tidak dapat meneruskan studinya, sehingga depresi dan tidak bisa
menangani masalahnya dengan baik. Tuntutan dari faktor ekonomi ini akan
membuat seseorang yang tergolong pada masyarakat dengan nilai ekonomi rendah
mengalami kesulitan hidup yang berpengaruh pada beban pikiran berlebih seperti
supaya dapat memberikan tindakan dan penanganan yang tepat untuk anggota
langsung ke rumah sakit jiwa, dengan pengikatan oleh keluarga dan mengajak
berinteraksi supaya anggota keluarga gangguan jiwa tidak kambuh semakin parah.
133
keluarga.
Penelitian ini juga didapatkan bahwa ada salah satu keluarga yang
merupakan tidak sesuai dengan tugas kesehatan keluarga yang dijelaskan oleh
Effendi & Makhfudli (2009) bahwa jika ada salah satu anggota keluarga yang
sakit, maka keluarga harus memberikan tindakan yang tepat pada anggota
keluarga yang sakit. Secara tidak langsung ini merupakan sikap pasrah keluarga
dalam memberikan perawatan terhadap anggota keluarga dan akibat stigma yang
dirasakan oleh keluarga. Hal tersebut merupakan stigma, seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Cooper, et al (2003) stigma merupakan salah satu hambatan
Pada tema kelima ini adalah sumber daya pendukung, merupakan sumber
daya finansial dan sumber daya manusia. Pada sumber daya finansial berdasarkan
sehingga keluarga tidak terbebani dengan adanya sumber biaya yang cukup besar
Pada penelitian ini didapatkan sumber daya manusia yang terlibat dalam
memberikan perawatan yaitu keluarga, orang lain, petugas kesehatan, dan petugas
keamanan. Hal ini sesuai dengan Kendler, et al (2005) bahwa kenyamanan fisik
134
dan emosional yang diberikan kepada seseorang yang berasal dari keluarga,
teman, orang lain, yang berada di lingkungan sekitar orang tersebut yang disebut
sebagai dukungan sosial. Menurut Gallo, et al (1998 dalam Diana, 2006) sumber
dukungan sosial tersebut terbagi menjadi sistem pendukung formal dan informal.
Dukungan formal dari petugas kesehatan yaitu dokter, petugas keamanan seperti
dinas sosial dan polisi, sedangkan dukungan informal diperoleh dari orang lain
yaitu tetangga.
perawatan terhadap anggota keluarga gangguan jiwa yang disarankan oleh dokter.
Saat ini diperkirakan 40% sampai 90% pasien gangguan jiwa dirawat oleh
(1998) yang ketiga, yaitu memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang
keinginannya keluarga mematuhi aturan tersebut akan tetapi dari anggota keluarga
yang justru tidak patuh terhadap minum obat dan jadwal kontrol ke pelayanan
jiwa akan patuh minum obat dan kontrol jika yang menyuruh adalah dokter atau
135
petugas kesehatan yang lain, akan tetapi jika sudah di rumah sudah tidak di
disarankan oleh dokter untuk patuh minum obat dan jadwal kontrol, dan keluarga
di sini tidak bisa memaksa, ada pula satu partisipan yang menyatakan ia memaksa
anggota keluarga untuk minum obat, kalau tidak minum obat, ia akan kambuh.
Regimen terapeutik ada yang efektif dan tidak efektif. Menurut Herdman
tujuan kesehatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi keluarga untuk
perawatan pada anggota keluarga dengan gangguan jiwa yaitu dengan cara
informasi pengobatan.
diantaranya ada dua cara yaitu dengan cara membujuk dan memaksa anggota
anggota keluarga gangguan jiwa ada keyakinan dalam keluarga untuk membawa
jiwa. Keluarga menentukan apa yang harus dilakukan jika salah satu anggota
136
keluarga sakit, kapan meminta pertolongan dan kepada siapa minta pertolongan.
Penelitian yang dilakukan di rumah sakit jiwa Lawang dan Menur (Widodo, 2000)
menunjukkan bahwa 119 orang (68 %) pasien pernah berobat ke dukun, orang
pintar, kiai, atau peramal sebelum dirawat di rumah sakit. Hal ini terjadi karena
membawa anggota keluarga ke dukun, kyai, atau orang pintar untuk pengobatan
spiritual, akan tetapi tetap sama tidak ada pengaruh sama sekali pada kondisi
pelayanan kesehatan jiwa. Terdapat satu partisipan yang tidak percaya akan hal-
hal mistis untuk berobat ke dukun, kyai atau orang pintar. Enam dari delapan
faktor budaya masih menjadi faktor yang menentukan perilaku keluarga dalam
anggota keluarga penderita gangguan jiwa adalah terapi di rumah sakit jiwa (Aini,
ke rumah sakit jiwa terdapat perubahan kondisi yang jauh lebih baik dari
sebelumnya.
kesehatan tersebut, keluarga akan dapat membuka komunikasi antar keluarga dan
137
Menurut Bart (1994), Wahyu (2005) dan penelitian ini adalah adanya dukungan
informasional terkait jenis layanan kesehatan dan jenis terapi. Penjelasan lebih
dalam bentuk pemberian nasehat, petunjuk, saran, dan umpan balik kepada
keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa. Pada penelitian ini, pemberian
individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian tidak ada,
baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005). Memiliki anggota
terjadi saat keluarga mendengar didiagnosa gangguan jiwa. Pada awal diagnosa,
menjadi marah untuk beberapa waktu. Kemudian menawar pada dirinya sendiri,
dilanjutkan dengan depresi hingga mencapai tahap menerima. Tahapan atau fase
dari kehilangan ini teridentifikasi dari lima tahap yaitu menyangkal, marah,
138
dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa seorang ahli. Manifestasi dari
kebingungan tersebut dapat berupa bingung apa yang harus dilakukan dan
tersebut selaras dengan penelitian ini, partisipan enam menyatakan bahwa tidak
partisipan kaget saat pertama kali datang ke rumah sakit, dari petugas kesehatan
memindah ke poli jiwa, sehingga partisipan merasa bingung, kenapa bisa terjadi
pada keluarganya.
