Refrat RM Pbi Wida
Refrat RM Pbi Wida
Refrat RM Pbi Wida
Diajukan Oleh:
Anjar Widarini, S. Ked
J510145015
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera pleksus brakhialis dapat menyebabkan disabilitas fisik yang berat. Lesi ini dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan fungsional anggota gerak atas, nyeri yang mengganggu,
stress psikologis, kesulitan sosioekonomi dan mengurangi kualitas hidup pasien secara
umum.1
Cedera pleksus brakhialis dapat terjadi pada bayi maupun dewasa. Prevalensi tertinggi
pada usia dewasa muda 19 34 tahun dengan angka kejadian pada laki laki sebesar 89%.
Penyebab tersering cedera pleksus brachialis adalah trauma. Pada bayi, cedera biasanya
terjadi selama proses persalinan. Sedangkan pada orang dewasa dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme, meliputi luka tembus, terjatuh, serta kecelakaan kendaraan bermotor 2,3.
Seringkali trauma yang terjadi berupa trauma multipel. Pasien mungkin juga menderita
cedera yang lain seperti trauma skeletal atau traumatik brain injury yang memerlukan
tambahan upaya spesifik dalam proses rehabilitasinya untuk masalah ini.1,4
Penatalaksanaan pasien dengan cedera pleksus brakhialis merupakan masalah
kompleks yang memerlukan kerjasama yang erat dari sebuah tim terdiri dari dokter-dokter
ahli dari bagian yang berbeda dan diperlukan juga kolaborasi dengan bidang lain seperti
okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja sosial dan konselor vokasional. 1 Setiap
anggota tim harus memiliki pemahaman menyeluruh terhadap anatomi dan fisiologis pleksus
brakhialis serta penilaian fungsional neuromuskuler ekstremitas superior. Strategi rehabilitasi
harus disusun secara khas dan spesifik untuk tiap-tiap pasien, dan hal ini hanya bisa
dilakukan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh kondisi pasien.1
Seringkali diagnose terlambat ditegakkan atau diabaikan karena menunggu suatu
pemulihan spontan. Harus diingat bahwa otot akan mulai mengalami atrofi dan kehilangan
motor end plate segera setelah terjadi jejas pada daerah proksimal 5. Kepastian apakah cedera
pleksus yang terjadi merupakan neuropraksia, aksonotmesis, neurotmesis, pre-ganglioner
atau post-ganglioner akan menentukan prognosis dan rencana penatalaksanaan rehabilitasi
medik pasien.1,4
Pasien yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk kondisinya,
dengan adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu serta bertambahnya kelemahan dan
atrofi otot akibat disuse.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Plexus Brachialis
Pleksus brakhialis umumnya berasal dari radik saraf spinalis C5 hingga T1,
yang lebih lanjut dibagi menjadi radiks saraf spinalis, trunkus, divisi, korda, dan
cabang terminal (saraf).4,5,6
Radiks anterior berjalan ke anteroinferior kemudian lewat diantara m. skalenus
anterior dan medius, membentuk trunkus superior (radik anterior C5 dan C6), trunkus
media (radik anterior C7) dan trunkus inferior (radik anterior C8 dan T1). Setiap
trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior.
Semua divisi posterior dari masing-masing trunkus akan membentuk korda posterior.
Divisi anterior dari trunkus superior dan media membentuk korda lateral dan divisi
anterior dari trunkus inferior membentuk korda medial. Kemudian korda posterior
membentuk saraf aksilaris dan saraf radialis. Korda lateral terbagi dua, dimana cabang
yang satu membentuk saraf muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan
korda medial membentuk saraf medianus. Korda medial terbagi dua, dimana cabang
pertama ikut membentuk saraf medianus sedangkan cabang lainnya menjadi saraf
ulnaris. Variasi pleksus brakhialis secara keseluruhan diperkirakan lebih dari 50%
kasus. Variasi pleksus brakhialis tersering adalah keterlibatan akar saraf C4 dan T2.
Variasi pada level trunkus relatif jarang.4,5,6
Supraklavikular
Infraklavikular
Gambar 3. Otot dan Daerah Yang Disarafi oleh Cabang Pleksus Brakialis
B. Definisi
Cedera pleksus brakhialis adalah cedera pada jaringan saraf perifer yang
membentuk pleksus brakhialis, mulai dari radiks saraf hingga saraf terminal. Cedera
ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik maupun otonom pada
anggota gerak atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus
brakhialis atau pleksopati brakhialis.8
C. Epidemiologi
Informasi mengenai insiden cedera pleksus brakhialis cukup sulit ditemukan.
