FINAL - REFERAT - Neuroprotektor Dan Glaukoma
FINAL - REFERAT - Neuroprotektor Dan Glaukoma
FINAL - REFERAT - Neuroprotektor Dan Glaukoma
Pembimbing
Prof. Dr. dr. H.H.B. Mailangkay, Sp.M(K)
Disusun oleh:
Natal Tandi Kendenan Rassat
(2015-061-125)
Silvia Kartika
(2015-061-164)
(2015-061-166)
(2015-061-169)
Irvin Marcel
(2016-061-002)
(2016-061-003)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang1,2
Glaukoma, sebagai penyebab utama terbanyak kebutaan permanen di
dunia, adalah penyakit neurodegeneratif progresif dari sel ganglion retina dan
akson yang ditandai dengan rusak dan hilangnya sel ganglion retina secara
perlahan. Dulunya, glaukoma dikenal sebagai penyakit yang ditandai dengan
adanya kenaikan tekanan intraokuler (TIO), tetapi seiring dengan banyaknya
penemuan dan penelitian baru di dunia kedokteran, semakin jelas bahwa
kenaikan TIO hanyalah salah satu faktor risiko dari glaukoma.
Bermula dari akar penyakit glaukoma yang adalah kerusakan dan
hilangnya sel ganglion retina secara perlahan, maka ilmu pengetahuan tentang
neuroproteksi pada glaukoma terus dikembangkan dan sekarang menjadi salah
satu fokus utama dalam manajemen penanganan glaukoma. Neuroproteksi
pada glaukoma bertujuan untuk melindungi neuron yang rusak atau berpotensi
untuk menjadi rusak pada optik neuron yang berperan pada jaras penglihatan.
Di dunia ini, terdapat 60 juta orang yang menderita glaukoma, dan
diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat menjadi 80 juta orang pada
tahun 2020. Menurut data epidemiologi yang dikumpulkan oleh Quigley et al,
penduduk Asia adalah populasi terbanyak di dunia yang menderita glaukoma,
sebanyak 47% dari seluruh populasi dunia, dan sebanyak 87% penderita
glaukoma sudut tertutup berasal dari Asia.
Penulis menyadari bagaimana pentingnya
neuroproteksi
dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Glaukoma
2.1.1. Definisi1
Glaukoma adalah kondisi dimana terjadi perubahan neurodegeneratif
nervus optik pada mata. Neurodegenerasi progresif ini ditandai dengan rusak
dan hilangnya sel ganglion retina secara perlahan. Hal ini disertai dengan
perubahan fungsi dan struktur yang abnormal pada mata dimana terjadi
kerusakan dan degenerasi nervus optik yang dapat mengakibatkan gangguan
lapang pandang.
2.1.2. Epidemiologi2
Prevalensi glaukoma berdasarkan data yang dikumpulkan Quigley et al
didapatkan sebagai berikut:
Enam puluh juta orang di dunia menderita glaukoma neuropati optik.
75% dari orang-orang ini memiliki glaukoma sudut terbuka.
Perempuan lebih banyak menderita glaukoma daripada laki-laki (55% dari
glaukoma sudut terbuka, 70% dari glaukoma sudut tertutup, dan 59% dari
semua golongan glaukoma).
Populasi Asia adalah kelompok terbesar yang terkena glaukoma, sebanyak
47% dari semua penderita glaukoma dan sebanyak 87% penderita
glaukoma sudut tertutup berasal dari benua Asia.
Populasi ras Cina lebih banyak menderita glaukoma sudut tertutup.
Orang Jepang memiliki tingkat populasi tertinggi glaukoma dengan
tekanan intraokuler (TIO) normal (normal-tension glaucoma).
Populasi ras kulit putih Kauskasian (di Eropa, Amerika, dan Australia)
memiliki prevalensi yang sama untuk glaukoma sudut terbuka.
Afrika, Karibia, dan Amerika Serikat adalah negara-negara yang memiliki
prevalensi glaukoma sudut terbuka yang lebih tinggi dibandingkan orang
Asia dan Eropa.
Prevalensi glaukoma meningkat bersamaan dengan pertambahan umur,
dan pada tahun 2020 diperkirakan populasi yang menderita glaukoma akan
meningkat menjadi 80 juta orang.