Kubbler (2008) Tahap kedua yaitu marah, yang ditandai dengan adanya
reaksi emosi atau marah, keluarga akan lebih sensitif terhadap masalah-masalah
menjelaskan bahwa kalau sudah capek pikiran, memicu emosi dan sensitif sampai
jiwa juga dimarahi serta untuk pelampiasan suami juga kena marah, hal tersebut
Tahapan ketiga adalah tawar menawar, tahap pada saat keluarga mulai
sebagai wujud pembelaan diri atas keadaan yang dialami (Kubbler-Ross, 2008).
Pada tahap ini empat partisipan merasakan dirinya masuk dalam tahap ini.
139
muncul dalam bentuk keputusasaan dan kehilangan harapan. Pada partisipan enam
menyatakan bahwa anggota keluarga sakit gangguan jiwa buat apa partisipan
memilih untuk pasrah dan mencoba menerima keadaan. Pada penelitian ini
terus berputar, suatu saat keluarga merasa berduka, sesaat kemudian merasa
dalam Collins (2008) memiliki karakteristik yang sama dengan hasil penelitian
ini, yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa setelah
mengetahui diagnosa gangguan jiwa. Partisipan enam telah berada pada fase
menerima namun perasaan kembali dirasakan oleh partisipan kembali yaitu pada
pada dirinya karena tidak bisa membiayai kuliah anaknya, sehingga anaknya
mengurung diri dan tidak bisa melanjutkan studinya, di sisi lain anaknya berniat
anggota keluarga gangguan jiwa berasal dari keluarga sendiri maupun orang lain.
Secara umum ditemukan kesamaan tahap akhir proses berduka menurut Kubbler
140
& Ross (2005), Bowlby & Parkes (1970, dalam Collins, 2008) dan temuan dalam
penelitian ini ditandai dengan kembalinya energi yang telah hilang selama proses
penelitian ini keluarga merasa bersyukur dan dapat memahami keadaan anggota
didapatkan beban obyektif dan beban subyektif. Beban obyektif merupakan beban
peneliti bahwa beban pikiran yang dirasakan oleh sebagian partisipan menyatakan
bahwa beban finansial, seperti penggunaan uang setiap hari, anggota keluarga
dua mencari hutangan untuk membelikan keinginan anaknya karena jika tidak
anggota keluarga (WHO, 2008) seperti perasaan kehilangan, sedih, cemas, dan
malu dalam situasi sosial. Dalam penelitian ini beban subyektif selaras dengan
141
gangguan jiwa)
terhadap keberadaan anggota keluarga gangguan jiwa dalam penelitian ini respon
sekitarnya. Bahkan tetangga banyak yang memusuhi, ada salah satu tetangga yang
memiliki dendam dengan anggota keluarga gangguan jiwa, dengan nekat ingin
membunuh anggota keluarga gangguan jiwa tersebut. Hal ini termasuk bagian dari
aspek –aspek stigma yaitu identitas. Bahwa Stigma ini diberikan pada orang yang
(Heatherton, et al 2003).
142
enggan untuk berinteraksi dengan penderita gangguan jiwa. Stigma yang melekat
memberikan dukungan sosial dan kasih sayang, yang hal ini akan membuat proses
partisipan satu dan lima. Menurut White dalam Bharatasari (2008), penyesuaian
diri atau adaptasi adalah proses penyesuaian terhadap suatu perubahan. Strategi
gangguan jiwa seperti apa, sehingga masyarakat menyadari tanda dan gejala
gangguan jiwa. Hal ini juga termasuk aspek stigma bagian reaksi aspek kognitif,
yaitu pengetahuan mengenai tanda-tanda orang yang dikenai stigma, misal orang
143
gangguan jiwa adalah stigma masyarakat. Stigma yaitu sikap masyarakat terhadap
2008). Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh pandangan sebagian
karena itu, masih banyak orang menanggapi penderita gangguan jiwa dengan
perasaan takut dan mengganggap mereka bahaya, sehingga tak jarang masyarakat
pergaulan di lingkungannya, tidak diberi peran dan dukungan sosial serta diejek
partisipan lima dan enam menganggap bahwa penyakit gangguan jiwa tidak bisa
penyakit keturunan.
Gangguan Jiwa
Stigma keluarga merupakan persepsi negatif, sikap negatif yang timbul dari
orang lain atau masyarakat sehingga keluarga juga memandang anggota keluarga
yang sakit sebagai konsekuensi sikap ke pasien akibat perlakuan dari masyarakat.