Sampai saat ini tidak terdapat data epidemiologi yang mencatat insiden cedera pleksus
brakhialis per setiap negara di dunia. Menurut Office of Rare Disease of National
Institutes of Health, cedera pleksus brakhialis merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Kejadiannya kurang dari 200.000 per tahun di Amerika Serikat.8
Cedera pleksus brakhialis dapat mengenai semua umur, tetapi ada tiga puncak
umur, yaitu (1) saat lahir oleh karena tindakan obstetri, (2) usia antara 18 30 tahun
oleh karena trauma, dan (3) mulai usia 50 tahun oleh karena tumor, radiasi dan
berbagai tipe trauma terutama fraktur dan dislokasi bahu. Trauma merupakan
penyebab terbanyak cedera pleksus brakhialis pada orang dewasa, dilaporkan rasio
pria dibanding wanita adalah 8:1 (89%).7
Berdasarkan law of seven seventies dari Narakus dari 1086 pasien selama
lebih dari 18 tahun, diperkirakan prevalensi kasus lesi pleksus brakhialis9
-
70% dari lesi pleksus brakhialis traumatik akibat kecelakaan kendaraan lalu-lintas
70% dari kecelakaan kendaraan lalu-lintas akibat sepeda motor atau sepeda
70% dari yang mengalami lesi supraklavicular terjadi avulsi paling tidak 1 root
70% pasien dengan avulsi root adalah pada C7, C8, Tl atau C8, Tl
70% pasien dengan avulsi root tersebut mengalami nyeri yang persisten
D. Etiologi
Pleksus brakhialis dapat mengalami cedera akibat berbagai proses, di antaranya:
1.
Trauma10
Merupakan penyebab tersering baik pada dewasa maupun bayi baru lahir.
Beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya cedera pleksus brakhialis
pada bayi baru lahir (obstetrical brachial plexus injury) antara lain distosia bahu,
persalinan dengan forceps atau vakum, makrosomia, letak sungsang.9
Mekanisme trauma penyebab cedera pleksus brakhialis dapat berupa :
1) Trauma tertutup, misalnya pada kecelakaan sepeda motor, olahraga dan jatuh dari
ketinggian. Umumnya mekanisme cedera berupa:
a. Traksi akibat laterofleksi leher menjauhi sisi sakit (sama dengan mekanisme
pada trauma proses kelahiran)
b. Benturan langsung ke daerah Erb
c. Kompresi saraf akibat hiperekstensi leher dan rotasi ipsilateral (terjadi
penyempitan foramen neural)
d. Kombinasi
2) Cedera terbuka, contohnya luka tusuk dan luka tembak
3) Cedera iatrogenik
Lesi berkaitan dengan prosedur operasi di daerah leher atau bahu, operasi \
pembukaan dinding dada, anestesi blok regional dan pemasangan kanula. Pada
neonatus terjadi saat proses kelahiran yang sulit berkaitan dengan distosia bahu dan
bayi besar.
2.
Tumor11
Radiation-induced
Insidensi pleksopati brakhialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8
- 4,9 %, paling sering terjadi pada pasien dengan kanker pada thoraks atau paru.12
4.
Entrapment
Keadaan ini terjadi pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu
yang lunglai dan dada kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga
menekan struktur neurovaskuler.13
5.
Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis brakhialis tanpa diketahui
penyebab yang jelas, namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului.
6
Presentasi klasik berupa nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1-2
minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan
dan penyembuhan komplit terjadi dalam 2 tahun.14
E. Patofisiologi
Sebagian besar patologi dari lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa adalah
karena trauma tertutup. Lesi pada saraf dalam kasus ini disebabkan oleh traksi (95%
kasus) atau kompresi. Pada kasus traksi, saraf dapat mengalami ruptur, avulsi pada
tingkat medulla spinalis, atau tertarik secara signifikan tetapi tetap intak. Cedera dapat
mempengaruhi setiap tingkat
RUPTUR
Saraf terbelah + tertarik
Dua ujung terputus dapat dilihat saat
operasi
Cedera level 2,3, dan 4
Avulsi radiks terjadi pada 75% kasus cedera supraklavikuler. Avulsi radiks multipel
semakin sering terjadi dalam 25 tahun terakhir. Terdapat dua mekanisme terjadinya avulsi
radiks yaitu secara sentral dan perifer. Mekanisme perifer lebih sering terjadi, dikarenakan
daya tarikan pada lengan melebihi penyokong di sekitar rootlets. Radiks anterior dapat
mengalami avulsi dengan atau tanpa rootlets posterior. Epidural sac dapat robek tanpa avulsi
komplit rootlets. Mekanisme sentral avulsi jarang terjadi dan biasanya diakibatkan oleh
trauma servikal langsung dan terjadi karena medula spinalis bergeser secara longitudinal atau
transversal karena trauma yang signifikan.5
Nagano mengklasifikasikan avulsi dan avulsi parsial berdasarkan penemuan
mielogram. Radiks saraf C5 dan C6 memiliki perlekatan pada vertebra yang kuat sehingga
lebih jarang mengalami avulsi dibandingkan dengan radiks saraf C7 hingga T1.5
Gambar 6. Mekanisme Perifer Avulsi Radiks Saraf Spinalis, lapisan epidural ikut tercabut dari canalis spinalis
sehingga menyebabkan pseudomeningocele
Gambar 7. Mekanisme Sentral Avulsi Radiks Saraf Spinalis, medulla spinalis bergeser secara longitudinal atau
tranversal mengikuti arah tarikan sehingga menyebabkan avulsi
Gambar 10. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.6
10
Akibat cedera, pada serabut bermielin dapat terjadi demielinisasi dan kerusakan
aksonal.15,16
1. Demielinisasi15
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana
terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.
