Refrat RM Pbi Wida

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA PASIEN DENGAN


PLEXUS BRACHIALIS INJURY
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing:
dr. Harri Haryana, Sp. KFR

Diajukan Oleh:
Anjar Widarini, S. Ked

J510145015

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN


REHABILITASI MEDIK
RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. R. SOEHARSO SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
0

BAB I
PENDAHULUAN

Cedera pleksus brakhialis dapat menyebabkan disabilitas fisik yang berat. Lesi ini dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan fungsional anggota gerak atas, nyeri yang mengganggu,
stress psikologis, kesulitan sosioekonomi dan mengurangi kualitas hidup pasien secara
umum.1
Cedera pleksus brakhialis dapat terjadi pada bayi maupun dewasa. Prevalensi tertinggi
pada usia dewasa muda 19 34 tahun dengan angka kejadian pada laki laki sebesar 89%.
Penyebab tersering cedera pleksus brachialis adalah trauma. Pada bayi, cedera biasanya
terjadi selama proses persalinan. Sedangkan pada orang dewasa dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme, meliputi luka tembus, terjatuh, serta kecelakaan kendaraan bermotor 2,3.
Seringkali trauma yang terjadi berupa trauma multipel. Pasien mungkin juga menderita
cedera yang lain seperti trauma skeletal atau traumatik brain injury yang memerlukan
tambahan upaya spesifik dalam proses rehabilitasinya untuk masalah ini.1,4
Penatalaksanaan pasien dengan cedera pleksus brakhialis merupakan masalah
kompleks yang memerlukan kerjasama yang erat dari sebuah tim terdiri dari dokter-dokter
ahli dari bagian yang berbeda dan diperlukan juga kolaborasi dengan bidang lain seperti
okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja sosial dan konselor vokasional. 1 Setiap
anggota tim harus memiliki pemahaman menyeluruh terhadap anatomi dan fisiologis pleksus
brakhialis serta penilaian fungsional neuromuskuler ekstremitas superior. Strategi rehabilitasi
harus disusun secara khas dan spesifik untuk tiap-tiap pasien, dan hal ini hanya bisa
dilakukan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh kondisi pasien.1
Seringkali diagnose terlambat ditegakkan atau diabaikan karena menunggu suatu
pemulihan spontan. Harus diingat bahwa otot akan mulai mengalami atrofi dan kehilangan
motor end plate segera setelah terjadi jejas pada daerah proksimal 5. Kepastian apakah cedera
pleksus yang terjadi merupakan neuropraksia, aksonotmesis, neurotmesis, pre-ganglioner
atau post-ganglioner akan menentukan prognosis dan rencana penatalaksanaan rehabilitasi
medik pasien.1,4
Pasien yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk kondisinya,
dengan adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu serta bertambahnya kelemahan dan
atrofi otot akibat disuse.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Plexus Brachialis
Pleksus brakhialis umumnya berasal dari radik saraf spinalis C5 hingga T1,
yang lebih lanjut dibagi menjadi radiks saraf spinalis, trunkus, divisi, korda, dan
cabang terminal (saraf).4,5,6
Radiks anterior berjalan ke anteroinferior kemudian lewat diantara m. skalenus
anterior dan medius, membentuk trunkus superior (radik anterior C5 dan C6), trunkus
media (radik anterior C7) dan trunkus inferior (radik anterior C8 dan T1). Setiap
trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior.
Semua divisi posterior dari masing-masing trunkus akan membentuk korda posterior.
Divisi anterior dari trunkus superior dan media membentuk korda lateral dan divisi
anterior dari trunkus inferior membentuk korda medial. Kemudian korda posterior
membentuk saraf aksilaris dan saraf radialis. Korda lateral terbagi dua, dimana cabang
yang satu membentuk saraf muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan
korda medial membentuk saraf medianus. Korda medial terbagi dua, dimana cabang
pertama ikut membentuk saraf medianus sedangkan cabang lainnya menjadi saraf
ulnaris. Variasi pleksus brakhialis secara keseluruhan diperkirakan lebih dari 50%
kasus. Variasi pleksus brakhialis tersering adalah keterlibatan akar saraf C4 dan T2.
Variasi pada level trunkus relatif jarang.4,5,6

Supraklavikular

Infraklavikular

Gambar 1. Diagram Skematik Pleksus Brakhialis

Cabang-cabang pleksus brakialis


1. Cabang dari radiks saraf spinalis
Nervus dorsalis scapulae. Berasal dari ramus C5, mempersarafi m. rhomboideus major
dan minor serta m. levator scapulae
Nervus ke subclavius. Berasal dari ramus C5 dan C6, mempersarafi m. subclavius
Nervus thorakalis longus. Berasal dari ramus C5, C6, dan C7, mempersarafi m. serratus
anterior
2. Cabang dari trunkus
Nervus suprascapularis. Berasal dari trunkus superior, mempersarafi m. supraspinatus
dan m. infraspinatus
3. Cabang dari korda lateralis
Nervus pectoralis lateralis. Mempersarafi m. pectoralis major
Nervus musculocutaneus. Berasal dari C5 dan C6, mempersarafi m. coracobrachialis, m.
brachialis, dan m. biceps brachii
Cabang lateral nervus medianus. Memberikan cabang C5, C6, C7 untuk nervus
medianus
4. Cabang dari korda posterior
Nervus subscapularis superior. Mempersarafi m. subscapularis
Nervus thoracodorsalis. Mempersarafi m. latissimus dorsi
Nervus subscapularis inferior. Mempersarafi bagian bawah m. subscapularis dan m.
teres major
Nervus axillaris. Mempersarafi m. deltoideus, m. teres minor, sendi bahu, dan kulit di
atas bagian inferior m. deltoideus
Nervus radialis. Mempersarafi, m. brachioradialis, m. ekstensor lengan bawah, m.
supinator, m. triceps brachii, m. anconeus, bagian posterior lengan atas dan lengan
bawah
5. Cabang dari korda medialis
Nervus pectoralis medialis. Berasal dari C8 dan T1, mempersarafi m. pectoralis major
dan m. pectoralis minor
Cabang medial nervus medianus, memberikan cabang C8 dan T1 untuk nervus medianus
Nervus cutaneus brachii medialis, mempersarafi kulit sisi medial lengan atas
Nervus cutaneus antebrachii medialis, mempersarafi kulit sisi medial lengan bawah
Nervus ulnaris, mempersarafi satu setengah otot fleksor lengan bawah dan otot-otot kecil
tangan, dan kulit tangan di sebelah medial

Gambar 2. Skematik Percabangan Saraf Dari Pleksus Brakhialis

Gambar 3. Otot dan Daerah Yang Disarafi oleh Cabang Pleksus Brakialis

B. Definisi

Cedera pleksus brakhialis adalah cedera pada jaringan saraf perifer yang
membentuk pleksus brakhialis, mulai dari radiks saraf hingga saraf terminal. Cedera
ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik maupun otonom pada
anggota gerak atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus
brakhialis atau pleksopati brakhialis.8
C. Epidemiologi
Informasi mengenai insiden cedera pleksus brakhialis cukup sulit ditemukan.
Sampai saat ini tidak terdapat data epidemiologi yang mencatat insiden cedera pleksus
brakhialis per setiap negara di dunia. Menurut Office of Rare Disease of National
Institutes of Health, cedera pleksus brakhialis merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Kejadiannya kurang dari 200.000 per tahun di Amerika Serikat.8
Cedera pleksus brakhialis dapat mengenai semua umur, tetapi ada tiga puncak
umur, yaitu (1) saat lahir oleh karena tindakan obstetri, (2) usia antara 18 30 tahun
oleh karena trauma, dan (3) mulai usia 50 tahun oleh karena tumor, radiasi dan
berbagai tipe trauma terutama fraktur dan dislokasi bahu. Trauma merupakan
penyebab terbanyak cedera pleksus brakhialis pada orang dewasa, dilaporkan rasio
pria dibanding wanita adalah 8:1 (89%).7
Berdasarkan law of seven seventies dari Narakus dari 1086 pasien selama
lebih dari 18 tahun, diperkirakan prevalensi kasus lesi pleksus brakhialis9
-

70% dari lesi pleksus brakhialis traumatik akibat kecelakaan kendaraan lalu-lintas