144
Bisa dikatakan bahwa stigma muncul berasal dari persepsi negatif. Berdasarkan
Larson & Corrigan (2008) stigma keluarga digambarkan dengan tiga hal yaitu
menyalahkan, malu dan kontaminasi. Pada penelitian ini, stigma keluarga oleh
Respon masyarakat ke keluarga ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dengan teori Larson & Corrigan (2008) bahwa stigma keluarga memiliki
yang memiliki gangguan jiwa bisa mengalami malu karena orang lain mungkin
tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan di atas bahwa partisipan menyatakan
oleh partisipan, sehingga partisipan merasakan duka yang mendalam, anak satu-
satunya sebagai harapan orang tua akan tetapi terkena penyakit gangguan jiwa.
merupakan aspek stigma reaksi, dimana pada aspek ini masyarakat memulai
menghindar dengan diawali rasa tidak suka dengan keluarga sehingga prakteknya
hubungan sosial dengan masyarakat. Sejalan dengan teori Larson & Corrigan
rasa malu untuk disalahkan untuk penyakit gangguan jiwa. Malu ini dapat
145
sekitarnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Park &
Park (2014) bahwa stigma keluarga dibentuk dari orang lain atau masyarakat
tidak hanya berdampak pada klien saja akan tetapi pada keluarga. Persepsi
anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa (Romadhon, 2011). Sikap negatif
peduli dengan keluarga acuh tak acuh, kemudian salah satu partisipan menyatakan
masyarakat menjadikan jera ke keluarga, ada juga yang marah, lelah dan apatis
akibat perilaku anggota keluarga. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini dan
penelitian oleh Park & Park (2014) bahwa stigma keluarga dibentuk dari orang
lain atau masyarakat memiliki persepsi negatif, sikap, emosi dan penghindaran
kepada kondisi keluarga yang dirasakan oleh partisipan dua, tiga, enam dan
146
jiwa, salah satu partisipan menyatakan juga tidak dibenci oleh masyarakat, malah
banyak yang baik kepada mereka, masyarakat juga perhatian kepada keluarga
diberi uang oleh tetangga, makanan. Oleh karena itu, stigma keluarga berasal dari
pengetahuan dan persepsi negatif dari orang lain atau masyarakat sehingga
Pada tema keempat belas ini beban keluarga sebagai akibat dampak yang
dirasakan oleh keluarga gangguan jiwa. Beban keluarga diartikan sebagai stress
atau efek dari klien gangguan jiwa terhadap keluarganya (Mohr, 2006). Beban
fisik dari anggota keluarga gangguan jiwa. Gray (2003) menyatakan bahwa
keluarga akan merasakan masalah kesehatan secara fisik sebagai dampak stress
147
bentuk sedih, bingung, kurang sabar, marah, dan menyesal. Lima partisipan
dipersepsi keluarga menjadi beban dalam merawat klien dengan gangguan jiwa
sedangkan anggota keluarga gangguan jiwa setiap hari meminta keluarganya uang
yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa dapat berdampak negatif
pada keluarga. Beban pikiran yang dirasakan partisipan berasal dari caregiver
seperti jenuh, bosan selama merawat anggota keluarga gangguan jiwa, serta beban
pikiran yang berasal dari anggota keluarga, dimana partisipan tidak dapat berhenti
untuk merawat anggota keluarga gangguan jiwa. Beban waktu ini identik dengan
beban objektif keluarga yaitu merawat anggota keluarga gannguan jiwa menurut
WHO (2008) yaitu adanya pembatasan aktifitas kerja karena keluarga harus
148
jiwa ini merasakan beban moral yaitu malu. Keluarga yang memiliki anggota
keluarga gangguan jiwa akan merasakan stigma yang dirasakan oleh penderita
gangguan jiwa, saat bertemu dengan tetangga akan membatasi aktifitas keluarga
di lingkungan masyarakat.
Pada tema ini didapatkan hasil bahwa dampak keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa secara tidak langsung akan
apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, sebenarnya dapat disebabkan
adanya interaksi antaranggota keluarga dan/atau orang tua yang kurang harmonis
kematian salah satu atau kedua orangtua, kedua orangtua berpisah atau bercerai
(Ariani, 2009).
merasa bahaya, sehingga salah satu partisipan memisahkan orang tua untuk
menjaga ibunya dalam kondisi yang lebih baik. Salah satu partisipan menyatakan
149
juga salah satu keluarga keluar dari rumah akibat anggota keluarga gangguan jiwa
melakukan tindakan kekerasan ke salah satu keluarga. Bahkan sampai salah satu
dari suprasistem yang lebih besar dan disusun dari beberapa subsistem, perubahan
pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi semua anggota keluarga.
sakit dapat berpotensi positif dan negatif. Adapun potensi negatifnya adalah bila
dirasakan oleh beberapa partisipan seperti membolos kerja, waktunya tersita untuk
Pada tema ini didapatkan bahwa dampak keluarga yang memiliki anggota
Pada tema ini didapatkan hasil bahwa dampak keluarga yang memiliki
150
karena apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan akan
1998).
disapa. Penelitian yang dilakukan oleh (Arafat, 2010) aktivitas sosial yang
biasanya dilakukan oleh keuarg menjadi berkurang, tidak ada lagi waktu untuk
dalam keluarga secara otomatis akan mempengaruhi pola hubungan dan cara
bersikap keluarga terhadap lingkungan. Hal ini cenderung terjadi karena adanya
menyimpang dari nilai dan norma yang dianut masyarakat, sehingga perlu dijauhi
151
dalam rumah sehingga tidak menjadi bahan ejekan bagi masyarakat (Keliat,
1996).
optimisme akan menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Di lain
pesimisme akan bersifat melemahkan proses pemulihan. Harapan bisa tumbuh dan
diperkuat oleh dukungan keluarga, teman, penderita yang telah pulih, tenaga
Tema19: Kesembuhan
gangguan jiwa untuk kembali sehat terutama untuk kesembuhan secara sosial.