Gambar 11. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang cedera.
Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau
edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
Remielinisasi; Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih
tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan
konduksi lebih lambat dari normal.
A
C
Gambar 12. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B: mielin menghilang. C:
komplet remielinisasi
11
2. Cedera Akson15
Terdapat dua tipe cedera pada akson yaitu degenerasi aksonal atau degenerasi
Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan khromatolisis
sentral.
Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk
kematian saraf yang mulai dari distal dan menjalar ke proksimal.
Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf
fokal atau multifokal setelah 4 5 hari (Gambar 11). Ini terjadi secara lengkap untuk
saraf motorik dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal
bagian distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.
Kerusakan aksonal dapat terjadi akibat kerusakan fokal, regangan, transeksi atau
neuropati perifer. Perbaikan terjadi secara collateral sprouting (proses perbaikan
dimana suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi
serabut otot denervasi pada unit motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali
aksonal (suatu proses perbaikan dimana akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya
menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1 mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan
ikat penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.
Gambar 13. Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c) regenerasi (Seckel,1984)
Pada tingkat mikroskopis, klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh
Seddon (1943) dan Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.4,17,18
12
Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf yaitu 4,10,15,18 :
1. Neuropraksia: suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan demielinisasi
sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe cedera seperti ini
tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan
merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh
karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai
bulan.
2. Aksonotmesis: suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan
degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.
Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf tergantung
dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi
yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada
motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor
end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis: kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses pemulihan
sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi sering
menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut saraf.
13
Biasanya terjadi karena terjepit atau traksi ringan. Terdapat disrupsi akson, dengan
terjadinya degenerasi Wallerian distal dari tempat cedera. Integritas endoneural masih
intak.
3. Tipe III: aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak
Akson dan endoneural terputus, gangguan neurologis komplit ditemukan pada penemuan
klinis.
4. Tipe IV: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih
intak
Akson dan endoneural terputus, tetapi beberapa epineural dan mungkin beberapa
perineural masih intak sehingga tidak terjadi pemutusan seluruh serabut saraf. Degenerasi
retrogard lebih berat.
5. Tipe V: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Serabut saraf terpotong secara komplit, menyebabkan terbentuk gap antara ujung-ujung
saraf. Kemungkinannya kecil akan terjadi penyambungan karena pertumbuhan ujung
akson, demikian pula kemungkinan pulihnya fungsi tanpa pembedahan yang tepat.
Mackinnon menambahkan suatu pola cedera derajat VI, yang menggambarkan
cedera campuran yang meliputi seluruh derajat: neuropraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.
Terjadi di mana suatu serabut saraf terpotong sebagian dan bagian yang tersisa mengalami
cedera derajat IV, III, II atau bahkan derajat I. Pola cedera ini dapat menyulitkan diagnosis.
Biasa terjadi pada cedera karena traksi.5
G. Klasifikasi Cedera Pleksus Brakialis
Berdasarkan terjadinya maka cedera pleksus brakialis dibedakan menjadi :
-
Compressive brachial plexus neuropaty (CBPN) adalah tipe yang biasa disebut
thorasic outlet syndrome (TOS) yaitu neuropati atau vaskulopati kompresi yang
mengenai pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia
Brachial plexus traction injury (BPTI), merupakan trauma tarikan pada pleksus
brakhialis. BPTI akan mengganggu neural tissue gliding dan kemampuan untuk
mentoleransi tekanan. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrosis intra dan ekstraneural
akibat trauma langsung, patologi lokal pada vertebra servikal atau thorak atau
kompresi yang berlebihan atau overuse.8
14
Lesi upper pleksus brakialis, terjadi akibat fleksi leher berlebih menjauhi bahu sisi
yang terkena. Paling sering disebabkan karena tindakan forseps pada obstetri.
Dikenal dengan nama lain erbs palsy. Dengan tanda khas waiter tips deformity
karena terjadi kelemahan otot rotator bahu, fleksor lengan, dan ektensor tangan
Lesi total pleksus brakialis. Merupakan jenis yang jarang terjadi dibanding
lainnya.
Lesi lower pleksus brakialis, terjadi saat pasien tiba-tiba mengalami regangan
tangan berlebih saat abduksi bahu. Melibatkan cabang C8 dan T1. Dikenal dengan
nama klumpke paralysis.2
H.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan cedera pleksus brakhialis biasanya akan mengeluhkan gejala
berupa kelemahan motorik, gangguan sensorik, dan bahkan autonomik pada bahu dan
atau ekstremitas atas yang terkena. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi
tergantung dari letak lesi dan derajat kerusakan pleksus brakhialis.4,11
15
Nyeri1
Sebagian besar pasien dengan gangguan pleksus brakhialis merasakan
nyeri
berupa sakit, rasa terbakar di sekitar bahu, lengan atas, atau lengan bawah, yang
bertambah berat bila menggerakkan lengan atas atau bahu, dan jarang diperburuk oleh
Valsava maneuver yang lebih khas pada radikulopati.