2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko3,4
Sistem drainase pada mata pada sebagian besar jenis glaukoma menjadi
tersumbat sehingga aqueous humour tidak bisa mengalir. Kemudian, cairan
menumpuk sehingga menyebabkan tekanan tinggi di dalam mata. Tekanan
yang tinggi akan mengakibatkan kerusakan nervus optik yang pada akhirnya
mengakibatkan kehilangan penglihatan.
Terdapat jutaan serabut saraf yang berjalan dari retina ke saraf optik.
Tekanan yang tinggi membuat serat saraf mulai mengalami nekrosis dan
apoptosis. Saat serat saraf mulai berapoptosis, diskus optikus mulai berongga
dan mendorong saraf optik semakin ke dalam membentuk mangkuk. Ketika
tekanan tetap tinggi dalam waktu yang lama, akan terjadi kerusakan yang
lebih parah pada saraf optik, yang dapat mengakibatkan hilangnya
penglihatan secara total (kebutaan).3
Banyak yang berpikir bahwa TIO yang tinggi adalah penyebab utama
kerusakan saraf optik. Meskipun TIO yang tinggi merupakan faktor utama
kerusakan saraf optik, faktor lain juga harus dipertimbangkan karena orangorang dengan TIO yang normal dapat mengalami kehilangan penglihatan
akibat glaukoma.3
Umumnya semua orang dapat mengalami glaukoma. Namun pada
keadaan berikut, tingkat resikonya lebih tinggi:4
a. Umur >60 tahun
b. Ras Afrika dan Asia
c. Riwayat glaukoma pada keluarga
d. Miopi tinggi
e. Penggunaan steroid jangka panjang
f. Ketebalan kornea sentral
glaukoma
akibat
Diskus Optikus
Normalnya diskus optikus memiliki cekungan dibagian tengahnya. Atrofi
optikus akibat glaukoma menimbulkan kelainan-kelainan diskus khas yang
terutama ditandai oleh pembesaran cawan diskus optikus dan pemucatan
diskus di daerah cawan. Selain itu, dapat pula disertai pembesaran konsentrik
cawan optik atau pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai
pembentukan notching fokal di tepi diskus optikus. Kedalaman cawan optik
juga meningkat karena lamina kribrosa tergeser ke belakang dan terjadi
pergeseran pembuluh darah di retina. Sehingga hasilnya terdapat cekungan
bean-pot yang tidak memperlihatkan jaringan saraf di bagian tepinya.
Lapang Pandang
Gangguan lapang pandang akibat glaukoma mengenai 30 derajat
lapangan pandang bagian sentral. Perubahan paling dini adalah semakin
nyatanya bintik buta. Sedangkan lapang pandang perifer temporal dan 5-10
derajat sentral menandakan perubahan stadium penyakit yang lebih lanjut.
normal. Terlepas
dari apapun
mekanisme
penyebabnya,
pasien
pada neuron yang belum rusak untuk dapat bertahan dalam menghadapi faktorfaktor perusak.12
Beberapa agen yang dikatakan memiliki kemampuan neuroproteksi, dalam
percobaan klinis seperti calcium channel blocker ataupun dalam penelitian
eksperimental seperti betaxolol, brimonidine, antagonis NMDA, inhibitor nitric
oxide synthase, neurotropin dan ekstrak Ginkgo biloba. Sebagian besar dari
neuroprotektor ini terbukti lebih berfungsi pada keadaan sel glia retina
dibandingkan menurunkan tekanan intraokuler pada pasien glaukoma. Beberapa
penelitian juga mencari tahu efek neuroprotektor pada obat-obatan yang biasa
diberikan untuk pasien glaukoma. Sulit untuk mengetahui secara pasti apakah
obat-obatan tersebut menghambat progresi glaukoma dengan menurunkan
tekanan intraokuler atau sebagai neuroprotektor.12
Secara ideal, obat anti-glaukoma yang dipakai secara topikal tidak hanya
dapat menurunkan tekanan intraokuler, tetapi juga dapat mencapai retina dengan
kadar yang cukup, untuk dapat berikatan dengan reseptor tertentu dan dapat
mencegah kerusakan permanen dari sel glia retina.12
2.2.1 Mekanisme Neuropati pada Glaukoma11,12,13
Patogenesis dari kerusakan RGC glaukoma masih belum dipahami
sepenuhnya. Kelainan pada aksonal meliputi AION (anterior ischemic
optic neuropathy) dan glaukoma, sedangkan kelainan pada badan sel
meliputi oklusi arteri sentral retina. Pada kelainan badan sel, metabolisme
dari sel dipengaruhi secara langsung, oleh karena itu terapi yang diberikan
harus sesegera mungkin. Sedangkan pada kerusakan aksonal, metabolisme
dari sel tidak dipengaruhi secara langsung.