Adanya harapan sembuh dan bisa kembali seperti semula menimbulkan motivasi
152
keluarga gangguan jiwa diantaranya pada penelitian ini adalah anggota keluarga
dapat kembali seperti biasa atau normal bisa melakukan aktivitas semula sehingga
Peran adalah separangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
kepada beberapa perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefenisikan
dan diharapkan secara normative dari seseorang peran dalam situasi social tertentu
(Mubarak, 2009). Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan
individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga didasari
oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi,
2008).
Perubahan yang terjadi akibat salah satu anggota keluarga sakit gangguan
jiwa yaitu peran yang dijalankan anggota keluarga bergeser (Aswadi, 2008). Pada
struktur keluarga sehingga keluarga bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Pada
153
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini harapan keluarga terhadap
anggota keluarga bisa merawat dan diberikan umur panjang serta dapat merawat
dengan baik anggota keluarga gangguan jiwa. Hal ini sesuai dengan arti
perawatan keluarga yang sebenarnya yaitu peran yang dijalankan terkait merawat
faktor alam yang tidak tampak dan tidak teraba dapat mempengaruhi pikiran dan
perilaku. Karakter spiritual meliputi sistem keyakinan dan nilai seseorang, intuisi,
cinta yang tulus, penghormatan pada kehidupan, dan pemberian kekuatan pribadi
(Hudak, 1997).
sebanyak tiga partisipan lebih banyak berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa untuk
anggota keluarga dibuka mata hatinya, karena kunci keberhasilan terletak pada
support lain yang memberi kekuatan pada anggota keluarga gangguan jiwa adalah
support spiritual, saling mendoakan dan memberi kekuatan agar tetap bersabar
dan bijak.
Hasil penelitian Pierce (2007) menyatakan bahwa berdoa dan berserah diri
154
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa untuk tetap memberikan dukungan
perilaku yang dibutuhkan untuk menjaga keutuhan dan ikatan emosional dalam
keluarga.
menjadi apapun yang mampu dicapai oleh setiap individu . Self Actualization
dikarenakan partisipan dan keluarga tidak ada yang bekerja, kemudian partisipan
delapan ingin tinggal bersama ibu (yang mengalami gangguan jiwa) dikarenakan
ibunya tinggal sendiri, dan partisipan ingin lebih dekat dengan ibunya untuk
yaitu:
155
diperoleh
selain keperawatan yaitu referensi sosiologi, dan psikologi dan hal tersebut
156
BAB 6
Bab ini menjelaskan simpulan dan saran yang berhubungan dengan masalah
6.1 Simpulan
Berdasarkan tujuan khusus yang disusun oleh peneliti, penelitian ini didapatkan
2. Perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada kepatuhan minum obat dan
banyak anggota keluarga gangguan jiwa tidak patuh minum obat karena
kehilangan dan beban keluarga yang tinggi. Perasaan yang dirasakan oleh
156
157
dan tidak bisa disembuhkan. Respon negatif masyarakat yang setiap kali ingin
persepsi negatif, sikap negatif yang timbul dari orang lain atau masyarakat
6. Pada penelitian ini, stigma keluarga ada pada keluarga tersebut dibuktikan
membicarakan di belakang jika tidak ada keluarga. Ini merupakan bagian dari
kepada keluarga. Ini berarti bahwa stigma keluarga masih dirasakan. Namun,
158
7. Harapan yang diinginkan oleh keluarga yaitu anggota keluarga sembuh dan
6.2 Saran
Terutama dalam hal penetapan kriteria inklusi lebih spesifik pada pasien
gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarga, dan sampel seperti perluasan
159
DAFTAR PUSTAKA
Benov, E., Siiri E., Elena F., Elisa H., Aine M., Edwin N., Sara P., Carina T.
2013. Stigma of Schizophrenia: Assesing Attitudes among European
University Students. Journal of European Psychology Students.
Brickley, D. B., Hanh, D. L. D., Nguyet, L. T., Mandel, J. S., Giang, L. T., &
Sohn, A. H. 2009. Community, Family, and Partner-Related Stigma
Experienced By Pregnant And Postpartum Women With HIV In Ho Chi Minh
City. Vietnam: AIDS and Behavior, 13(6), 1197e1204.
Buckles, B., Brewer, E., Kerecman, J., Ryan, J. 2008. Beyon Stigma and
Discrimination : Challenges for Social Work Practice in Psychiatric
Rehablitation and Recovery, Journal of Social Work in Disability &
Rehabilitation, vol. 7, no. 3.
Butt, L, Morin, J., Numbery, G., Peyon, I., Goo, A. 2010. Stigma dan HIV/AIDS
di Wilayah Pegunungan Papua. Cultural Antropology. Vol. 20, no. 3. Cipta.