70% dari kecelakaan kendaraan lalu-lintas akibat sepeda motor atau sepeda

70% dari pengendara tersebut juga mengalami cedera multipel

70% mengalami lesi supraclavicular

70% dari yang mengalami lesi supraklavicular terjadi avulsi paling tidak 1 root

70% pasien dengan avulsi root adalah pada C7, C8, Tl atau C8, Tl

70% pasien dengan avulsi root tersebut mengalami nyeri yang persisten

D. Etiologi
Pleksus brakhialis dapat mengalami cedera akibat berbagai proses, di antaranya:
1.

Trauma10

Merupakan penyebab tersering baik pada dewasa maupun bayi baru lahir.
Beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya cedera pleksus brakhialis
pada bayi baru lahir (obstetrical brachial plexus injury) antara lain distosia bahu,
persalinan dengan forceps atau vakum, makrosomia, letak sungsang.9
Mekanisme trauma penyebab cedera pleksus brakhialis dapat berupa :
1) Trauma tertutup, misalnya pada kecelakaan sepeda motor, olahraga dan jatuh dari
ketinggian. Umumnya mekanisme cedera berupa:
a. Traksi akibat laterofleksi leher menjauhi sisi sakit (sama dengan mekanisme
pada trauma proses kelahiran)
b. Benturan langsung ke daerah Erb
c. Kompresi saraf akibat hiperekstensi leher dan rotasi ipsilateral (terjadi
penyempitan foramen neural)
d. Kombinasi
2) Cedera terbuka, contohnya luka tusuk dan luka tembak
3) Cedera iatrogenik
Lesi berkaitan dengan prosedur operasi di daerah leher atau bahu, operasi \
pembukaan dinding dada, anestesi blok regional dan pemasangan kanula. Pada
neonatus terjadi saat proses kelahiran yang sulit berkaitan dengan distosia bahu dan
bayi besar.
2.

Tumor11

Tumor neural sheath: neurofibroma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath


tumor dan meningioma
Tumor non neural : kanker mammae, kanker paru
3.

Radiation-induced
Insidensi pleksopati brakhialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8
- 4,9 %, paling sering terjadi pada pasien dengan kanker pada thoraks atau paru.12

4.

Entrapment
Keadaan ini terjadi pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu
yang lunglai dan dada kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga
menekan struktur neurovaskuler.13

5.

Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis brakhialis tanpa diketahui
penyebab yang jelas, namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului.
6

Presentasi klasik berupa nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1-2
minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan
dan penyembuhan komplit terjadi dalam 2 tahun.14
E. Patofisiologi
Sebagian besar patologi dari lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa adalah
karena trauma tertutup. Lesi pada saraf dalam kasus ini disebabkan oleh traksi (95%
kasus) atau kompresi. Pada kasus traksi, saraf dapat mengalami ruptur, avulsi pada
tingkat medulla spinalis, atau tertarik secara signifikan tetapi tetap intak. Cedera dapat
mempengaruhi setiap tingkat

pleksus. Terdapat lima tingkat dimana pleksus dapat

mengalami lesi, yaitu 5 :


1. Radiks
2. Cabang anterior dari saraf spinal
3. Trunkus
4. Korda
5. Saraf perifer
David Chuang juga membagi 2 tipe lesi pada cedera pleksus brakhialis yang
dibedakan untuk tujuan perbedaan pengobatannya :8
1. Avulsi : mengacu pada saraf yang robek dari perlekatannya (disebut avulsi proksimal
jika perlekatannya terlepas dari spinal cord, disebut avulsi distal jika perlekatannya
terlepas dari otot)
2. Ruptur : adalah cedera saraf yang diakibatkan oleh trauma traksi yang terbelah secara
inkomplit sehingga menyebabkan bentuk akhir iregular proksimal dan distal
AVULSI
Saraf terlepas dari perlekatannya atau
margin tulangnya
Pada operasi, ditemukan hanya 1 ujung
terputus yang terlihat.
Cedera level 1 merupakan avulsi proksimal,
level 4 merupakan avulsi distal dari otot
atau margin tulang

RUPTUR
Saraf terbelah + tertarik
Dua ujung terputus dapat dilihat saat
operasi
Cedera level 2,3, dan 4

Tabel 1. Perbandingan Avulsi dan Ruptur

Gambar 5. Mekanisme cedera saraf pleksus brachialis

Avulsi radiks terjadi pada 75% kasus cedera supraklavikuler. Avulsi radiks multipel
semakin sering terjadi dalam 25 tahun terakhir. Terdapat dua mekanisme terjadinya avulsi
radiks yaitu secara sentral dan perifer. Mekanisme perifer lebih sering terjadi, dikarenakan
daya tarikan pada lengan melebihi penyokong di sekitar rootlets. Radiks anterior dapat
mengalami avulsi dengan atau tanpa rootlets posterior. Epidural sac dapat robek tanpa avulsi
komplit rootlets. Mekanisme sentral avulsi jarang terjadi dan biasanya diakibatkan oleh
trauma servikal langsung dan terjadi karena medula spinalis bergeser secara longitudinal atau
transversal karena trauma yang signifikan.5
Nagano mengklasifikasikan avulsi dan avulsi parsial berdasarkan penemuan
mielogram. Radiks saraf C5 dan C6 memiliki perlekatan pada vertebra yang kuat sehingga
lebih jarang mengalami avulsi dibandingkan dengan radiks saraf C7 hingga T1.5

Gambar 6. Mekanisme Perifer Avulsi Radiks Saraf Spinalis, lapisan epidural ikut tercabut dari canalis spinalis
sehingga menyebabkan pseudomeningocele

Gambar 7. Mekanisme Sentral Avulsi Radiks Saraf Spinalis, medulla spinalis bergeser secara longitudinal atau
tranversal mengikuti arah tarikan sehingga menyebabkan avulsi

Ciri-ciri root avulsion8 :


Crushing atau burning pain pada tangan yang mengalami anestesi
Paralisis m. Scapularis atau diafragma
Adanya Horners syndrome yang terdiri dari ptosis, miosis, enoftalmus, dan anhidrosis
Cedera vaskular berat
Berhubungan dengan fraktur vertebra servikal
Disfungsi medulla spinalis (hiperrefleks pada tungkai bawah)
Cedera pada pleksus brakhialis dapat terjadi pada daerah supraklavikuler (radiks saraf
spinalis, trunkus), retroklavikuler (divisi), dan/atau infraklavikuler (korda, cabang terminal).
Cedera paling banyak mengenai daerah supraklavikuler. Daerah supraklavikuler ini dibagi
menjadi menjadi preganglionik dan postganglionik. Pada lesi preganglionik, akar saraf
tertarik dari medulla spinalis sehingga serabut saraf motorik terpisah dengan badan sel
motorik pada kornu anterior. Serabut dan badan sel sensorik masih terhubung dengan
ganglion radiks dorsalis, namun serabut eferen yang memasuki kolumna dorsalis terputus.
Karena inilah maka masih terdapat potensi aksi saraf sensorik (SNAP) pada pemeriksaan
EMG. Lesi ini menyebabkan paralisis yang menetap pada otot yang dipersarafi dan hilangnya
sensorik sesuai dermatomnya. Sebaliknya, pada lesi postganglionik menunjukkan bahwa selsel saraf motorik maupun sensorik terputus dengan serabut sarafnya sehingga terdapat
abnormalitas baik pada potensi aksi motorik maupun sensorik dan badan sel secara anatomis
masih baik sehingga diharapkan terjadi regenerasi saraf. Perbaikan cedera preganglioner
memerlukan prosedur neurotisasi, sedangkan perbaikan lesi postganglioner dapat dilakukan
dengan pembedahan atau graft saraf.5

Gambar 8. Preganglion dan postganglion

F. Derajat Cedera Saraf


Saraf-saraf spinal terdiri dari 3 jaringan penyambung yang membungkus akson, yaitu : 8
1. Endoneurium/endoneural yang mengelilingi individual axon
2. Perineurium/perineural yang mengelilingi fascicles (bundles of axons)
3. Epineurium/epineural yang mengelilingi seluruh serabut saraf

Gambar 9. Potongan tranversal serabut saraf spinal

Gambar 10. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.6

10

Akibat cedera, pada serabut bermielin dapat terjadi demielinisasi dan kerusakan
aksonal.15,16
1. Demielinisasi15
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana
terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.