Pada glaukoma, terdapat degenerasi dari trans-sinaps, yang
kemungkinan disebabkan karena kerusakan aksonal memanjang dari
nervus optikus ke jaras visual di otak. Oleh karena itu, neurodegenerasi
berperan penting dalam progres penyakit glaukoma. Pemberian terapi
dengan penurunan tekanan intra okuler dan agen neuroprotektif dapat
memberikan perlindungan pada saraf dari penglihatan itu sendiri.
10
a. Neurotrophin withdrawal
Neurotrofin adalah kelompok protein yang sangat dekat dengan
protein yang diidentifikasi sebagai survival factor bagi neuron sensori
dan simpatetik, dan berperan dalam pemeliharaan, perkembangan dan
fungsi neuron baik yang terdapat pada organ maupun otak. Neuron
membutuhkan neurotrophic growth factor yang didapatkan melalui
retrograde axolplasmic transport. Pada glaukoma terdapat blokade pada
retrograde axoplasmic transport yang menyebabkan terjadinya apoptosis
pada RCG (retinal ganglion cell).
b. Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme biologi yang merupakan salah satu
jenis kematian sel terprogram. Apoptosis digunakan oleh organisme
multisel untuk membuang sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh.
Pada apoptosis dikenal sebagai protein pengatur apoptosis. Capcase
dibagi menjadi bagian besar yaitu initiator dan effector. Initiator capcase
memiliki fungsi untuk mengaktifkan capcase lainnya sedangkan effector
memiliki fungsi sebagai yang menjalankan tugas. Pada glaukoma,
diyakini terjadi aktifasi dari initiator.
c. Glutamate induced excitotoxicity
Glutamat adalah neurotransmiter utama di sistem saraf pusat.
Glutamate induced excitotoxicity terjadi apabila kadar dari glutamat di
ekstraseluler meningkat, baik karena peningkatan maupun penurunan
intake glutamate dari sinaps. Pada glaukoma primer sudut terbuka,
biasanya gen yang bermutasi adalah OPTN, gen yang berfungsi mengatur
reseptor dari glutamat. Konsentrasi glutamat yang tinggi membuat aktif
beberapa reseptor sel, diantaranya adalah NMDA (N-Methyl-DAspartate) reseptor yang dapat memengaruhi jumlah kalsium. Jumlah
kalsium yang tidak normal dapat berujung pada pembentukan radikal
bebas yang dapat berujung pada apoptosis sel.
11
memiliki
peran
penting
dalam
beberapa
kasus
12
bentuk
dari
ECM
(matriks
ekstraseluler)
dapat
neuron.
2.2.2. Neuroproteksi dan Neuroprotektor11,12
13
growth factor
yang
berperan dalam
14
yang tinggi pada sistem saraf pusat) meningkatkan masa hidup sel glia
retina dalam jangka panjang.12
Brimonidine melindungi sel glia retina dari iskemik, kompresi dan
hipertensi okuler. Salah satu mekanismenya adalah dengan menginduksi
sintesis BNDF dan fibroblast growth factor (FGF), meningkatkan produksi
gen anti-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-XL dan inhibisi glutamat yang
dapat menyebabkan iskemia dan menghambat kerja reseptor NMDA. 14
Mayoritas penelitian membahas BDNF sebagai neurotropin utama.12
b. Antagonis Reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate)
Glutamat merupakan neurotransmiter utama dalam sistem saraf pusat
dan memiliki konsentrasi yang tinggi dalam neuron. Kadar glutamat
ekstraseluler yang tinggi, karena peningkatan pelepasannya atau penurunan
uptake dari sinaps, dapat menyebabkan eksitotoksisitas. Konsentrasi
glutamat
yang
tinggi
akan
mengaktifkan
reseptor
NMDA yang
15
16
tekanan
intraokuler
dipastikan
memiliki
efek
mudah
efek neuroprotektif
untuk
memperbaiki kerusakan pada tingkat neuron pada nervus optik lebih sulit
untuk dievaluasi.
glaukoma.
Mekanisme
neuroprotektif
dari
-blocker
(Brimonidine, Apraclonidine,
Clonidine)15
Obat golongan ini menurunkan produksi aqueous humor dengan
menghambat kerja enzim adenylate-cyclase dan meningkatkan sekresi
aqueous humor.