16
superior; fleksi dan ekstensi lengan dan jari-jari tangan dengan lesi trunkus media,
dan kelemahan instrinsik tangan dengan lesi pleksus inferior.
Pleksopati supraklavikular
Lesi terjadi di tingkat radik, trunkus atau kombinasinya. Lesi di tingkat ini 2 7 kali
lebih sering terjadi dibandingkan pleksopati infraklavikular. Pleksopati supraklavikular dibagi
menjadi :4
1.
Penurunan
Refleks
Biseps brakhii
C6
Brakhioradiialis
C7
C8
T1
Triceps brakhii
-
Kelemahan
Hipestesi/kesemutan
Fleksi siku
Ekstensi pergelangan
tangan
Ekstensi siku
Fleksi jari2 tangan
Abduksi jari2 tangan
Manifestasi klinis di atas adalah untuk membantu penentuan level cedera radiks,
sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai dengan miotom berikut6 :
C5
C6
C7
C8 / T1
bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah iatrogenik
(paralisis akibat tindakan persalinan).
Otot yang terkena terutama yang terletak di dekat bahu. Bila lesi pada tingkat radik, otot
yang terkena meliputi otot seratus anterior, rhomboid dan spinatus. Bila lesi pada tingkat
proksimal trunkus superior, otot seratus anterior dan rhomboid tidak terkena. Bila lesi
lebih ke distal lagi, pada tingkat medial dan distal trunkus superior, otot spinatus tidak
terkena. Biasanya terdapat gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi lateral lengan atas
dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Reflek bisep dan brakhioradialis menurun atau
hilang. Pada keadaan yang berat, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
aduksi dan internal rotasi, sehingga telapak tangan tampak dari belakang (waiters,
bellhops, atau policemans tip position).4
3.
18
mengenai reflek trisep. Lesi ini disebabkan oleh traksi (akibat tindakan operatif) dan
neoplasma.
1.
Gambar 17. Arah gaya yang mengakibatkan cedera pada pleksus bagian bawah
19
Gambar 19 A. Mekanisme cedera pleksus brakhialis bagian atas, B. Waiters tip Position,
C. Tarikan pada bahu saat proses persalinan dapat mengakibatkan cedera pleksus brakhialis bagian atas,
D. Mekanisme cedera pleksus brakhialis bagian bawah, E. Tarikan pada daerah axilla saat proses persalinan
dapat mengakibatkan cedera pleksus brakhialis bagian bawah,
F. Claw hand pada Klumpke paralysis
Pleksopati Infraklavikular
Pada lesi ini dapat mengenai fasikulus, saraf terminal atau keduanya. Tipe lesi
fasikulus menimbulkan gangguan distribusi dari dua atau lebih saraf perifer atau bagianbagian dari saraf perifer, meliputi :
1.
Lesi di fasikulus lateral; gangguan fleksi lengan bawah, pronasi lengan bawah dan
fleksi radial pergelangan tangan. Gangguan sensorik terjadi sepanjang lateral lengan
bawah dan jari tangan I III, serta mengenai reflek bisep.
2.
Lesi di fasikulus medial; mengenai semua fungsi otot intrinsik tangan, seperti fleksi,
ekstensi dan abduksi
Kelainan motorik hampir menyerupai lesi pada trunkus inferior kecuali otot yang
dipersarafi oleh saraf pektoralis medial dan radik C8 melalui saraf radialis (mis. ekstensor
polisis brevis dan ekstensor indisis proprius) tidak terkena. Gangguan sensorik terdapat
sepanjang medial lengan atas, lengan bawah, tangan dan dua jari tangan sisi medial.
3.
Lesi di fasikulus posterior; beberapa gerakan anggota gerak atas terganggu seperti
abduksi, fleksi, dan eksternal rotasi lengan atas, serta ekstensi lengan bawah, tangan dan
jari-jari tangan. Gangguan sensorik dapat terjadi sepanjang posterior dan lateral deltoid,
bagian dorsal lengan atas, lengan bawah, tangan dan tiga jari tangan sisi radial serta
mengenai reflek trisep.4
I.
Diagnosis
20
Pergerakan sendi: bahu (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi interna dan rotasi
eksterna), siku, pergelangan tangan dan jari (fleksi dan ekstensi)
pada m.subscapularis (dinilai dengan palpasi regio aksilaris posterior pada saat
abduksi bahu).
Pemeriksaan lain :
1. Tinnels sign
Tinnels sign positif ditandai dengan munculnya peripheral tingling atau disestesia
yang diprovokasi oleh perkusi saraf. Pada neuropraksia, Tinnels sign negatif. Pada
aksonotmesis, Tinnels sign positif pada lokasi cedera karena sensitivitas regenerasi
akson.
2. Histamine test
Injeksi histamin intradermal biasanya menyebabkan 3 reaksi di sekitar kulit:
-
Surrounding flare
Jika terjadi flare reaction pada anaesthetic area, lokasi lesi pasti berada di
bagian proksimal dari ganglion radiks dorsalis, kemungkinannya terjadi avulsi radiks.