Gambar 11. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang cedera.

Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau
edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
Remielinisasi; Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih
tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan
konduksi lebih lambat dari normal.
A

C
Gambar 12. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B: mielin menghilang. C:
komplet remielinisasi

11

2. Cedera Akson15
Terdapat dua tipe cedera pada akson yaitu degenerasi aksonal atau degenerasi
Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan khromatolisis
sentral.
Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk
kematian saraf yang mulai dari distal dan menjalar ke proksimal.
Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf
fokal atau multifokal setelah 4 5 hari (Gambar 11). Ini terjadi secara lengkap untuk
saraf motorik dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal
bagian distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.
Kerusakan aksonal dapat terjadi akibat kerusakan fokal, regangan, transeksi atau
neuropati perifer. Perbaikan terjadi secara collateral sprouting (proses perbaikan
dimana suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi
serabut otot denervasi pada unit motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali
aksonal (suatu proses perbaikan dimana akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya
menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1 mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan
ikat penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.

Gambar 13. Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c) regenerasi (Seckel,1984)

Pada tingkat mikroskopis, klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh
Seddon (1943) dan Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.4,17,18
12

Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf yaitu 4,10,15,18 :
1. Neuropraksia: suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan demielinisasi
sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe cedera seperti ini
tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan
merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh
karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai
bulan.
2. Aksonotmesis: suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan
degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.
Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf tergantung
dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi
yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada
motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor
end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis: kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses pemulihan
sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi sering
menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut saraf.

Gambar 14. Klasifikasi cedera saraf menurut Sheddon

Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu4,8,10,18:


1. Tipe I: hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
Konduksi sepanjang akson secara fisiologis terputus, tetapi akson tetap intak. Tidak terjadi
degenerasi Wallerian, penyembuhan spontan biasanya terjadi dalam beberapa hari atau
minggu.
2. Tipe II: cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)

13

Biasanya terjadi karena terjepit atau traksi ringan. Terdapat disrupsi akson, dengan
terjadinya degenerasi Wallerian distal dari tempat cedera. Integritas endoneural masih
intak.
3. Tipe III: aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak
Akson dan endoneural terputus, gangguan neurologis komplit ditemukan pada penemuan
klinis.
4. Tipe IV: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih
intak
Akson dan endoneural terputus, tetapi beberapa epineural dan mungkin beberapa
perineural masih intak sehingga tidak terjadi pemutusan seluruh serabut saraf. Degenerasi
retrogard lebih berat.
5. Tipe V: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Serabut saraf terpotong secara komplit, menyebabkan terbentuk gap antara ujung-ujung
saraf. Kemungkinannya kecil akan terjadi penyambungan karena pertumbuhan ujung
akson, demikian pula kemungkinan pulihnya fungsi tanpa pembedahan yang tepat.
Mackinnon menambahkan suatu pola cedera derajat VI, yang menggambarkan
cedera campuran yang meliputi seluruh derajat: neuropraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.
Terjadi di mana suatu serabut saraf terpotong sebagian dan bagian yang tersisa mengalami
cedera derajat IV, III, II atau bahkan derajat I. Pola cedera ini dapat menyulitkan diagnosis.
Biasa terjadi pada cedera karena traksi.5
G. Klasifikasi Cedera Pleksus Brakialis
Berdasarkan terjadinya maka cedera pleksus brakialis dibedakan menjadi :
-

Compressive brachial plexus neuropaty (CBPN) adalah tipe yang biasa disebut
thorasic outlet syndrome (TOS) yaitu neuropati atau vaskulopati kompresi yang
mengenai pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia

Brachial plexus traction injury (BPTI), merupakan trauma tarikan pada pleksus
brakhialis. BPTI akan mengganggu neural tissue gliding dan kemampuan untuk
mentoleransi tekanan. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrosis intra dan ekstraneural
akibat trauma langsung, patologi lokal pada vertebra servikal atau thorak atau
kompresi yang berlebihan atau overuse.8
14

Berdasarkan komponen yang terlibat cedera pleksus brakialis dibagi menjadi :


-

Lesi upper pleksus brakialis, terjadi akibat fleksi leher berlebih menjauhi bahu sisi
yang terkena. Paling sering disebabkan karena tindakan forseps pada obstetri.
Dikenal dengan nama lain erbs palsy. Dengan tanda khas waiter tips deformity
karena terjadi kelemahan otot rotator bahu, fleksor lengan, dan ektensor tangan

Lesi total pleksus brakialis. Merupakan jenis yang jarang terjadi dibanding
lainnya.

Lesi lower pleksus brakialis, terjadi saat pasien tiba-tiba mengalami regangan
tangan berlebih saat abduksi bahu. Melibatkan cabang C8 dan T1. Dikenal dengan
nama klumpke paralysis.2

Gambar 13. Mekanisme cedera pada lesi pleksus brakhialis

H.

Manifestasi Klinis
Pasien dengan cedera pleksus brakhialis biasanya akan mengeluhkan gejala
berupa kelemahan motorik, gangguan sensorik, dan bahkan autonomik pada bahu dan
atau ekstremitas atas yang terkena. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi
tergantung dari letak lesi dan derajat kerusakan pleksus brakhialis.4,11

15

Nyeri1
Sebagian besar pasien dengan gangguan pleksus brakhialis merasakan

nyeri

berupa sakit, rasa terbakar di sekitar bahu, lengan atas, atau lengan bawah, yang
bertambah berat bila menggerakkan lengan atas atau bahu, dan jarang diperburuk oleh
Valsava maneuver yang lebih khas pada radikulopati.

Gangguan Sensorik dan Parestesia1


Gangguan sensorik umum dijumpai pada pasien dengan cedera pleksus brakhialis,
meskipun ini mungkin teralihkan atau tidak diketahui saat pasien mengalami derajat
yang tinggi dari nyeri dan kelemahan. Kehilangan sensorik secara umum mengikuti
distribusi dermatom. Pasien dengan lesi pleksus brakhialis trunkus superior
mengalami kehilangan sensorik pada lateral lengan atas dan lengan bawah, lesi
pleksus trunkus brakhialis medial pada dorsal lengan bawah dan tangan, serta lesi
pleksus brakhialis trunkus inferior pada medial tangan dan lengan bawah.5

Gambar 14. Distribusi Sensoris Sesuai Dermatom

Kelemahan dan Atrofi1


Kelemahan dan atrofi otot sering terjadi pada pasien dengan pleksopati. Kelemahan
tergantung pada bagian yang terkena dari pleksus. Secara umum, kelemahan
mengikuti distribusi miotom, dengan kelemahan pada pleksus brakhialis secara
menonjol mengenai abduksi, eksternal rotasi dan fleksi lengan pada lesi pleksus

16

superior; fleksi dan ekstensi lengan dan jari-jari tangan dengan lesi trunkus media,
dan kelemahan instrinsik tangan dengan lesi pleksus inferior.
Pleksopati supraklavikular
Lesi terjadi di tingkat radik, trunkus atau kombinasinya. Lesi di tingkat ini 2 7 kali
lebih sering terjadi dibandingkan pleksopati infraklavikular. Pleksopati supraklavikular dibagi
menjadi :4
1.