160
Cooper, A. E., Corrigan, P. W., & Watson, A. C. 2003. Mental Illness Stigma and
Care Seeking. Journal of Nervous and Mental Disease. 191 (5).
Corrigan, P. W., Watson, A. C., & Millier, F. E. 2006. Blame, Shame and
Contamination: The Impact of Mental Illness and Drug Dependence Stigma
on Family Members. Journal of family Psychology. 20 (2), 239-246.
Dermawan, D. & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 2. Jakarta: EGC.
Dinos, S., Scott S., Marc S., Scott W., Michael K. 2004. Stigma: the Feelings and
Experiences of 46 People with Mental Illness: Qualitative Study. British
Journal of Psychiatry.
Elvira, S. D. & Gitayanti H. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.
161
Gitasari, N. & Savira, S.I. 2015. Pengalaman Family Caregiver Orang dengan
Skizofrenia. Surabaya: Unesa. Character, volume 03 no. 2.
Gray, D. 2003. Gender and Coping: The Parents of Children with High-
functioning. Autism. Social Sciences Medicine. 56, pp. 631-642.
Harrison, J & Gill, A. 2010. The Experience and Consequences of People with
Mental Health Problems, The Impact of Stigma Upon People with
Schizofrenia: a Way Forward, Journal of Psychiatric and Mental Health
Nursing, Vol. 17.
Hawari, D. 2009. Peran Keluarga Dalam Gangguan Jiwa. Edisi 21, Jurnal
Psikologi, Rumah Sakit Jiwa. Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Heatherton, T.F. Kleck, Hebl, dan Hull. 2003. The Social Psychology of Stigma.
New York: The Guilford Press.
Hudak, G. 1997. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi VI. Jakarta: EGC.
Kaplan, H. I., Sadock, B.J & Greb, J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri (Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis). Jakarta: Binarupa Aksara.
Kemenkes RI. 2012. Buku Pedoman Penghapusan Stigma & Diskriminasi bagi
Pengelola Program, Petugas Layanan Kesehatan dan Kader. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan & Direktorat
Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
162
Kreisman, D.E., & Joy, V.D. 1974. Family response to the illness of a relative: A
review of the literature. Schizophrenia Bulletin, 10(l):34-57.
Kubler Ross, Elizabeth. 2008. On Life After Death Revised. USA: Celestial Arts.
LAKIP RSJ Menur. 2014. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah RS Jiwa Menur
Provinsi Jawa Timur Tahun 2014. Surabaya: RSJ Menur.
Larson, J.E & Corrigan, P. 2008. The Stigma of Families with Mental Illness.
Academy Psychiatry. Proquest.
Lee, K. 2003. Mental Health Nursing 5 th ed. Pearson education, inc. BAB 2. h.
54-67.
Lefley, H. P. 1989. Family Burden and Family Stigma in Major Mental Illness.
The American psychologists, 44 (3), 556-560.
Loiselle, C.G., Profetto-McGrath, J., Polit, D.F., dan Beck, C.T. 2004. Canadian
Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Available from: http://www.fkep.unpad.ac.id/penelitian/prinsipprinsip-etika-
penelitian-ilmiah.html.
163
Maslim. R., 2002. Gejala Depresi, Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
Dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Nevid, J.S., Rathus, S.A & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal (Ed. Kelima
Jilid 2). Jakarta: Erlangga.
Park, S. & Park, K. S. 2014. Family Stigma: A Concept Analysis. Vol. 8, issue 3.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2008 tentang Organisasi
dan Tatakerja Rumah Sakit Daerah Provinsi Jawa Timur.
Pierce, S. 2007. Happy Life, Healthy Life: Sembilan Tema Penting Bagaimana
Agar Hidup Sehat dan Bahagia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
164
Pirutinsky, S., Rosen, D., Shaphiro, S. R., & Rosmarin, D. H. 2010. Do Medical
Models of Mental Illness relate to Increase or Decreased Stigmatization of
Mental Illness among Orthodox Jews? The Journal of Nervous and Mental
Illness Disease, 198 (7).
Polit, D.F & Hungler, B.P. 1997. Essensials of Nursing Research: Methodes,
Appraisal, and Utilizatio., 4th ed. Philadelphia: Lippincoat.
Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Puspitasari, A. 2009. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Fitra Maya.
Pustaka Pelajar.
Seligman, E.P & Martin. 1995. The Optimistic Child, A Program that Safeguards
Children Againts Depression Builds Lifelong Ressillience.
Shrivastava, A., Megan E. J., Meghana T., Siddhansh S., Gopa S., Iyer S., Nilesh
S., Shubhangi P. 2011. Origin and Impact of Stigma and Discrimination in
Schizophrenia – Patient‟s Perception: Mumbai Study. Canada: Stigma
Research and Action, Vol. 1, No. 1.
Sibitz, I., Unger, A., Woppmann, A., Zidek, T., Amering, M. 2009. Stigma
Resistance in Patients with Schizofrenia. Schizofrenia Bulletin, vol 10, no.
1093.
165
Smith, A & Caswellc C. 2010. Stigma and Mental Illness: Investigating Attitudes
of Mental Health and Non-Mental Health Professionals and Trainees, Journal
of Humanistic Counselling, Education and Development, vol. 9, no. 2.
Supartini, Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
The American Herritage Dictionary of English Language (5th ed.). 2012. Boston,
MA: Houghton Mifflin.