Pada lesi post ganglioner, tes histamin negatif karena saraf antara kulit dan ganglion
radiks dorsalis mengalami gangguan.
Pemeriksaan penunjang
Berbagai alat pencitraan tersedia untuk mengevaluasi pleksus brakhialis, dimana
pemilihan alat tergantung pada kebutuhan secara klinis. Plain-film myelography,
postmyelography, CT-scan, MRI, ultrasound (US), dan bahkan Positron Emission
Tomography (PET) memiliki peranan masing-masing dalam pencitraan pleksus
brakhialis.3
Pemeriksaan foto rontgen vertebra regio servikal diperlukan untuk identifikasi
trauma osteal di daerah pleksus brakhialis dan menyingkirkan adanya kemungkinan
fraktur yang tidak stabil atau dislokasi. Adanya fraktur pada prosessus transversus
meningkatkan
klavikula, fraktur humerus atau dislokasi dari sendi bahu mungkin berkaitan dengan
cedera pleksus pada tingkat yang sama. Elevasi satu sisi diafragma yang terlihat dari
hasil foto rontgen thoraks mengindikasikan paralisis nervus frenikus, sehingga
kemungkinan terjadi cedera pada roots bagian atas pleksus brakhialis.4,7
22
motor unit. EMG dapat membantu untuk membedakan lesi preganglioner dan lesi
postganglioner . Pada lesi pleksus brakhialis post traumatik, amplituda dari compound muscle
action potential (CMAPS) secara umum adalah rendah. Sensory nerve action potentials
(SNAPs) penting untuk melokalisir nyeri preganglionik atau post ganglionik. SNAPs tetap
ada pada lesi yang terletak lebih proksimal dari DRG. Hal ini disebabkan karena badan sel
dari saraf sensorik tetap intak, NCSs akan menunjukkan SNAP yang normal dan konduksi
motorik tidak, serta secara klinis penderita mengeluh mati rasa sesuai dengan dermatom
yang terkena.12
SNAPs tidak ada pada lesi post ganglionik atau pada kombinasi antara pre dan post
ganglionik.3
Tabel 4. Gambaran hasil elektrodiagnostik yang didapatkan pasca cedera saraf perifer
J. Penatalaksanaan
24
2.
Lama waktunya dari cidera : secara umum waktu yang optimal untuk intervensi
bedah adalah sebelum 6 bulan. Hasil pembedahan yang lambat, yaitu antara 9-12
bulan atau bahkan lebih dari 12 bulan adalah jelek.
3.
transfer, dan pedicle muscle transfer merupakan prosedur pembedahan utama pada
kasus rekonstruksi lesi pleksus brachialis. Dari itu semua, nerve transfer dan neurotisasi
adalah yang berkembang dalam kepentingan dan popularitasnya. Prosedur ini terutama
diindikasikan untuk lesi avulse akar saraf dimana saraf spinalis beserta rootletsnya
teravulsi dari medulla spinalis. Transfer saraf memungkinkan untuk terjadi reinervasi
pada segmen distal dari pleksus brachialis.
Golden period untuk avulse dengan denervasi adalah 5 bulan setelah terjadi jejas.
Satu atau lebih nerve transfer sering digunakan untuk shoulder, elbow, atau fungsi
tangan. Nerve transfer atau neurotisasi meliputi tiga kategori utama yaitu : neurotisasi
extrapleksal, neurotisasi intrapleksal, dan end-to-side neuroraphy.14
Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik
Untuk semua pasien dengan cedera pleksus brakhialis, ada sejumlah tujuan rehabilitasi
yang perlu dicapai tanpa membedakan etiologi, lokasi, luasan lesi, atau kronisitas dari
pleksopati. Prinsip ini meliputi: 1. Mempertahankan lingkup gerak sendi (Range of
motion/ROM) ektremitas, 2. Memberikan support ekstremitas dengan perhatian khusus pada
sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, 3. Mempertahan atau meningkatkan
kekuatan otot yang mengalami kelemahan, 4. Mencegah edema pada esktremitas yang
mengalami kelemahan atau paralisis, 5. Latihan ADL mandiri, 6. Edukasi penggunaan
ekstremitas superior sisi yang sehat secara proporsional untuk mencegah terjadinya gangguan
muskuloskeletal akibat overuse, dan 7. Manajemen nyeri.1,7
1. Lingkup Gerak Sendi
25
Pasien dengan cedera pleksus brakhialis memiliki gambaran klinis khas berupa
kelemahan atau paralisis komplit otot-otot bahu, lengan atas, lengan bawah, pergelangan
tangan, dan tangan. Tergantung dari pola kelemahan atau paralisis, pasien mungkin
mengalami ketidakseimbangan fungsi atau hilang total fungsi otot terhadap sendi. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya kontraktur karena posisi abnormal jangka lama. Kejadian ini
dapat terjadi akibat pemakaian splint atau orthosis yang tidak tepat atau akibat posisi pasien
sendiri dalam posisi yang paling disukainya dalam waktu lama.