Lesi pada tingkat radiks


Lesi pada tingkat ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan
dermatom dan miotom. Pada lesi di tingkat radiks ini dapat terjadi parsial paralisis atau
hilangnya sensorik inkomplit karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh
beberapa radiks.
Radiks
saraf
C5

Penurunan
Refleks
Biseps brakhii

C6

Brakhioradiialis

C7
C8
T1

Triceps brakhii
-

Kelemahan

Hipestesi/kesemutan

Fleksi siku
Ekstensi pergelangan
tangan
Ekstensi siku
Fleksi jari2 tangan
Abduksi jari2 tangan

Lateral lengan atas


Lateral lengan bawah
Jari tengah
Medial lengan bawah
Medial siku

Tabel 2. Manifestasi Klinis Cedera pada Tingkat Radiks

Manifestasi klinis di atas adalah untuk membantu penentuan level cedera radiks,
sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai dengan miotom berikut6 :
C5
C6
C7
C8 / T1

Rhomboideus, deltoid, biceps brachii, supraspinatus, infraspinatus,


brachialis, brakhioradialis, supinator dan paraspinal
Deltoid, biceps brachii, brachioradialis, supraspinatus, infraspinatus,
supinator, pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum
communis dan paraspinal
Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum communis, triceps
brachii dan paraspinal
Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor
digiti minimi, pronator quadratus, abduktor pollicis brevis, dan paraspinal
Tabel 3. Miotom pada Pleksus Brakhialis

2. Lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior)


Ini adalah kelompok yang paling sering terjadi pada pleksopati supraklavikular. Sering
timbul secara sendirian, tetapi dapat juga berkaitan dengan pleksus tengah atau kombinasi
dengan lesi pleksus tengah dan bawah (lesi pan-pleksus supraklavikular). Umumnya
terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran secara paksa
sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai bahu, dan pukulan pada
17

bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah iatrogenik
(paralisis akibat tindakan persalinan).
Otot yang terkena terutama yang terletak di dekat bahu. Bila lesi pada tingkat radik, otot
yang terkena meliputi otot seratus anterior, rhomboid dan spinatus. Bila lesi pada tingkat
proksimal trunkus superior, otot seratus anterior dan rhomboid tidak terkena. Bila lesi
lebih ke distal lagi, pada tingkat medial dan distal trunkus superior, otot spinatus tidak
terkena. Biasanya terdapat gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi lateral lengan atas
dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Reflek bisep dan brakhioradialis menurun atau
hilang. Pada keadaan yang berat, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
aduksi dan internal rotasi, sehingga telapak tangan tampak dari belakang (waiters,
bellhops, atau policemans tip position).4

Gambar 15. Mekanisme cedera pada pleksus bagian atas

Gambar 16. Waiters tip position

3.

Lesi pleksus tengah (radik C7 / trunkus media)


Cedera radik C7 / trunkus media secara sendirian jarang sekali. Perubahan klinis pada lesi
pleksus tengah meliputi gangguan pronasi lengan bawah, fleksi sisi radial tangan, ekstensi
lengan bawah dan pergelangan tangan serta 1 atau lebih jari-jari tangan. Gangguan
sensorik terjadi pada dorsal lengan bawah, tangan dan jari-jari tangan sisi radial serta

18

mengenai reflek trisep. Lesi ini disebabkan oleh traksi (akibat tindakan operatif) dan
neoplasma.
1.

Lesi pleksus bawah (radik C8, T1/trunkus inferior)


Pada lesi ini, gerakan pergelangan tangan dan jari-jari terganggu terutama posisi fleksi,
bila cedera komplit dan semua fungsi otot intrinsik terganggu. Gangguan sensorik yang
terjadi tidak hanya sepanjang bagian medial dari lengan atas, lengan bawah, dan tangan,
juga dua jari sebelah medial. Jika terjadi avulsi radik, sering ditemukan sindrom Horners.
Beberapa disebabkan oleh trauma, terutama saat terjadi peregangan kuat bagian atas dari
pleksus. Penyebab nontraumatik meliputi neoplasma dan TOS, sedangkan sebab
iatrogenik meliputi sternotomy median dan tindakan operasi pada TOS.

Gambar 17. Arah gaya yang mengakibatkan cedera pada pleksus bagian bawah

Gambar 18. Horners sign pada lesi pre ganglioner C8-T1

2. Lesi Pan-supraklavikular (Radik C5-T1/semua trunkus)


Tipe ini merupakan lesi yang luas dan jarang kecuali akibat cedera traksi tertutup (dengan
trauma yang sangat kuat dan tindakan persalinan). Penyebab lain adalah nontraumatik
(mis. tumor ganas yang luas) dan iatrogenik (blok anestesi regional). Otot-otot anggota
gerak atas terkena, penurunan sensorik sepanjang anggota gerak dan sering terdapat nyeri.

19

Gambar 19 A. Mekanisme cedera pleksus brakhialis bagian atas, B. Waiters tip Position,
C. Tarikan pada bahu saat proses persalinan dapat mengakibatkan cedera pleksus brakhialis bagian atas,
D. Mekanisme cedera pleksus brakhialis bagian bawah, E. Tarikan pada daerah axilla saat proses persalinan
dapat mengakibatkan cedera pleksus brakhialis bagian bawah,
F. Claw hand pada Klumpke paralysis

Pleksopati Infraklavikular
Pada lesi ini dapat mengenai fasikulus, saraf terminal atau keduanya. Tipe lesi
fasikulus menimbulkan gangguan distribusi dari dua atau lebih saraf perifer atau bagianbagian dari saraf perifer, meliputi :
1.

Lesi di fasikulus lateral; gangguan fleksi lengan bawah, pronasi lengan bawah dan
fleksi radial pergelangan tangan. Gangguan sensorik terjadi sepanjang lateral lengan
bawah dan jari tangan I III, serta mengenai reflek bisep.

2.

Lesi di fasikulus medial; mengenai semua fungsi otot intrinsik tangan, seperti fleksi,
ekstensi dan abduksi

jari-jari tangan serta fleksi dan deviasi pergelangan tangan.

Kelainan motorik hampir menyerupai lesi pada trunkus inferior kecuali otot yang
dipersarafi oleh saraf pektoralis medial dan radik C8 melalui saraf radialis (mis. ekstensor
polisis brevis dan ekstensor indisis proprius) tidak terkena. Gangguan sensorik terdapat
sepanjang medial lengan atas, lengan bawah, tangan dan dua jari tangan sisi medial.
3.

Lesi di fasikulus posterior; beberapa gerakan anggota gerak atas terganggu seperti
abduksi, fleksi, dan eksternal rotasi lengan atas, serta ekstensi lengan bawah, tangan dan
jari-jari tangan. Gangguan sensorik dapat terjadi sepanjang posterior dan lateral deltoid,
bagian dorsal lengan atas, lengan bawah, tangan dan tiga jari tangan sisi radial serta
mengenai reflek trisep.4

I.

Diagnosis
20

Untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan cedera pleksus brakhialis,


anamnesis dan pemeriksaan fisik sangatlah penting untuk dilakukan.
Dokter seharusnya curiga adanya cedera pleksus brakhialis pada saat memeriksa
pasien dengan cedera kepala, leher, gelang bahu dan ekstremitas superior bagian
proksimal yang berat. Selain didasarkan dari manifestasi klinis, diagnosis cedera
pleksus brakhialis juga didukung hasil pemeriksaan penunjang radiologi dan
neurofisiologi.8
Anamnesis 8
Pada anamnesis yang penting untuk ditanyakan adalah riwayat trauma
sebelumnya, kronologi kejadian / mekanisme trauma dan gejala klinis yang dirasakan
pasien.
Pada bayi baru lahir dengan dugaan cedera pleksus brakhialis, perlu diketahui
riwayat kehamilan, riwayat persalinan, usia kehamilan, berat badan lahir, presentasi
bayi, riwayat penggunaan forceps atau vakum, distosia bahu, Apgar skor, dan
kebutuhan akan resusitasi saat kelahiran.
Pemeriksaan Fisik 8
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya perubahan anatomi dan
fisiologis di bagian ekstremitas atas, kelemahan pergerakan motorik, parestesia atau
anestesia pada daerah tertentu.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, yaitu melihat posisi lengan
terutama saat istirahat. Avulsi pada radiks saraf dpat diketahui dengan adanya sindroma
Horner dan kelemahan otot-otot paraspinal. Sisi kontralateral dan ekstremitas bawah
perlu dinilai juga untuk menyingkirkan lesi di medulla.
Pada pasien trauma, palpasi klavikula, costa dan humerus dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau dislokasi. Evaluasi juga perlu dilakukan pada :

Otot-otot punggung: m.trapezius, m.rhomboideus, m.supraspinatus, m,infraspinatus,


m.latissimus dorsi, m.teres mayor dan m.teres minor

Fungsi motorik m.deltoideus, m.biceps, m.triceps, otot-otot fleksor dan ekstensor


lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari.