Tristiana, RR. D. 2014. Psychological Well Being pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Puskesmas Mulyorejo Surabaya. Surabaya: Fakultas Keperawatam
UNAIR. Tesis.
166
Wawan & Dewi. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Werner, P., Goldstein, D., & Heinik, J. 2011. Development and Validaty of the
Family Stigma in Alzheimer‟s Disease Scale (FS-ADS). Alzheimer Disease
and Associated Disorders, 25 (1), 42-48.
Whitfield, C., Dubeb, S., Felitti, V. & Anda, R. 2005. Adverse Childhood
Experiences and Hallucinations. Child Abuse & Neglect, 29, 797–810.
Yarrow, M.R.; Clausen, J.A.; and Robbins, P.R. 1955. The social meaning of
mental illness. Journal of Social Issues, 11:33-48.
Yin, Y, Weijun Z., Zhenyu H., Fujun J., Yafang L., Huiwen X., Shuliang Z., Jing
G., Donghua T., Zhiyong Q. 2014. Experiences of Stigma and Discrimination
among Caregivers of Persons with Schizofrenia in China: a Field Survey.
Vol. 9.
Yusuf, A., Rizky F. PK., Hanik EN. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Lampiran 1
168
Lampiran 2
169
Lampiran 3
170
Lampiran 4
171
Lampiran 5
172
Lampiran 6
PENJELASAN PENELITIAN
173
Peneliti
174
Lampiran 7
LEMBAR PERSETUJUAN
Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan oleh peneliti tentang penelitian yang
akan dilaksanakan sesuai judul di atas, saya mengetahui bahwa tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui stigma keluarga yang memiliki anggota keluarga
identitas hanya digunakan untuk keperluan pengolahan data dan bila sudah tidak
digunakan lagi akan dimusnahkan dan kerahasiaan data tersebut hanya diketahui
peneliti.
Selanjutnya saya secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan menyatakan
Surabaya,. .. Juni2016
Responden Peneliti
175
Lampiran 8
Kode Partisipan :
A. Data Partisipan
1. Usia :
2. Jenis Kelamin :
3. Suku :
4. Pendidikan Terakhir :
5. Status Pernikahan :
6. Agama :
7. Pekerjaan :
8. Nomor Telepon :
9. Alamat :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin :
176
Lampiran 9
PEDOMAN WAWANCARA
BAGI PENELITI
Waktu wawancara :
Kode partisipan :
Tanggal :
Tempat :
Saya ingin belajar dan mendapatkan gambaran tentang stigma keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa: skizofrenia
177
Lampiran 10
CATATAN LAPANGAN
Nama partisipan :
Kode partisipan :
Lama wawancara :
Posisi partisipan :
Situasi wawancara :
Catatan kejadian :
Lampiran 11
DATA PARTISIPAN
PADA PENELITIAN : STIGMA KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA:
SKIZOFRENIA
178
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lampiran 12
STIGMA KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA: SKIZOFRENIA
179
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gangguan fisik Pola makan ...mari mangan mie, engkuk kepingin anu, nasi v
berlebihan goreng, gak wetengmu loh, isok arep, engkuk ae..
Gangguan Sosial Menarik diri sering menyendiri. Nggak bisa umpamane dijak v v
kumpul gitu jarang mau..
... di rumah pendiam... v v
Pengetahuan Tanda dan gejala Halusinasi terus sering opo jenenge ngomong dewe, sembarang V v v
Keluarga gangguan jiwa ngelantur.
Waham khayalannya sudah semakin membesar mbak. v
Membesar gitu.
...kalo dia habis makan dia tinggalkan separuh, bawa v
ke laut separuh..
... Nyekar-nyekar ke Bung Karno, ke Gadjah Mada . v
... nggak mau dapat barang-barang dari tetangga, v v
nanti dikira itu..
Penyebab Pengalaman ....dia kan masih SMA kelas 3, terus hamil duluan ya v
Gangguan Jiwa Traumatis dan situ minta dinikahi ya tak nikahno ya. Terus
kekecewaan yang melahirkan ditinggal istri e (tangan menunjuk lalu ke
mendalam dahi) anake ya itu mulai wes dee...
...... kan nggada pacaar. Bujang kaleh tahun. nah v
kaleh tahun niku dipek bojo sebelah. Lahh,, terus
kawinan...
....Sakit yaa, karna kan dulu kan bapak itu kan punya v
toh mbaak.. pokoknya kena sinden gara-garanya kan
sawah, rumah, tanah itu terjual. Uangnya habiss....
..punya temen perempuan (mikir). Terus itu tuh ndak v
tau gimana ngilang..
Gangguan kena narkoba, pemakai narkoba, iya kalo jenis- v
penggunaan zat jenisnya saya ndak tahu..
psikoaktif
Gangguan ...sebenere dee itu pinter memang yo kepinteren yoo v
intelegensi terus akhire nggak ngatasi (sambil senyum
tertawa)...
Gangguan proses orang gila itu seperti itu kan gak sadar apa seng v
berpikir dilakukan ndak sadar.
....Awalnya itu curiga dari keluarga dulu. Terus v
lama-lama ke keluarga ee ke keluarga juga ke
tetangga...