Karena pemulihan cedera pleksus brakhialis membutuhkan waktu yang lama,
diperlukan perhatian khusus dalam pencegahan kontraktur ini. Adanya kontraktur sendi dan
jaringan lunak akan mengakibatkan keterbatasan fungsional ekstremitas dan menutupi
pemulihan fungsional saat terjadi reinervasi.1,7
Terapi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dapat dimulai sejak awal. Pada fase
cedera akut, latihan ROM/LGS mungkin terbatas akibat nyeri atau karena ada kontraindikasi
medis atau bedah yang berkaitan dengan manajemen cedera lain yang diderita pasien. Untuk
pasien yang telah terjadi kekakuan diperlukan latihan peregangan secara progresif untuk
mendapatkan kembali ROM yang normal. Modalitas terapi seperti hot pack, atau diatermi
dapat digunakan sebelum exercise untuk meningkatkan elastisitas jaringan yang akan
diregang. Perlu diperhatikan, karena pasien cedera pleksus brakhialis seringkali mengalami
gangguan sensoris pemakaian modalitas ini harus dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya
luka bakar. Seringkali diperlukan pasif positioning atau dynamic splint sebagai bagian dari
program mengurangi kontraktur.1,7
Tahapan-tahapan latihan LGS24:
Latihan LGS pasif: yaitu gerakan dalam lingkup gerak sendi yang dilakukan dengan
kekuatan dari luar, tidak ada kontraksi otot volunter. Kekuatan dari luar bisa berasal dari
orang lain, bantuan bagian tubuh lain dari penderita atau dari mesin. Latihan LGS pasif
dikerjakan bila penderita tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya, dengan kekuatan
otot 1
Latihan LGS aktif dibantu: yaitu latihan LGS aktif dengan bantuan dari kekuatan luar,
baik secara manual atau mesin, karena kekuatan otot penderita memerlukan bantuan
untuk memenuhi LGS. Latihan ini diperuntukkan bagi penderita dengan kekuatan otot <
3
Latihan LGS aktif: yaitu gerakan dalam LGS yang dilakukan dengan kontraksi aktif dari
otot yang bekerja pada sendi tersebut. Jadi hanya menggunakan tenaga penderita. Dapat
dikerjakan bila kekuatan otot penderita 3.5
26
2. Support Ekstremitas
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, cedera pleksus brakhialis trunkus atas
merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Pada lesi trunkus atas, didapatkan kelemahan
pada otot-otot gelang bahu khususnya rotator cuff, deltoid dan caput longum m. biceps
brachii, dimana semua ini dapat mengakibatkan subluksasi sendi glenohumeral akibat gaya
beban ekstremitas superior. Apabila hal ini dibiarkan dalam waktu yang lama, subluksasi
yang terjadi dapat sangat jelas sehingga kita dapat memasukkan beberapa jari dicelah antara
akromion dan kaput humerus saat memeriksa sendi.1,7
Subluksasi yang berat dapat mengakibatkan terjadi hilang kongruenitas antara kaput
humerus dengan fossa glenoid. Struktur kapsuler dan tendon dapat mengalami impingement,
rotator cuff tears, dan sendi cenderung mengalami perubahan degeneratif.1
Terdapat beberapa jenis sling dan shoulder support yang dapat digunakan untuk
mencegah atau meminimalkan subluksasi bahu. Tujuan dari orthosis ini adalah memberi
support berat ekstremitas dan counteract gaya tarik akibat berat ekstremitas.
Selain untuk support sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, sling dapat juga
digunakan untuk melindungi ekstremitas yang mengalami paresis dari luka akibat gerakan
tidak terkontrol.
27
Gambar 24. Sub luksasi sendi bahu pada pasien cedera pleksus brakhialis
Penggunaan orthosis yang menstabilkan bahu dan siku dapat mengubah ekstremitas
yang semula non fungsional menjadi fungsional terbatas. Suatu functional arm orthosis
biasanya terdiri dari shoulder saddle dengan chest strap, elbow unit dengan manual atau
dengan kabel kontrol. Untuk pasien-pasien dengan paralisis komplit ekstremitas superior,
prosthetic hook terminal device dapat dilekatkan pada bagian palmar orthosis sehingga
memungkinkan fungsi prehensil terbatas. Functional arm orthosis dapat digunakan sembari
pasien menunggu pemulihan fungsi yang diharapkan, atau dapat digunakan permanen pada
pasien dengan pemulihan minimal atau tidak ada pemulihan sama sekali atau pada pasien
yang tidak merupakan kandidat penatalaksanaan bedah rekonstruktif.1,10
Gambar
26.
Orthosis
fungsional
3. Latihan Penguatan
28
Masih memungkinkan untuk melakukan penguatan otot pada pasien dengan cedera
inkomplit pleksus brakhialis yang sebagian kontinuitas saraf dan fungsi ototnya masih ada.