Pergerakan sendi: bahu (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi interna dan rotasi
eksterna), siku, pergelangan tangan dan jari (fleksi dan ekstensi)

Perhatikan apakah terdapat kontraktur pada m.pectoralis mayor (dinilai dengan


palpasi pada regio aksilaris anterior saat rotasi eksterna sendi bahu), kontraktur
21

pada m.subscapularis (dinilai dengan palpasi regio aksilaris posterior pada saat
abduksi bahu).
Pemeriksaan lain :
1. Tinnels sign
Tinnels sign positif ditandai dengan munculnya peripheral tingling atau disestesia
yang diprovokasi oleh perkusi saraf. Pada neuropraksia, Tinnels sign negatif. Pada
aksonotmesis, Tinnels sign positif pada lokasi cedera karena sensitivitas regenerasi
akson.
2. Histamine test
Injeksi histamin intradermal biasanya menyebabkan 3 reaksi di sekitar kulit:
-

Dilatasi central capillary

Wheal (munculnya reaksi alergi)

Surrounding flare
Jika terjadi flare reaction pada anaesthetic area, lokasi lesi pasti berada di

bagian proksimal dari ganglion radiks dorsalis, kemungkinannya terjadi avulsi radiks.
Pada lesi post ganglioner, tes histamin negatif karena saraf antara kulit dan ganglion
radiks dorsalis mengalami gangguan.

Pemeriksaan penunjang
Berbagai alat pencitraan tersedia untuk mengevaluasi pleksus brakhialis, dimana
pemilihan alat tergantung pada kebutuhan secara klinis. Plain-film myelography,
postmyelography, CT-scan, MRI, ultrasound (US), dan bahkan Positron Emission
Tomography (PET) memiliki peranan masing-masing dalam pencitraan pleksus
brakhialis.3
Pemeriksaan foto rontgen vertebra regio servikal diperlukan untuk identifikasi
trauma osteal di daerah pleksus brakhialis dan menyingkirkan adanya kemungkinan
fraktur yang tidak stabil atau dislokasi. Adanya fraktur pada prosessus transversus
meningkatkan

kecurigaan kemungkinan avulsi atau ruptur neural root. Fraktur

klavikula, fraktur humerus atau dislokasi dari sendi bahu mungkin berkaitan dengan
cedera pleksus pada tingkat yang sama. Elevasi satu sisi diafragma yang terlihat dari
hasil foto rontgen thoraks mengindikasikan paralisis nervus frenikus, sehingga
kemungkinan terjadi cedera pada roots bagian atas pleksus brakhialis.4,7

22

CT scan dapat menunjukkan fraktur pada prosessus transversus yang tidak


tampak dari foto rontgen. MRI dapat mendeteksi hematom ekstra atau intradural,
edema dan perdarahan pada jaringan lunak. Baik CT scan maupun MRI memberikan
informasi preoperatif yang berguna, namun demikian keduanya tidak dapat
memberikan informasi yang cukup mengenai kontinuitas yang tersisa dari serabut saraf.
Secara teoritis ultrasonografi bisa menjadi teknik pencitraan pilihan pertama,
tidak invasif, alat yang ramah pada pasien, dan generasi terbaru peralatan ultrasound
menawarkan resolusi yang cukup untuk membedakan saraf dari jaringan sekitarnya dan
untuk membedakan sejumlah lesi patologis pada saraf perifer ekstremitas. 5 Ultrasound
memiliki peranan yang terbatas terutama karena keterbatasan tampilan serta
keterbatasan dalam visualisasi struktur seperti tulang dan abnormalitas pleura yang
disebabkan oleh invasi dari tumor. Disrupsi saraf dan struktur vaskular dapat
diidentifikasi oleh praktisi yang sudah terlatih dan ultrasound mungkin digunakan pada
beberapa kasus untuk melakukan intervensi perkutaneus .8
Pemeriksaan elektrodiagnostik berguna untuk menentukan diagnostik maupun
prognosis. Nerve conduction studies (NCSs) dan needle electromyography (EMG)
merupakan kelanjutan dari pemeriksaan neurologi yang memungkinkan pemeriksa
untuk mengevaluasi keadaan fisiologi dan kelainan pada komponen saraf tepi. Sistem
saraf tepi tersusun oleh sistem motor, sensoris, dan otonom.2
Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan bagian tak terpisahkan dalam membuat
keputusan sebelum dan selama dilakukan operasi apabila digunakan secara tepat dan
diinterpretasikan secara tepat. Pemeriksaan elektrodiagnosa dapat membantu diagnosa,
menentukan lokasi, menentukan derajat kerusakan akson, komplit atau tidak lesi yang terjadi,
menyingkirkan kondisi lain sebagai diagnosa banding, menunjukan perbaikan subklinis, atau
tidak ditemukan kelainan subklinis. Pada luka tertutup, EMG pendahuluan dan studi hantar
saraf lebih baik bila dikerjakan pada 3 hingga 4 minggu setelah jejas karena degenerasi
Wallerian akan terjadi pada waktu tersebut. Pemeriksaan elektrodiagnosa secara serial dapat
dilakukan bersama dengan pemeriksaan fisik ulangan dalam beberapa bulan untuk
mendokumentasikan dan mengkuantifikasi proses reinervasi atau denervasi yang sedang
terjadi. Tanda denervasi pada otot proksimal dapat terlihat 10 hingga 14 hari setelah jejas dan
pada otot distal dapat terlihat pada 3 hingga 6 minggu setelah jejas. Penurunan motor unit
potential (MUP) dapat dilihat segera setelah kelemahan akibat lesi lower motor neuron.
Keberadaan aktif motor unit dengan usaha volunter dengan beberapa fibrilasi pada waktu
istirahat memiliki prognosa yang lebih baik bila dibandingkan dengan fibrilasi tanpa aktifitas
23

motor unit. EMG dapat membantu untuk membedakan lesi preganglioner dan lesi
postganglioner . Pada lesi pleksus brakhialis post traumatik, amplituda dari compound muscle
action potential (CMAPS) secara umum adalah rendah. Sensory nerve action potentials
(SNAPs) penting untuk melokalisir nyeri preganglionik atau post ganglionik. SNAPs tetap
ada pada lesi yang terletak lebih proksimal dari DRG. Hal ini disebabkan karena badan sel
dari saraf sensorik tetap intak, NCSs akan menunjukkan SNAP yang normal dan konduksi
motorik tidak, serta secara klinis penderita mengeluh mati rasa sesuai dengan dermatom
yang terkena.12
SNAPs tidak ada pada lesi post ganglionik atau pada kombinasi antara pre dan post
ganglionik.3

Tabel 4. Gambaran hasil elektrodiagnostik yang didapatkan pasca cedera saraf perifer

J. Penatalaksanaan

24

Gambar 11. Algoritma timing penatalaksanaan cedera pleksus brakhialis 5


Tatalaksana pada cedera pleksus brakialis dibagi menjadi 2 operatif dan non
operatif. Beberapa faktor penting sebagai panduan dalam menentukan pilihan
penanganan pada lesi pleksus brakhialis yaitu
1.

Mekanisme trauma : pada trauma terbuka tajam merupakan indikasi eksplorasi


segera dan penyambungan primer pada pleksus brakhialis yang terputus.

2.

Lama waktunya dari cidera : secara umum waktu yang optimal untuk intervensi
bedah adalah sebelum 6 bulan. Hasil pembedahan yang lambat, yaitu antara 9-12
bulan atau bahkan lebih dari 12 bulan adalah jelek.

3.

