Abses Hepar 1
Abses Hepar 1
Abses Hepar 1
II. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan
hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.1
III. Anatomi
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4483.htm
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25%
berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat
kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Batas atas hati
berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga
IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
transversal sepanjang 5 cm dari porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistim
porta yang mengandung arteri hepatika, vena porta dan duktus koledokus. Sistim porta
terletak di depan vena kava dan di balik kandung empedu.1
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan
ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri.
Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-
kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus
kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada
permukaan posterior. 1
Vaskularisasi
Sekitar 25% dari 1500 mL darah yang memasuki hepar setiap menitnya berasal dari arteri
hepatika propria, sedangkan 75% berasal dari vena porta hepatis. Arteri hepatika propria
membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah
yang miskin oksigen dari saluran cerna. Di porta hepatis (hilus) arteri hepatika propria dan
vena porta hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-
masing untuk lobus hepatika dekstra dan lobus hepatika sinistra. Lobus-lobus ini berfungsi
secara terpisah. Dalam masing-masing lobus cabang primer vena porta hepatis dan arteri
hepatika propria teratur secara konsisten untuk membatasi segmen vaskular. Bidang
horisontal melalui masing-masing lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vaskular.
Antara segmen-segmen terdapat vena hepatika untuk menyalurkan darah dari segmen-
segmen yang bertetangga. 2,6
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4816.htm
Arteri hepatika komunis berasal dari truncus coeliacus, naik mengikuti ligamentum
hepatoduodenal dan bercabang menjadi arteri gastrika kanan dan arteri gastroduodenal
sebelum bercabang ke kiri dan ke kanan di hilus. Pada 10% individu sumber arteri hepatika
komunis berbeda. Arteri hepatika komunis atau arteri hepatika dekstra bisa berasal dari arteri
mesenterika superior. Arteri hepatika sinistra pada 15% individu berasal dari arteri gastrika
sinistra.2
Sumber : http://www.netterimages.com/image/4506.htm
Vena porta hepatis merupakan pertemuan antara vena splenika dan vena mesenterika superior
setinggi vertebrae lumbal dua, di belakang kaput pankreas. Vena ini berjalan sepanjang 8-9
cm menuju ke hilus dari hepar dan selanjutnya akan mengalami percabangan. Vena gastrika
dekstra memasuki vena porta hepatis pada bagian anteromedial dan kranial dari tepi
pankreas. Pada 25% individu vena gasrika sinistra bermuara pada vena splenika. Vena
mesenterika inferior mengalir ke vena splenika, beberapa sentimeter dari pertemuan antara
vena splenika dan vena mesenterika superior. Tidak jarang vena ini bermuara pada vena
mesenterika superior.2
Vena hepatika merupakan muara terakhir dari vena sentralis lobulus hepar. Ada 3 vena
hepatika utama, yaitu: kiri, kanan dan tengah. Vena hepatika bagian tengah berjalan pada
fisura lobus mayor dan mendapat darah dari segmen medial lobus sinistra dan bagian inferior
dari segmen anterior lobus dekstra. Vena hepatis sinistra mengalirkan darah dari segmen
lateral lobus sinistra dan vena hepatis dekstra mendapat darah dari segmen posterior dan
segmen anterior lobus dekstra.2
Sumber : http://www.netterimages.com/image/47402.htm
Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus
berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat kapiler yang disebut sinusoid
yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik
(sel kupffer) yang merupakan sistim retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri
dan benda asing lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan
tubuh terhadap serangan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri
hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara
lembaran sel hati.2
IV. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Abses hati
amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic
abscess.1
Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses pencairan
jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung membentuk apa
yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang
berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai
walaupun bukan berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh,
kecuali bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di
lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada
amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses
menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar
serta sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan
enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa
didapatkan ataupun tidak di
dalam cairan pus.4,5
Sumber : http://www.netterimages.com/image/6872.htm
d. Gejala klinis
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya. Diare
hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan, disertai demam,
berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan
dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar.
Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan
nyeri biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila
lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah
suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses
karena bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4,5
e. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000.
Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Tes serologi titer
amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan anemia ringan sampai sedang. Pada
pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada
kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi
usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement
fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan
proktoskop.4,5
• Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba. Perbedaan
terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien dengan abses hati
amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan
atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk
membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam
mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis
hati adalah:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada endoskopi,
sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses amuba baru timbul
bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5
f. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran akan
kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta
demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare
dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun tidak ditemukannya
kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati amuba.5
Untuk selengkapnya dapat kita lihat berbagai kriteria yang ada pada tabel berikut ini:7
3. Leukositosis 3. Leukositosis
4. Pus amebik
4. Peninggian diafragma
4. Kelainan radiologis
kanan dan pergerakan
5. Tes serologis (+)
yang kurang
5. Respon terhadap
5. Aspirasi pus 6. Kalainan sidikan hati
amebisid
6. Pada USG didapatkan
rongga di dalam hati Ket : 7. Respon yang baik
terhadap amebisid
7. Tes haemaglutinasi (+) Bila terdapat 3 atau lebih
dari gejala diatas Ket :
Bila didapatkan 3 atau lebih
Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler
1. Hepatomegali yang nyeri 1. Hepatomegali yang 1. Hepatomegali yang nyeri
tekan nyeri
2. Kelainan hematologis
2. Respon yang baik 2. Riwayat disentri
terhadap obat amebisid 3. Kelainan radiologis
3. Leukositosis 3. Leukositosis
4. Pus amebik
4. Peninggian diafragma
4. Kelainan radiologis
kanan dan pergerakan
5. Tes serologis (+)
yang kurang
5. Respon terhadap
5. Aspirasi pus 6. Kalainan sidikan hati
6. Pada USG didapatkan
rongga di dalam hati amebisid 7. Respon yang baik
terhadap amebisid
7. Tes haemaglutinasi (+) Ket :
Ket :
Bila terdapat 3 atau lebih Bila didapatkan 3 atau lebih
dari gejala diatas
g. Diagnosis banding
Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain:
• Abses hati piogenik
1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E. coli serta
kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi. Dapat juga disebabkan oleh
bakteri anaerob yang berasal dari v. porta, saluran empedu (yang paling sering), infeksi
langsung (seperti luka pada penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia
pada infeksi tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses amuba coklat
kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat remiten,
intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan (41,8%)
sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin dan alkali
fosfatase.
• Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril
• Kolesistisis akut
• Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
• Kista hati
• Massa intra abdomen
• Kelainan intra torakal kanan bawah
• Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum
Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungsi dan
percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per eksklusionem.2,5,7
h. Penatalaksanaan
• Pengobatan medis3,4,5
Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:
(1) amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama di dinding usus, hati
dan jaringan ekstra intestinal lainnya; contohnya emetin, dehidroemetin, klorokuin,
(2) amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga amebisid kontak
contohnya, diyodohidroksikuin, yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason,
klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan
(3) amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya obat-obat golongan
nitroimidazol
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan yang besar
bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis 50mg/kgBB/hari.
Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10
hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x
800 mg perhari selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan
menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil diterapi dengan
metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas
nyeri dalam 24 dan 48 jam.
b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari.
c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan diikuti 500mg/hari
selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat baik dan lengkap (kadar di hati 200-
700 kali di plasma), sehingga kadar dalam kolon sangat rendah. Oleh karena itu perlu
ditambah amebisid luminal untuk menghindari relaps. Pada penelitian ditemukan bahwa
kadar klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati; maka sangat baik untuk
terapi abses hati amebiasis
• Terapi bedah
Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara buta,
tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran dengan
tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan gambaran radiologi menunjukkan kista
yang tetap ada setelah terapi antibiotika, maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau
drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa dengan
berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat
dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter
penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk
mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi
vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi rongga
peritoneum dan murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup besar.
Kontraindikasi adalah asites dan struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5
Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi konservatif, termasuk
aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke rongga
peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan infeksi sekunder yang tidak
terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih tinggi.5
i. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke berbagai
rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit, sebesar 5-5,6%.
Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden perforasi ke rongga pleura
adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan cairan
cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat
sputum yang berwarna khas cokelat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti
rasa hati selain didapatkan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi
perikard dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik
seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung
(perikarditis konstriktiva).4,5
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan peritonitis
umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus mempunyai kesempatan
untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi ke depan atau ke
sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat terjadi melalui
sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses amuba
otak.5
j. Prognosis
Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan pada fasilitas yang
kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika ada peritonitis amebik 40–
50%. Tingkat kematian akan semakin meningkat dengan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian biasanya disebabkan oleh sepsis atau sindrom
hepatorenal.7
d. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3) pada 75-96% pasien, dengan pergeseran ke kiri,
walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endapan darah biasanya
meningkat dan dapat terjadi anemia ringan (50-80% pasien), meningkatnya alkali fosfatase
(pada 95-100% pasien), enzim transaminase dan serum bilirubin (pada 28-73% pasien),
berkurangnya kadar albumin serum (<3 g/dl), meningkatnya nilai globulin (>3 g/dl) dan
waktu protrombin yang memanjang (71-87% pasien) menunjukkan adanya kegagalan fungsi
hati yang disebabkan abses hati piogenik. Prognosis buruk bila kadar serum amino
transferase meningkat. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial.
Kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.1,5,8
• Pencitraan
Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada 50% kasus.
Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis, empiema, abses paru, dan jarang
sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat dilihat garis batas udara dan cairan yang terdapat di
dalam rongga abses. Pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral
sudut kostofrenikus anterior tertutup. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor.
Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan penunjang yang lain
yaitu CT-scan abdomen atau MRI, ultrasonografi abdomen dan biopsi hati, kesemuanya
saling menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen
memiliki sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm.
Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-Guided Aspiraate for
Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus, sedangkan gallium and technectium
radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-90%.1,5
e. Diagnosis
Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-kadang sulit ditegakkan sebab
gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnosis dini memberikan arti
penting dalam pengelolaan karena penyakit ini dapat disembuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan
pengobatan yang terlambat akan meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis, demikian juga
dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis abses
hati amuba, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa
hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk
diagnosis.1
f. Penatalaksanaan
• Aspirasi
Aspirasi tertutup dapat dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi atau tomografi komputer.
Pungsi ini dilakukan untuk tujuan aspirasi berulang, memasukkan antibiotik ke dalam rongga
abses, serta memasang pipa penyalir, baik sebagai tindakan diagnosis maupun pengobatan.
Komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, pneumotoraks, kebocoran dinding abses ke
dalam rongga peritoneum, perforasi organ intraabdominal, infeksi ataupun terjadi kesalahan
dalam penempatan kateter untuk drainase. Drain dilepas jika dinding abses kolaps, yang
dikonfirmasi lewat pemeriksaan CT-scan. Adanya asites dan struktur yang menghalangi
drainase merupakan kontraindikasi. Keberhasilan tindakan ini sebesar 80-87%.
Pertimbangkan terjadinya kegagalan drainase perkutan bila tidak ada perbaikan terjadi dan
kondisi memburuk dalam 72 jam,atau bila abses berulang meskipun drainase awal memadai.
Kegagalan drainase perkutan dapat ditangani dengan pemasangan ulang kateter, atau
melakukan drainase bedah terbuka.1,5,8
• Pengobatan medis
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman. Bila hasil tes belum ada,
sedangkan pengobatan harus dimulai, pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya
dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida atau sefalosporin generasi III dan
klindamisin atau metronidazol. Metronidazol dan klindamisin baik untuk melawan bakteri
anaerob dan mampu melakukan penetrasi ke dalam kavitas abses. Aminoglikosida dan
sefalosporin generasi III mampu melawan bakteri gram negatif. Floroquinolon dapat
dijadikan alternatif bagi pasien yang alergi terhadap golongan penisilin. Terapi ini biasanya
efektif pada pasien dengan abses unilokular dengan ukuran <3 cm. Jika dalam waktu 48-72
jam belum ada perbaikan klinis dan laboratoris maka antibiotik yang digunakan diganti
dengan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan
secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari
dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Bilamana perlu, antibiotik
dapat diberikan langsung ke saluran empedu melalui penyalir T yang dipasang sewaktu
melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta melalui vena umbilikalis. Keberhasilan
pengobatan bergantung pada ukuran, letak dan jumlah abses.1,5,8
• Pengobatan bedah1,5,8
Penyaliran tertutup dan pemberian antibiotik melalui penyalir ternyata efektif pada banyak
penderita. Pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan hasil baik dengan
pengobatan nonbedah. Indikasi untuk drainase bedah adalah sebagai berikut:
a) Adanya penyakit intra-abdomen yang membutuhkan tindakan operatif
b) Kegagalan terapi antibiotik
c) Kegagalan aspirasi perkutan
d) Kegagalan drainase perkutan
Kontraindikasi relatif untuk tindakan operatif:
a) Abses multipel
b) Infeksi polimikroba
c) Adanya penyakit imunosupresif atau keganasan pada pasien
d) Adanya masalah kesehatan lain pada pasien yang mempersulit tindakan
Laparatomi dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan penyaliran,
dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan antibiotik serta dipasang penyalir. Apabila
letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi dilakukan dengan ultrasonografi
intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi dengan jarum. Abses multipel bukan indikasi
untuk pembedahan dan pengobatannya hanya dengan pemberian antibiotik dan pungsi.
Kadang-kadang abses hati piogenik multipel diperlukan reseksi hati.
g. Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti
septikemia/bakteremia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke
dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperitoneum. Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi
luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktivasi abses.1
h. Prognosis
Jika disertai septikemia, mortalitas dan morbiditas tinggi. Mortalitas abses hati piogenik yang
diobati dengan antibotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-
16%. Prognosis juga dipengaruhi oleh umur penderita, adanya penyakit saluran empedu,
adanya hubungan dengan keganasan dan penyulit di paru-paru. Prognosis buruk apabila
terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan
penyebab bakterial organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Way. Lawrence. W., 2003. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :
Medical Publication.
3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C., 1994. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa Kasus
Abses Hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed on : June 02nd,
2009.
5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta : EGC.
6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.
7. Hetti. 2010. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-abses.
Accessed on : June 02nd, 2009.
8. Nickloes, Todd. A., 2009. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from:
Http://emedicine/193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.