LP Abses Hepar

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

ABSES HEPAR

A. Pendahuluan
Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari sistim gastrointestinal
sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri,
parasit atau jamur. Selama kurun waktu satu abad terakhir ini, telah banyak perubahan dalam hal
epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik, pengelolaan maupun prognosis abses hati.1
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika,
didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter ataupun
multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar merupakan abses soliter, sedangkan abses
lobus kiri hanya 10% yang merupakan abses soliter. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Angka
kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses hati amuba. Angka kejadian abses
hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.
Pada banyak kasus, perkembangan abses hati mengikuti proses supuratif pada daerah lain
di tubuh. Kebanyakan merupakan penyebaran langsung dari infeksi kandung empedu, misalnya
empiema kandung empedu atau kolangitis. Infeksi abdomen misalnya apendisitis atau
divertikulitis dapat menyebar melalui vena porta ke hati untuk membentuk abses. Beberapa kasus
lain berkembang setelah adanya sepsis dari endokarditis bakterial, infeksi ginjal, atau
pneumonitis. Pada 25% kasus tidak diketahui penyebab yang jelas (kriptogenik). Penyebab
lainnya adalah infeksi sekunder bakteri pada abses hati amuba dan kista hidatidosa. Sedangkan
abses hati amuba muncul sebagai salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling
sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia.
B. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit,
jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel
inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.
C. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Abses hati
amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai
di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic
abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.

Abses Hati Amuba


1

a. Epidemiologi
Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek sosial
kemasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi, status hygiene yang kurang
baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia memiliki banyak daerah endemik untuk
strain virulen E. histolytica. E. histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan
keadaan gizi yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang
tinggi. Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia
penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-anak.
Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik, angka kejadiannya
hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi di daerah tropis, dimana sekitar
10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus
amubiasis per 100.000 populasi.
b. Etiologi
Abses hati amuba terjadi karena Entameba histolytica terbawa aliran vena porta ke hepar, tetapi
tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. Untuk terjadinya abses,
diperlukan faktor pendukung atau penghalang berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor
tersebut antara lain adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma
hepar, dan ketagihan alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya
nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga mengalami sedikit
perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat toksin yang
dikeluarkan oleh amuba.
c. Patogenesis
E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini dapat
bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi makanan dan air minum
atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus
ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri. Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat
ditemukan pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi
jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cys-teine protease,
sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen
dan perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut
dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica mensekresi enzim
proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi yang sering adalah di
lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tunggal. Kecenderungan ini diperkirakan akibat
penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena
porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi dari
diameter 1-25 cm. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.
Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses
pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung membentuk
apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang
berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai
walaupun bukan berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali
bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di lobus
kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada amuba
biasanya terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai
achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah
merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum
2

tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa didapatkan ataupun tidak di
dalam cairan pus
d. Gejala klinis
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya. Diare hanya
dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan, disertai demam, berkeringat,
dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan
perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan
di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan,
tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan
ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari
38,5C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteria. Kadang gejalanya
tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.
e. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000.
Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Tes serologi titer
amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan anemia ringan sampai sedang. Pada
pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada
kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi
usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement
fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan
proktoskop.
2. Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba. Perbedaan
terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien dengan abses hati
amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan
atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk
membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam
mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis
hati adalah:
Bentuk bulat atau oval
Tidak ada gema dinding yang berarti
Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
Bersentuhan dengan kapsul hati
Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada endoskopi,
sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses amuba baru
timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.

f.

Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran akan kemungkinan
penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta demam yang tidak
begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya
amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun tidak ditemukannya kedua hal ini tidak berarti
bukan abses hati amuba.
3

Untuk selengkapnya dapat kita lihat berbagai kriteria yang ada pada tabel berikut ini:

Abses Hati Piogenik


Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa muda
terjadi akibat komplikasi apendisitis dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu.
Biasanya abses berbentuk soliter dan ini membutuhkan pembedahan, sedangkan yang bentuk multipel
kecil-kecil tersebar di kedua lobus hati tidak memerlukan pembedahan. Abses hati piogenik
merupakan kondisi serius dengan angka kematian tinggi bila diagnosis tidak dibuat secara dini. Bila
terapi dilakukan dini dan tepat, angka kematian cenderung mengecil.
4

a.

b.