Prioritas penanganan : jika tidak didapatkan tanda-tanda pemulihan spontan dan


masih dalam kurun waktu 6 bulan, maka rencana rekonstruksi sudah harus
diformulasikan.13
Neurolisis, nerve repair, nerve graft, nerve transfer, functioning free-muscle

transfer, dan pedicle muscle transfer merupakan prosedur pembedahan utama pada
kasus rekonstruksi lesi pleksus brachialis. Dari itu semua, nerve transfer dan neurotisasi
adalah yang berkembang dalam kepentingan dan popularitasnya. Prosedur ini terutama
diindikasikan untuk lesi avulse akar saraf dimana saraf spinalis beserta rootletsnya
teravulsi dari medulla spinalis. Transfer saraf memungkinkan untuk terjadi reinervasi
pada segmen distal dari pleksus brachialis.
Golden period untuk avulse dengan denervasi adalah 5 bulan setelah terjadi jejas.
Satu atau lebih nerve transfer sering digunakan untuk shoulder, elbow, atau fungsi
tangan. Nerve transfer atau neurotisasi meliputi tiga kategori utama yaitu : neurotisasi
extrapleksal, neurotisasi intrapleksal, dan end-to-side neuroraphy.14
Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik
Untuk semua pasien dengan cedera pleksus brakhialis, ada sejumlah tujuan rehabilitasi
yang perlu dicapai tanpa membedakan etiologi, lokasi, luasan lesi, atau kronisitas dari
pleksopati. Prinsip ini meliputi: 1. Mempertahankan lingkup gerak sendi (Range of
motion/ROM) ektremitas, 2. Memberikan support ekstremitas dengan perhatian khusus pada
sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, 3. Mempertahan atau meningkatkan
kekuatan otot yang mengalami kelemahan, 4. Mencegah edema pada esktremitas yang
mengalami kelemahan atau paralisis, 5. Latihan ADL mandiri, 6. Edukasi penggunaan
ekstremitas superior sisi yang sehat secara proporsional untuk mencegah terjadinya gangguan
muskuloskeletal akibat overuse, dan 7. Manajemen nyeri.1,7
1. Lingkup Gerak Sendi
25

Pasien dengan cedera pleksus brakhialis memiliki gambaran klinis khas berupa
kelemahan atau paralisis komplit otot-otot bahu, lengan atas, lengan bawah, pergelangan
tangan, dan tangan. Tergantung dari pola kelemahan atau paralisis, pasien mungkin
mengalami ketidakseimbangan fungsi atau hilang total fungsi otot terhadap sendi. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya kontraktur karena posisi abnormal jangka lama. Kejadian ini
dapat terjadi akibat pemakaian splint atau orthosis yang tidak tepat atau akibat posisi pasien
sendiri dalam posisi yang paling disukainya dalam waktu lama.
Karena pemulihan cedera pleksus brakhialis membutuhkan waktu yang lama,
diperlukan perhatian khusus dalam pencegahan kontraktur ini. Adanya kontraktur sendi dan
jaringan lunak akan mengakibatkan keterbatasan fungsional ekstremitas dan menutupi
pemulihan fungsional saat terjadi reinervasi.1,7
Terapi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dapat dimulai sejak awal. Pada fase
cedera akut, latihan ROM/LGS mungkin terbatas akibat nyeri atau karena ada kontraindikasi
medis atau bedah yang berkaitan dengan manajemen cedera lain yang diderita pasien. Untuk
pasien yang telah terjadi kekakuan diperlukan latihan peregangan secara progresif untuk
mendapatkan kembali ROM yang normal. Modalitas terapi seperti hot pack, atau diatermi
dapat digunakan sebelum exercise untuk meningkatkan elastisitas jaringan yang akan
diregang. Perlu diperhatikan, karena pasien cedera pleksus brakhialis seringkali mengalami
gangguan sensoris pemakaian modalitas ini harus dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya
luka bakar. Seringkali diperlukan pasif positioning atau dynamic splint sebagai bagian dari
program mengurangi kontraktur.1,7
Tahapan-tahapan latihan LGS24:

Latihan LGS pasif: yaitu gerakan dalam lingkup gerak sendi yang dilakukan dengan
kekuatan dari luar, tidak ada kontraksi otot volunter. Kekuatan dari luar bisa berasal dari
orang lain, bantuan bagian tubuh lain dari penderita atau dari mesin. Latihan LGS pasif
dikerjakan bila penderita tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya, dengan kekuatan

otot 1
Latihan LGS aktif dibantu: yaitu latihan LGS aktif dengan bantuan dari kekuatan luar,
baik secara manual atau mesin, karena kekuatan otot penderita memerlukan bantuan
untuk memenuhi LGS. Latihan ini diperuntukkan bagi penderita dengan kekuatan otot <

3
Latihan LGS aktif: yaitu gerakan dalam LGS yang dilakukan dengan kontraksi aktif dari
otot yang bekerja pada sendi tersebut. Jadi hanya menggunakan tenaga penderita. Dapat
dikerjakan bila kekuatan otot penderita 3.5
26

Gambar 23. Contoh Modalitas Diatermi

2. Support Ekstremitas
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, cedera pleksus brakhialis trunkus atas
merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Pada lesi trunkus atas, didapatkan kelemahan
pada otot-otot gelang bahu khususnya rotator cuff, deltoid dan caput longum m. biceps
brachii, dimana semua ini dapat mengakibatkan subluksasi sendi glenohumeral akibat gaya
beban ekstremitas superior. Apabila hal ini dibiarkan dalam waktu yang lama, subluksasi
yang terjadi dapat sangat jelas sehingga kita dapat memasukkan beberapa jari dicelah antara
akromion dan kaput humerus saat memeriksa sendi.1,7
Subluksasi yang berat dapat mengakibatkan terjadi hilang kongruenitas antara kaput
humerus dengan fossa glenoid. Struktur kapsuler dan tendon dapat mengalami impingement,
rotator cuff tears, dan sendi cenderung mengalami perubahan degeneratif.1
Terdapat beberapa jenis sling dan shoulder support yang dapat digunakan untuk
mencegah atau meminimalkan subluksasi bahu. Tujuan dari orthosis ini adalah memberi
support berat ekstremitas dan counteract gaya tarik akibat berat ekstremitas.
Selain untuk support sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, sling dapat juga
digunakan untuk melindungi ekstremitas yang mengalami paresis dari luka akibat gerakan
tidak terkontrol.

27

Gambar 24. Sub luksasi sendi bahu pada pasien cedera pleksus brakhialis

Gambar 25. Orthosis dalam penanganan cedera pleksus brakhialis

Penggunaan orthosis yang menstabilkan bahu dan siku dapat mengubah ekstremitas
yang semula non fungsional menjadi fungsional terbatas. Suatu functional arm orthosis
biasanya terdiri dari shoulder saddle dengan chest strap, elbow unit dengan manual atau
dengan kabel kontrol. Untuk pasien-pasien dengan paralisis komplit ekstremitas superior,
prosthetic hook terminal device dapat dilekatkan pada bagian palmar orthosis sehingga
memungkinkan fungsi prehensil terbatas. Functional arm orthosis dapat digunakan sembari
pasien menunggu pemulihan fungsi yang diharapkan, atau dapat digunakan permanen pada
pasien dengan pemulihan minimal atau tidak ada pemulihan sama sekali atau pada pasien
yang tidak merupakan kandidat penatalaksanaan bedah rekonstruktif.1,10

Gambar
26.

Orthosis

fungsional

3. Latihan Penguatan
28

Masih memungkinkan untuk melakukan penguatan otot pada pasien dengan cedera
inkomplit pleksus brakhialis yang sebagian kontinuitas saraf dan fungsi ototnya masih ada.
Perubahan adaptif yang terjadi pada otot selama latihan penguatan awalnya didapatkan dari
peningkatan efisiensi dan hipertrofi dari serabut otot yang masih memiliki inervasi. Seiring
dengan perjalanan waktu (sekitar 3 bulan) sebagian serabut otot denervasi mulai mengalami
reinervasi melalui sprouting serabut saraf terminal kolateral akson yang masih ada, sehingga
meningkatkan kekuatan otot. Tambahan kekuatan akan didapatkan saat terjadi pertumbuhan
akson kembali yang terjadi baik secara spontan, grafting atau neurotisasi.1,14
Latihan penguatan otot dibagi menjadi :
Latihan isotonik: suatu bentuk latihan yang dinamik, yang dilakukan melawan beban
yang konstan sepanjang LGS tanpa memperhitungkan kecepatan gerak.
Latihan isometrik: suatu bentuk latihan statik, dimana terjadi kontraksi otot tanpa
terjadinya perubahan panjang otot atau tanpa disertai gerakan sendi.
Latihan isokinetik: suatu bentuk latihan dinamik dimana kecepatan pemendekan atau
pemanjangan otot tetap (statik), dimana diperlukan suatu alat untuk mengontrol kecepatan
anggota gerak tubuh.
Latihan penguatan otot leher, diberikan secara isometrik dimana penderita
diintruksikan untuk mengkontraksikan otot leher tanpa menggerakan sendi. Pasien
meletakkan tangannya di kepala untuk menahan gerakan leher. Kontraksi dipertahankan
selama lima hitungan (lima detik) diikuti relaksasi selama tiga hitungan dan kemudian
diulang lagi, umumnya sebanyak tiga kali. Latihan ini diulangi untuk semua arah gerak.
Alternatif lain adalah pasien berbaring terlentang/telungkup dengan kepala beralaskan bantal
kemudian menekan kepala kearah bantal. Dalam melakukan latihan ini harus diperhatikan
agar tidak terjadi gerakan leherCedera pleksus brakhialis menyebabkan kelemahan dan
immobilisasi yang membatasi perenggangan normal dari otot dan jaringan penyokong.
Kontraktur berakibat, perubahan biomekanik dan peningkatan usaha yang diperlukan untuk
pergerakan lebih lanjut membatasi aktivitas. Saat istirahat/tidak aktif keterbatasan kontraksi
otot kurang dari 20% dari tegangan maksimal, terjadi disuse atrofi, yang berlanjut dengan
perburukan dari kelemahan.