Ekonomi yang ....gak bisa meneruskan melanjutkan kuliahnya... v
rendah
2. Cara merawat Jenis perawatan Menangani Dibiarkan “...yahh.. dibiarkan sak polah tingkahe gimana, v
anggota keluarga kekambuhan karepe gimana... ..... cara merawat, yoo dibiarkan... “
180
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
gangguan jiwa Dibawa ke rumah ... kalau sudah ngeblank gini sulit, wes ndak v
sakit jiwa terkontrol ya, ya harus e ini deh anu diamano (sambil
tertawa) ya ini..
Pengikatan nggeh diiket niku bapake jan e. Tiyang mboten v
angsal. “ojo-ojo mbok taleni, engkuk cacat” cacat
meriki tangane. Sikile. Ya Allah..
Melakukan nggih marine niki nembe pokok e jogo omongane v
interaksi apik..
Meredam keluarga gitu sudah meredam loh mbak v v
Kepatuhan Regimen Tidak efektif pak ngombe obat iki”, dia ndak mau.. v
terhadap aturan terapeutik Kalo di rumah kan dikasih resep lagi, diambilkan v v
obatnya nggak mau, obatnya itu dibuang gitu loh...
dia ndak mau minum obat lagi. v v
dia nambeng, dia ndak mau berobat kalo sudah v
pulang.
Efektif ...kalau yang nyuruh orang lain seperti dokter gitu v
ya dia berobat. Dia minum sendiri.
yo wes minum-minum obat sendiri waktu e minum v
obat
pokok e dipaksa minum obat.. v
Kontrol Pasien Tidak patuh disuruh kontrol nggak mau.. nah itu,, mulai kumat v
lagi 3 bulan..
kan waktue kontrol, “kenapa kamu?” ya minum tapi v
ya ga teratur..
Sumber daya Sumber BPJS saya pake bpjs makanya saya ambil langsung kelas 1 v
pendukung pembiayaan itu
Jamkesmas Jamkesmas soale jamkesmas mpun wekdal. v
Melibatkan Keluarga nggeh langsung bingung (wajah terlihat serius), v
sumber daya langsung kulo padoske tiyang sepuh..
...saya ngontak kakak saya, ngontak saudara-saudara v
saya, terus dia bilang, “wes becik ngono gowoen
po’o nang kono (menur) gitu”...
nah keluarga kita anak-anak saya ini umurnya v
dipindah aja biar ada perkembangan gitu...
Orang lain terus diambilkan orang,, perawat kampung (garuk- v
garuk kepala) aja suruh mandikan,, minum obat..
Petugas kesehatan ...jadi ya dari dokter ya ndak papa, asal bisa ngurus v
diri sendiri aja, minimal ya bisa mandi,, gosok gigi...
Petugas keamanan sama polisi juga diamankan.. v
181
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
182
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
jiwa
Masa kecilnya gini (menangis) v
Marah ...Tapi kan kadang-kadang kan kita juga emosi toh v
mbak. Iku kan, kadanan nek dikasih tau terus,
jawaaab teruss..
Menawar Gak tak parani lagi yoo orang tuane awak e dewe v
nek itu yoo nggak keluar awak e dewe wes gitu tok.
ya semua itu kita terima saja, Cuma kita yang saya v
anu apa harap apa Cuma saya kok larinya anak saya
kok sampek sakit..
Tapi kembali lagi kepada ee ya kekuasaan Tuhan v
bahwa bukan kehendak kita, ya maunya kita sih
maunya semua mulus...
kok suwi-suwi kok namane wes gak ada sapa-sapa v
gek ingeti dolan anu dewe ok mesakne jenenge wong
tuwek..
Ya semua dari Allah ya toh, Cuma kita kok sampek v
terjadi anak saya sakit gini gitu (menangis)
saya sendiri kan juga punya adek kandung yang v
seperti itu,, jadi ya nggak papa.. saya pikir yaa,, wes
diterima (sambil tegak dan tertawa).. gimana lagi,
memang..
Depresi Pun kadang kudu njueriittt... v
...seng kulo kerasani ati kulo kok dike’i penderitaan v
o’ sa’mono abote.
.... kan seperti terbebani kan, seperti ke sini, ke sini v
kan orang kan mikir e seng situk e ninggalno anak e
kabeh...
.....kalo kaya gini anak saya sakit seumur hidup, buat v
apa saya hidup? Saya gitu...
....kalo kaya gini anak saya sakit seumur hidup, buat v
apa saya hidup? Saya gitu...
Menerima Kita terima terima aja... v
... lah iki Puji Tuhan ya, aku isek bisa kerja, dikasi v
Tuhan sehat (tangan kiri ke dada), bisa apa ngurus
anak ...
semua saya serahkan semua ke Tuhan ya, semua itu v
mungkin ya rencana Tuhan ya (wajah pasrah)...
183
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Beban keluarga Beban obyektif Finansial ...mangkae yowes minta uang yo tak kasih, semua v
bilang jangan dikasih yo kumat terus tambah nemen,
ya wong dia keinginan e gitu...
rokok e nem pak loh sedino sewengi. Aku sampek v
gudu nangis. Gak ono seng mergawe (nada rendah)
saya ditinggal suami saya tanpa ditinggali pensiun. v
Gitu (sambil berbisik).
Korban ya uang wess.. v
Beban subyektif Takut ...Mangkakno kulo mboten wani ngeloroi, sak itik- v
itik e, yowis tak sabari engkuk nek ngamuk kulo
mendel....
Nggeh gak wani aku ngandani. Gak wani. Engkuk v
nek ngandani ngamuuk.