Epidemiologi
Abses hati piogenik tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi
higiene/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abses hati
piogenik yang memerlukan perawatan di RS dan dari beberapa kepustakaan Barat didapatkan
prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,0080,016%. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia
berkisar lebih dari 40 tahun dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.1
Etiologi dan Patogenesis
Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang terpenting
ialah E. Coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas dan bakteri anaerob,
seperti Bacteroides dan Clostridium. Pada dua per tiga kasus dapat dibiakkan lebih dari satu
organisme. Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila didapat nanah yang berbau busuk, gas
dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakan aerob. Mungkin juga terjadi infeksi sekunder
pada kelainan intrahepatik seperti abses tuberkulosis atau infeksi askariasis. Bila organisme
Streptococcus milleiri dapat dibiakkan dalam darah, dapat diduga ada abses hati yang tidak
tampak (abses tersamar).
Abses hati dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui vena porta atau
sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatika. Sebagian sumber tidak diketahui. Kadang
disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung ke hati atau sistem di sekitarnya.
Penyakit bilier/kandung empedu
Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab utama
abses hati piogenik. Kolesistitis akut dan pankreatitis akut juga dapat menyebabkan abses
hati piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang
saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis
dengan akibat abses multipel. Abses hati piogenik multipel terdapat pada 50% kasus. Hati
dapat membengkak dan daerah yang mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda
dengan hati sehat di sekitarnya yang berwarna merah tua. Kebanyakan terdapat pada lobus
kanan dengan perbandingan 5 kali lobus kiri. Abses hati piogenik juga dapat timbul sebagai
penyulit pankreatitis kronik.
Infeksi melalui sistim porta (piemia porta)
Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis, disentri
basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal, merupakan
penyebab utama abses hati piogenik. Biasanya berawal sebagai pileflebitis perifer disertai
pernanahan dan trombosis yang kemudian menyebar melalui aliran vena porta ke dalam
hati. Apabila abses hati piogenik berhubungan dengan pileflebitis, vena porta dan cabangnya
tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah, dan bakteria. Di sekitar abses
terdapat infiltrasi radang. Apabila abses merupakan penyulit penyakit bilier, biasanya abses
berisi nanah yang berwarna hijau.

Hematogen (melalui arteri hepatika)


Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan nekrosis jaringan
hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Hematoma subkapsuler dapat
juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan terlokalisasi.
Sebagian kecil disebabkan tindakan diagnostik atau terapeutik. Terjadinya abses pasca
trauma sangat bergantung pada kualitas pembedahan yang dilakukan untuk menanggulangi
trauma hati sebelumnya. Sepsis dengan penyebaran melalui arteri hepatika menyebabkan
abses pada 20-40% pasien. Abses biasanya multipel dan kecil di kedua lobus hati.

Kriptogenik
5

Tidak ada penyebab ditemukan pada hampir separuh kasus. Namun angka kejadiannya
meningkat pada pasien diabetes mellitus dan kanker yang mengalami metastasis. Pasien
dengan abses hepar piogenik berulang sebaiknya dilakukan evaluasi traktus biliaris dan
gastrointestinal.

c.

Penyebaran langsung
Abses hati dapat terjadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur yang berdekatan,
seperti empiema kandung empedu, pleuritis, ataupun abses perinefrik. Abses hati piogenik
dapat merupakan penyulit dari keganasan hati, baik primer maupun sekunder. Nekrosis
jaringan baik dari tumor maupun jaringan hati akan mudah mengundang infeksi sekunder
dan menimbulkan abses yang biasanya soliter. Kista di dalam jaringan hati juga dapat
mengalami infeksi sekunder sebagaimana kelainan hati yang lain, seperti sistosomiasis,
tuberkulosis, askariasis dan penyakit hidatidosa (kista ekinokokus).