Perubahan adaptif yang terjadi pada otot selama latihan penguatan awalnya didapatkan dari
peningkatan efisiensi dan hipertrofi dari serabut otot yang masih memiliki inervasi. Seiring
dengan perjalanan waktu (sekitar 3 bulan) sebagian serabut otot denervasi mulai mengalami
reinervasi melalui sprouting serabut saraf terminal kolateral akson yang masih ada, sehingga
meningkatkan kekuatan otot. Tambahan kekuatan akan didapatkan saat terjadi pertumbuhan
akson kembali yang terjadi baik secara spontan, grafting atau neurotisasi.1,14
Latihan penguatan otot dibagi menjadi :
Latihan isotonik: suatu bentuk latihan yang dinamik, yang dilakukan melawan beban
yang konstan sepanjang LGS tanpa memperhitungkan kecepatan gerak.
Latihan isometrik: suatu bentuk latihan statik, dimana terjadi kontraksi otot tanpa
terjadinya perubahan panjang otot atau tanpa disertai gerakan sendi.
Latihan isokinetik: suatu bentuk latihan dinamik dimana kecepatan pemendekan atau
pemanjangan otot tetap (statik), dimana diperlukan suatu alat untuk mengontrol kecepatan
anggota gerak tubuh.
Latihan penguatan otot leher, diberikan secara isometrik dimana penderita
diintruksikan untuk mengkontraksikan otot leher tanpa menggerakan sendi. Pasien
meletakkan tangannya di kepala untuk menahan gerakan leher. Kontraksi dipertahankan
selama lima hitungan (lima detik) diikuti relaksasi selama tiga hitungan dan kemudian
diulang lagi, umumnya sebanyak tiga kali. Latihan ini diulangi untuk semua arah gerak.
Alternatif lain adalah pasien berbaring terlentang/telungkup dengan kepala beralaskan bantal
kemudian menekan kepala kearah bantal. Dalam melakukan latihan ini harus diperhatikan
agar tidak terjadi gerakan leherCedera pleksus brakhialis menyebabkan kelemahan dan
immobilisasi yang membatasi perenggangan normal dari otot dan jaringan penyokong.
Kontraktur berakibat, perubahan biomekanik dan peningkatan usaha yang diperlukan untuk
pergerakan lebih lanjut membatasi aktivitas. Saat istirahat/tidak aktif keterbatasan kontraksi
otot kurang dari 20% dari tegangan maksimal, terjadi disuse atrofi, yang berlanjut dengan
perburukan dari kelemahan.
29
Latihan
Kemampuan
Aktivitas
Kehidupan
Sehari-hari
(Activity
Daily
Living/ADL)1,7,10,17
Cedera pleksus brakhialis sedikit banyak akan mengurangi kemampuan pasien untuk
melakukan ADL tergantung dari derajat dan luasan lesi yang terjadi dan apakah ekstremitas
yang terkena merupakan sisi dominan atau non-dominan. Banyak pasien yang
menggantungkan diri pada pertolongan orang lain karena benar-benar tidak mampu atau
merasa tidak mampu untuk melakukannya. Pada saat pola barrier perasaan ini sudah
30
terbangun maka akan sulit untuk melakukan rehabilitasi. Salah satu tujuan rehabilitasi pada
pasien cedera pleksus brakhialis adalah mendukung pasien untuk dapat mengkontrol
kehidupan dan lingkungannya sehingga tetap tidak tergantung.
Okupasional terapi dan rehabilitasi vokasional memiliki peran yang sangat penting
dalam bagian rehabilitasi ini. Okupasional terapi akan menilai apakah pasien mampu atau
tidak mampu mengerjakan suatu tugas dengan ekstremitas yang terkena. Apabila ekstremitas
yang sakit merupakan sisi dominan, terapis dapat bekerja sama dengan pasien untuk
mengubah sisi dominan apabila diperlukan. Terapis juga dapat menyarankan teknik-teknik
baru, teknik adaptasi dan peralatan-peralatan adaptasi khusus yang memungkinkan pasien
untuk dapat melakukan aktivitas ADL. Terapis juga dapat membantu memberikan arahan
kepada pasien untuk memutuskan aktivitas apa yang masih harus dibantu. Secara umum
tujuannya adalah untuk membantu pasien tetap dapat mengkontrol kehidupannya dan tidak
menjadi handicap.
5.
Penanganan Edema
Cedera pleksus brakhialis dapat mengakibatkan ketergantungan pasien pada satu sisi
ekstremitas yang sehat karena paralisis motorik, kebiasaan pasien, nyeri, imobilisasi sling,
atau kontraktur sendi. Kurangnya aktivitas otot dan kurangnya tonus dapat menimbulkan
edema. Edema yang terjadi dapat memperberat penurunan fleksibilitas sendi, nyeri dan
penurunan aktivitas lebih lanjut. Penanganan edema refrakter dapat berupa manual lymphatic
drainage, limfedema wrapping, seccuential lymphatic compression pump, dan pemakaian
compression garment.1,7
31
6.
Penanganan Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang umum dikeluhkan oleh pasien cedera pleksus brakhialis.
Nyeri yang dikaitkan dengan pleksopati sering dideskripsikan sebagai nyeri neuropatik.