Reseptor 2B-adrenergik terdapat di akson, dendrit dan glia
neuron sedangkan reseptor 2C-adrenergik terdapat pada fotoreseptor.
Brimonidine dan agonis reseptor 2-adrenergik lain
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam efek neuroprotektifnya
pada kerusakan nervus optik. Saat ini, brimonidine adalah satu-satunya
obat yang terbukti memiliki efek neuroprotektif pada pasien glaukoma.
18
19
dengan melindungi sel glia retina dari apoptosis pada penelitian in vitro
dan in vivo. Latanoprost juga dikatakan dapat mencegah terjadinya
toksisitas karena glutamat. Selain itu, prostaglandin menyebabkan
vasodilatasi sehingga meningkatkan perfusi okuler.
Meskipun demikian, belum ada penelitian pada pasien glaukoma
yang membuktikan efek neuroprotektif, selain menurunkan tekanan
intraokuler, dengan pemberian analog prostaglandin.
Efek samping lokal dari obat ini adalah hiperemia, inflamasi,
tekanan
intraokuler,
penggunaannya
sebagai
dengan
menurunkan
meshwork.
Kadar
kadar
glikosaminoglikan
glikosaminoglikan
pada
mengalami
20
degenerasi
neuron
lebih
lanjut.
Glatiramer
acetate
Geranylgeranylacetone11
Peran heat shock protein (HSP) pada patofisiologi glaukoma memicu
dilakukannya
evaluasi
geranylgeranylacetone
(GGA).
GGA
dapat
studi
yang
berfokus
pada
proses
21
22
BAB III
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Abe H, Kitazawa Y, Kuwayama Y, Shirakashi M, Shirato S, Tahihara H et al.
Guideline for Glaucoma. 2nd ed. Tokyo: Japan Glaucoma Society;2006.
2. Foster P, Cook C. Epidemiology of Glaucoma : What's New?. Canadian Journal of
Opthalmology;2012;47(3):223-224.
3. Koby K. Causes of Glaucoma. Opthalmology Louisville: Koby Karp Doctors Eye
Institute [Internet]. 2016 [cited 2016 Oct 9]. Available from: http://www.
louisvillelaser.com/wpcontent/uploads/2013/03/6f13a81eedf35468a19c389928ea9
b91.pdf
4. Terri P. Understanding And Living With Glaucoma. San Francisco: American
Academy of Opthalmology [Internet]. 2012 [cited 2016 Oct 9]. Available from:
https://www.glaucoma.org/ GRF_Understanding_Glaucoma_EN.pdf
5. Rao A, Padhy D, Das G, Sarangi S. Evolving Paradigms in Classification of
Primary Angle Closure Glaucoma. Semin Ophthalmol [Internet]. 2015 Aug 20
[cited
2016
Oct
9];0(0):19.
Available
from:
http://dx.doi.org/10.3109/08820538.2015.1053620
6. Ng M, Sample PA, Pascual JP, Zangwill LM, Girkin CA, Liebmann JM, et al.
Comparison of Visual Field Severity Classification Systems for Glaucoma: J
Glaucoma [Internet]. 2012 [cited 2016 Oct 9];21(8):55161. Available from:
http://content.wkhealth.com/linkback/openurl?
sid=WKPTLP:landingpage&an=00061198-201210000-00008
7. Reference Standard Test and the Diagnostic Ability of Spectral Domain Optical
Coherence Tomography in Glaucoma: Journal of Glaucoma [Internet]. LWW.
[cited
2016
Oct
9].
Available
from:
http://mobile.journals.lww.com/glaucomajournal
/Fulltext/2015/08000/Reference_Standard_Test_and_the_Diagnostic_Ability.17.a
spx
8. Bussel II, Wollstein G, Schuman JS. OCT for glaucoma diagnosis, screening and
detection of glaucoma progression. Br J Ophthalmol [Internet]. 2014 Jul 1 [cited
2016 Oct 9];98(Suppl2):ii159. Available from: http://bjobeta.bmj.com/content/98
/Suppl_2/ii15
9. Hoyng PFJ, Beek LM van. Pharmacological Therapy for Glaucoma. Drugs
[Internet]. 2012 Oct 10 [cited 2016 Oct 9];59(3):41134. Available from:
http://link.springer.com/article/10.2165/00003495-200059030-00003
10. Shock J, Harper R, Vaughan D, Eva P. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, Editors.
Oftalmologi Umum. 17th ed. Jakarta: Widya Medika;224p.
24
25