Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia
Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia
Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia
Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952). Setelah Kabinet Natsir mengembalikan
mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir
satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Namun
usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret - 18 April 1951).
Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai
formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk
kabinet koalisi antara Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu
dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet Sukiman. Kabinet
Sukiman memiliki program 7 pasal, dan di antaranya mirip dengan program dari kabinet Natsir,
hanya beberapa hal mengalami perubahan dalam skala prioritas. Misalnya, mengenai pemulihan
keamanan dan ketertiban. Usia kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet Natsir, karena pada
masa kabinet ini banyak menghadapi masalah-masalah seperti krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-
barang mewah. Kabinet Sukiman juga memprogram-kan untuk merebut kembali Irian Barat dari
tangan Belanda, walaupun belum juga membawa hasil.
Kedudukan Kabinet Sukiman semakin tidak stabil, karena hubungan dengan militer yang
kurang baik, terutama terlihat dari sikap pemerintah menghadapi pemberontakan yang terjadi di
Jawa Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang tegas. Selanjutnya kedudukan
Kabine Sukiman semakin bertambah goyah sebagai akibat terjadinya pertukaran nota antara
Menteri Luar Negeri Subardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai
bantuan ekonomi dan militer berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) atau Undang-
undang Kerja Sama Keamanan. Kerja sama itu dinilai sangat merugikan politik luar negeri
bebas-aktif yang dianut Indonesia, karena Indonesia harus lebih memerhatikan kepentingan
Amerika Serikat. Bahkan lebih dari itu, Kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia
ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya
Kabinet Sukiman pun menemui nasib yang sama, mengalami kejatuhan dan mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953). Setelah Kabinet Sukiman jatuh, digantikan
oleh Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Wilopo
sendiri adalah tokoh PNI. Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari
keenam program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga
mem-programkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menciptakan keamanan dalam
negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada per-juangan pengembalian Irian Barat serta
melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Namun demikian, kabinet Wilopo ini juga
tidak luput dari masalah-masalah yang menggoyahkan kedudukannya.
Masalah yang cukup berat dihadapi oleh Kabinet Wilopo adalah masalah Angkatan Darat
yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Latar belakang peristiwa itu terkait dengan
masalah ekonomi, reorganisasi atau profesi-onalisasi tentara dan campur tangan parlemen atas
permasalahan militer.
Sementara itu, perkembangan ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil
ekspor Indonesia. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang sulit dan
upaya pembentukan militer yang memenuhi standar profesional, maka anggota militer yang tidak
memenuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini
menimbulkan protes di kalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel
Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi peng-gantian KSAD Kolonel A.H.
Nasution. Tentu saja hal ini menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang menjurus ke arah
perpecahan.
Parlemen mengecam tindakan pemerintah, khususnya Menteri Pertahanan dan Pimpinan
Angkatan Perang dan Darat. Beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada
pemerintah. Mereka menilai bahwa parlemen terlalu ikut campur dalam tubuh tentara. Bahkan
pada tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi rakyat terhadap presiden. Para demonstran
itu menuntut kepada presiden agar membubarkan parlemen serta meminta presiden memimpin
langsung pemerintahan sampai diselenggarakannya pemilu. Namun presiden menolak, dengan
alasan bahwa ia tidak mau menjadi diktator, tetapi mungkin pula khawatir apabila tuntutan
tentara dipenuhi ia akan ditunggangi oleh mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti Peristiwa 17 Oktober 1952
dari kalangan Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo
dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952 di
antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatannya.
Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun Peristiwa 17 Oktober 1952
tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi berakibat menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah.
Masalah lain yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo adalah masa-lah tanah di
Tanjung Morawa, satu kecamatan di Sumatera Timur. Di keca-matan itu terdapat perkebunan
asing, antara lain perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB,
para pengusaha asing itu menuntut pengembalian lahan perkebunan mereka, padahal perkebunan
itu telah digarap oleh rakyat sejak zaman pendudukan Jepang. Ternyata pemerintah menyetujui
tuntutan dari para pengusaha asing itu dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan
menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Di sisi lain, rakyat tidak mau meninggal-kan
tanah-tanah yang telah digarapnya itu. Maka pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran
tanah tersebut. Hal ini menimbulkan protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tem-
bakan oleh polisi, sehingga jatuh korban di kalangan rakyat.
Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya
untuk mencela pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya
Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa
menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
Kabinet All Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Dua bulan setelah
mundurnya Kabinet Wilopo terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet
Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU, sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet
Ali mempunyai program 4 pasal:
o Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera
diselenggarakan pemilihan urnum.
o Pembebasan Irian Barat secepatnya.
o Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali
Persetujuan KMB.
o Penyelesaian pertikaian politik.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956). Kabinet Ali digantikan
dengan Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan
PNI membentuk oposisi. Hasil yang menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan pemilihan
umum untuk kali pertama bagi bangsa Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 29 September
1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante.
Peristiwa tanggal 27 Juni 1955 yang menjadi penyebab kegagalan dari Kabinet Ali berhasil
diselesaikan dengan mengembalikan posisi Nasution sebagai KSAD. Prestasi lainnya yang
dicapai oleh kabinet ini adalah pembubaran Uni Indonesia-Belanda.Setelah hasil-hasil pemilihan
umum diketahui mengubah susunan dan keseimbangan perwakilan di DPR, maka pada tanggal 3
Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet
Burhanuddin Harahap merupakan kabinet peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilihan
umum.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 14 Maret 1957). Ali Sastroamidjojo
kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet
baru yang dibentuknya itu merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU. Program
pokok dan kabinet ini adalah sebagai berikut.