Berbeda dengan nyeri nosiseptif akibat inflamasi yang diakibatkan oleh kerusakan aktual
jaringan, nyeri neuropatik lebih diakibatkan oleh perubahan patologi pada saraf perifer
maupun saraf pusat yang normalnya bertanggung jawab pada persinyalan nyeri. Penting
untuk dapat mengidentifikasi komponen neuropatik pada keluhan nyeri pasien karena
diperlukan kelas obat analgesik yang berbeda untuk mengatasi tipe nyeri ini secara efektif.
Penanganan non farmakologis untuk nyeri tipe ini dapat menggunakan :
Ultrasound : merupakan modalitas thermal (diathermy: deep heating modalities) dengan
frekuensi 1-3MHz, diberikan selama 5-10 menit dilakukan 1-2 kali per hari selama 6-8
hari atau 14 kali pemberian. Penggunaannya dalam mengurangi nyeri menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan pembuangan metabolit yang
menyebabkan nyeri sehingga menurunkan spasme otot dan meningkatkan ambang nyeri.
32
7.
pembedahan. Pada saat pre operatif, tujuan dari rehabilitasi adalah untuk mencegah
kontraktur sendi dan mempertahankan kekuatan dan trofi otot semaksimal mungkin.
Meskipun pada keadaan cedera avulsi pleksus sekalipun, terutama gerakan kompleks jari-jari
tangan harus tetap dipertahankan, karena kemampuan memegang dan menggenggam akan
sangat penting kelak di kemudian hari. Secara umum tujuh prinsip rehabilitasi tetap harus
diupayakan selama masa pre operatif maupun post operatif. Setelah tindakan pembedahan
reparasi saraf atau pembedahan rekonstruksi, sendi-sendi perlu diimobilisasi selama periode
waktu yang diperlukan untuk penyembuhan saraf, tendon otot atau tulang sehingga tidak
terjadi disrupsi. Umumnya gelang bahu harus diimobilisasi selama 3 minggu sampai 6 bulan
atau bahkan lebih lama tergantung dari keputusan dokter bedah. ROM kepala, siku, dan
pergelangan tangan masih diperkenankan selama sendi bahu dapat tetap diimobilisasi.
Reparasi pleksus dengan menggunakan n. interkostal memerlukan imobilisasi ROM untuk
mencegah overstretch dan memungkinkan penyembuhan transfer saraf ini.1,7,17
33
34
Enam minggu pasca operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan
tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi
metakarpal juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.
Ortesa fungsional digunakan untuk imobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe
airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku. Sembilan minggu pasca
operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi
bahu.
Setelah Reinervasi 8
Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8 bulan pasca
operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.
Teknik EMG biofeedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk
menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya
secara efektif. Pada alat biofeedback terdapat tingkat nilai ambang yang dapat diatur oleh
terapis atau pasien sendiri. Saat otot berkontraksi pada tingkat ini, suatu nada berbunyi, layar
osciloskop akan merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan
ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan
yang kontinu, EMG discharge otot akan mulai tampak.
Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10 - 70
menit, dan latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan. Efektivitas latihan
biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan konsentrasi yang
cukup.
INCLUDEPICTURE "mhtml:file://C:\\Plexus Brachialis\\SPIRIT OF THE WORLD.mht!
http://2.bp.blogspot.com/_tXxXZmh52lM/SiCgRlRJGoI/AAAAAAAAAHo/YmXuMXjmYCI/
35
s320/EMG.JPG" \* MERGEFORMATINET
36
Sembuh
spontan
Waktu penyembuhan
Pembedahan
I (Neuropraksia)
Penuh
Tidak
setelah cedera
II
Penuh
Tidak
III
Parsial
Ya
IV
Tidak ada
Ya
(Aksonotmesis)
Tidak ada
Ya
37
BAB III
KESIMPULAN
Cedera pleksus brakialis dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Prevalensi tertinggi pada
usia dewasa muda 19 34 tahun dengan angka kejadian pada laki laki sebesar 89%.1,2
Cedera pleksus brakhialis mengakibatkan penurunan kemampuan fisik seorang pasien.
Lesi ini dapat berakibat hilangnya fungsi, nyeri yang mengganggu, stres psikologis yang
merugikan pasien secara finansial dan mengurangi kualitas hidup pasien secara umum.
Rehabilitasi pasien dengan cedera pleksus brakhialis memerlukan kerjasama yang erat dari
sebuah tim terdiri dari dokter-dokter ahli dari bagian yang berbeda dan diperlukan juga
kolaborasi dengan bidang lain seperti okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja
terjadinya
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly BM, Leonard JA. Rehabilitation Concept In Adult Brachial Plexus Injury. In:
Chung KC, Yang LJ, McGillicuddy JE. Practical Management Of Pediatrics And
Adults Brachial Palsies. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2012; 301-17
2. Spinner RJ, Shin AY, Hybert-Blouin MN, Elhassan BT, Bishop AT. Traumatic
Brachial Plexus Injury. In: Wolfe SW, Hotchkiss RM, Pederson WC, Kozin SH
38
39