Dokumen
Dokumen
Dokumen
dilakukan Kartosuwiryo dan juga menyelesaikan masalah Irian Barat. Menurut Soekarno dan PNI,
merebut kedaulatan atas Irian Barat seharusnya menjadi prioritas yang utama di samping
pembangunan ekonomi. Kabinet Natsir akhirnya hanya bertahan selama 7 bulan dan digantikan oleh
Sukiman yang didukung oleh koalisi Masyumi dan PNI.
Kabinet Sukiman di anggap sebagai kabinet yang melakukan usaha serius terhadap masalah PKI.
Antara Juni-Agustus 1951 , terjadi serangkaian pemogokan buruh dan meledaknya sebuah granat
yang di lemparkan oleh sekelompok orang bersenjata. Orang tersebut memakai lencana berlambang
palu arit dan melemparkan granat ke arah kerumunan massa dan menyerang sebuah pos polisi di
Bogor. Pemerintah kemudian memutuskan PKI yang menjadi dalang dari kerusuhan. Namun sebagai
pemimpin PKI, Aidit menolak tuduhan tersebut.
a. Dalam bidang keamanan, menjalankan tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketentraman negara.
b. Dalam bidang ekonomi, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui
hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
c. Dalam bidang sosial, mempercepat usaha penempatan para bekas pejuang di lapangan
usaha.
d. Mempercepat persiapan pemilu.
e. Menerapkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memasukkan Irian Barat secepatnya ke
dalam wilayah Republik Indonesia.
Wilopo kembali menjadi perdana menteri atas dukungan koalisi PNI dan Masyumi. Sebenarnya,
kedua partai ini merupakan mitra yang dapat membentuk kerja sama dengan baik. PNI yang banyak
mendapat dukungan dari golongan Islam abangan ini khawatir akan perkembangan Masyumi dengan
motif keagamaannya. Adapun dalam tubuh Masyumi sendiri terjadi pertentangan yang hebat antara
kelompok Islam yang berfikiran tradisional dengan yang berfikiran modern. Pertentangan tersebut
dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan konsep yang mendasar. Pertentangan semakin meruncing
ketika jabatan menteri agama di serahkan kepada Wahid Hasyim sebagai seorang tokoh Islam
modern. Perpecahan akhirnya terjadi ketika Nahdlatul Ulama (NU) pada Agustus 1952 di bawah
pimpinan Wahid Hasyim menarik diri dari Masyumi. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya
Masyumi.
Kondisi perekonomian negara pada saat Kabinet Wilopo berkuasa mengalami krisis karena
jatuhnya harga barang-barang ekspor, seperti karet, timah, dan kopra, yang diperparah dengan
impor beras yang terus meningkat. Keadaan semakin memburuk terutama antar Februari 1951 dan
September 1952, harga karet yang merupakan ekspor terpenting saat itu turun hingga 71%. Dalam
menghadapi tatanan ekonomi yang masih bersifat kolonial. Pemerintah Indonesia pada 1953
mengambil alih kepemilikan Jayasche Bank dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia. Syafruddin
Prawiranegara di pilih menjadi Gubernur Bank Indonesia. Sebelumnya pada1952, pemerintah juga
menasionalisasi perusahaan listrik swasta Belanda.
1) Persiapan pemilu untuk memilih anggota Konstituante, DPR, dan DPRD, serta
2) Meningkatkan kemakmuran, pendidikan dan keamanan rakyat.
Ali menjadi perdana menteri atas dukungan penuh PNI, NU, dan partai-partai kecil lainnya. Dalam
susunan kabinetnya tidak terdapat tokoh dari Masyumi dan PSI, tetapi lebih banyak mengangkat
pejabat dari anggota PNI. Dalam bidang perekonomian, kabinet ini banyak memberikan dorongan
kepada pengusaha pribumi. Pada masa ini penguasa Belanda yang meninggalkan Indonesia semakin
banyak sehingga memberikan kesempatan yang luas bagi para pengusaha Tionghoa untuk
memanfaatkan kondisi ini. Kebijakan ekonominya dikenal istilah “Ali-Baba”, kata “Ali” di istilahkan
untuk para pengusaha pribumi, sedangkan kata “Baba” untuk para penguasa Tionghoa. Istilah Ali-
Baba menunjukkan adanya hubungan perdagangan antara pengusaha pribumi dan Tionghoa
sebagai pemilik modal atau perusahaan, sedangkan orang-orang pribumi sebagai pelaksananya.
Program utama Kabinet Ali adalah mempersiapkan penyelenggaraan pemilu. Untuk itu, panitia
pemilu pusat kemudian di bentuk pada 31 Mei 1954 yang diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Pada
masa pemerintahan Kabinet Ali, terjadi peristiwa penting, yaitu terselenggaranya konferensi Asia-
Afrika di Bandung pada 1955. Ali menginginkan Indonesia menjadi pemimpin yang aktif bagi
kawasan Asia-Afrika.