29

Gambar 27. Latihan Fisik pada Cedera Pleksus Brakhialis

Pada otot dengan kekuatan di bawah 2, pasien seringkali mengalami kesulitan


berpartisipasi dalam program penguatan karena mereka tidak mendapatkan feedback bahwa
mereka telah mengkontraksikan otot. Penggunaan biofeedback misalnya dengan EMG atau
elektrostimulasi bagian otot untuk menghasilkan kontraksi dapat membantu untuk kasus
semacam ini.1,10
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) merupakan stimulasi listrik yang lebih
kuat dari pada Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS). Alat ini digunakan untuk
menambah kekuatan dan memelihara massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari subyek.
Pada penderita cedera pleksus brakhialis berat dengan adanya denervasi otot, terapi NMES
berguna untuk mencegah terjadinya atrofi otot. Diberikan minimal 10 kontraksi/repetisi
sebanyak 3 set per hari dengan waktu istirahat antar set selama 2 menit, 3 kali per minggu.
4.

Latihan

Kemampuan

Aktivitas

Kehidupan

Sehari-hari

(Activity

Daily

Living/ADL)1,7,10,17
Cedera pleksus brakhialis sedikit banyak akan mengurangi kemampuan pasien untuk
melakukan ADL tergantung dari derajat dan luasan lesi yang terjadi dan apakah ekstremitas
yang terkena merupakan sisi dominan atau non-dominan. Banyak pasien yang
menggantungkan diri pada pertolongan orang lain karena benar-benar tidak mampu atau
merasa tidak mampu untuk melakukannya. Pada saat pola barrier perasaan ini sudah
30

terbangun maka akan sulit untuk melakukan rehabilitasi. Salah satu tujuan rehabilitasi pada
pasien cedera pleksus brakhialis adalah mendukung pasien untuk dapat mengkontrol
kehidupan dan lingkungannya sehingga tetap tidak tergantung.
Okupasional terapi dan rehabilitasi vokasional memiliki peran yang sangat penting
dalam bagian rehabilitasi ini. Okupasional terapi akan menilai apakah pasien mampu atau
tidak mampu mengerjakan suatu tugas dengan ekstremitas yang terkena. Apabila ekstremitas
yang sakit merupakan sisi dominan, terapis dapat bekerja sama dengan pasien untuk
mengubah sisi dominan apabila diperlukan. Terapis juga dapat menyarankan teknik-teknik
baru, teknik adaptasi dan peralatan-peralatan adaptasi khusus yang memungkinkan pasien
untuk dapat melakukan aktivitas ADL. Terapis juga dapat membantu memberikan arahan
kepada pasien untuk memutuskan aktivitas apa yang masih harus dibantu. Secara umum
tujuannya adalah untuk membantu pasien tetap dapat mengkontrol kehidupannya dan tidak
menjadi handicap.

Gambar 28. Contoh Alat Modifikasi dan Latihan Okupasional Terapi

5.

Penanganan Edema
Cedera pleksus brakhialis dapat mengakibatkan ketergantungan pasien pada satu sisi

ekstremitas yang sehat karena paralisis motorik, kebiasaan pasien, nyeri, imobilisasi sling,
atau kontraktur sendi. Kurangnya aktivitas otot dan kurangnya tonus dapat menimbulkan
edema. Edema yang terjadi dapat memperberat penurunan fleksibilitas sendi, nyeri dan
penurunan aktivitas lebih lanjut. Penanganan edema refrakter dapat berupa manual lymphatic
drainage, limfedema wrapping, seccuential lymphatic compression pump, dan pemakaian
compression garment.1,7

31

Gambar 29. Teknik Massage Untuk Limfedema

6.

Penanganan Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang umum dikeluhkan oleh pasien cedera pleksus brakhialis.

Nyeri yang dikaitkan dengan pleksopati sering dideskripsikan sebagai nyeri neuropatik.
Berbeda dengan nyeri nosiseptif akibat inflamasi yang diakibatkan oleh kerusakan aktual
jaringan, nyeri neuropatik lebih diakibatkan oleh perubahan patologi pada saraf perifer
maupun saraf pusat yang normalnya bertanggung jawab pada persinyalan nyeri. Penting
untuk dapat mengidentifikasi komponen neuropatik pada keluhan nyeri pasien karena
diperlukan kelas obat analgesik yang berbeda untuk mengatasi tipe nyeri ini secara efektif.
Penanganan non farmakologis untuk nyeri tipe ini dapat menggunakan :
Ultrasound : merupakan modalitas thermal (diathermy: deep heating modalities) dengan
frekuensi 1-3MHz, diberikan selama 5-10 menit dilakukan 1-2 kali per hari selama 6-8
hari atau 14 kali pemberian. Penggunaannya dalam mengurangi nyeri menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan pembuangan metabolit yang
menyebabkan nyeri sehingga menurunkan spasme otot dan meningkatkan ambang nyeri.

Gambar 30. Ultrasound diathermy

32

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : merupakan stimulasi listrik yang


telah digunakan untuk mengelola nyeri lebih dari 2 dekade, berdasarkan teori gate control
menurut Melzack dan Wall (1965). TENS mengaktivasi serabut saraf diameter besar (Abeta) yang menginhibisi interneuron (substantia gelatinosa) pada medulla spinalis. Pada
giliranya menghasilkan inhibisi pada serabut saraf diameter kecil (A-delta) dan C (serabut
saraf nyeri), bersama dengan inhibisi presinaps dari T-cells untuk menutup gerbang dan
mengatur nyeri. TENS diberikan dengan implus frekuensi tinggi (50-100Hz) selama 30
menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari. Terapi
dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap setelah 8 12 minggu.

Gambar 31. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

7.

Penanganan Rehabilitasi Berkaitan Dengan Tindakan Pembedahan


Banyak pasien dengan cedera pleksus brakhialis memerlukan beberapa tipe

pembedahan. Pada saat pre operatif, tujuan dari rehabilitasi adalah untuk mencegah
kontraktur sendi dan mempertahankan kekuatan dan trofi otot semaksimal mungkin.
Meskipun pada keadaan cedera avulsi pleksus sekalipun, terutama gerakan kompleks jari-jari
tangan harus tetap dipertahankan, karena kemampuan memegang dan menggenggam akan
sangat penting kelak di kemudian hari. Secara umum tujuh prinsip rehabilitasi tetap harus
diupayakan selama masa pre operatif maupun post operatif. Setelah tindakan pembedahan
reparasi saraf atau pembedahan rekonstruksi, sendi-sendi perlu diimobilisasi selama periode
waktu yang diperlukan untuk penyembuhan saraf, tendon otot atau tulang sehingga tidak
terjadi disrupsi. Umumnya gelang bahu harus diimobilisasi selama 3 minggu sampai 6 bulan
atau bahkan lebih lama tergantung dari keputusan dokter bedah. ROM kepala, siku, dan
pergelangan tangan masih diperkenankan selama sendi bahu dapat tetap diimobilisasi.
Reparasi pleksus dengan menggunakan n. interkostal memerlukan imobilisasi ROM untuk
mencegah overstretch dan memungkinkan penyembuhan transfer saraf ini.1,7,17
33

Pasca operasi Nerve repair dan graft


Rehabilitasi pasca nerve repair akan memerlukan upaya menjaga ROM fungsional
sembari menunggu reinervasi otot yang mengalami denervasi. Setelah otot mengalami
reinervasi, terapi ditujukan untuk memfasilitasi dan memperkuat kontraksi otot. Tergantung
dari tempat repair lokasi otot, pemulihan mungkin tidak terjadi dalam 12 sampai 18 bulan
atau lebih pasca operasi. Penangan rehabilitasi perlu dilakukan selama masa pemulihan. Pada
fase ini pasien mungkin lupa bagaimana mengkontraksikan otot, fungsi atau kontrol. Pasien
ini memerlukan reedukasi mengenai kontraksi otot, fungsi dan kontrol dengan menggunakan
elektrostimulasi dan atau biofeedback.1,5
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu.Terapi
rehabilitasi dilakukan setelah 4 minggu pasca operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi
anggota gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada
minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan
apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan
biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa
mempunyai kontrol yang lebih baik.8
Pasca operasi free muscle transfer 8
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dalam posisi bahu abduksi 30, fleksi
60 dan rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi
fleksi atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya.
Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast selama 8 minggu, selanjutnya dengan
sling untuk mencegah subluksasi sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu.
Statik splint pada pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam
posisi intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama rehabilitasi.
Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari,
kecuali pada pergelangan tangan.
Pemberian elektrostimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair dilakukan pada
target otot yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep brachii, supraspinatus dan
infraspinatus. Elektrostimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga pasca
operasi dan tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi.