...Mboten waniii sak itik itik o. Niki aku gak wani v
guyon, nek omong-omong sak karepe iyo iyo iyo
cung iyo cung ..
Sedih kulo nggeh sedih mawon. Sediiih mawon.. piye toh v
kok mboten sedih..
aduh mbaak,, sedih seru mbak aku iki. Opo maneh v
aku iki, wedok, anak wedok.. ya Allah..
Menderita ....ya Allah mbak, niku loh mbak ati kulo ngenes v
mbak. Saiki aku kelingan. Seng kapundut niku bade
diantem watu niku....
... tapi orang tua kan,, orang tua sakit v
mbuatin seru mbak.. v
Kecewa ...secara manusia saya kecewa, kecewa sekali.. v
...bagaimana saya rasa jerih payah saya bekerja v
rasanyaa cuapeek sekali gitu loh mbak ya..
Jengkel saya yang down saya jengkel, saya gimana gitu loh. v
Khawatir loh seng tak wedeni kan ngono, engkuk gek maksa- v
maksa, iyo nek pas gak ndue bojo. Wes tau ndue
bojo. Engkuk gek maksa-maksa merkosa, kan wedi
aku mbak...
kalo perasaan sedih sih ndak, Cuma khawatir aja... v
enggeh seng disaduk, ngantek rong tahun. Ya Allah v
(ngelus dada).. Aku dadi wedi nek nang anake..
Malu yahh.. nek dibilang malu yo malu. v
Malu, orang tua e gitu.. kepala sekolah v
Namanya manusia kalo keadaan keluarga ya v
malunya juga malu..
184
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3. Aspek-aspek Respon Positif Menyadari pandangan masyarakat ini menyadari kan anak ini v
Stigma masyarakat dari dulu anaknya sopaan, ramah, sosial sekali sama
orang....
1. Perlakuan Afeksi Tapi tiyang-tiyang sae sedoyo. Sae, sae ne niku v
masyarakat kadang-kadang, “wan.. “ “eh yoo” nyauri ngoten.
terhadap Perhatian ndelok ibu, urip dewe, nah pandangan e tetangga iku v
penderita ngene, karepe kongkon nambakno, suruh ngobati..
gangguan jiwa Didukung ndak ada pandangan buruk. Malah didukung v
masyarakat..
Negatif Dijadikan musuh Nggeh toh piyambak e (anggota keluarga gangguan v
jiwa) nek metu saitik tantangan. Ambek wong
dianuni, ngepruk ngoten iku. diapakne ki jenenge,
diparani tiyang kathah. pentungi..
terus namine Tonggo niku nggeh mau. Musuhe iku v
namine Mono...
Dadi piyambak e (tetangga) niku coro anune v
piyambak e bento dendam kale meriku (anggota
keluarga)...
Penyesuaian diri Adaptif ..nek kate kumat, wes rokokan ae, jalan iku wes v
masyarakat nunduuuk ae wes gak tolah toleh, orang-orang itu
pada tau kalau kumat e dewe ngono...
mungkin sudah biasa (ketawa),, soale di tiap v
kampung,, itu kan bukan sendiri,, pasti ada yang
lain,, yang sakit gini..
Maladaptif diginikan sama kenalan gitu, diginikan “loh wong v
poso-poso e tukuuu roti?” gitu padahal ndak beli
roti. Lah itu dibawa ... Loh kan dibawa iku
tersinggungnya...
Dikejar.. mboten ngertos beto nopo beto nopo v
mboten ngertos. Cuma merikine kok darah-darah,
mpun roja-roja, dijotosi (pegang mata) mbuh
dinapaaken..
Stigma Menghindari Kalo sama yang sakit ya jelas dihindari, kadang kan v
masyarakat bau, risih..
Menghina lah anak-anak kecil lak sering, nggak, sering v
nggojloki ibuk, kayak gila-gila..
yah gimana ya mbak, yah wes biasa gitu, ndak gini, v v
kadang-kadang diolok-olokan orang,.
Penyakit turunan kalo stigma masyarakat ya terserah orang-orang, ya v
terserah anu,, ya ada yang bilang turunan mbak ya..
185
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
186
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
187
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
188
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
189
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Merawat dengan Harus rawat anak saya dengan baik. Gitu loh ya toh.. v
baik nanti suatu saat gitu, suatu saat perawatannya baik..
pokoke saya ingin ngeramut ibu saya.. kasihan mbak v
ibu saya itu..
Keyakinan/agama Kebutuhan spiritual saya itu rindu ya kalau ada tempat nampung de’e v
memperkuat iman...
Saya minta sama yang Maha Kuasa untuk memberi v
betul-betul dia diberi ketenangan, dibuka hatinya..
Berdoa Saya bawa dalam doa, didoakan gereja, didoakan v
pendeta...
..Cuma ya setiap malam saya minta pertolongan v
pertama sama Allah...
oh ya keluarga, anak cucu saya, yang lain ndak akan v
Mewujudkan seperti itu...
keinginan Tinggal bersama ...saya pengen tinggal serumah sama ibu, ntah di v
rumah sana bah iku ngontrak...
Rencana bekerja Niki mengke nek saget kulo karep kulo bade sadeyan v
nopo-nopo nak saget...
190
SKRIPSI STIGMA KELUARGA YANG... NURULLIA HANUM HILFIDA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
194