· Pembatalan KMB.
· Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
· Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri,
perhubungan, pendidikan dan pertanian.
· Melaksanakan keputusan Konferensi Asia-Afrika.
Kabinet Ali Sastroamidjojo membatalkan seluruh Perjanjian KMB pada tanggal 3 Mei
1956. Upaya kabinet ini untuk memperbaiki masalah ekonomi mengalami kesulitan, disusul oleh
munculnya gerakan separatisme di berbagai daerah yang dikenal dengan PRRI/Permesta.
Gerakan itu meng-anggap bahwa pemerintah pusat mengabaikan pembangunan daerah-daerah.
Mereka menuntut agar diadakan pergantian kabinet.
Dalam tubuh kabinet itu sendiri terjadi perpecahan antara PNI dengan Masyumi. Masyumi
menghendaki agar Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan
tuntutan daerah. Sedangkan Ali Sastroamidjojo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib
mengambalikan mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Pada bulan Januari 1957, Masyumi
menarik semua menterinya dari kabinet. Peristiwa itu sangat melemahkan kedudukan kabinet Ali
Sastroamidjojo, sehingga pada tanggal 14 Maret 1957 Ali Sastroamidjojo akhirnya menyerahkan
mandatnya kepada presiden. Oleh karena situasi negara yang kacau akibat terjadinya gerakan
separatisme, dan konflik dalam konstituante, maka presiden menyatakan negara dalam keadaan
bahaya (14 Maret 1957).
Pertentangan politik semakin meluas, sehingga pembentukan kabinet baru semakin
bertambah sulit. Sementara itu, partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-menawar
kedudukan dalam membentuk kabinet baru. Akhirnya atas dasar keadaan darurat itu, presiden
menunjuk dirinya sendiri menjadi pembentuk kabinet. Presiden berhasil membentuk kabinet baru
yang disebut dengan Kabinet Karya dan menunjuk Ir. Djuanda sebagai perdana menteri.
Kabinet Karya (9 April 1957 - 10 Juli 1959) Kabinet Karya resmi dilantik pada tanggal
9 April 1957 dalam situasi negara yang sangat memprihatinkan. Kabinet Karya merupakan zaken
kabinet (kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari parlemen karena
kondisi negara dalam keadaan darurat, tetapi lebih berdasarkan keahlian.
Di bawah perdana menteri terdapat tiga orang wakil perdana menteri, yaitu Hardi, Idham
Chalid dan Leimena. Tugas dari kabinet ini sangatlah berat terutama menghadapi pergolakan-
pergolakan yang terjadi di berbagai daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah Indonesia dan menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk. Untuk
mengatasi masalah tersebut, Kabinet Karya menyusun 5 pasal yang disebut Pancakarya.
Program-program dari kabinet ini di antaranya sebagai berikut.
• Membentuk Dewan Nasional.
• Normalisasi keadaan republik.
• Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
• Memperjuangkan Irian Barat.
• Mempercepat proses pembangunan
Dewan Nasional merupakan suatu badan baru yang bertujuan menam-pung dan
menyalurkan aspirasi dari kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat. Walaupun
dewan ini telah terbentuk, namun kesulitan-kesulit-an yang dihadapi oleh negara semakin
meningkat. Terjadinya pergolakan di daerah-daerah yang menyebabkan terganggunya hubungan
antara pusat dengan daerah masih terus berlangsung. Hal ini mengakibatkan sistem
perekonomian nasional semakin bertambah parah.
Dalam upaya menghadapi pergolakan daerah, pemerintah menyeleng-garakan
Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 14 September 1957. Pada Munas itu dibahas
masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang serta pembagian
wilayah Republik Indonesia. Ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah serta antar
kelompok masyarakat berhasil diatasi dengan baik. Sebagai upaya mewujudkan keputusan
Munas, maka pada bulan Desember 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Dalam Munap ini disusun rencana pembangunan yang dapat memenuhi harapan
daerah. Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan belum dapat direalisasikan,
karena muncul berbagai peristiwa nasional yang segera harus ditangani oleh pemerintah.
Peristiwa yang dimaksud itu adalah Peristiwa percobaan pembunuhan atas diri Presiden
Soekarno pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa itu kemudian lebih dikenal dengan
Peristiwa Cikini. Pelaku peristiwa itu diduga para pemuda pendukung Zulkifli Lubis.
Persatuan nasional yang semakin terancam, semakin diperburuk dengan munculnya
Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 Februari 1958,
yang diketuai oleh Ahmad Husein dan mendapat dukungan dari Lubis, Simbolon, Dahlan
Jambek, Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo. Bersamaan dengan berdirinya gerakan itu,
mereka mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang berisi tuntutan pem-bubaran Kabinet
Karya dan pembentukan kabinet baru yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Selain itu presiden diminta bertindak secara konstitusional dan agar tuntutan itu
dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Kabinet Karya mencatat prestasi gemilang, yaitu keberhasilan mengatur kembali batas
perairan nasional Indonesia, dengan keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember
1957. Deklarasi Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam peraturan
lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis dasar sewaktu air surut. Apabila
hal itu diberlakukan, maka di wilayah Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut
Flores dan lain sebagainya. Melalui Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah
Indonesia, yaitu lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.