34

Enam minggu pasca operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan
tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi
metakarpal juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.
Ortesa fungsional digunakan untuk imobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe
airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku. Sembilan minggu pasca
operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi
bahu.
Setelah Reinervasi 8
Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8 bulan pasca
operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.
Teknik EMG biofeedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk
menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya
secara efektif. Pada alat biofeedback terdapat tingkat nilai ambang yang dapat diatur oleh
terapis atau pasien sendiri. Saat otot berkontraksi pada tingkat ini, suatu nada berbunyi, layar
osciloskop akan merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan
ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan
yang kontinu, EMG discharge otot akan mulai tampak.
Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10 - 70
menit, dan latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan. Efektivitas latihan
biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan konsentrasi yang
cukup.
INCLUDEPICTURE "mhtml:file://C:\\Plexus Brachialis\\SPIRIT OF THE WORLD.mht!
http://2.bp.blogspot.com/_tXxXZmh52lM/SiCgRlRJGoI/AAAAAAAAAHo/YmXuMXjmYCI/

35

s320/EMG.JPG" \* MERGEFORMATINET

Gambar 32. EMG Biofeedback

Reedukasi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal


yang tampak pada otot dan group otot. Tujuan reedukasi otot untuk pasien adalah
mengaktifkan kembali kontrol volunter otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang
lemah, intensitas aktivitas motor unit dan frekuensi kontraksi otot akan meningkat.
Waktu sesi terapi seharusnya pendek dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan
ditandai penurunan kemampuan pasien mencapai tingkat yang diinginkan.
K. Prognosis
Keluaran dan prognosis cedera pleksus brakhialis bervariasi tergantung dari
letak, derajat kerusakan saraf dan kecepatan memperoleh terapi. Pertumbuhan saraf
berjalan 1 inhi per bulan sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda
pemulihan dapat terlihat. 10

36

Cedera berat sering terjadi pada daerah supraklavikula, di mana biasanya


memiliki prognosis buruk terutama jika disertai adanya avulsi radiks. Oleh karena itu
keluarannya seringkali kurang memuaskan.
Neuropraksia merupakan tipe kerusakan yang paling ringan dan mempunyai
prognosis paling baik di mana terdapat penyembuhan spontan yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu. Pada aksonotmesis, penyembuhan diharapkan
dapat terjadi dalam beberapa bulan dan biasanya komplit kecuali terjadi atrofi motor
end plate dan reseptor sensorik sebelum pertumbuhan akson mencapai struktur ini.
Sedangkan pada neurotmesis, regenerasi dapat terjadi namun kemampuan fungsional
sulit kembali sempurna.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya cedera jaringan saraf,
usia (regenerasi akson menurun sejalan dengan menngkatnya usia), status medis pasien,
kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi.10
Untuk lesi pleksus brakhialis yang berat, hasil yang memuaskan dapat terjadi
pada lebih dari 70% pasien postoperatif setelah perbaikan primer dan 48% setelah
nerve graft.9
Derajat

Sembuh
spontan

Waktu penyembuhan

Pembedahan

I (Neuropraksia)

Penuh

Dalam hitungan hari sampai 4 bulan

Tidak

setelah cedera
II

Penuh

Regenerasi kira-kira 1 inci per bulan

Tidak

III

Parsial

Regenerasi kira-kira 1 inci per bulan

Ya

IV

Tidak ada

Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi

Ya

(Aksonotmesis)

kira-kira 1 inci per bulan


V

Tidak ada

Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi

Ya

kira-kira 1 inci per bulan


Tabel 3.6. Perbedaan Penyembuhan Cedera Saraf menurut Derajat nya 8

37

BAB III
KESIMPULAN

Cedera pleksus brakialis dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Prevalensi tertinggi pada
usia dewasa muda 19 34 tahun dengan angka kejadian pada laki laki sebesar 89%.1,2
Cedera pleksus brakhialis mengakibatkan penurunan kemampuan fisik seorang pasien.
Lesi ini dapat berakibat hilangnya fungsi, nyeri yang mengganggu, stres psikologis yang

merugikan pasien secara finansial dan mengurangi kualitas hidup pasien secara umum.
Rehabilitasi pasien dengan cedera pleksus brakhialis memerlukan kerjasama yang erat dari
sebuah tim terdiri dari dokter-dokter ahli dari bagian yang berbeda dan diperlukan juga
kolaborasi dengan bidang lain seperti okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja

sosial dan konselor vokasional.5


Strategi rehabilitasi harus disusun secara khas dan spesifik untuk tiap-tiap pasien, dan hal
ini hanya bisa dilakukan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh kondisi pasien.3
Prinsip rehabilitasi meliputi: 1. Mempertahankan lingkup gerak sendi (Range of
Motion/ROM) ektremitas, 2. Memberikan support ekstremitas dengan perhatian khusus
pada sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, 3. Mempertahan atau meningkatkan
kekuatan otot yang mengalami kelemahan, 4. Mencegah edema pada esktremitas yang
mengalami kelemahan atau paralisis, 5. Latihan ADL mandiri, 6. Edukasi penggunaan
ekstremitas superior sisi yang sehat secara proporsional untuk mencegah

terjadinya

gangguan muskuloskeletal akibat overuse, dan 7. Manajemen nyeri.5,6,9

DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly BM, Leonard JA. Rehabilitation Concept In Adult Brachial Plexus Injury. In:
Chung KC, Yang LJ, McGillicuddy JE. Practical Management Of Pediatrics And
Adults Brachial Palsies. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2012; 301-17
2. Spinner RJ, Shin AY, Hybert-Blouin MN, Elhassan BT, Bishop AT. Traumatic
Brachial Plexus Injury. In: Wolfe SW, Hotchkiss RM, Pederson WC, Kozin SH
38

(Editor). Greens Operative Hand Surgery. Elsevier Churchill Livingstone, 2011.


Chapter 38
3. Ensrud E, King JC. Plexopathy Brachial. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo DR.
Essential Of Physical Medicine And Rehabilitation. Elsevier Saunders. Philadelphia,
2008;773-78
4. Subagyo, H. Cedera Pleksus Brakhialis. Terdapat pada : www.ahliorthopedic.com
5. Kaye V. Traumatic brachial plexus injury. Available at: www.emedicine.com.
6. Wren M. Neoplastic brachial plexopathy. Available at : www.emedicine.com
7. Kaplan RJ. Radiation-induced brachial plexopathy. Available at :
www.emedicine.com
8. Sucher BM. Thoracic outlet syndrome. Available at : www.emedicine.com
9. Brachial plexus assessment and common injuries. Available at: www.patient.co.uk.
10. Goetz CG. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Saunders. Philadelphia, 2007
11. Suroto H, 2011. How to manage Brachial Plexus Injuries? In: Suroto, H. (ed.)
Current Diagnosis and Comprehensive Treatment. Surabaya
12. Songcharoen F. Management of brachial plexus injury in adults. Scandinavian Journal
of Surgery 2008. 97 : 317-323
13. Shapiro R. Electrical Current. In: Cameron MH, Physical Agents In Rehabilitation.
Saunders Elsevier. Philadelphia, 2009; 207-234
14. Isometric neck exercise. Available at : www.orthomd.net

39

Anda mungkin juga menyukai