Gambaran Klinis
Manifestasi sistemik abses hati piogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amuba.
Dicurigai adanya Abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri
spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakkan di atasnya.
Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada
kuadran kanan atas abdomen di bawah iga kanan dan disertai dengan keadaan syok. Nyeri sering
berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura.
Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis abses hati piogenik
adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, dan nyeri tumpul pada abdomen yang
menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya dekat dengan
diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan,
batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah mual dan muntah, berkurangnya nafsu
makan, penurunan berat badan, kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti
kapur, dan buang air kecil berwarna gelap.
Pada pemeriksaan mungkin didapatkan febris yang sumer-sumer hingga demam/panas
tinggi yang hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses dan kuman penyebabnya.
Pada palpasi terdapat hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen
atau pembengkakan pada daerah interkostal. Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses
terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba tumor di epigastrium. Splenomegali didapatkan
apabila abses telah menjadi kronik, selain itu bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda
hipertensi portal. Ikterus terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran
empedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses multipel. Jenis ini
prognosisnya buruk.
Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam rongga perut, rongga dada atau
perikard. Dapat pula terjadi septikemia dan syok. Akan tetapi, banyak juga yang tidak
menunjukkan gejala khas. Oleh karena itu, kemungkinan abses hati piogenik patut dipikirkan
pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang jelas, terutama pascabedah abdomen.
Tabel berikut ini menampilkan tanda dan gejala dari abses hati piogenik

g. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3) pada 75-96% pasien, dengan pergeseran ke kiri,
walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endapan darah biasanya
meningkat dan dapat terjadi anemia ringan (50-80% pasien), meningkatnya alkali fosfatase
(pada 95-100% pasien), enzim transaminase dan serum bilirubin (pada 28-73% pasien),
berkurangnya kadar albumin serum (<3 g/dl), meningkatnya nilai globulin (>3 g/dl) dan
waktu protrombin yang memanjang (71-87% pasien) menunjukkan adanya kegagalan fungsi
hati yang disebabkan abses hati piogenik. Prognosis buruk bila kadar serum amino
transferase meningkat. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial.
Kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.
2) Pencitraan
Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada 50% kasus.
Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis, empiema, abses paru, dan jarang
sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat dilihat garis batas udara dan cairan yang terdapat
di dalam rongga abses. Pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi
lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura
minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan penunjang yang
lain yaitu CT-scan abdomen atau MRI, ultrasonografi abdomen dan biopsi hati, kesemuanya
saling menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen
memiliki sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm.
Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-Guided Aspiraate for
Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus, sedangkan gallium and
technectium radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-90%.

D. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
1. Abses hati piogenik
a) Sefalosporin generasi ke-3 dan klindamisin atau metronidazole. Jika dalam waktu
2 48 jam belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotika yang
digunakan diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur sensitivitas
aspirat abses hati.
b) Pengobatan secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan
parenteral selama 10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu
kemudian .
7

b.

c.

d.

e.

2. Abses hati Ameba


a) Metronidazole 3 x 750 mg per oral selama 7-10 hari atau Tinidazole 3 x 800 mg
per oral selama 5 hari, dilanjutkan dengan preparat luminal
b) Paromomycin 2535 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau
lini kedua Diloxanide furoate 3 x 500 mg per oral selama 10 hari .
Aspirasi jarum perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan:
1. Resiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan dengan ukuran kavitas
lebih dari 5 cm
2. Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi
tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium
3. Tak ada respon klinis terhadap terapi dalam 5-7 hari
Drainase perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi : perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun
terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.
Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasilmcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang jarang tcrjadi
tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atautanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amubayang mengalami infeksi sekunder juga
dicalonkan untuk tindakan bedah,khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi
jugadikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi terjadinya ruptur abses amuba
intraperitoneal.
Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik jika
didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis,
terutama pada lobus kiri hati.

Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia) dan PPHI


(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di Surabaya pada tahun 1996:
1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon negatif
dilakukan aspirasi
2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
3. Abses hati dengan diameter 8 cm : drainase per kutan

PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Data dasar pengkajian pasien dengan Abses Hepar meliputi :
a. Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi,
penurunan massa otot/tonus.
b. Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia, bunyi jantung
ekstra, distensi vena abdomen.
c. Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen,
penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
d. Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak
dapat mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit
kering, turgor buruk, ikterik.
8

e. Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
f. Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, sepsi
perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
g. Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas
tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia
h. Integumen, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, angioma spider, eritema.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan masukan
metabolik, anoreksia, mual/muntah.
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan edema
d. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam
jaringan.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi dengan proses penyakit.
f. Hipertermi berhunbungan dengan proses infeksi.
g. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar.
h. Pola napas tidak efektif berhubunagn dengan asites dan restriksi pengembangan toraks
akibat asites, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
C. Rencana Keperawatan
a. DX.I . Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan : Klien menunjukkan perbaikan terhadap aktifitas.
Kriteria hasil :
- Mengekspresikan pemahaman tentang pentingnya perubahan tingkat aktifitas.
- Meningkatkan aktifitas yang dilakukan sesuai dengan perkembangan kekuatan otot.

Rencana keperawatan dan rasional


Intervensi
1. Tingkatkan tirah baring, ciptakan
lingkungan yang tenang.
2. Tingkat aktifitas sesuai toleransi.

3. Awasi kadar enzim hepar

Rasional
1. Meningkatkan ketenangan istirahat dan
menyediakan energi yang digunakan
untuk penyembuhan.
2. Tirah baring lama dapat menurunkan
kemampuan. Ini dapat terjadi karena
keterbatasan aktifitas yang mengganggu
periode istirahat.
3. Membantu menurunkan kadar aktifitas
tepat, sebagai peningkatan prematur
pada potensial resiko berulang.

b. DX.II. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
masukan metabolik, anoreksia, mual/ muntah
Tujuan : Klien menunjukkan status nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil :
- Nafsu makan baik.
- Tidak ada keluhan mual/muntah.
- Mencapai BB , mengarah kepada BB normal .
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi
1. Awasi keluhan anoreksia,
mual/muntah.
2.

3.
4.
5.

Rasional
1. Berguna dalam mendefinisikan derajat,
luasnya masalah dan pilihan intervensi
yang tepat.
Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. 2. Makan banyak sulit untuk mengatur bila
klien anoreksia. Anoreksia juga paling
Berikan makanan sediki dalam
buruk pada siang hari, membuat masukan
frekwensi sering.
makanan sulit pada sore hari.
Lakukan perawatan mulut sebelum 3. Menghilangkan rasa tidak enak dan
meningkatkan nafsu makan
makan
4.
Penurunan BB menunjukkan tidak
Timbang berat badan.
adekuatnya nutrisi klien.
5.
Memperbaiki kekurangan dan membantu
Berikan obat vit. B kompleks, vit. c
dan proses penyembuhan.
tambahan diet lain sesuai indikasi.

c. DX.III. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan edema


Tujuan : pemulihan kepada volume cairan yang normal
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi
1. Batasi asupan Natrium dan cairan
jika Diinstruksikan
2. Berikan diuretic, suplemen kalium
dan protein sesuai indikasi

3. Catat asupan dan haluaran cairan.


4. Ukur dan catat lingkar abdomen
setiap hari.

Rasional
1. Meminimalkan pembentukan asites dan
edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat
ginjal dan mempertahankan
keseimbangan cairan serta elektrolit yg
normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan
asupan cairan.
4. Memantau perubahan pembentukan
asites dan pembentukan cairan