Kabinet Ali kemudian di gantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap yang di dukung oleh koalisi
dari partai Masyumi, PSI, dan Nahdlatul Ulama. Kabinet ini terkenal sebagai kabinet yang fokus
mengatasi masalah korupsi. Banyak birokrat, terutama dari tokoh PNI di tangkap. Pemilihan umum
akhirnya di laksanakan pada September 1955 dan merupakan pemilu yang penting dalam sejarah
Indonesia. Dalam pelaksanaan pemilihan umum, kebanyakan para pemilih memilih sesuai dengan
apa yang di perintahkan oleh para pemimpin keagamaan, kepala desa, pejabat, tuan tanah, dan
para atasan lainnya. Pemilu saat itu menawarkan pilihan yang bebas terhadap sederet nama partai
yang berkompetisi tanpa di batasi jumlahnya. Semua partai melakukan kampanye. Hasil perolehan
suara dalam pemilih tersebut adalah sebagai berikut.
Jika di lihat dari hasil pemilu tersebut, tampak empat kekuatan politik baru, yakni PNI, Masyumi,
NU, dan PKI. Namun partai-partai tersebut hanya berhasil menguasai 22% suara di DPR. Masyumi
tidak memdapat perolehan suara mutlak secara nasional. Hal ini lebih di sebabkan oleh
terpecahnya kekuatan partainya di dalam dan di luar Jawa.
Ali Sastroamidjojo menjadi perdana menteri untuk yang kedua kalinya. Kali ini di dukung ole
koalisi dari partai PNI, Masyumi, dan NU. Sebenarnya, kondisi dari partai koalisi kabinet ini dalam
kondisi terpecah belah yang berdampak pada hasil kerja yang kurang baik. Oleh karena itu, ketika
Soekarno berkesempatan pidato dalam pembukaan sidang DPR, dia menyatakan harapannya agar
dapat terbentuk sebuah demokrasi yang lebih di dasarkan kepada musyawarah dan mufakat
daripada demokrasi model Barat yang bersifat memecah belah. Hal ini karena persaingan yang tidak
sehat antara pemerintah dan kelompok oposisi di dalam parlemen. Soekarno mulai menginginkan
adanya sebuah demokrasi yang terpimpin. Pada masa ini hubungan dengan Belanda memang
semakin memburuk setelah pada Februari 1956, pemerintah Indonesia mengumumkan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda.
Dalam program kerjanya, Kabinet Ali II melakukan pembatalan seluruh perjanjian yang di hasilkan
KMB dan meneruskan perjuangan mewujudkan kekuasaan de facto Indonesia atas Irian Barat. Ia
juga menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan meneruskan kerja sama dengan negara-negara
Asia Afrika dan melaksanakan keputusan bersama dari KAA di Bandung.
Belanda ternyata masih melakukan penolakan untuk melaksanakan perundingan kembali tentang
masalah Irian Barat dengan Indonesia. Adapun realisasi dari program kerjanya, pada 4 Agustus 1956
Kabinet Ali secara sepihak menolak mengakui lagi utang-utang negara. Kondisi di dalam negeri masih
sangat rawan karena banyak terjadi perlawanan di daerah yang di lakukan oleh para mantan tentara
yang menentang kebijakan pemerintah pusat untuk demobilisasi.
Setelah Ali Sastroamidjojo menyerah mandat, presiden Soekarno menyatakan seluruh wilayah
Republik Indonesia termasuk semua perairan teritorial berada dalam keadaan darurat perang.
Keadaan darurat perang kemudian di tingkatkan menjadi keadaan perang pada 17 Desember 1957.
Keadaan perang ini telah memungkinkan angkatan perang (militer) dengan leluasa mengambil
tindakan tegas dalam menanggulangi pemberontakan-pemberontakan daerah dan kekacauan yang
dilakukan oleh gerombolan DI/TII di berbagai tempat, seperti di Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa Barat,
dan Jawa Tengah.
Pada 28 Oktober 1956, Soekarno dalam pidatonya mengecam perilaku partai-partai yang di
dasarkan kepada kepentingan pribadi ataupun kelompok dan meminta agar partai-partai tersebut di
bubarkan. Dua hari kemudian, Seokarno menyatakan suatu pemikiran dan konsepsi tentang sebuah
hal baru, yaitu “ demokrasi terpimpin “. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan di kalangan partai
politik yang sebagian besar tidak setuju jika partai politik dibubarkan. Muncul pula sejumlah
demonstrasi dari kalangan masyarakat yang mendukung ide-ide Soekarno. Meski sistem demokrasi
parlementer yang pernah berlaku di Indonesia sejak 1950 hingga 1957 ini mempunyai banyak
kelemahan, sistem ini telah memunculkan sebuah perasaan dan identitas yang benar-benar di
Indonesia.
Pada periode ini hampir seluruh partai politik yang ada berada dalam posisi bertahan (defensif).
Rasa saling bermusuhan di antara mereka telah membuat sulitnya membangun kerja sama dalam
sebuah sistem parlemen. Pada April 1957, Soekarno mengumumkan dibentuknya Kabinet Karya dan
menyerahkan pimpinannya kepada seorang polisi nonpartai bernama Djuanda Kartawidjaya.
Meskipun kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, pada hakikatnya masih mendapat dukungan
yang kuat dari koalisi PNI dan NU. Program dari kabinet karya, yaitu:
Dewan Nasional kemudian di bentuk oleh Soekarno dengan beranggotakan 41 orang dari
golongan fungsional, seperti cendekiawan, pemuka agama, pemuda, petani, butuh, dan wanita.
Dewan yang di ketahui oleh Soekarno ini kemudian bersama-sama dengan kabinet, DPR, dan militer
mencari solusi dari masalah-masalah menjadi penyebab terjadinya krisis pemerintahan.