10

d. DX.IV. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu
dalam jaringan .
Tujuan : Klien menunjukkan jaringan kulit yang utuh.
Kriteria hasil :
- Melaporkan penurunan proritus atau menggaruk.
- Ikut serta dalam aktifitas untuk mempertahankan integritas kulit
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi
Rasional
1. Lakukan perawatan kulit dengan
1. Mencegah kulit kering berlebihan.
sering,hindari sabun alkali.
Memberikan penghilang gatal
2. Pertahankan kuku klien terpotong
2. Untuk menurunkan resiko kerusakan
pendek. Instruksikan Klien
kulit bila menggaruk.
menggunakan ujung jari untuk
menekan pada kulit bila sangat perlu
menggaruk
3. Pertahankan liner dan pakaian kering. 3. Pakaian basah dan berkeringat adalah
sumber ketidak nyamanan

e. DX.V. Kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi tentang proses penyakit


Tujuan : Klien dan keluarga mengetahui tentang proses penyakitnya
Kriteria hasil :
- Mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit.
- Melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi
Rasional
1. Kaji tingkat pemahaman proses 1. Mengidentifikasi area kekurangan / salah
penyakit,
harapan
/prognosis, informasi dan memberikan
kemungkinan pilihan pengobatan.
informasiambahan sesuai keperluan.
2. Berikan informasi khusus tentang 2. Kebutuhan atau rekomendasi akan
penyakitnya.
bervariasi karena tipe penyakit dan
3. Jelaskan pentingnya istirahat dan situasi individu.
latihan.
3. Aktifitas perlu dibatasi sampai hepar
kembali normal.

f.

DX.VI. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.


Tujuan : Klien menujukkan suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria hasil :
- Klien tidak mengeluh panas
- Badan tidak teraba hangat
- Suhu tubuh 36,5 37,50C
11

Rencana keperawatan dan rasional


Intervensi
Rasional
1. Kaji Adanya keluahan tanda - tanda 1. Peningkatan suhu tubuh menujukkan
peningkatan suhu tubuh
berbagai gejala seperti uka merah, badan
teraba hangat
2. Monitor tanda - tanda vital terutama 2. Demam disebabkan efek - efek dari
endotoksin pada hipotalamus dan
suhu tubuh
efinefrin yang melepaskan pirogen
3.
3. Berikan kompres hangat pada aksila/ Axila merupakan jaringan tipis dan
terdapat pembulu darah sehingga akan
dahi
mempercepat pross konduksi dan dahi
berada didekat hipotalamus sehingga
cepat memberikan respon dalam
mengatur suhu tubuh.

g. DX.VII. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar.


Tujuan : klien mengungkapkan nyeri berkurang / teratasi.
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi
1. Kaji tingkat nyeri

Rasional
1. Mengetahui persepsi dan reaksi klien
terhadap nyeri serta sebagai dasar
keefektifan untuk intervensi selanjutnya
2. Perubahan frekuwensi jantung atau TD
menujukkan bahwa pasien mengalami
2. Monitor tanda - tanda vital
nyeri, khususnya bila alasan lain untuk
perubahan tanda vital telah terlihat
3. Tindakan non analgetik diberikan dengan
3. Berikan
kenyamanan
tindakan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidak nyamanan
misalnya perubahan posisi relaksasi
4. Untuk mengalihkan perhatian.
4. Ajarkan tehnik penangan rasa nyeri Meningkatkan control rasa serta
meningkatkan kemampuan mengatasi
control stress dan cara relaksasi
rasa nyeri dan stress dalam periode yang
lama
5. Analgetik berfungsi untuk mengurangi
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam rasa sakiti individu.
pemberian analgetik

h. DX.VIII. Pola napas tidak efektif berhubunagn dengan asites dan restriksi pengembangan
toraks akibat asites, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan
12

Rencana keperawatan dan rasional


Intervensi
Rasional
1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur. 1. Mengurangi tekanan abdominal pada
diafragma dan memungkinkan
pengembangan toraks dan ekspansi paru
2. Hemat tenaga pasien
yg maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolic dan
3. Bantu pasien menjalani dalam oksigen pasie
Paresentesis dan torakosintesis
3. Paresentesis dan torakosintesis
merupakan tindakan yang menakutkan
bagi pasien. Bantu pasien untuk
bekerjasama dalam menjalani prosedur
ini.

13

Anda mungkin juga menyukai